15. Selenophile: Lima Belas
Perasaan Oscar tak tenang. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dipastikannya kegelisahannya itu benar-benar nyata. Jadilah ia melihat sekeliling dengan fokus yang tak pasti. Otak berputar, ia mencoba untuk berpikir, sekiranya apakah yang salah saat itu?
Era!
Suara jiwa serigala menggema di benak. Oscar pun membeku. Diresapinya sensasi nama itu dan lantas ditelaahnya kegelisahan yang tengah meresahkannya. Lalu jantungnya terasa berdetak dengan tak nyaman.
Pintu diketuk. Anne masuk dengan membawa sebuah map. Namun, Oscar segera mengangkat tangannya, diberikannya tanda untuk Anne keluar.
Anne paham dan mengangguk. Ia langsung mematuhi perintah Oscar dan pintu pun tertutup kembali.
Oscar tak membuang-buang waktu. Diraihnya ponsel dan segera dihubunginya Seth.
"Halo, Alpha."
Oscar tak akan butuh sapaan sopan ketika pikirannya kalut. Jadilah ia membombardir Seth dengan berbagai pertanyaan. "Seth, sedang berada di mana kau sekarang? Apa kau bersama Era? Bagaimana keadaan Era? Dia baik-baik saja bukan?"
"Aku sedang berada di kampus, Alpha, tetapi Era tidak sedang bersamaku. Tadi kami memang bersama-sama, tetapi kemudian Era pergi. Sepanjang yang kuketahui, Era baik-baik saja. Ehm. Ada apa, Alpha? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Jawaban Seth tidak menenangkan Oscar. Ia ingin laporan pasti mengenai Era saat itu juga. "Kau cari Era. Pastikan kalau dia baik-baik saja."
"Baik, Alpha."
Panggilan berakhir dan Oscar masih termenung. Ia tak pernah merasakan kegelisahan semacam itu sebelumnya. Rasanya tak bisa dijelaskan, persis seperti ada yang mengganjal dan ia tak bisa berhenti memikirkannya.
Oscar tahu bahwa itu mustahil terjadi. Ia dan Era belum berpasangan. Jadi semestinya belum ada ikatan yang bisa menjembatani perasaan antara mereka berdua. Namun, demikianlah yang ia rasakan sekarang dan satu-satunya hal masuk akal yang bisa diterima oleh logikanya adalah sesuatu tengah terjadi pada Era. Kegelisahannya itu adalah milik Era.
Jadilah Oscar tak bisa fokus dengan pekerjaan. Dicobanya untuk mengalihkan pikiran pun percuma. Otak dan seluruh saraf di tubuhnya tak bisa diajak bekerjasama. Dari jantungnya yang berdetak resah, lalu diikuti aliran darah yang berdesir tak nyaman, hingga ditutup oleh percikan keringat yang membanjiri wajahnya.
Sepertinya waktu berlalu lebih lama dari biasanya. Kesabaran Oscar benar-benar tengah diuji dan ia menyerah. Jadilah ia kembali meraih ponsel dan kali ini bukanlah Seth yang akan dihubunginya, melainkan Era.
Persetan kalau dia mengamuk. Aku ingin mengetahui keadaannya.
Oscar menekan kontak Era. Ia menunggu sejenak dan untunglah panggilan tersambung, juga tak butuh waktu lama untuk diangkat oleh Era. Sedetik kemudian, suara Era menggema di telinganya.
"Halo, Oscar. Ada—"
Oscar tak butuh basa-basi. Kegelisahan itu membuatnya jadi bertanya cepat dengan napas yang terengah-engah. "Era, apa yang terjadi padamu? Kau baik-baik saja bukan?"
Jawaban yang didapatkan membuat Oscar memejamkan mata. Napas berembus panjang dan kelegaan menyeruak di dada. Walau begitu tak urung sesuatu yang hangat terasa di matanya.
Oscar mengumpat sembari mengelap mata. Bisa-bisanya aku hampir menangis seperti ini?
Sayangnya kegelisahan itu benar-benar membuat Oscar kelabakan. Bahkan jiwa serigalanya di dalam sana juga merasakan kegelisahan yang sama. Ia benar-benar panik hingga semua rasa asing itu bermuara pada satu hal, ketakutan.
Untungnya Era baik-baik saja. Namun, sesuatu yang dikatakan olehnya justru membuat Oscar menggeram.
