14. Psithurism: Empat Belas

"Jadi, siapakah dia?"

Era memecah keheningan sesaat yang tercipta pasca pengakuan yang diutarakannya. Sebabnya, dia sudah menunggu, tetapi Oscar tak kunjung mengatakan apa pun kepadanya. Sebaliknya, Oscar malah melihat pada Philo dengan sorot yang membuat kebingungannya semakin menjadi-jadi.

Situasi memang tengah mengkhawatirkan. Era menyadarinya dengan pasti, terlebih karena dirinya objek dari semua itu, dan untuk itu, dia tidak ingin buta. Dia ingin mengetahui setiap informasi yang ada. Paling tidak agar dia tahu harus mengantisipasi siapa.

Untuk itulah Era melihat bergantian pada Oscar dan Philo, lalu bertanya. "Kalian mengenalnya bukan?"

"Ya," jawab Oscar pada akhirnya sembari menarik napas sesaat. "Philo sudah menyelidikinya. Kemungkinan besar, dia adalah manusia serigala yang berasal dari Kawanan Elven."

Era mengerutkan dahi. "Kawanan Elven?" ulangnya dengan kesan tak yakin. "Aku tak mengenalnya."

Oscar mengangguk. "Tentu saja kau tak mengenalnya. Kau hanya mengetahui Kawanan Xylvaneth."

Mata Era menyipit. "Apakah kau sedang menyindirku?"

"Tidak sama sekali," jawab Oscar cepat. Sekilas, dia sempat mengusap wajah. "Justru itu membuatku semakin bertanya-tanya, apa yang sebenarnya tengah terjadi sehingga kau yang tak tahu apa-apa harus menjadi incaran mereka?"

Wajah Era berubah. Ucapan Oscar membuatnya menelan ludah. "Kau membuatku merinding, Oscar."

"Merinding?" Oscar geleng-geleng. "Aku bahkan lebih dari itu, Era. Aku sangat penasaran alasan sehingga mereka mencarimu, lalu memata-mataimu. Aku sangat penasaran hingga berada di titik ingin mencekik mereka agar mereka jujur."

Kali ini Era tak lagi merinding, melainkan bergidik. Dia memang belum pernah melihat Oscar mencekik orang, bahkan sekadar meninju pun belum—tidak termasuk tarung latih dengan Seth, tetapi dia punya kecenderungan bahwa Oscar bukanlah lawan yang mudah berbaik hati. Tebaknya, mencekik berarti memang mencekik. Sederhana saja, dia mengambil kesimpulan itu dari sikap dan temperamen Oscar sehari-hari. Oscar jelas bukanlah seorang alpha yang memiliki jiwa pengampunan.

"Walau demikian, ada satu hal yang kuyakini."

Era mengerjap. Dilihatnya wajah serius Oscar.

"Mereka memiliki alasan yang sama."

Era tertegun. Kala itu disadari olehnya bahwa ada yang berbeda dari cara Oscar menatapnya. Sorot mata Oscar berubah kian tajam, seolah menusuk dan berniat untuk memasuki lubuk hati terdalamnya. Tak ubah ingin membongkar isi hatinya dan menemukan jawaban itu.

Perasaan Era menjadi tak nyaman. "Oscar, mengapa kau menatapku begitu?"

Oscar menggeleng singkat. "Tidak ada apa-apa, Era. Aku hanya mencoba untuk menerka, sekiranya apa alasan mereka sehingga mengincarmu."

"Lalu?" tanya Era dengan rasa penasaran yang tak bisa ditutupi sama sekali. Bahkan tanpa sadar, dia pun kian mendekat pada Oscar. "Apakah kau bisa menerka alasan mereka?"

"Tidak."

Antusiasme Era runtuh seketika. Jadilah dia memutar bola mata dengan dramatis, lalu geleng-geleng. Sementara di lain pihak, Philo pun sontak memejamkan mata.

"Apa?" Oscar mengerutkan dahi tatkala mendapati ekspresi kecewa Era. "Aku bukanlah peramal. Mana mungkin aku bisa mengetahui sesuatu tanpa menyelidikinya." Dia berdecak sekilas. "Lagi pula aku—" Dering ponsel memotong ucapan Oscar. Asalnya adalah ponsel di dalam saku Era. "Sepertinya ada yang menghubungimu."

Era mengembuskan napas sembari mengangguk. Dikeluarkannya ponsel dari dalam saku dan jadilah kebingungan tercetak di wajahnya ketika melihat siapa yang menghubunginya dini hari itu. "Dree?"

"Dree?" ulang Oscar sembari mengingat. Dia pasti tak akan keliru. "Teman kerjamu yang memperingatkanmu akan keberadaan orang-orang itu?"

