9. Dinner
They have the greatest view up here
With you, I have my greatest view everyday
Maksudku terpana.
Daripada terpanah asmara, aku lebih pantas terpesona pada kematangan dan kebijaksanaannya dalam mengakui kesalahan kepada wanita yang jauh lebih muda. Dia pasti melihatku tak ubahnya seperti melihat Mike. Seperti orang tua yang bicara pada anak-anaknya yang sudah dewasa, dari hati ke hati, berharap kami bisa memetik hikmah dari apa yang dia sampaikan.
Pasalnya, akan lebih baik kalau dia menurunkan sedikiiit saja kadar pesonanya, atau paling tidak mengurangi pancar binar mata hazelnya yang menawan. Aku seperti terhipnotis, sekali tertangkap tatapnya, rasanya tidak pernah cukup hasrat ingin membalas. Gimana, ya, rasanya jadi Nyonya Kilmer? Mungkin saat menatap wanita yang ia cintai, kedua mata itu tak bersinar teduh seperti ini, namun penuh bara asmara.
Tidak pernah seumur hidup aku menyaksikan seseorang membicarakan cinta semeyakinkan itu, cinta yang bahkan maut tak mampu menghentikannya.
Gara-gara masa lalu keluarga kami, aku menyepelekan cinta dan mengharuskan semua orang yang berhubungan denganku menggunakan cara mengatasi yang serupa. Jika hari ini aku tak melihat dengan mata kepalaku sendiri kekuatan cinta terpancar dari bagaimana Edward Kilmer membicarakan kisah sedihnya, aku mungkin tak akan pernah lagi menjadi saksi cinta semacam itu. Cinta sejati tak kita temukan di setiap tikungan jalan, beberapa orang mungkin tak merasakannya seumur hidup.
Contohnya mama.
Diam-diam, aku banyak memikirkan ayahku tanpa sepengetahuan mama. Apa yang berkecamuk dalam benaknya hingga dia berubah sedemikian rupa. Memang benar, keburukan seseorang bisa menutup kebaikannya seumur hidup. Aku tak bisa memungkiri ingatanku sebelum ayah menjadi monster. Di depan mamaku yang rapuh, aku selalu menekan ingatan indah itu jauh di lubuk hatiku sebab mama pasti akan sedih jika aku masih menyisakan rasa rindu akan sentuhan seorang ayah. Alih-alih, aku membencinya sebesar mama. Aku membenci tangannya yang menyentuh kami penuh kebencian seolah kami adalah penyebab kegagalannya, aku membenci makiannya yang terus terngiang dalam mimpi burukku bahkan sampai aku beranjak dewasa.
Mama juga pasti mendambakan dicintai dan mencintai seperti pasangan Ed dan mendiang istrinya. Aku pun ... mendamba tiba-tiba. Ada perasaan cemburu yang menggigit, penasaran bagaimana rasanya dicintai bahkan setelah kita tak berada di sisi orang itu? Apa mungkin ada orang yang mencintaiku sebesar itu? Jika memang ada, maka aku sudah tahu jawabannya. Rasanya tak berasa sebab semua tak akan ada artinya kecuali kita merasakan hal yang sama.
"Lita?"
Suara lembut Ed dan sentuhan samarnya di lengan membuyarkan anganku. Secara refleks, aku melengkungkan bibir. "Anda tidak perlu meminta maaf," ucapku. "Kalaupun bukan soal itu, saya pasti tetap akan bersikap begitu di lain kesempatan."
Dia tertawa.
"It's good it happened already, then," tukasnya. "Jadi ke depannya kita bisa saling berhati-hati karena kejadian tak menyenangkan ini sudah pernah terjadi. Sangat tidak mengenakkan saling tersinggung jika kita sudah saling mengenal, bukan? If this happened again, berarti saat itulah satu di antara kita bisa menyebut diri mereka ignorant."
Kali ini aku yang tertawa sopan.
"So, let's stop this wishy washy and prepare the dinner!" Ed menyatukan telapak tangan di depan dada. Dia melompat dari bar stool dan kembali ke balik meja dapur. "Kamu belum boleh pulang."
"Oh please ... saya tidak mau merepotkan," kataku, mencari alasan.
"Oh sebaliknya ... aku belum punya apa-apa untuk makan malam, jadi kita harus masak. Aku yang akan merepotkanmu, jangan khawatir."
Oh ya ampun... kok dia lucu banget sih ngebalik situasinya? Persis kayak di film-film romantis. Tapi aku tetap tak berniat tinggal kelamaan, rasanya aneh berada di rumah Mike bersama ayahnya, tanpa dia ada di sini. Coba kalau ini terjadi kepadamu, maksudku ... kami sama-sama lajang ... yah walaupun sepertinya cuma aku yang mikir sampai ke sana, sih. Ed mungkin hanya sedang mencoba bersikap ramah.
