10. Psithurism: Sepuluh
Gelenyar tak tenang semakin merambati sekujur tubuh Era dengan tak main-main. Ucapan Dree membuatnya tertegun, dia terdiam, tetapi kepalanya kosong, dia tak bisa memikirkan apa pun.
Dree menyentuh tangan Era. "Bagaimana kalau kau mengatakan ini pada Oscar?"
"A-apa?" Era mengerjap, agaknya masih sedikit gamang dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya. "Mengatakannya pada Oscar?"
Dree mengangguk. "Ya, kupikir kau harus mengatakannya pada Oscar. Dia pasti akan menjagamu. Sebabnya, perasaanku pun menjadi tak enak karena ada orang-orang yang kerap memata-mataimu seperti ini. Lagi pula aku yakin, kau bukan hanya dimata-matai saat di kafe. Mungkin saja kau juga dimata-matai ketika kau di kampus atau bepergian. Saranku, kau jangan mengambil risiko."
Keragu-keraguan tampak berpendar di sepasang mata Era walau bukan persoalan pagi tadi yang menjadi sebabnya. Sebaliknya, dia tampak belum yakin bahwa keadaan segenting itu untuk meminta Oscar benar-benar menjaganya. Lagi pula dia sudah memiliki Seth.
Sepanjang yang Era ketahui, Seth sekarang jauh sangat kuat dibandingkan sebelumnya. Jadi, pikirnya Seth saja sudah cukup. Terlebih lagi karena dia ingat betul bahwa Seth mampu mengimbangi perlawanan tujuh rogue andai mereka tidak bertindak licik.
"Terima kasih, Dree," ujar Era sambil mengembuskan napas sekilas. Lalu senyumnya merekah perlahan. "Kau tak perlu khawatir. Aku yakin, aku akan baik-baik saja."
Sebaliknya, Dree tampak tak yakin. Jadilah dia meraih jemari Era dan menggenggamnya. "Jangan mengambil risiko, Era. Hubungi Oscar dan katakan yang terjadi." Dia tampak putus asa. "Mereka bukan orang sembarangan."
Era mengerutkan dahi. "Mereka?"
Mata Dree terpejam dramatis. "Ya," angguknya kian tak berdaya. "Mereka." Lalu matanya membuka dan menatap Era. "Aku menyadarinya semalam. Ada orang-orang yang juga mengamati kita, mengamatimu. Namun, mereka adalah orang yang berbeda. Aku tak tahu persisnya ada berapa orang yang mengamatimu sejak beberapa bulan ini."
"Bagaimana kau mengetahuinya?"
"Aku melihatnya."
Era menggeleng. "Tidak, bukan itu maksudku, melainkan bagaimana kau mengetahui bahwa mereka adalah orang yang berbeda?"
Mulut Dree membuka, tetapi tak ada satu kata pun yang mampu diucapkannya. Sebaliknya, dia malah mengerang tak berdaya.
"Kumohon, Era. Itu tak penting sama sekali. Terpenting sekarang adalah keselamatanmu." Dree menyugar rambutnya dengan frustrasi. Sekilas tampak pergolakan di sepasang matanya, seolah dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak biasa. Ada sesuatu yang menahannya untuk tak jujur pada Era dan itu membuatnya merasa buruk. "Ini demi kebaikanmu sendiri dan aku yakin, Oscar tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Jadi, kumohon."
Ketidaktenangan yang dirasakan oleh Era terusik oleh segurat kebingungan. Dia tak mengerti akan sikap Dree, itu membuat benaknya jadi bertanya-tanya. Namun, disadari olehnya bahwa ucapan dan kekhawatiran Dree memang benar.
Era mengangguk kaku. "Baiklah, Dree. Aku pasti akan menghubungi Oscar."
"Syukurlah." Dree memeluk Era. "Terima kasih."
Bahkan ucapan terima kasih Dree pun terasa janggal di telinga Era. Instingnya mengatakan demikian, tetapi ada sesuatu yang aneh, yaitu jiwa serigalanya tak mengatakan apa-apa. Jiwa serigalanya tak memberikan peringatan apa pun. Alhasil kebingungannya pun semakin menjadi-jadi.
Pada akhirnya, Era menyerah. Disisihkannya kebingungan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Terpenting untuknya sekarang adalah menghubungi Oscar. Dia tak ingin membohongi janji pada Dree dan selain itu, dirasanya memang sudah sepatutnya dia mengabari Oscar.
Era tiba di apartemen ketika hari telah berganti. Ditaruhnya jaket dengan asal di atas tempat tidur sebelum mengeluarkan ponsel dari saku celana. Kala itu disadari olehnya bahwa ponselnya masih dalam keadaan tidak aktif.