Era mengangguk. "Ya, memang dia orangnya dan sekarang aku jadi penasaran." Perasaannya menjadi tak enak. "Dia tak pernah menghubungiku semalam ini."

"Kalau begitu, segera angkat."

Bahkan tanpa saran dari Oscar pun memang demikianlah niat Era. Jadi, dia pun segera mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Dree."

"Halo, Era."

Dahi Era mengerut tatkala dirasakan olehnya ada yang berbeda pada deru napas Dree. Jadilah dia bertanya dengan suara bergetar. "Ada apa, Dree? Kau baik-baik saja bukan?"

Ketakutan Era timbul begitu saja. Bagaimana bila terjadi sesuatu pada Dree karena orang-orang yang mencarinya itu? Dia pasti akan merasa sangat bersalah.

"Tenanglah, Era," jawab Dree yang langsung membuat Era membuang napas lega dengan mata terpejam. "Aku baik-baik saja. Seth menolongku."

Mata Era sontak membuka kembali. "Seth?" Dree baik-baik saja tentulah ada hal bagus. Namun, lanjutan ucapan Dree membuat ketegangannya hadir kembali. "Apa yang terjadi, Dree? Ceritakan padaku."

*

Agaknya Seth harus bersyukur karena Oscar memberinya perintah yang benar-benar diharapkannya. Dia ditugaskan untuk kembali ke Celestial City ketika pikirannya memang sedang tidak berada di Istana.

Ini bukan berarti Seth tidak profesional. Dia tahu harus mendahulukan kepentingan kawanan dan perintah alpha di atas segalanya, termasuk nyawanya, tetapi yang satu ini benar-benar mengganjal pikirannya. Ketenangannya terusik dan dia kerap bertanya-tanya: mungkinkah?

Seth tahu, dirinya harus segera menemukan jawaban untuk rasa bingungnya. Maka dari itu dia pun memanfaatkan keadaan untuk kembali ke Celestial City dengan alasan yang tepat. Lebih jauh, dia yakin bisa melaksanakan perintah Oscar sekaligus menuntaskan kebingungannya.

Benar. Aku tidak mengabaikan perintah Alpha. Sebaliknya, mungkin justru ada hal lain yang bisa kutemukan di sini. Seth membuang napas ketika pemikiran itu berputar-putar di dalam kepala. Anggap saja, sekali mendayung maka dua pulau terlampaui.

Untuk itu maka Seth pun menargetkan Central Perk & Pour sebagai lokasi prioritasnya. Dia akan memfokuskan pemantauannya di sana tanpa mengabaikan area lainnya.

Dari hari pertama kembali ke Celestial City maka Seth segera mengunjungi Central Perk & Pour. Beruntung baginya, selama ini dia memang kerap datang ke sana untuk makan siang, makan malam, atau sekadar menikmati secangkir kopi. Dulu, itu dilakukannya memang untuk menjaga Era, tetapi sekarang berbeda. Era tak ada di sana dan fokusnya tertuju pada teman kerja Era yang berdiri di balik meja kasir—Dree.

Seth bergeming ketika seorang pelayan menyajikan pesanannya di meja. Diabaikannya senyum nakal dan tatapan menggoda pelayan itu. Terus saja dipandanginya Dree. "Terima kasih."

Pelayan itu menelan kekecewaan. Jadilah dia berpaling dan melihat arah tatapan Seth, lalu menyeletuk. "Ternyata seleramu yang begitu. Gadis berkulit pucat dan bertubuh kurus." Dia manggut-manggut. "Suatu saat nanti kau akan menyadari bahwa D lebih menarik ketimbang A."

Seth melongo. "Permisi?"

"Selamat menikmati makan malammu," ujar pelayan sambil menaruh secarik kertas di meja Seth. Lalu dia menggerlingkan mata untuk terakhir kali sebelum pergi dari sana. "Segera hubungi aku kalau kau sudah berubah pikiran."

Seth tak bisa berkata-kata. Terlebih ketika dilihatnya nomor ponsel yang diberikan oleh pelayan tadi. Dia geleng-geleng sambil meremas kertas itu, lalu melemparnya kembali ke atas meja.

Mungkin itu adalah satu-satunya hal yang tidak akan disyukuri oleh Seth—pelayan penggoda. Jadilah dia menarik napas dan memutuskan mulai menikmati makan malam. Lagi pula perutnya sudah bergemuruh lantaran rasa lapar yang tak tertahankan, malah semakin menjadi-jadi karena hidangan yang telah tersaji di hadapannya—seporsi steik daging rusa lengkap dengan kentang tumbuk, sepiring salad segar, dan sepotong pai apel.

