16. Psithurism: Enam Belas

Era pikir, pergi dari Desa Avaluna dan tak bertemu lagi dengan Amias adalah akhir dari semua kekacauan hidupnya. Namun, agaknya dia keliru. Nyatanya takdir masih senang memberikannya kekacauan-kekacauan lain. Masalah baru muncul, tak ubah bayangan yang berjanji untuk terus mengikutinya.

Mulanya hal itu tak terlalu mengusik Era. Pengalaman selama hidup membuatnya tak takut menghadapi masalah. Dia yakin, apa pun masalahnya, semua akan berakhir pada waktunya.

Sayangnya, hal itu tak berlaku sekarang. Sebabnya, Era menyadari bahwa masalah yang menimpanya turut melibatkan orang-orang di sekitar. Amias dan Dree adalah dua contohnya.

Era tak ingin berpikiran buruk, tetapi kekhawatiran itu muncul dengan begitu saja. Pada akhirnya, dia pun terombang-ambing dalam satu pertanyaan. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang di sekitarku?

Hati Era gelisah. Pikirannya tak tenang. Setiap detik yang berlalu terasa menyiksa. Dia terus berharap semoga Philo segera memberi informasi yang mereka butuhkan. Namun, agaknya tidak semudah itu untuk Philo menyelidiki yang tengah terjadi.

Era mengembuskan napas, lalu memaksa diri untuk bangkit dari duduk. Dia menggeleng, jelas menyadari bahwa kesunyian dan tak melakukan apa-apa adalah umpan yang sangat bagus untuk rasa gelisahnya. Kekhawatiran dan kekalutannya semakin menjadi-jadi. Maka dari itu dia pun memutuskan untuk melakukan sesuatu agar fokusnya bisa teralihkan.

Pilihan pertama Era adalah mendatangi arena latihan. Pikirnya, mungkin dengan melihat para guard dan warrior berlatih bisa menyegarkan pikiran. Terlebih kalau dia pun berniat untuk turut berlatih pula. Aktivitas fisik dan keringat jelas adalah kombinasi yang bagus untuk memulihkan suasana hati yang gelisah.

Pemandangan tak biasa menyambut kedatangan Era di arena latihan. Dia masuk dengan langkah tak yakin, dahinya pun mengerut. Bersamaan dengan itu, Thad pun berlari dan menghampirinya.

"Luna."

Era berhenti berjalan. Dia berpaling dan melihat Thad dengan wajah bingung. "Apakah kalian sedang latihan besar-besaran? Ehm. Kupikir sekarang belum jadwalnya."

"Oh, itu," lirih Thad sesaat sembari memutar otak. Dia yakin, Oscar tak ingin membuat Era khawatir. Jadilah dia terpaksa berbohong. "Memang, Luna. Sekarang belum jadwal latihan besar, tetapi kami memang sesekali berlatih ketika waktu luang. Bisa dianggap ini adalah cara kami bersenang-senang."

"Ehm. Kalian memiliki cara yang cukup unik untuk bersenang-senang."

Thad tersenyum dan mengangguk. "Oh ya. Ada apa kau datang kemari, Luna? Apakah ada sesuatu?"

"Tidak," jawab Era buru-buru sembari menggeleng. Diputuskannya untuk tak jadi berlatih. Dia tak ingin mengganggu latihan mereka. "Aku hanya sekadar berjalan-jalan. Belakangan ini tak banyak yang kulakukan. Jadi, aku sekadar mencari suasana baru."

Thad mengangguk walau sedikit bingung. Agaknya tak banyak orang yang ingin mencari suasana baru dengan berjalan-jalan ke arena latihan. Lebih masuk akal bila Era berjalan-jalan ke taman Istana, pemandangan di sana jelas bisa memberikannya suasana baru.

"Baiklah kalau begitu. Silakan lanjutkan latihan kalian."