Butuh waktu sesaat untuk Era mengaktifkan kembali ponselnya. Setelahnya dia pun segera menghubungi Oscar dengan keyakinan bahwa malam belum terlalu larut. Dia berani bertaruh, pastilah Oscar masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan.
Nada sambung hanya sempat terdengar sedetik. Setelahnya, Era mendengar suara Oscar.
"Halo, Era? Kau menghubungiku, Era?"
Era mengembuskan napas sembari memutar bola mata. "Ya, ini aku yang menghubungimu. Mengapa? Apa kau kira orang lain?"
"Tidak sama sekali. Oh, Tuhan. Aku meneleponmu seharian ini, tetapi ponselmu tak aktif. Karena itu aku benar-benar senang karena justru kau yang menghubungiku sekarang."
Era manggut-manggut dengan ekspresi malas. Dalam hati, dia berkata. Tentu saja begitu.
"Jadi, katakan padaku, Era," lanjut Oscar dengan penuh semangat. "Apakah kau merindukanku?"
Bola mata Era berhenti berputar-putar. Sebagai ganti, dia malah membelalak ngeri.
"Kau merindukanku dan tak tahan karena tak menghubungiku bukan? Oh, astaga. Kita merasakan hal sama, Era."
Era buru-buru mendeham. Bulu kuduknya meremang. "Oscar, jangan membuat fokusku hilang. Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."
"Sesuatu? Apa? Katakan saja. Aku akan mendengarkannya."
"Sebenarnya aku masih ragu. Aku tak yakin harus mengatakannya padamu atau tidak karena aku baik-baik saja hingga sekarang."
"Era." Suara Oscar terdengar berubah. "Apa yang terjadi? Katakan padaku."
Mata Era memejam dramatis untuk sesaat. Dia menarik napas dalam-dalam dan menyadari bahwa mengadu bukanlah sifatnya. Selama ini dia tak pernah mengadu pada siapa pun untuk setiap hal, terkecuali pada mendiang ibunya dulu, Sylvie Blair.
Namun, ucapan Dree kembali mengiang di benak Era. Jadilah dia memaksa diri untuk bicara.
"Aku tak tahu bagaimana mengatakannya, tetapi kurasa ada orang-orang yang memata-mataiku selama ini."
Kali ini suara Oscar terdengar menegang. "Memata-mataimu?"
"Ya. Aku tak tahu sejak kapan, tetapi Dree, teman kerjaku mengatakan bahwa dia sering memergoki ada pria yang melihatku saat bekerja di kafe. Selain itu, sepertinya dia yakin sekali bahwa yang memata-mataiku bukan hanya seorang."
Oscar menggeram. "Aku akan mengutus Bogy ke sana."
"Bo-Bogy?" ulang Era gelagapan. Lalu dia mencoba untuk menawar. "Bagaimana kalau Irene? Kupikir, keadaannya tidak segenting itu sehingga Bogy harus turun tangan."
"Keselamatanmu adalah prioritas dan tanpa meremehkan kemampuan Irene, aku hanya ingin jaminan seratus persen."
Era kembali memejamkan mata dramatis, bahkan kali ini sambil menepuk dahi. Mungkin aku memang tak seharusnya mengatakan ini pada Oscar. Lihat saja. Dia menjadi bersikap berlebihan.
"Namun, kalau kau memaksa maka aku pun tak masalah. Seperti yang kau tahu, aku adalah pria yang bisa diajak berkompromi."
Kelegaan menyeruak di dada Era. "Benarkah?"
"Tentu saja benar," ujar Oscar dengan suara yang terdengar penuh percaya. "Aku menginginkan Bogy sementara kau menginginkan Irena. Maka jalan tengahnya adalah aku akan mengutus Bogy dan Irene ke sana."
Era melongo. Sepertinya bukan itu yang dia kira. "O-Oscar?"
"Jadi, sekarang kau tenanglah. Setengah jam lagi Bogy dan Irene akan tiba di sana. Aku akan segera menyuruh Philo menyiapkan helikopter untuk mengantar mereka."
"O-Oscar," lirih Era gelagapan. Mendadak saja dia susah bernapas. "Tak perlu buru-buru begitu. Tak perlu menggunakan helikopter."
"Kau tak perlu khawatir. Aku yakin, Bogy dan Irene pasti senang bisa menaiki helikopter di jam satu dini hari. Mereka bisa melihat bintang dengan jarak yang lebih dekat."
