10. Selenophile: Sepuluh

Era menatap Oscar dengan sorot penuh rasa kemenangan. Dagunya terangkat tinggi, tampak sombong. Dinikmatinya mimik datar Oscar untuk sesaat sembari mengulurkan tangan dan meraih segelas susu.

"Bagaimana, Oscar?" tanya Era setelah menikmati tegukan susu pertama. Sekilas, dilapnya sisa susu yang menempel di bibir dengan ujung lidah dan jadilah Oscar menggeram. "Apa kau akan tetap mengurungku di Istana seperti pria egois pada umumnya atau kau biarkan aku melanjutkan perjalananku dalam menggapai cita-cita seperti pria jentelmen pada khususnya?"

Mata Oscar menyipit. Dibalasnya tatapan Era dengan sorot yang tak bisa diartikan. Sekelumit, ada kedutan geli di sudut bibirnya. "Aku bisa pastikan bahwa aku adalah pria egois dan jentelmen secara bersamaan."

Jawaban yang membingungkan. Era tak berlama-lama berada di atas angin. Sekarang ia kembali menjejakkan kaki di bumi dan bertanya. "Apa maksudmu?"

"Kau akan tahu nanti," jawab Oscar sembari melanjutkan makan. Ditunjuknya hidangan sarapan dengan pisau makan di tangan. "Ayo, makan. Kuyakin kau butuh banyak tenaga untuk melihat buktinya nanti."

Mustahil Era bisa sarapan dengan perasaan tak tenang. Bila tadi saja ia sudah merasa malas untuk menikmati sarapan bersama dengan Oscar maka apalagi sekarang. Ucapan Oscar membuatnya jadi bertanya-tanya. Ia penasaran dan menyebalkannya adalah Oscar justru menikmati kebingungannya.

Sarapan berakhir dan Era nyaris tak benar-benar mengisi perut, nyaris tak benar-benar sarapan, kecuali menandaskan segelas susu dan sebutir telur. Oscar bangkit dan seperti biasa, hanya dengan menggunakan celana dalam, ia melangkah santai dan mengambil jubah piama, lalu terus menuju pintu.

Era membuang napas panjang. Diiringinya langkah Oscar dengan tatapan yang tak berpaling sedikit pun, bahkan nyaris tak berkedip pula. Ia terus bertanya di dalam hati akan maksud perkataan Oscar dan—

"Sepertinya kau mulai menikmatinya."

Era mengerjap. Ia tersadar dari lamunan dan kebingungannya bertambah. "Apa? Aku menikmati apa?"

Oscar menyeringai. Diputarnya sekali jubah piama dan didaratkannya di pundak. Lalu dipasangnya pose ala model pakaian dalam. Satu tangan di pinggang dan dipamerkannya kejantanannya yang hanya ditutupi celana dalam. "Menikmati ini?"

Wajah Era berubah merah hingga ke telinga berikut dengan rasa panas yang terasa membakar. Seumur hidup, ia tak pernah dipermalukan seperti ini. Oscar benar-benar membuatnya merasa tak punya muka lagi.

"Dasar pria gila!"

Tawa Oscar pun menggema.

*

Jadilah sepanjang hari itu Era lalui dengan perasaan gelisah yang tak berkesudahan. Ia tak bisa berhenti memikirkan Oscar dan rencana yang tengah dipersiapkannya. Instingnya terus menyala dan ia yakin, apa pun yang direncakan Oscar sudah pasti tidak bagus.

Ehm. Kira-kira apa yang akan diperbuat oleh pria gila itu?

Tiba-tiba suara itu hadir dan menimpali pertanyaan Era. Tenanglah, Era. Kuyakin, apa pun yang dilakukan Oscar pasti untuk kebaikanmu.

Bola mata Era membesar. Sontak saja ia berdecak dengan wajah geram. Apakah kau baru saja membelanya?

Aku bukannya membela Oscar, tetapi aku yakin begitu. Lihatlah! Oscar menyelamatkanmu. Dia memperlakukanmu dengan baik. Kau tahu bukan? Semakin sulit mencari pria seperti Oscar. Coba saja kau bandingkan dengan mantan pacarmu, si Gerald sialan itu, mereka benar-benar berbeda bukan?