Era pergi dari arena latihan sembari menelan kekecawaan. Rencananya gagal dan dia tak berniat untuk kembali ke kamar. Dia suntuk, dia butuh sesuatu yang bisa menyibukkan pikirannya dari kecemasan tak berujung.

Langkah Era terhenti ketika terlihat olehnya Dom dari kejauhan. Dom tampak ceria seperti biasa, menyapa semua omega yang sedang bekerja di sekitar bangunan Istana. Lalu tiba-tiba saja Dom berpaling padanya dan tersenyum.

Era membalas senyuman itu dan jadilah Dom bergegas menghampirinya. Dom tampak begitu penuh semangat ketika menyapanya.

"Selamat pagi, Luna."

Era membalas. "Selamat pagi juga, Dom. Tampaknya kau begitu sibuk pagi ini."

"Tidak terlalu, Luna," jawab Dom dengan sikap hormat yang selalu terjaga di balik pembawaannya yang hangat. "Aku baru saja memeriksa laporan harian kawanan yang masuk semalam dan sekarang, sepertinya aku malah tidak ada kerjaan lagi."

Refleks saja Era tertawa. "Jadi, apakah aku harus mengatakan pada Oscar agar memberimu tugas tambahan?"

"Oh, tidak," erang Dom panjang. Dia menggeleng, pura-pura ketakutan. "Aku tak perlu tugas tambahan, Luna. Lagi pula sebenarnya ini adalah hari lapangku setelah berhari-hari mengecek ulang laporan harian kawanan."

Tawa Era terhenti seketika. Dia mengerjap saat menyadari satu keanehan dari ucapan Dom. "Mengecek ulang laporan harian kawanan?" ulangnya dengan tak yakin. "Mengapa kau melakukan itu?"

Dom tergugu. "Oh, itu." Dia menarik napas sesaat, lalu wajahnya tampak santai kembali. "Aku memang memiliki sifat cenderung perfeksionis. Memang tidak sampai benar-benar perfeksionis, tetapi mungkin bisa dikatakan menjurus ke sana. Jadi, terkadang aku hanya takut kalau aku melewatkan sesuatu, Luna. Kau tentu tahu bahwa bukan mudah aku bisa berada di sini. Jadi, aku tak akan mengecewakanmu dan Alpha."

"Aku mengerti," angguk Era tanpa sempat menangkap sekilas ekspresi lega yang sempat tercetak di wajah Dom. Sebabnya, dia justru terpikir sesuatu. "Jadi, apakah sekarang kau tidak ada tugas lainnya? Apakah kau bebas?"

"Ya, Luna." Dom mengangguk dan buru-buru memasang sikap siap sedia. Ditunjukkannya sikap bahwa dia siap diperintahkan kapan pun, untuk melakukan tugas apa pun. "Jadi, apakah kau ingin memberiku perintah?"

Era tak langsung menjawab, melainkan dia mendeham sesaat. Dahinya agar mengerut, sebuah tanda bahwa dia tengah berpikir. Lalu dia malah tersenyum. "Bagaimana kalau kau menemaniku bersantai?"

Dom melongo.

"Aku yakin, masih banyak mitos-mitos lainnya yang belum kau ceritakan," ujar Era dengan wajah berseri-seri. Dia tampak antusias. "Jadi, aku akan meminta Aaron untuk menyiapkan camilan untuk kita dan kau bisa menceritakan banyak hal padaku. Bagaimana? Apa kau bisa?"

Sepatutnya, Era tak perlu menanyakan kesediaan Dom. Era hanya perlu memberi perintah dan dia pastilah akan melakukan semua kehendaknya. Namun, Era menunjukkan sikap yang cenderung berbeda. Jadilah itu membuatnya buru-buru mendeham, lalu mengangguk. "Tentu saja, Luna. Aku bisa dan sebuah kehormatan bisa menemanimu."

