11. Psithurism: Sebelas
Getar ponsel menginterupsi fokus Oscar pada presentasi rapat yang tengah berlangsung. Dia mengerjap sekali dan melihat bahwa adalah nama Bogy yang muncul di layar ponsel. Jadilah dia mengangkat tangan, lalu berkata. "Rapat dijeda. Aku mendapat telepon penting."
Oscar segera bangkit dari duduk dan beranjak keluar dari ruangan rapat. Dicarinya tempat yang sepi, lalu segera saja diangkatnya telepon tersebut. "Halo, Bogy. Kuharap aku mendapatkan laporan pagi ini."
"Halo, Alpha. Seperti yang telah kau perintahkan maka aku dan Seth sudah menyisir area di sini."
"Lalu, bagaimana?" tanya Oscar tanpa tedeng aling-aling. "Apakah ada sesuatu yang kau temukan?"
"Ya, Alpha. Sepertinya memang ada yang memata-matai Luna."
Wajah Oscar berubah. Tubuhnya mendadak membeku. "Apa maksudmu, Bogy?"
"Aku dan Seth menemukan tanda-tanda keberadaan beberapa orang manusia serigala di sini, tak hanya di kafe, melainkan juga di kampus dan sekitaran apartemen."
Oscar menahan napas di dada. "Apakah kau sudah memastikan bahwa mereka memang memata-matai Era? Bukannya hanya sekadar manusia serigala yang melintas biasa?"
"Polanya teratur, Alpha. Jejak yang tertinggal menunjukkan tanda bahwa mereka kerap melewati rute yang sama selama beberapa kali dan rute itu persis rute perjalanan Luna."
Mata Oscar terpejam dramatis. "Apakah kau tahu sejak kapan mereka memata-matai Era?"
"Sulit untuk dipastikan Alpha, tetapi hal terpenting adalah kemungkinannya mereka tidak berasal dari kawanan yang sama."
Kali ini Oscar justru membelalak. "Apa kau bilang?" Dadanya bergetar oleh geraman. "Maksudmu, mereka dari kawanan yang berbeda?"
"Sepertinya begitu, Alpha. Sebabnya kami menemukan beberapa rute yang berbeda."
Tidak hanya terkejut dengan fakta bahwa memang ada yang memata-matai Era, sekarang Oscar malah mendapati kenyataan lain yang lebih mengguncang. Kemungkinannya memang yang memata-matai Era lebih dari seorang, parahnya lebih dari satu kawanan.
Oscar menahan napas di dada untuk sejenak. Dicobanya untuk tetap tenang ketika jiwa serigalanya justru mulai gelisah tak tahu arah. "Apakah kau tahu ada berapa kawanan yang memata-matai Era? Lalu, kawanan mana saja itu?"
"Maafkan aku, Alpha. Aku tidak bisa menyelidiki lebih lanjut karena sepertinya mereka sudah mengantisipasi dengan baik. Walau begitu aku bisa memastikan bahwa salah satu dari mereka berasal dari Kawanan Barystonix."
"Barystonix?" Oscar mengulang ucapan Bogy demi memastikan. Dia bukannya meragukan hasil penyelidikan Bogy. Hanya saja dia ingat betul bahwa selama ini Kawanan Xylvaneth tidak pernah bersinggungan dengan Kawanan Barystonix. "Apakah kau yakin, Bogy?"
"Aku sangat yakin, Alpha. Kupertaruhkan harga diriku."
Oscar membuang napas sekilas. Disisihkannya fakta membingungkan perihal Kawanan Barystonix. Prioritasnya sekarang hanya satu. "Jaga Luna, Bogy."
"Baik, Alpha. Aku akan menjaga Luna dengan nyawaku."
Panggilan berakhir, tetapi kepatuhan Bogy tidak cukup untuk menenangkan Oscar. Kegelisahannya telah berubah menjadi kekhawatiran yang tak terungkap kata. Detak jantungnya meningkat, laju napasnya menderu.