Geram Era semakin menjadi-jadi. Jangan pernah membandingkan dua hal buruk dan lihatlah! Kau benar-benar membela Oscar. Sepertinya kau perlu menyadari kalau dia tidak sebaik itu. Dia baik padaku karena ada niat terselubung. Dia ingin mengambil hatiku sehingga aku luluh dan mau menjadi lunanya.

Suara itu membuang napas, lalu bicara dengan suara rendah. Bukankah wajar bila dia baik padamu karena itu? Maksudku, sudah sewajarnya pria baik pada pasangannya. Mustahil bila dia lebih baik pada wanita lain. Lagi pula aku jamin kau tidak akan menyukai bila Oscar melakukan hal sebaliknya. Bukankah itu seperti sikap Gerald padamu dulu? Dia baik pada wanita lain dan malah memperlakukanmu dengan buruk. Kau tidak menyukainya bukan?

Kau!

Suara itu kaget, buru-buru berkata. Ma-maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah, tetapi apa kau tidak merasakan apa pun pada Oscar?

Era berdecak. Sesuatu? Oh, tentu saja ada, yaitu hasrat untuk mencincangnya.

Oh, Era. Kau yang benar saja. Mustahil kau tidak merasakan apa pun padanya. Lagi pula dia adalah seorang alpha. Semua gadis serigala menyukainya.

Sesuatu membuat Era mengerutkan dahi. Apa itu artinya kau juga menyukai Oscar? Oh, astaga. Jadi, karena itu mengapa kau tidak ingin pergi dari sini? Bukan karena taman berumput hijau yang luas dan cahaya matahari?

Ti-tidak begitu. Aku memang menyukai taman dan cahaya mataharinya, tetapi ... Oscar memang sangat tampan bukan? Dia juga gagah dan penuh kharisma. Ehm wajar. Karena dia adalah seorang alpha.

Jadilah Era melongo. Ia tak lagi bisa bicara. Kata-kata yang diucapkan oleh suara itu terdengar persis seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta.

Era geleng-geleng kepala. Diputuskannya untuk tidak melanjutkan pembicaraan tersebut. Ia sadari sepenuhnya bahwa menyadarkan orang yang sedang jatuh cinta itu lebih sulit ketimbang menjelaskan teori fisika nuklir pada balita, lebih dari mustahil.

"Ur-Ursa."

Era mengerjap dengan salah tingkah. Diusapnya tengkuk seraya tersenyum kaku. Baru teringat olehnya bahwa saat itu ia tengah belajar bersama Ursa di perpustakaan Istana. Ursa memberinya sebuah buku dan ia harus membacanya, tetapi yang terjadi ia malah berbincang-bincang dengan jiwa serigalanya.

Ursa tersenyum. "Apa saja yang kalian bicarakan?"

Perasaan tak enak Era menguap sedikit. Agaknya Ursa tak marah. Walau begitu ia tetap merasa tak enak. "Bukan hal yang penting. Kami cuma membahas soal taman berumput hijau yang luas dan cahaya matahari."

"Ah, begitu. Pasti rasanya menyenangkan bukan memiliki sesuatu yang selalu menemani dan bisa diajak bicara kapan pun?"

Sepertinya Era sependapat dengan Ursa terlepas dari kekesalannya karena topik tadi. Ia mengangguk dengan tersenyum kecil. "Memang sangat menyenangkan. Dia selalu ada di waktu-waktu aku membutuhkan seseorang. Sekarang, dia malah selalu ada kapan pun aku bicara. Itu pasti karena kau telah membebaskannya, terima kasih."

"Sama-sama."

Sikap Ursa membuat Era tenang sepenuhnya. Seperti yang sempat ditebaknya dari awal pertemuan, Ursa memang berbeda dengan kebanyakan manusia serigala lainnya. Ursa lebih tenang, hangat, dan pembawaannya teduh.

Jadilah wajar bila Era merasa paling nyaman bila bersama Ursa. Selain itu, dengan perbedaan usia yang jauh, dianggapnya Ursa sebagai pengganti ibu. Apalagi Ursa pun memang kerap memeluk, membelai, dan menenangkannya, persis seperti kebiasaan para ibu pada umumnya.

Namun, sesuatu membuat Era tiba-tiba bertanya. "Sebentar, Ursa. Apakah kau tidak memiliki jiwa serigala? Perkataanmu tadi ...." Ia tak melanjutkan perkataannya. Dirasanya Ursa pastilah paham. "Apakah begitu?"