Era tersenyum dan segera memanggil Aaron. Sesuai dengan ucapannya tadi maka diperintahkannya Aaron untuk menyediakan camilan. Lalu mereka pun duduk di taman Istana dan dia pun mengajak Aaron untuk turut serta.

"Apakah kau tahu, Aaron?" tanya Era tanpa menunggu jawaban Aaron. Dilihatnya Aaron yang telah duduk dengan wajah serius. "Dom memiliki banyak cerita yang menakjubkan. Kau pasti akan menyukainya."

Aaron tersenyum teduh seperti biasanya. "Kau membuatku jadi tak sabar, Luna."

"Aku tahu itu." Era berpaling pada Dom. "Jadi, ayo, Dom! Ceritakan pada kami semua kisah dan mitos yang kau ketahui. Kami akan mendengarnya."

Pada dasarnya, Dom dan seisi Istana menyadari kecemasan yang tengah mengisi benak Era. Jadilah mereka berkomitmen untuk memastikan ketenangan dan kenyamanan Era terjaga tanpa ada cela sama sekali. Termasuk di dalamnya adalah Dom yang sekarang bertekad untuk menyenangkan Era sebisa mungkin, tak peduli bila itu artinya dia harus bercerita selama 24 jam tanpa henti, semua akan dilakukannya.

Dom mulai bercerita dengan mengangkat satu kisah lama mengenai keberadaan portal waktu yang bisa membawa orang menuju masa lalu. "Aku sempat mendengarnya, tetapi aku belum mengetahui informasi jelas mengenai keberadaan portal waktu itu. Konon, portal waktu itu tercipta karena perpaduan darah penyihir dan manusia serigala yang sempat mengganggu kestabilan energi alam. Dari kabar yang sempat berembus, ada satu kawanan yang sempat menggunakan portal waktu itu untuk menghindari mereka dari kehancuran."

"Wow!" Era terkesima. "Aku berharap, portal waktu itu memang ada. Mungkin kita akan membutuhkannya sewaktu-waktu."

"Itu hanya mitos, Luna. Lagi pula dari yang kudengar, portal itu hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki hubungan dengan garis keturunan penyihir itu. Selain itu ..." Dom menggeleng. "... maka tidak bisa."

Era manggut-manggut. Dia tak mengatakan apa-apa lagi dan dibiarkannya Dom menceritakan hal lain. Disimaknya setiap kata-kata yang Dom ucapkan dengan penuh keseriusan, seolah dirinya tak ingin kehilangan sepenggal pun ceritanya.

Dom menarik napas panjang selang 70 menit kemudian. Diraihnya gelas dan dia minum dengan rakus. Tenggorokannya terasa amat kering, tetapi dipastikannya untuk tetap tersenyum. "Bagaimana, Luna?" tanyanya kemudian. "Apakah kau ingin mendengar ceritaku yang lain?"

Era diam sejenak. Agaknya dia bisa merasa bahwa Dom pastilah sudah letih, tetapi ada satu hal yang membuatnya malah mengangguk. "Aku teringat ceritamu mengenai Batu Bulan. Apakah kau bisa melanjutkannya?"

"Tentu saja, Luna. Aku akan menceritakannya dengan senang hati."

Dom mengambil sedikit jeda sekadar untuk memperbaiki posisi duduknya. Sebabnya, dia tahu bahwa cerita yang satu ini mungkin akan menyita perhatian Era dan Aaron lebih besar dibandingkan dengan cerita-ceritanya yang tadi.

"Seperti yang sempat kusinggung sebelumnya, Batu Bulan adalah salah satu artefak paling berharga dalam sejarah manusia serigala, benda magis yang ditemukan dan juga dijaga oleh Kawanan Selunar. Mitos yang berembus mengatakan bahwa Batu Bulan memiliki kemampuan untuk mengubah takdir, tetapi tak banyak orang yang mengetahui cara Batu Bulan untuk mengubah takdir."