Mulutku membuka untuk menolak sesopan mungkin, tapi Ed mendahului. "Atau jangan-jangan kamu ada janji makan malam dengan seseorang?"
Rabu malam begini? Sama siapa? "Tidak ada, sih ...," jawabku pasrah.
"Siapa tahu kamu punya pacar?"
"Oh bukan, I am not seeing someone. Tolong abaikan saja ucapan Mike di restoran waktu itu, dia cuman mengada-ada. Ya aku memang jalan dan putus hubungan beberapa kali, tapi tidak sesering yang mungkin Anda bayangkan."
"Oh ya? Beberapa kali?" gumamnya seraya memindahkan beberapa bahan makana ke meja dapur. "As I remember, kamu kenal Michael dua tahunan terakhir, beberapa kali dalam dua tahun itu cukup sering menurutku."
Buat seseorang yang bertemu dengan seorang wanita dan setia sampai puluhan tahun, mungkin. Tapi dibandingkan Nad ... wow ....
"Oh!" tiba-tiba dia berhenti menata tomat di atas meja. "Aku nggak akan membahas area pribadimu, atau kita bakal adu argumen lagi seperti kemarin. Begini saja ... apa aku mendapatkan maafku?"
"Hmmm ... yah ... tentu saja."
"Bagus!" serunya. "Tapi kamu belum."
Keningku mengernyit tak mengerti.
Ed memperjelas. "Ya, kamu belum mendapatkan maafku. Kamu kemari untuk memohon maaf dariku, kan? Aku tidak akan memberikannya kalau kamu pulang sebelum makan malam. You know. In my country, you can't just step into a house at dinner time and refuse to have dinner when you're invited. That's rude, kamu tidak pantas mendapatkan maaf."
Ya ampun... kirain apaan.
Fiuh. Aku melepas napas lega sekaligus memaki dalam hati. Sialan nih bapaknya Mike kok bisa begini? Dia benar-benar seperti gambaran Nad tentang Dr. Mcdreamy. Kadang hangat dan lucu, kadang dingin dan egois. Kelihatannya dingin tidak tepat, dia sama sekali tidak dingin, sih. Malah baik hati. Selisih paham yang terjadi di antara kami lebih karena alasan beda generasi saja dan ... yah ... dia memang agak cepat tersinggung.
It's not wrong to have a crush on someone way older than us, kan, ya? Toh, dia nggak akan tahu. Oh aku tidak akan membiarkan siapa pun tahu, terutama Mike. Ini mungkin hanya kekaguman biasa dan akan segera sirna kalau dia mulai bersikap menyebalkan lagi sebagai klien. But he's so adorable. Ditambah, aku tidak punya figur seorang ayah, jadi berduaan dengannya begini tak membuatku bergidik meski dia seusia ayahku. It's simply like dealing with an older man, paling yang bikin canggung karena dia ayah sahabatku.
Berbekal perasaan aman dan kenyataan bahwa aku sangat mudah berbalik tidak menyukai seseorang, aku ikut turun dari bar stool dan bergabung dengannya yang tengah mengenakan celemek. Tidak ada salahnya bersikap baik, bukan?
"Itu celemek kebanggan Mike," kataku sambil mencari celemek lain di tempat biasa. "Dia memesannya khusus gara-gara gagal babak penyisihan Master Chef Indonesia."
"Ya, I heard." Ed tetap mengenakannya.
Pria itu menaikkan alis abu-abunya menyaksikanku bergerak gesit di dapur anaknya. Kujelaskan, aku sudah beberapa kali memasak di dapur ini kalau kami lembur. Kadang kami bosan berada di kantor terus-menerus dan sering bergantian terjaga di rumah. Dulu, sih, awal-awal banget kami dapat klien dan semuanya terasa harus tepat dan sempurna. Justru setelah aku punya rumah sendiri, kami tidak pernah melakukannya. Sekarang kami punya team, pekerjaan dibagi dengan lebih banyak orang. Pengalaman menghadapi beberapa kasus khusus yang berakhir gemilang membuat kami lebih santai. Tak ada hal yang tak bisa diselesaikan besok pagi, itu motto Mike.
"So you cook?" katanya, melirikku sambil mengupas bawang putih.
Kami akan memasak pasta sederhana saja setelah berdiskusi singkat menyesuaikan beberapa bahan yang ada di mesin pendingin.
Aku terbiasa mengurus diri sendiri, mama harus bekerja keras membiayai hidup dan kami nggak mungkin jajan terus tiap hari. Satu-satunya jalan, seseorang harus memasak. Saat masih duduk di bangku sekolah, pulangnya aku mampir ke pasar, lalu berkutat di dapur. Apa saja asal kami tak kelaparan, tapi lama-lama aku pintar sendiri.