"Aku bukan khawatir, tetapi aku takut. Kau tahu itu?"
"O-Oscar."
Oscar menyerah. Buncahan rasa takut yang dirasakannya mendorong terbitnya emosi ketika ia ketahui bahwa Era menganggap remeh perasaan itu. "Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu sementara aku tak ada di dekatmu. Aku tak bisa melindungimu. Apa kau tahu itu?"
Memang ada Seth, tetapi bukan berarti ia bisa abai begitu saja. Lagi pula tak mungkin ia bisa abai ketika jiwa serigalanya terus melakukan hal sebaliknya. Bahkan tak peduli sekuat apa pun guard yang ditugaskannya untuk menjaga Era, ia pasti akan tetap memikirkan Era.
Pada intinya, Oscar pasti tak tenang bila Era lepas dari jangkauan matanya. Jadilah hanya satu yang menjadi harapannya sekarang. "Kuharap kau bisa bekerja sama denganku, Era. Kuberikan kau kebebasan, tetapi kuharapkan kau juga mengerti perasaanku. Jadi aku ingin, bila sesuatu terjadi, segera hubungi aku."
Hening sejenak. Oscar menunggu dengan tak sabar hingga ia kembali menggeram.
"Ba-baiklah, Oscar. Tentu saja. Itu bukan hal yang sulit. Aku pasti akan menghubungimu kalau terjadi sesuatu. Bagaimana? Apa kau sekarang sudah puas?"
Oscar meringis. "Puas? Seandainya kau tahu bagaimana takutnya aku, kupastikan kau akan mencari kata yang lebih hebat dari sekadar puas."
*
Sialan, tetapi Era tidak tahu caranya untuk lepas dari situasi canggung itu. Bukan hanya ia harus meladeni ucapan Oscar dan menenangkan jiwa serigalanya yang kegirangan karena menyadari Oscar memerhatikannya, melainkan ia juga tahu bahwa saat itu ada Seth yang sedang menatapnya dengan sorot penasaran.
Seth mendeham dengan irama menggoda ketika dilihatnya Era menaruh kembali ponsel ke saku celana, tanda bahwa panggilan telah berakhir. "Aku penasaran. Kira-kira apa saja yang dikatakan oleh Oscar padamu?"
"Bukan hal penting," jawab Era mencoba untuk lebih rileks. Sayangnya, senyum yang ia sunggingkan justru lebih kaku. "Hanya sekadar menanyakan keadaanku saja."
Seth manggut-manggut dengan tatap tak percaya. Jadilah Era memelotot.
"Memangnya kau pikir apa yang dikatakan oleh Oscar padaku?"
Reaksi Era membuat Seth malah tergelak. "Aku tidak memikirkan apa pun. Jadi, kau tak perlu panik begitu."
"Panik?" Era mendengkus. Lalu ia bangkit seraya menggerutu. "Sesukamu saja, Seth."
Seth masih tergelak dan ia turut bangkit, disusulnya Era. "Kau mau ke mana, Era? Biar kuantar."
"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri."
Tawa Seth masih menggema di lorong untuk sesaat. Era pun masih sempat terlihat berusaha untuk menghindari Seth. Mereka berinteraksi dengan akrab layaknya para dewasa muda pada umumnya. Hal itu tampak menyenangkan, tetapi ada sepasang mata yang menatap dengan sorot sebaliknya.
Gerald merasa tak terima. Bukan hanya karena Era mengabaikannya, tetapi juga karena Seth telah mempermalukannya tadi di hadapan banyak orang. Jadilah tak aneh bila saat itu wajahnya mengeras dan kedua tangannya mengepal erat.
Niatan untuk membalas perlakuan Era dan Seth telah dijanjikan di dalam benak. Apa pun yang terjadi, Gerald pastikan untuk memberikan rasa malu yang setimpal untuk mereka. Berikut dengan bunganya, berupa kesakitan.
"Gerald."
Satu suara menarik perhatian Gerald. Ia berpaling dan mendapati seorang mahasiswi yang diketahuinya adalah teman Barbara. "Ada apa?"
"Barbara. Ada sesuatu yang terjadi padanya. Dia sekarang ada di toilet."
Gerald segera menuju ke toilet. Ia masuk dan mendapati Barbara yang terduduk di lantai dengan bersimbah air mata. Barbara menangis sejadi-jadinya dengan begitu menyedihkan.
"Gerald."