Selama menikmati makan malam itu maka tatapan Seth sama sekali tak berpindah dari Dree. Fokusnya tak teralihkan sama sekali, bahkan sebisa mungkin dia tak berkedip. Terus saja diamatinya Dree dengan sebuah pertanyaan yang tak bisa disingkirkannya dari dalam kepala. Benarkah dia adalah seorang vampir?

Nyatanya, Seth tidak akan kepikiran hal itu seandainya Irene tidak menyinggungnya. Lagi pula selama ini dia tak merasakan keanehan sama sekali pada Dree. Di matanya, Dree persis seperti gadis-gadis pada umumnya. Jadi, terima kasih untuk Irena. Karena ucapannya maka segala sesuatu di diri Dree sekarang malah membuatnya jadi bertanya-tanya.

Pertama, serupa dengan yang dikatakan oleh pelayan penggoda tadi, hal yang awalnya dikira biasa-biasa saja oleh Seth menjadi tidak biasa lagi sekarang, yaitu Dree memiliki kulit pucat dan tubuh kurus. Mulanya dia menganggap bahwa memang begitulah tipe tubuh Dree alias genetiknya. Namun, sekarang dia malah bergidik. Bagaimana kalau genetik Dree adalah vampir?

Kedua, persis seperti ucapan Irena, rasa-rasanya cukup aneh bila Dree bisa memiliki insting yang amat kuat. Untuk kategori manusia biasa, itu jelas adalah hal mustahil. Jadilah sekarang Seth merasa heran juga karena malam itu, dia tak menyadari ada manusia serigala yang tengah mengamati mereka ketika Dree justru menyadarinya.

Ketiga, ehm. Seth menyipitkan mata sambil meraih serbet makan, lalu mengelap mulutnya. Vampir menyukai darah bukan? Lalu, apakah karena itu maka pipinya selalu merona?

Seth mendeham, setelahnya buru-buru menandaskan minum. Pikirnya, waktu makan malamnya sudah berakhir. Jadilah dia bangkit dan seperti biasanya, dia memilih untuk membayar sendiri pesanannya ke meja kasir ketimbang memanggil pelayan untuk membawakannya tagihan.

"Halo, Seth." Dree menyambut kedatangan Seth sembari tersenyum lebar. "Kupikir, kau tak akan kemari lagi setelah Era tak bekerja di sini."

Seth menyipitkan mata. Refleks saja fokusnya tertuju pada barisan gigi putih Dree.

"Seth?"

Seth mengerjap, lalu menggeleng sembari menampilkan ekspresi . "Maaf, akhir-akhir ini aku memang sering hilang fokus."

"Bisa dimaklumi," ujar Dree sembari melongok demi melihat nomor meja yang digunakan oleh Seth tadi. Setelahnya, dia langsung menghitung tagihan Seth. "Jadi, mungkin lebih baik kalau kau pergi liburan untuk menyantaikan pikiran."

"Ide bagus."

Transaksi selesai tak lebih dari lima menit. Seth memasukkan kembali kartu kreditnya ke dalam dompet sambil berkata. "Terima kasih."

"Sama-sama, Seth. Jangan lupa untuk datang lagi."

Seth mengangguk sembari menatap Dree. "Tentu saja. Aku menyukai steik daging rusa di sini dan—"

Ucapan Seth terhenti seketika tatkala tatapannya membentur sesuatu yang asing, tepatnya di leher Dree. Sebuah tali kalung yang diyakininya tak pernah menjadi perhatiannya selama ini.

Mungkin saja Dree sudah mengenakan kalung itu sejak lama. Mungkin juga baru-baru ini saja. Intinya, Seth memang tak pernah memedulikannya. Namun, berbeda untuk sekarang. Sebabnya, dia merasakan firasat yang aneh dari kalung itu.

"Seth?" Dree memanggil sembari menelengkan satu wajah, seolah mencoba untuk menemukan mata Seth. "Ada apa?"

Seth mengangkat wajahnya. "Apakah kau mengenakan kalung, Dree?"

"Hah?" Dree mengernyit dan tertegun sedetik. Lalu barulah bola matanya membesar sembari buru-buru menutup kerah seragamnya. "Hanya kalung biasa."

Seth menahan keinginan untuk menggeram ketika melihat reaksi Dree. Seharusnya dia menahan diri sejenak. Paling tidak sampai dia mendapatkan kesempatan untuk melihat kalung itu dengan lebih jelas. Sebabnya, dia hanya sempat melihat talinya saja sementara buah kalungnya tersembunyi di balik seragam dan berkat dirinya yang bertindak di luar pertimbangan maka jadilah sekarang kesempatan itu hilang tepat di depan matanya.

Rutukan menggema di benak Seth secara bertubi-tubi. Alhasil dibutuhkan waktu paling tidak selama sepuluh detik sebelum dia bisa kembali rileks dan tersenyum, seolah itu adalah hal yang biasa. "Benarkah?"