Era terkesima dengan penceritaan Dom, begitu juga dengan Aaron. Agaknya Dom memang memiliki bakat alami dalam berbicara. Dom memiliki daya tarik tersendiri yang bisa membuat orang-orang betah mendengarnya.

Dom melihat bergantian pada Era dan Aaron dengan sikap yang sedikit misterius. "Namun, aku sempat mendengar bahwa tepatnya adalah Batu Bulan memiliki kemampuan untuk menyerap energi bulan dan mengubahnya menjadi kekuatan penyembuhan yang luar biasa. Mitos lainnya mengatakan bahwa mereka yang disembuhkan oleh Batu Bulan akan memiliki kekuatan yang tak terkira. Mereka akan menjadi sangat kuat."

Kali ini agaknya Aaron yang tak mampu menahan diri. Agaknya dia tak ingin benar-benar menjadi pendengar pasif. Jadilah dia bertanya. "Lalu, benda seberharga itu hilang begitu saja?"

Dom menyeringai geli, lalu mengangguk. "Namun, menurutku itu adalah hal yang bagus mengingat tragedi berdarah yang terjadi di Kawanan Selunar," ujarnya sembari membuang napas panjang, setelahnya justru menggeleng beberapa kali. "Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau Batu Bulan masih ada bersama mereka."

Era diam, tetapi membenarkan pendapat Dom. "Mungkin hilangnya Batu Bulan justru adalah hal yang bagus."

"Tepat sekali, Luna." Dom merasa senang karena Era sependapat dengannya. "Jadi, sekarang cerita apa lagi yang ingin kau dengarkan?"

Kali ini Era menggeleng. "Kupikir sudah cukup, Dom. Kau sudah bercerita terlalu lama. Aku khawatir tenggorokanmu akan sakit."

Dom tertawa. "Tentu saja tidak, Luna. Bahkan kalaupun ya maka itu adalah kehormatan untukku bisa melayanimu."

"Terima kasih, Dom, tetapi sepertinya aku sudah merasa cukup untuk sekarang." Era menampilkan ekspresi puas yang begitu alamiah. "Kalau kau masih punya stok cerita lain maka kita bisa berkumpul di lain waktu, tetapi sekarang sebenarnya ada yang mengganggu pikiranku."

Dahi Dom sontak mengerut. Dia sempat melirik Aaron sekilas sebelum bertanya pada Era. "Apakah itu, Luna?"

"Aku hanya penasaran, Dom. Dengan semua cerita mengenai mitos dan penjelajahanmu selama ini maka kupikir seperti mustahil melihatmu mengubah tujuan hidup. Menjadi seorang gamma dan tinggal di Istana seperi bukan dirimu."

Sontak saja Dom terkekeh sementara Aaron mengulum senyum geli. Hanya Era yang memandang keduanya dengan sorot bingung.

"Apa yang kukatakan benar bukan?"

Dom tak menampik hal tersebut, malah sebaliknya. "Memang benar, Luna, dan kalau aku boleh jujur maka aku pun tak pernah berniat untuk menjadi bagian dari Istana, apalagi mengemban posisi dengan tanggung jawab seperti ini." Dia menarik napas dan lantas, sorot matanya sempat kosong untuk sedetik, seolah dirinya tengah tertarik ke masa lalu. "Namun, salah satu mitos berhasil mengubah semuanya."

"Mitos?" Era pun merasa penasaran. Agaknya semua kehidupan Dom memang tak jauh-jauh dari segala macam mitos. "Mitos apa?"

"Mitos mengenai Alpha Oscar," jawab Dom sembari menyinggungkan senyum yang terasa berbeda. Bahkan Era pun bisa melihat senyum serupa di matanya. "Dari yang kudengar, Alpha Oscar lahir pada bulan emas dan menurut mitos yang pernah kudengar, karunia menaungi mereka yang terlahir pada waktu itu. Jadi, bisa dikatakan bahwa aku termotivasi untuk melayani Alpha Oscar karena itu. Aku ingin berguna untuk orang terpilih."