Bola mata Gerald membesar. Sontak saja ia menghampiri Barbara dengan kepanikan dan juga kebingungan. Dilihatnya sumber kesakitan Barbara yang ternyata ada telapak tangannya. "Barbara, apa yang terjadi padamu?"
"Era, Gerald," jawab Barbara sambil terus memegang tangan kanannya. Diperlihatkannya telapak tangannya yang remuk pada Gerald. "Dia yang menyebabkan tanganku seperti ini."
Gerald mendengkus dengan sedikit ketidakpercayaan. "E-Era?"
"Ya, Gerald. Dia menginjak tanganku. Dia benar-benar kejam dan tak berperasaan."
"Berani-beraninya Era melakukan itu padamu, Barbara. Tidak akan kumaafkan," geram Gerald dengan penuh amarah. Agaknya ia memiliki alasan tambahan untuk memberi pelajaran pada Era. "Kau tenanglah, Barbara. Aku pasti akan membalaskan dendam untukmu. Era akan menanggung akibatnya karena telah menyakitimu seperti ini."
Barbara mengangguk. "Terima kasih banyak, Gerald."
"Sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit. Tanganmu harus segera diobati."
Gerald membantu Barbara untuk berdiri. Dengan penuh kehati-hatian, direngkuhnya Barbara. Mereka keluar dari toilet dan tanpa disangka, ada Seth.
Seth melihat tangan Barbara dan mendeham dengan ekspresi geli. "Kuyakin itu sudah cukup untuk menjadi pelajaran bagimu. Walau begitu aku akan dengan senang hati mengingatkanmu sekali lagi, jangan pernah mengganggu Era."
"Di-dia bohong, Gerald. Aku sama sekali tidak mengganggu Era," ujar Barbara cepat dengan suara terbata. Ia malah balik menuding Seth. "Dia berbohong. Dia pasti melakukan itu karena disuruh Era."
Seth terkekeh samar. "Terserah apa katamu, Barbara, tetapi aku tak peduli. Sekarang hanya satu yang penting untukku, yaitu serahkan ponselmu."
"Po-ponselku?" Barbara mengerjap dengan perasaan tak enak. Diliriknya Gerald yang masih diam dengan wajah yang kian mengeras. "Apa urusanmu dengan ponselku?"
"Aku tahu kau mengerti maksudku. Serahkan ponselmu selagi aku memintanya dengan baik-baik, Barbara. Aku tidak jamin bisa bersikap lembut pada seorang wanita. Jangan tertipu dengan wajah dan penampilanku."
Semakin pucatlah wajah Barbara. Ia gemetaran dan pada saat itu Gerald berdecak.
"Kulihat-lihat, lagakmu boleh juga, Cooper."
Decakan santai Seth berpadu sempurna dengan anggukannya. Ia menerima cemoohan Gerald sebagai bentuk pujian. "Memang begitulah aku, Robinson. Jadi, kuharap kau tak ikut campur karena ini urusanku dan Barbara. Oh, tentunya kau tak perlu khawatir. Aku tak akan melakukan apa pun pada gadismu asalkan dia memberikanku ponselnya."
Barbara menggeleng. Sudah cukuplah ia gagal merundung Era, ia tak ingin kehilangan rekaman video tadi. Keinginan untuk mempermalukan Era begitu bergejolak dan itu akan dianggapnya sebagai pelipur lara untuk kesakitan yang dirasakannya sekarang.
Jadilah Barbara berusaha untuk melindungi ponselnya. Ia mundur ke balik tubuh Gerald. Dianggapnya Gerald bisa menghalau Seth.
Nyatanya Seth malah makin berdecak geli. Kepala geleng-geleng dan ia melangkah maju. Ia menuju pada Barbara, tetapi Gerald menahan dadanya.
"Apa yang kau lakukan, Cooper?"
Seth terus menatap Barbara. "Ini urusanku dengan Barbara dan hanya berkisar pada ponsel. Bukan hal penting, jadi enyahlah, Gerald."
Bersamaan dengan mengatakan itu, Seth menepis tangan Gerald. Jadilah Gerald terhempas beberapa langkah ke samping dan Seth segera mengambil ponsel di saku celana Barbara.
"Seth!"
Barbara hanya bisa berseru geram, tetapi tak bisa melakukan apa pun lebih dari itu. Ia juga hanya bisa pasrah ketika Seth meraih tangannya yang sakit untuk membuka kunci ponselnya tanpa kasihan sedikit pun.