"That's good," dia bilang. "Aku sering mendengar anak gadis zaman sekarang tidak bisa memasak karena terlalu sibuk. I may sound old fashioned, bukan berarti aku bilang seorang gadis seharusnya bisa memasak, tapi apa salahnya? Dewasa ini, sebagian perempuan merasa bangga mengaku tidak terbiasa di dapur hanya karena mereka punya karir bagus. My wife cooked incredibly well meski dia berkarir."
"Oh ... saya bisa karena tidak punya pilihan," terus terangku tanpa bermaksud menyangkal. Kusambung seselesainya mengisi setengah panci dengan air bersih dan meletakkannya di atas kompor. "Mama saya bekerja keras memenuhi kebutuhan, jadi saya harus membantu. Lebih karena terpaksa. Sejak tinggal sendiri, saya malah tidak punya waktu. Mungkin gadis-gadis kebanyakan punya mama seperti mamanya Mike, jadi ketika mereka hidup sendiri, mereka harus belajar dari nol, sedangkan waktu tak banyak memihak kepada mereka."
Ed menyisihkan bawang putih yang dicincangnya ke tepi. Terdiam. "I talked about her again," gumamnya.
"It's okay ... I don't mind."
"And I am being insensitive for generalizing woman," katanya setengah menertawakan dirinya sendiri.
Sebenarnya sih memang iya, tapi wajar saja kalau orang seusianya berpikir demikian. Bukan lantaran dia sudah berumur, tapi kami memang muda pada zaman yang berbeda. Pada masanya, mungkin seorang wanita yang ingin bekerja harus lebih dulu membuktikan bahwa diri mereka sudah bisa mengurus apa yang menjadi kodratnya.
Kini, wanita boleh memilih sebagaimana pria. Tidak semua wanita harus wonderful in every aspects to be called a successful woman; menikah, punya anak, memasak, juga membantu perekonomian keluarga, bahkan berhasil dalam karir. Wanita yang berani memilih dan bahagia dengan pilihannya pun adalah wonderful woman, termasuk memilih tidak memasak karena lebih mengedepankan produktifitas. Memanfaatkan waktu luang setelah bekerja dengan sesuatu yang lebih berkualitas dan menyerahkan perihal masak memasak kepada pembantu rumah tangga juga bukan hal yang salah sama sekali.
I am on that side, actually, tapi sudahlah ... nggak semua generasi harus mengerti bagaimana generasi lain berpikir. Toh, pada akhirnya, roda berputar dan mungkin aku juga akan dianggap kuno oleh generasi sepuluh tahun mendatang.
Aku tidak boleh sampai terdengar menganggapnya kuno kalau tidak mau membeli seikat tulip semahal itu lagi.
"Mike cerita," kata Ed tahu-tahu. "Soal keluargamu."
Mafhum, aku sama sekali tak menghentikan kegiatan mengaduk pasta sementara dia mulai mencuci tomat-tomat segar.
"Mike juga cukup mandiri, I am glad. Padahal, nenek kakeknya sangat memanjakannya. Kalau buatku dia sempurna—mungkin—karena aku ayahnya, bagaimana Michael dilihat dari sudut pandangmu?"
Bagaimana apanya?
"Aku agak khawatir karena dia sudah dua puluh tujuh dan belum ada tanda-tanda akan menikah," tuturnya jujur. "Apa menurutmu dia tidak cukup baik?"
Waduh ... padahal aku sendiri juga begitu.
Dia memahami kebisuanku. "Oh ... sial," makinya.
Aku tertawa karena tahu dia memaki dirinya sendiri. "Mike is perfect," kataku. "Once he found the right woman, he'd settle down."
"Aku benar-benar tidak bermaksud—"
"It's okay. Sebenarnya kami berdua sama. Saya juga akan settle down jika sudah menemukan orang yang tepat. Tidak ada yang rumit di kepala kami soal asmara, kami hanya ... bukan jenis orang yang memaksakan segalanya harus sempurna dan berharap dengan berhati-hati suatu hari kami akan menemukan kesempurnaan itu."
"Aku mengerti," dia bilang. "Maksudku ... sebelum bertemu dengan Febbiana, aku juga tidak pernah memikirkan pernikahan. Sedikitpun. Aku pernah berkencan dengan beberapa wanita yang kutinggalkan atau meninggalkanku tanpa kesan apa-apa. Mungkin Mike sedang dalam tahap bertualang tanpa tujuan, tanpa ada harapan menemukan seseorang. Dia merasa masih ada banyak hal yang ingin dia lakukan. Sama denganku dulu. Tapi, when I met her ... I know."