Oscar tak ingin mengambil risiko. Bila itu berkaitan dengan Era maka tidak boleh ada pertaruhan sama sekali. Untuk itu dia pun segera menghubungi Philo.
"Siapkan helikopter. Kita akan pergi ke Celestial City sekarang juga."
"Baik, Alpha."
Namun, itu tidak cukup. Oscar tahu itu. "Perintahkan Thad dan Jonathan untuk bersiap. Mereka juga ikut pergi ke Celestial City."
Jemari Oscar meremas ponsel setelah memutuskan sambungan telepon. Dia menggeram sehingga urat-urat bertonjolan di dahi. Darahnya mulai menggelagak lantaran emosi yang bangkit dengan serta merta.
Oscar memang belum tahu situasi yang tengah terjadi, alasan di balik fakta kawanan-kawanan lain memata-matainya Era, tetapi yang pasti itu bukanlah sinyal bagus. Segala macam penyebab bisa dia cari tahu nanti, tetapi keselamatan Era adalah yang utama. Untuk itu dia yakin bahwa tak ada pilihan yang lebih bagus ketimbang langsung pergi ke Celestial City.
Tak sampai empat puluh menit kemudian maka helikopter kelas atas yang menerbangkan Oscar, Philo, Thad, dan Jonathan sudah mendarat di helipad yang tersedia di apartemen The Avalon Gardens. Oscar segera melompat turun dari helikopter dan disusul oleh yang lainnya.
Persis seperti yang sempat Oscar duga selama perjalanan udara tadi, yaitu Era pasti terkejut mendapati kedatangannya. Itu bisa dimaklumi karena dia memang tak mengabari Era sama sekali. Alasannya adalah dia tak ingin berdebat di telepon. Lagi pula dia sudah bisa memperkirakan reaksi Era bila dia memberi kabar terlebih dahulu, pastilah penolakan.
Oscar sudah hapal sifat Era dengan cukup baik. Di matanya, Era tak ingin merepotkan orang lain. Dia bisa memahami itu berkat latar belakang kehidupan Era selama ini. Era terbiasa melakukan semua hal sendiri. Namun, poin pentingnya adalah dia bukan orang lain. Dia adalah pasangan Era, dia adalah alpha Era.
Selain itu, Oscar juga tak ingin menyia-nyiakan waktu. Semua hal bisa saja terjadi dalam satu detik yang singkat.
"Oscar," kesiap Era dengan mata membelalak. Kagetnya tak main-main ketika mendapati Oscar masuk ke unit apartemennya. "Ada apa ini? Mengapa kau tiba-tiba datang kemari tanpa mengabariku sama sekali?" Lalu dia menyadari bahwa yang datang bukan hanya Oscar, melainkan juga Philo, Thad, dan Jonathan. "Oh, Tuhan. Mengapa kau membawa mereka, Oscar? Apakah—"
Sorot mata Oscar membungkam mulut Era. Jadilah kata-kata yang sudah mengantre di ujung lidahnya menjadi buyar seketika.
Era bisa merasakan kekhawatiran yang terpancar jelas dari sepasang mata Oscar. "Apakah ada sesuatu yang terjadi, Oscar?"
Oscar tak langsung menjawab pertanyaan Era, melainkan diraihnya tangan Era dan diajaknya Era untuk pergi dari sana. Mereka menuju pada kamar Era dan pintu kamar yang menutup membuat mereka terpisah dari dunia luar.
Sekarang Oscar tak bisa menahan diri lagi. Demi Tuhan! Dia sudah cukup bersabar selama empat puluh menit yang amat menyiksa. Jadi, hanya ada satu hal yang ingin dilakukan olehnya ketika telah dilihat olehnya Era dengan mata kepalanya sendiri, yaitu memeluknya.
Era tertegun ketika mendapati Oscar yang tiba-tiba memeluknya dengan amat erat. Hal itu mengejutkannya hingga membuat tubuhnya refleks ingin melepaskan diri. Namun, tidak. Tatkala jemarinya menyentuh kulit Oscar maka ada gelenyar tak asing yang merambati dirinya.