Barbara merintih sakit, tetapi Seth tak peduli. Seth langsung memeriksa galeri dan menemukan video yang dimaksud oleh Era.
"Oke! Ponsel ini bukan milikmu lagi, Barbara. Kalau kau butuh ganti rugi, katakan saja berapa nominalnya. Aku akan menggantinya dengan senang hati."
Seth menyimpan ponsel Barbara di saku celana, lalu ia mengedipkan matanya sekali. Disengajanya untuk mengolok-olok Barbara untuk yang terakhir kali. Setelah itu barulah ia pergi dengan langkah ringan seperti tidak terjadi apa-apa.
Barbara menggigit bibir bawah. Jelas saja ia merasa geram dan marah, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya. Jadilah ia menghampiri Gerald yang tampak membeku dengan amarah yang menggelegak.
"Kau lihat sendiri bukan, Gerald? Pastilah Seth datang karena disuruh oleh Era. Mereka mencari gara-gara dengan kita. Mereka menantangmu, Gerald."
Rahang Gerald kaku. Dikepalkannya tangan dengan sekuat mungkin. Perkataan Barbara tak ubah siraman bensin pada api amarahnya yang sedang berkobar. "Mereka telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya mereka mencari gara-gara denganku. Lihat saja. Mereka akan menanggung akibatnya karena telah berani berususan denganku."
"Kau benar, Gerald. Mereka harus diberi pelajaran."
*
Satu laporan yang diberikan oleh Seth siang itu membuat Oscar melongo untuk beberapa detik. Agaknya ia tak percaya apa yang baru saja dikatakan oleh guard muda itu.
"A-apa katamu, Seth? Ada mahasiswi norak dan mahasiswa bergajul yang mencoba untuk merundung Era?"
"Ya, Alpha, tetapi kau tak perlu khawatir. Aku akan memastikan keadaan Era baik-baik saja dan lagi pula mereka semua bukan apa-apa dibandingkan dengan Era."
Oscar tak peduli dengan kenyataan bahwa Era bisa melindungi diri dan malah berhasil membuat remuk tangan Barbara. Faktanya adalah Barbara berani bersikap seenaknya pada Era dan itulah yang membuatnya jadi meradang.
"Dasar manusia rendahan," geram Oscar tanpa sadar meremas dokumen di atas meja. "Berani-beraninya dia melakukan hal buruk pada Era."
"Ehm. Tenanglah, Alpha. Seperti kataku tadi, Era baik-baik saja. Selain itu, aku juga sudah mengamankan ponsel Barbara. Aku jamin, tidak akan ada video memalukan Era yang tersebar di internet."
Oscar memejamkan mata. Darahnya bergejolak panas. Jiwa serigalanya mulai menggeram. Ia benar-benar tidak terima.
Jadilah wajar bila sisa hari itu dilalui Oscar dengan bermasam muka. Ia kerap memikirkan tindakan Barbada dan Gerald hingga tak jarang ia menggeram di berbagai kesempatan. Pada akhirnya, Philo-lah yang pusing menenangkannya.
"Berani-beraninya mereka mengganggu lunaku. Dasar manusia rendahan."
Philo bersyukur para dewan direksi sudah meninggalkan ruang rapat sebelum umpatan itu meluncur dari bibir Oscar. Ia menarik napas dalam-dalam sembari terus menenangkan Oscar. Sungguh, ia tak ingin melihat Oscar tiba-tiba berubah dan mencari keberadaan Barbara dan Gerald saat itu juga.
Mungkin terkesan kekanakan dan rasanya mustahil Oscar akan melakukan hal berlebihan seperti itu. Namun, Philo sadari bahwa bila itu berkenaan dengan luna, maka semua tak ada yang berlebihan. Itu naluri alamiah alpha manapun dan sewajarnya Oscar merasakan hal serupa.
Pastilah Oscar akan lebih sensitif akan semua hal tentang Era. Tak mustahil pula akal sehatnya jadi tak bisa diandalkan. Untuk itulah kehadiran Philo dibutuhkan, yaitu untuk menenangkan Oscar.
"Bagaimana kalau kau menghubungi Era sebentar, Alpha?"
Sontak saja mata Oscar membesar. Jiwa serigalanya yang semula menggeram tanpa henti pun langsung bereaksi, jadi melompat-lompat kegirangan.
"Kau benar, Philo."
Philo pun membuang napas lega.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top