Era tak bisa berkata-kata lagi. Lidahnya kelu dan jadilah dia biarkan panggilan berakhir begitu saja.
Wajah tertunduk. Rambut terjatuh di kedua sisi kepala. Era menggeram dan merutuki kebodohannya. Lalu dia pun menjerit.
"Oscar!"
*
Persis seperti ucapan Oscar tadi, Bogy dan Irene tiba sekitar setengah jam kemudian. Mereka langsung mendatangi Era bersama dengan Seth.
Era menyuruh mereka untuk duduk. Senyumnya tampak kaku ketika melihat bergantian pada Bogy, Irene, dan Seth. "Maaf. Aku sama sekali tak mengira kalau Oscar akan bertindak sejauh ini."
"Tak perlu meminta maaf, Luna," balas Bogy dengan sikap penuh hormat. "Kami senang bisa menjadi kepercayaan Alpha untuk menjagamu."
Era mengangguk dengan perasaan tak nyaman. Dia yakin tak perlu dijelaskan lagi mengenai rasa senang itu. Bahkan masih jelas diingatannya betapa Seth sangat bangga dengan luka yang didapat karena menjaganya.
"Jadi, katakan pada kami, Luna. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Era yakin, itulah yang terpenting sekarang. Jadilah dia menceritakan secara singkat semua yang terjadi.
"Sebenarnya, aku juga masih sedikit ragu dengan informasi Dree, tetapi tadi aku benar-benar melihat pria itu. Tatapannya jelas tertuju padaku dan dia segera pergi ketika kami bertatapan."
Seth mengusap kedua tangannya satu sama lain setelah mendengar penjelasan Era. "Sebenarnya, semalam Dree mengatakan hal yang kurang lebih sama seperti yang kau ceritakan, Luna. Tepatnya ketika kau mendapatkan telepon dari Alpha setelah orang suruhan Gerald berusaha untuk mencelakaimu."
"Benarkah?" tanya Era dengan dahi mengerut. "Apa yang dia katakan?"
"Dia mengatakan bahwa dia merasa seperti ada yang memerhatikan kita, tetapi dia terlambat menyadari keberadaan mereka."
Era tertegun. Perasaan tak enak semakin membuatnya gelisah. Jadilah dia mengusap tengkuk.
"Ehm." Irene yang sedari tadi diam akhirnya bersuara pula. Dia mendeham sembari melirik pada Seth. "Sepertinya Dree memiliki insting yang kuat atau dia hanya asal bicara?"
Era menggeleng. "Kurasa, dia tak asal bicara. Paling tidak, tadi aku sudah membuktikan kebenaran ucapannya. Walau memang itu tidak lantas menjawab kebingunganku. Dia merasa begitu yakin. Bahkan dia kerap meyakinkanku bahwa dia tak akan pernah salah melihat."
"Oh, itu terdengar janggal," ujar Irene sembari menelengkan kepala ke satu sisi. Lalu dia malah geleng-geleng. "Lebih tepatnya, itu mengingatkanku akan satu spesies yang memiliki kemampuan indra paling hebat di antara lainnya."
Bogy menatap Irene. "Kau pikir demikian?"
"Itu satu-satunya alasan sehingga dia bisa seyakin itu bahwa matanya tak akan pernah salah melihat."
"Mustahil," tukas Seth langsung. Dia menggeleng. "Aku sudah terlalu sering berinteraksi dengannya dan aku bisa meyakinkanmu, Irene, aku tak mencium aroma apa pun darinya. Dia adalah manusia biasa."
Irene mengangkat kedua pundaknya. "Well, mungkin saja dia menggunakan sesuatu yang menyamarkan baunya."
"Menggunakan sesuatu?"
"Ya," angguk Irene pada Seth. "Apa kau tak tahu bahwa penyihir bisa membuat benda yang bisa menyamarkan bau? Ck. Itulah salah satu alasan mengapa kita membenci penyihir."
Bogy membuang napas. "Kalau alasanmu begitu maka sebenarnya Dree pun pasti membenci penyihir, bukannya malah meminta bantuan penyihir untuk menyamarkan baunya."
"Ah!" Irene tergugu, lalu beralih pada Bogy. "Logikamu masuk akal. Lagi pula pada dasarnya memang tak ada yang menyukai penyihir. Jadi—" Ucapannya terhenti ketika tatapannya membentur tatapan Era. "Luna."
Kerutan di dahi Era bertambah. Dia melihat Bogy, Irene, dan Seth dengan tatapan bingung. Agaknya dia sama sekali tak mengerti apa yang baru saja dibicarakan oleh ketiga orang guard itu.