Sesuatu menyentak dada Era. Jadilah jantungnya berdegup dengan kencang, dengan tak nyaman, persis seperti detak jantung Oscar.
"Oscar," lirih Era pada akhirnya dengan suara rendah dan dimaksudkan untuk menenangkan. Bersamaan dengan itu, dia pun mengusap punggung Oscar. "Aku baik-baik saja."
*
Oscar tahu, Era memang baik-baik saja. Lagi pula Bogy sudah memastikan keselamatan Era apa pun yang terjadi, sekalipun itu berarti harus mengorbankan nyawanya.
Namun, kekhawatiran yang tengah dirasakan oleh Oscar bukanlah sesuatu yang bisa ditenangkan dengan segala macam pemikiran logis. Otaknya memang berulang kali mengatakan bahwa keselamatan Era terjamin, Bogy bertanggunjawab penuh terhadap keamanan Era, tetapi itu semua percuma. Semua tak berguna sampai Oscar bisa memastikan sendiri bahwa Era memang dalam keadaan baik-baik saja.
"Biarkan aku memelukmu sebentar lagi, Era," lirih Oscar sembari menyurukkan wajah di lekuk leher Era. "Kumohon."
Era tak mengatakan apa-apa. Hanya diberikannya sekilas anggukan. Setelahnya dia terus mengusap punggung Oscar. Dicobanya untuk mendamaikan kekhawatiran yang tengah bergejolak di diri Oscar.
Sesaat setelah Oscar merasa lebih terkendali, pelukan pun terurai. Ditatapnya Era dengan lekat dan diembuskannya napas panjang. "Maafkan aku."
Era menggeleng. "Tidak, tetapi sebaliknya, bisakah kau memberi tahuku apa yang tengah terjadi? Mengapa kau datang mendadak bersama dengan Thad dan Jonathan?" tanyanya dengan rasa penasaran. "Ini bukan seperti akan ada pertarungan bukan?"
Oscar mengatupkan mulut rapat-rapat. Wajahnya mengeras dalam warna merah yang mengerikan. Keringat pun mulai bermunculan di dahinya.
"Oscar, sebenarnya ada apa?"
Sejujurnya Oscar tak ingin membuat Era khawatir, tetapi dia tak memiliki pilihan lain selain jujur. Untuk itu dia pun mengajak Era duduk di tepi tempat tidur. Digenggamnya jemari Era ketika menceritakan semua, tepatnya hasil penyelidikan dan dugaan Bogy.
Era tertegun. Dia terdiam dengan pikiran yang terasa kosong. Lalu dia justru mengerjap dengan dahi mengerut. "Apa maksudmu? Ada kawanan-kawanan lain yang memata-mataiku?"
"Sepertinya begitu," jawab Oscar tak berdaya. "Namun, kau tak perlu khawatir. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu."
Era yakin bahwa Oscar memang akan melakukan itu, tetapi ada hal yang tak dimengerti olehnya. "Namun, mengapa? Maksudku, mengapa mereka memata-mataiku?"
Oscar diam. Ironisnya, dia pun memperrtanyakan hal serupa.
"Oscar?"
Oscar menarik napas dalam-dalam sembari menggenggam jemari Era dengan lebih erat. "Aku akan menyuruh Bogy menyelidikinya lebih lanjut. Kau tak perlu khawatir."
Era menggigit bibir bawah. Keselamatannya tak menjadi kekhawatirannya. Sebaliknya, yang ada di dalam pikirannya sekarang adalah alasan di balik kejadian itu. "Aku tak pernah melakukan apa pun, Oscar," ujarnya kemudian dengan suara lirih, seolah kata-kata yang diucapkannya ditujukan untuk diri sendiri. "Aku tak pernah mengenal manusia serigala lainnya selain Kawanan Xylvaneth. Jadi, aku benar-benar bingung mengapa aku sampai dimata-matai oleh mereka."