Jawaban Dom membuat Era tertegun. Sejujurnya, dia tak mengira bahwa alasan Dom akan sesensitif itu. Jadilah dia mengangguk samar dengan satu pemikiran yang melintas di benak.

Berbicara mengenai kelahiran Oscar maka Era menyadari sesuatu dengan amat terlambat, yaitu dirinya tak mengetahui apa-apa mengenai kelahiran Oscar, kehidupan masa kecilnya, terlebih lagi orang tuanya. Dia memang pernah membaca buku sejarah keluarga alpha di Perpustakaan Kerajaan, tetapi agaknya tak terlalu fokus.

Hal itu membuat Era refleks berdiri dari duduk. Dia ingin pergi ke Perpustakaan Istana dan untuk itu maka dia berkata. "Terima kasih untuk ceritamu, Dom. Juga untuk camilan enak ini, Aaron. Aku permisi."

Era segera pergi dari sana tanpa memberikan kesempatan untuk Dom dan Aaron sekadar bicara satu kalimat saja. Sebabnya, desakan itu benar-benar membuatnya penasaran. Jadilah dia mempercepat langkah—nyaris berlari—dan setibanya di Perpustakaan Istana, dia pun segera mengambil buku sejarah keluarga alpha.

Di buku itu, tercantum catatan-catatan kuno yang menceritakan asal-usul keluarga alpha, lengkap dengan silsilah mereka yang rumit. Era membuka halaman demi halaman dengan tergesa-gesa. Matanya menyisir setiap kata dengan cermat. Setelahnya, dia justru tertegun ketika membaca kisah Teagan Donovan dan Cecilia Shaw hingga abai dengan kehadiran Ursa di sana.

Ursa mendekati Era. Dilihatnya apa yang tengah dibaca oleh Era. Lalu dia berkata. "Alpha Teagan dan Luna Cecilia adalah salah satu kebanggaan Kawanan Xylvaneth, Luna. Sayangnya kau kurang beruntung sehingga tak bisa bertemu dan merasakan kasih sayang mereka."

Era berpaling. "Apa yang terjadi pada mereka, Ursa?"

"Mereka tewas karena perang," jawab Ursa dengan wajah sedih. Matanya menyorotkan duka yang tak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun. "Peperangan dengan Kawanan Ryloston. Dulu, ketika Alpha masih berusia sepuluh tahun."

*

Anne bisa merasakan bahwa emosi Oscar kali ini berbeda dengan emosi yang sudah-sudah. Nyatanya dia memang sudah sering menghadapi lonjakan emosi Oscar yang tak terduga, tetapi dia bisa yakin seratus persen bahwa yang kali ini tak seperti biasa. Oscar bukan hanya dirasuki emosi tak terbendung, melainkan aura di sekitarnya pun terasa amat menyekam. Dia tak bisa menjelaskan secara detail, tetapi pastinya dia merasakan ketakutan tersendiri ketika berada di dekat Oscar.

Maka dari itu Anne pun tak ingin mengambil risiko. Setelah Oscar menandatangani sebuah berkas yang dibawanya maka dia pun segera keluar dari ruang kerja itu.

Oscar mengatupkan mulut rapat-rapat. Ditariknya napas dalam-dalam, tetapi itu tak cukup ampuh untuk menenangkannya. Terlebih karena sesaat kemudian ada kabar dari Philo yang membuatnya semakin tak karuan.

"Halo, Philo. Apa kabar terbaru darimu?"

"Halo, Alpha. Aku ingin memberi tahumu bahwa ada kawanan lain yang turut memperburuk situasi sekarang."

Oscar menahan napas dengan firasat tak enak. "Kawanan mana?"

"Kawanan Ryloston."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top