Era tersenyum tak mengerti. "Apakah kalian keberatan untuk menjelaskan padaku apa yang sebenarnya tengah kalian bicarakan? Karena sepertinya hanya aku yang tak tahu apa-apa di sini."
"Oh, Luna, maafkan kami," ucap Irene buru-buru. Sekilas, dia tampak melirik pada Bogy dan Seth seolah meminta persetujuan untuk menjelaskan pembicaraan mereka tadi. "Sebenarnya, aku sempat menduga bahwa mungkin saja Dree adalah seorang vampir."
Wajah Era berubah. Senyumnya menghilang. Dia melongo. "A-apa? Va-vampir?"
"Ya, Luna. Untuk urusan indra, tak ada yang bisa menandingi vampir. Dia bisa melihat sejauh apa pun sekalipun dalam kegelapan. Dia bisa mencium aroma hanya melalui sekilas embusan angin. Indra mereka sangat sensitif."
Era memejamkan mata dan buru-buru menggeleng. "Tidak. Itu tidak mungkin. Dree tidak mungkin vampir. Aku sudah berteman lama dengannya dan tak ada keanehan sedikit pun darinya," ujarnya cepat sambil terus menggeleng. "Lagi pula aku tak pernah melihat dia menggigit leher orang dan mengisap darah."
Irene menjadi bungkam. Dia mengangguk pelan walau tak urung ujung-ujungnya dia menggumam. "Sebenarnya vampir juga ada jenisnya, Luna. Mungkin saja dia termasuk vampir vegetarian."
"Vampir vegetarian?" Era kembali kebingungan. "Apa itu?"
"Vampir vegetarian adalah vampir yang—"
"Sudah, Irene, cukup," potong Bogy cepat. Matanya sempat mendelik. "Ini bukan waktunya untuk membahas vampir. Tujuan kita ke sini adalah untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi."
Irene meringis. "Ah, kau benar, Bogy."
Bogy mengabaikan Irene dan kembali beralih pada Era. "Aku dan Seth akan menyelidiki keadaan sekitar, Luna. Sementara Irene akan menemanimu di sini."
"Menyelidiki keadaan sekitar?" ulang Era dengan wajah tak enak. Sempat dilihat olehnya jam dinding. "Semalam ini? Di jam dua dini hari?"
Bogy mengangguk dengan tersenyum. "Justru ini adalah waktu yang tepat, Luna. Tak banyak orang yang masih berkeliaran di luar. Jadi, itu akan mempermudah penyelidikan kami."
Sekarang Era tak mendebat lagi. Sebaliknya, dia mengangguk tanpa lupa berpesan. "Kalian berhati-hatilah."
"Baik, Luna."
Bogy dan Seth pergi. Sekarang tinggallah Era dan Irene. Kalau itu diajaknya Irene menuju satu kamar.
"Aku yakin kau butuh istirahat, Irene," ujar Era sembari membuka pintu kamar. Dipersilakannya Irene untuk masuk. "Jadi, pergunakanlah kamar ini untuk beristirahat."
Irene menatap Era dengan mata berbinar-binar. "Oh, Luna. Kau baik sekali."
"Baik?" Era menggeleng. "Ini biasa saja dan tidak sebanding dengan penderitaan kalian karena diperintahkan Oscar untuk datang ke mari semalam ini." Dia mengembuskan napas panjang. "Kalian pasti sedang tidur bukan?"
Irene tak menjawab, tetapi senyumnya memberikan indikasi tersendiri untuk Era.
"Oke. Jadi, lebih baik kau beristirahat sekarang."
Irene mengangguk. "Sekali lagi terima kasih, Luna. Aku benar-benar—"
Sesuatu membuat Irene berhenti bicara. Lebih lanjut dia pun buru-buru mendekap mulut. Wajahnya tampak panik.
"Irene, ada apa?"
Irene tak bisa menjawab. Sebaliknya, pundaknya tampak berguncang dan matanya mendadak berlinang.
Era teringat sesuatu. Jadilah matanya membesar. "Apakah kau ingin muntah?"
Irene mengangguk dan Era pun buru-buru membawanya ke toilet. Segera saja Irene masuk sementara Era langsung menutup pintu. Walau begitu tak urung juga Era sempat mendengar suara Irene yang muntah.
"Oh!" Era mendeham sembari menjauhi toilet. Sebabnya, dia mulai merasa perutnya ikut-ikutan mual. "Sepertinya, Irene memang mabuk perjalanan."
*
bersambung ....
note: untuk jaga-jaga saja, aku bilangin dari awal "Era belum hamil" :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top