"Aku tahu itu." Kali ini Oscar menangkup wajah Era sehingga tatapan mereka bertemu. "Jadi, kita tunggu saja kabar dari Bogy. Dia akan menemukan jawaban untuk semua yang tengah terjadi dan selama situasi ini belum terkendali maka kurasa kau harus dalam perlindungan, Era."
Era diam dan mengangguk singkat. "Aku mengerti."
"Sebenarnya, akan lebih bagus kalau kau kembali ke Istana. Aku bisa jamin, tak ada tempat di dunia ini yang lebih aman ketimbang Istana," ujar Oscar sembari menarik napas. Sebabnya, dia tahu persis alasan Era sehingga berada di Celestial City. Untuk itu maka dia pun bertanya. "Bagaimana perkembangan urusanmu di kampus?"
"Semua sudah selesai, Oscar. Aku sudah mendaftar wisuda dan sebenarnya, aku berencana untuk menghubungimu."
Mata Oscar menyipit. "Untuk?"
"Untuk mengundangmu ke acara wisudaku," jawab Era sembari mengalihkan tatapannya pada arah lain. "Walau sebenarnya aku tak yakin. Sebabnya, kau selalu sibuk dan—"
"Tidak sesibuk itu untuk menolak undanganmu," potong Oscar cepat. Tampak wajahnya yang sempat tegang menjadi santai kembali. "Tentu saja aku akan menerima undanganmu."
"Aku senang kau menerima undanganku, tetapi ..." Ada sedikit jeda di ucapan Era. Dia tampak ragu-ragu untuk lanjut bicara. "... aku juga mengundang Ursa dan Aaron."
Wajah Oscar berubah. Dia melongo. "Hah?"
Era hanya tersenyum kaku sembari mengangkat kedua pundak. "Bukankah lebih banyak orang maka lebih meriah?"
"Kau," geram Oscar sebelum mengatupkan mulut rapat-rapat. "Kupikir, aku menjadi satu-satunya orang spesial yang kau undang, tetapi ternyata aku tak lebih spesial dibandingkan dengan Ursa dan Aaron. Kau benar-benar mengecewakanku, Era."
Senyum kaku Era berubah menjadi senyum geli. Persis seperti yang sudah diduga olehnya, hal tersebut pastinya akan membuat Oscar menggerutu. Tak apa, lagi pula sepertinya itu bisa mencairkan suasana sekarang.
Era menyadari ketegangan Oscar, tetapi dia yakin semua akan baik-baik saja. Jadilah diputuskannya untuk mengalihkan pikiran Oscar dan ternyata topik wisuda adalah hal tepat.
Kebetulan atau tidak, tetapi nyatanya Era memang bermaksud untuk mengajak Oscar menghadiri perayaan wisudanya. Namun, dia bingung cara untuk mengatakannya. Dia tak memiliki pengalaman untuk urusan semacam itu. Alhasil dia pun menghubungi Ursa dan Aaron terlebih dahulu, lalu mengajak mereka.
Sekarang Era tak yakin apakah dirinya harus bersyukur dengan situasi saat itu. Sebabnya, karena keadaan itulah sehingga dia memiliki kesempatan untuk bicara pada Oscar.
Era mengusir jauh-jauh pemikiran itu. Yakinnya, dia pasti bisa mendapatkan kesempatan lain untuk bicara dengan Oscar tanpa perlu ada kejadian membingungkan apa pun. Lagi pula dia tak pernah berharap bahwa unit apartemennya akan kedatangan pemimpin guard dan warrior, lengkap dengan wakilnya pula.
Untuk itu tak aneh bila harapan Era adalah semoga situasi cepat terkendali. Dia berharap Bogy bisa menemukan titik terang yang mampu menjelaskan alasan di balik semua itu. Namun, ternyata situasi malah semakin membingungkan. Sebabnya, penyelidikan lanjutan yang dilakukan oleh Bogy menemui jalan buntu dan yang paling mengejutkan adalah tak ada lagi orang-orang yang kerap memata-matai Era. Padahal kala itu Era telah membujuk Oscar mati-matian agar dia tetap bekerja di kafe dengan harapan Bogy bisa menangkap salah satu di antara mereka. Era tak masalah sama sekali menjadikan diri sendiri sebagai umpan, tetapi hasilnya malah nihil.