"Tentu saja," jawab Dree cepat sembari mengangguk beberapa kali. Setelahnya, dia lanjut bicara. "Aku membelinya beberapa hari yang lalu. Ehm. Di toko aksesoris. Kau tahu? Toko aksesoris yang terletak tak jauh dari halte bus."

Seth tak yakin dia mengetahui toko aksesoris yang dimaksud oleh Dree. Lagi pula dia curiga bahwa Dree berbohong. Jadilah dia melirih singkat. "Oh." Setelahnya memutuskan bahwa waktunya untuk berbincang-bincang dengan Dree sudah habis. "Baiklah. Kalau begitu, selamat bekerja, Dree."

Dree tersenyum. "Terima kasih dan kau, berhati-hatilah di jalan."

"Tentu saja."

Seth melambaikan tangan, setelahnya benar-benar pergi dari sana.

*

Keadaan ruang ganti telah hening sejak sepuluh menit yang lalu. Hanya tersisa Dree seorang diri di sana. Dia berdiri di depan loker yang terbuka dan menatap pada pantulan cermin di dalamnya.

Fokus mata Dree tertuju pada seuntai kalung yang menggantung di leher. Kalung yang sempat dipertanyakan oleh Seth dan jadilah sekarang diremasnya buah kalung itu—sebuah kerangkeng berbentuk bola yang di dalamnya terdapat sebuah permata kecil bewarna merah darah.

Dree membuang napas panjang. Apakah ini adalah pertanda bahwa aku harus pergi dari sini? Namun, bagaimana dengan Era?

Pergolakan terjadi di benak Dree, membuatnya jadi tak berdaya, dan pada akhirnya, dia hanya bisa menggeram. "Sudahlah. Lebih baik aku pulang saja."

Pulang seorang diri, Dree menyusuri jalanan sepi yang kerap dilaluinya bersama dengan Era selama ini. Jadilah beberapa kenangan seketika muncul di benak dan membuatnya menghela napas panjang.

Langkah Dree terhenti seketika. Udara membawa aroma asing yang membuat tubuhnya sontak bersiaga. Dia melihat sekitar dan kehadiran tiga orang pria tak dikenal mendorongnya untuk segera bertanya dengan suara lantang.

"Siapa kalian?"

Salah seorang pria maju. Dihampirinya Dree, lalu dibalasnya pertanyaan Dree dengan pertanyaan lain. "Di mana Era?"

"Era?" Dree mulai mengamati situasi. "Aku tak tahu di mana dia."

Pria pertama menggertakkan rahang. "Jangan berbohong padaku. Bukankah kalian berteman dan selalu pulang bersama?"

"Kalau kau tahu sampai sejauh itu maka seharusnya kau bisa melihat bahwa sekarang aku pulang seorang diri."

Wajah pria pertama mengelam merah. "Dasar kau wanita jalang."

Mata Dree membesar ketika menyadari bahwa pria pertama memiliki sifat yang amat sensitif. Dia tak mengira bahwa ucapannya tadi langsung direspon dengan tamparan yang menuju pada pipinya.

Dree kaget. Dia terlambat menyadari serangan itu. Namun, tubuhnya tidak. Jadilah tangannya refleks bergerak. Ditepisnya tamparan itu sehingga pria itu terhuyung ke belakang.

"Kau!"

Dree memejamkan mata dengan dramatis. Kembali, dirutukinya diri sendiri. Kali ini dia benar-benar menyumpahi diri sendiri yang bertindak di luar kendali.

"Siapa kau?!" tanya pria pertama dengan nada tinggi. Dia maju dan wajahnya tampak semakin beringas. "Katakan padaku. Apakah kau pelindung Era?"

Dree mendengkus. "Pelindung?" Lalu dia tertawa. "Sesukamu saja bicara. Aku—"

Kala itu ada dua hal yang disadari oleh Dree sehingga ucapannya menggantung. Pertama, pria pertama berencana untuk menjambak rambutnya. Agaknya kesimpulannya tadi memang benar, yaitu pria pertama memang memiliki sifat yang amat sensitif. Pria pertama selalu ingin menghajarnya setiap kali dia bersuara.

Tentunya, Dree tidak takut. Demi apa pun, dia memang adalah seorang wanita, tetapi dia sama sekali tidak gentar untuk menghadapi tiga orang pria gila di tengah malam. Dia tak takut sekalipun tiga pria gila itu adalah manusia serigala.

Dree tahu, dia pasti akan kewalahan, tetapi dia bisa membela diri. Walau demikian ide tersebut tampak tidak bijaksana lantaran ada hal kedua yang menjadi penyebabnya, yaitu Seth datang.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top