Airku belum mendidih. Aku tidak pernah merasa seresah ini menunggu air mendidih.
Sebaliknya, aku cukup yakin Mike does think about marriage meski tak pernah bilang secara langsung, yang tidak itu justru aku. Dia tidak punya alasan takut pada pernikahan, kan? Dia punya referensi yang bagus soal kehidupan berumah tangga. Menurutku, Mike benar-benar hanya belum menemukan orang yang tepat, sama denganku. Masalahnya dia tidak suka coba-coba, nah yang ini, lain denganku. Aku tidak keberatan mencoba, meskipun kata Nad aku melakukannya bukan supaya kami menemukan kecocokan. Sebaliknya, menurut Nad aku malah ingin membuktikan bahwa aku benar, mereka bukan 'orangnya'.
Kalau boleh lancang kubilang ... menurutku Michael memang terlalu berhati-hati, dan yah ... standar pilihannya kemungkinan terlalu tinggi. Which is fine, Mike deserves the best girl.
Kumasukkan sebungkus pasta ke dalam air yang baru mendidih. Tidak mengatakan sesuatu, kuanggap dia tahu aku setuju-setuju saja. Siapa sih yang mau ngomongin soal temen kita ke orang tuanya? Rawan salah ucap. Aku tidak tahu apa yang Mike ingin atau tak ingin orangtuanya dengar.
Tapi, Ed tidak mengartikan diamku demikian, "Sorry," ucapnya—serius, aku nggak terbiasa dengan permintaan maaf yang terlampau sering. Dengan orang tua sekali pun—dia pikir aku keberatan dengan caranya membandingkan dengan kisahnya sendiri. "Pasti kedengarannya aku seperti seseorang yang nggak bisa lepas dari masa lalu."
Senyumku terkulum. "Anda memang punya masa lalu yang indah."
"Aku pernah berdebat dengan Mike soal ini. Kubilang, dia terlalu tinggi menentukan standar wanita yang akan mendampinginya."
Tepat sekali, Pak Tua.
Kusahut sambil lalu, "Kalau saya jadi Mike dan istri Anda adalah mamaku, itu bisa dimengerti."
Tidak segera, tapi aku menangkap senyumnya mengembang lebar perlahan."That's the sweetest thing I've ever heard from you," dia mendesis seperti berangan-angan, membalas tatapanku dengan cara yang kurang lebih sama seperti bagaimana aku terpana akan ketulusan cintanya pada sang istri.
Kelopak mataku mengedip, menepis tajam tatapannya. Kualihkan pembicaraan tanpa basa-basi, "Pastanya aldente sebentar lain," supaya dia buru-buru memotong tomat dan mulai memasak saus.
"Oh iya!" Ed meraih pisau dan kembali mengerjakan tugas memotongnya. "Satu lagi Lita"—tomat terbelah dua—"bisakah kita merahasiakan ini dari Mike? Dia pasti malu kalau tahu aku mengeluh kepada sahabatnya."
Aku juga nggak berniat menceritakan apa-apa kecuali bahwa kami sudah berbaikan supaya Michael tidak punya pikiran untuk memecatku. Kucari alasan demi terdengar 'ramah' di kupingnya, "Karena Anda sudah merahasiakan semua perbuatan saya dari Mike, dengan senang hati saya terima tawaran saling menguntungkan ini. Mari kita anggap impas dengan memegang rahasia masing-masing."
Ed menggelak memperlihatkan gigi-giginya yang masih teramat sehat walau sudah tua. Dia mengosok tangannya pada celemek dan menyodorkan jabat tangan denganku. "Deal?"
"Deal."
Usai kesepakatan itu, kami melanjutkan bekerja sama dengan sangat apik dalam menyelesaikan pasta bolognaise, ayam kukus lemon dan basil, serta menata meja makan. Ed menawariku anggur yang disimpan Michael di gudang untuk merayakan damainya perseteruan kami, tapi harus kutolak karena menyetir. Lega sekali masalah ini sudah berakhir.
Masalah selanjutnya ... kenapa makan malam dengan menu biasa ini jadi terkesan romantis dengan obrolan ringan dan senyum hangatnya?
Okay 1k votes lagi, ya
LOL
Susah banget kayaknya dapet 1k votes aja di cerita ini. Kayaknya langsung pada nggak antusias habis tahu Ed-ya umur 52. Votesnya langsung ngedrop. Nggak pa-pa, deh, saya tetep harus update teratur karena ini panjang dan per chapternya relatif lambat. Later pas di atas part 15-an baru mulai cepet.
Yok, vote dan komen ya, dukung Ed for most favorite oldest leading male character on wattpad LOL
Love,
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top