"Apakah kau yakin, Bogy? Tak ada lagi yang mengikuti Era?"
Bogy mengangguk. "Ya, Alpha. Aku terus mengawasi Luna dan tidak ada manusia serigala lain yang terdeteksi berada di sekitaran Luna."
"Ehm," deham Oscar dengan ekspresi yang tidak menyiratkan lega sama sekali. "Tampaknya keadaa semakin serius, Bogy. Mereka jelas menyadari bahwa kita mengetahui keberadaan mereka."
"Benar sekali, Alpha," jawab Bogy sependapat dengan pemikiran Oscar. "Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Teruskan penyelidikan dan selain itu, panggil beberapa timmu untuk datang ke sini." Oscar diam sejenak dan mengangguk. Agaknya dia sudah membulatkan keputusan. "Besok adalah hari wisuda Era dan aku ingin penjagaan penuh." Sekilas khayalan berputar di benaknya. "Dia sudah melalui banyak hal untuk bisa di tahap ini. Aku tak ingin ada yang mengacaukan hari bahagianya."
"Baik, Alpha."
Bogy segera melakukan perintah Oscar tanpa membuang-buang waktu. Diperintahkannya tiga tim terhandalnya untuk segera datang ke Celestial City.
Era mengetahui hal tersebut, tetapi dia memutuskan untuk tak mendebat apa pun. Sebabnya, ketenangan yang terus dipertahankannya selama ini mulai terkikis di setiap hari. Dia benci tidak tahu apa-apa dan lebih benci lagi karena dia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Untungnya kedatangan Ursa dan Aaron membuat keresahan Era sedikit teredam. Mereka berbincang-bincang dan jadilah dia terlupa akan situasi saat itu walau hanya sejenak. Paling tidak hingga hari yang dinantikannya tiba.
Pagi itu Era telah bersiap, begitu juga dengan yang lainnya. Setelahnya mereka pun mendatangi kampus bak rombongan pawai.
Hal itu menggelikan, tetapi juga membahagiakan untuk Era. Nyatanya, dia tak pernah mengira bahwa akan ada orang yang turut merayakan hari bahagia itu bersama dengannya. Walau sayangnya, tak ada Dree di sana.
Era sudah mengajak Dree, tetapi sepertinya Dree memiliki kepentingan lain yang tak bisa ditinggalkan. Walau demikian Dree berjanji akan merayakannya nanti. Mereka akan bersenang-senang dengan cara yang lain.
Jadi, selagi menunggu Dree menepati janji maka Era pun tak keberatan sama sekali untuk bersenang-senang dengan para kawanan. Mereka bersendau gurau, tertawa, dan tak lupa berfoto. Selain itu, mereka pun tak lupa untuk memberikan selamat kepadanya dan yang paling spesial, tentu saja adalah Oscar.
"Selamat wisuda, Era. Aku mendoakan semua yang terbaik hanya untukmu."
Era diam sejenak dengan bola mata yang berputar ke mana-mana. Lalu barulah dia mengambil bunga yang diberikan Oscar dengan kesadaran bahwa tak ada yang bisa dilakukannya untuk tatapan orang-orang. "Terima kasih, Oscar."
Di titik itu, Era mengira bahwa hari wisudanya adalah salah satu hari paling membahagiakan di dalam hidupnya. Semua terasa sempurna dan dia dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Jadilah dia spontan berdoa di dalam hati, dia ingin masa-masa itu berlangsung untuk waktu lama, selama yang mungkin bisa diberikan takdir kepadanya.
Sayangnya, takdir menjawab doa Era dengan cara yang berbeda. Diberikannya kejutan yang membuat Era membeku jiwa raga, yaitu kedatangan seorang pria berusia 49 tahun dengan penampilan berantakan, tubuh penuh lebam, dan beraroma alkohol murahan—Amias Ross.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top