"Aku punya jiwa serigala," jawab Ursa dan dilihatnya Era membuang napas lega. "Semua manusia serigala pastilah memiliki jiwa serigala, tetapi tidak semua orang seberuntung dirimu."

Kelegaan Era terjeda. "Apa maksudmu?"

"Manusia serigala tentu saja memiliki jiwa serigala, tetapi jiwa serigala kami tidak seperti milikmu ataupun milik Alpha. Jiwa serigala kami tidak benar-benar hidup, tidak seperti kalian yang seolah-olah mereka adalah orang berbeda di dalam tubuh kalian. Itulah keistimewaan kalian."

Era manggut-manggut.

"Sebenarnya kau akan mengetahui itu kalau kau membaca buku yang kuberikan padamu."

Era cengir-cengir seraya melihat buku di tangannya. "Maaf, Ursa. Tadi pikiranku memang ke mana-mana."

"Aku tahu," ujar Ursa penuh maklum. "Lagi pula dengan melihatmu melamun tadi justru membuatku semakin yakin bahwa yang dikatakan buku itu memang benar."

Cengiran Era berubah jadi kekehan samar. "Sebenarnya dia selalu memuji tempat ini. Dia suka karena di sini penuh dengan cahaya matahari dan dikatanya bahwa tempat ini benar-benar terasa seperti rumah."

"Tentu saja. Dia pasti suka tinggal di sini, lagi pula semua jiwa serigala pasti senang bila bisa berdekatan dengan alphanya. Mereka akan merasa aman dan tenteram."

"Itu memberi alasan tambahan mengapa dia suka di sini."

Ursa tersenyum dengan penuh pemakluman. "Aku tahu kau masih sulit menerima ini semua, tetapi lalui saja takdir ini. Pada akhirnya kau akan mengetahui alasan di balik semua yang terjadi."

"Apa maksudmu, Ursa? Apa kau ingin mengatakan kalau tak ada yang bisa kulakukan untuk menghindari takdir ini?" tanya Era seraya menatap Ursa lekat. Ia pun memperjelas maksudnya. "Apakah pada akhirnya aku tetap akan menjadi luna Oscar?"

"Aku bukan Dewi Bulan. Aku tidak tahu akhir takdir kalian. Satu-satunya yang kuketahui adalah ramalan mengatakan kalau kau memang adalah calon luna untuk Oscar."

Era diam. Ucapan Ursa membuatnya jadi tak berkutik. Jadilah ia memutar otak dan mencoba menemukan jalan keluar untuk meninggalkan perbincangan sensitif tersebut.

Tangan terulur. Era meraih cangkir teh, tetapi ternyata tehnya telah habis.

"Sebentar. Akan kupanggilkan pelayan."

Era ingin menolak, tetapi Ursa keburu bangkit. Dilambaikannya tangan dan seorang gadis serigala datang. Jadilah ia tak bisa berbuat apa-apa sembari berusaha menekan rasa segan, pada dasarnya ia masih merasa tak nyaman karena kehidupannya di Istana benar-benar dilayani oleh siapa pun.

Tak butuh waktu lama, selang lima menit berlalu, dan teh kembali tersaji untuk Era. Diraihnya cangkir teh dan dihidunya aroma wangi yang menguar. Ia menikmati sesapan pertama dengan semringah.

"Teh yang sangat enak walau tidak seenak buatan Aaron."

Ursa turut meraih cangkir teh, juga menikmatinya. "Aku senang mendengar kau mengatakan itu. Ternyata bukan hanya aku yang mengakui racikan tangan Aaron memang tak ada duanya."

"Benar. Aku jadi merasa wajar kalau Oscar yang sensitif sekalipun akhirnya takluk pada teh Aaron."

Tawa Ursa berderai renyah, tetapi ia tak berkomentar apa pun karena Era telah membawa nama Oscar. Tak sepantasnya ia meledek sang alpha.

"Oh ya. Ngomong-ngomong soal Aaron, sepertinya belakangan ini aku tak melihatnya. Apakah dia sedang pergi?"

Ursa menaruh kembali cangkir teh di tatakan. "Pergi? Ehm." Ia tersenyum penuh arti. "Sepertinya dia sedang sedikit sibuk."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top