7. Nad
Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan
***
What do you want from me?
All of you
Mike sungguh-sungguh.
Setengah jam kemudian, dia muncul di ruanganku dan bertanya mengapa aku masih di sini. Dia bahkan mengutip alasanku waktu berniat menolak perintahnya datang pagi-ini hari kerja pertama di tahun 2018-dan menegaskan bahwa perasaan Edward Kilmer sebagai ayah dan sebagai klien jauh lebih penting sebagai penanda baik buruknya rejeki perusahaan sepanjang tahun.
Oleh sebab itu, kini aku kembali diusir dari kantor setelah sebelumnya dipaksa buru-buru datang. Mike bilang, besok pagi aku harus sudah berbaikan dengan sang ayah saat dia mengajaknya bergabung pada meeting awal tahun.
Aku memanfaatkan hari yang masih siang untuk mampir ke bank dan memulihkan rekening serta pembuatan kartu ATM baru. Sewaktu duduk mengantre, aku teringat Nad dan menghubunginya. Untuk saat-saat begini, aku membutuhkan sahabat wanitaku.
Musik berdentum melatarbelakangi sapaannya saat menjawab telepon. Refleks, aku memastikan ini masih siang, pelayanan customer service bank saja masih buka. Perempuan yang satu ini bisa-bisanya sudah ada di sanggar senam.
"Gue baru dapat kakap," jelasnya tanpa aku harus bertanya. "Sekantor sekaligus. Sampai akhir bulan, gue nggak akan diprotes kalaupun datang cuman absen doang."
"Lo udah ganti baju?" tanyaku.
"Belum."
"I need to talk to you," kataku. "Tapi please ... Nad ... jangan di situ."
Nad nggak mau dengar. "Ke sini aja, pake baju ganti gue. Terakhir lo senam udah tiga bulan lalu kan kayaknya?"
Omong kosong, Kamis lalu aja dia menyeretku ke sana sepulang kerja dengan alasan macam-macam.
Karena aku sudah mengenalnya bertahun-tahun dan satu-satunya tempat yang nggak akan ditinggalkan Nad jika dia sudah sampai sana adalah sanggar senam, aku menuju ke sana setelah urusanku selesai.
Aku masih nggak percaya kenapa sanggar senam sementereng ini nggak membedakan kelas pemula dan bukan pemula untuk sesi Zumba. Resepsionis-yang jelas bayarannya kurang karena jarang senyum-nya sih bilang, tenang aja sis, nggak ada juga kok yang expert kecuali trainer-nya, semua sama payahnya, tetep aja menurutku ini bentuk intoleransi terhadap seseorang yang tengah berusaha menjadi wanita pada umumnya meski sudah sangat terlambat sepertiku. Jujur, aku sebenarnya malas. Aku mending ngelanjutin program RPM-ku, tapi Nad bilang tidak ada wanita karir zaman sekarang yang nggak escape her working hours to do some Zuuumba time.
Nggak semua kayak gitu, I know.
My bestfriend-malangnya-adalah seorang maniak segala macam jenis olah raga bergoyang. I-on the contrary-adalah seorang yang jika tidak bersahabat dengan seorang maniak segala macam jenis olah raga bergoyang tidak akan pernah menyanggupi janji pertemuan di sebuah sanggar senam, sore hari saat sebagian besar karyawan ibu kota sedang sibuk-sibuknya, kayak nggak ada coffee shop bergengsi aja di kota sebesar ini.
Nad bekerja sebagai senior marketing officer sebuah hotel bintang lima yang setahuku hampir tidak pernah kerja. Kalau keluyuran siang hari ke tempat-tempat asyik, haha hihi dengan para CEO dan direktur muda, lalu minggat ke sanggar senam menjelang sore, mandi, dan balik kantor buat absen dianggap sebuah pekerjaan, yah berarti dia memang seorang pekerja keras.
Menurutnya, seorang marketing officer sejati adalah seseorang yang senantiasa mampu mengalirkan energi positif kepada klien dan calon klien. Caranya ya dengan lebih banyak menghibur daripada membicarakan pekerjaan. "Mereka sudah terlalu banyak pekerjaan di kantornya, Lita. Saat bertemu denganku membicarakan perpanjangan kartu member bernilai puluhan juta rupiah setiap bulannya, mereka harus relaks dan melupakan hal itu sama sekali," katanya. Untuk itu, sebagai penganut mensana in corpore sano kelas berat dia selalu menjaga kebugaran tubuh. Untuk menciptakan jiwa dan pribadi menyenangkan, tubuh kita harus sehat dan bugar.
Aku selalu mencegahnya terlalu sering bertemu Michael, tentu saja, atau direktur dermawan itu hanya akan mempertebal komisi sahabatku dan menguruskan budget logistik kami. Toh, jika ada klien yang menginap, aku bisa selalu meminta diskon khusus sebagai teman tanpa kartu member yang menurutku nggak ada faedahnya itu. Maksudku, memangnya berapa harga kue yang pihak hotel kirim tiap member berulang tahun, jika dibandingkan iuran mereka tiap bulannya, sampai-sampai hal itu dikategorikan sebagai bentuk keintiman hubungan kerja sama? Beli beras rutin di toko sembako aja tiap lebaran dapat minyak goreng dan kue kaleng tanpa bayar kartu member.
"Bangun!" perintahnya.
Aku sudah hampir mati kehabisan napas. Dinding cermin ruang kelas ini juga kelihatanya tak ingin melepasku begitu saja. Aku melambai tanda menyerah. Ini bukan kali pertama aku nge-zumba, tapi kayaknya aku memang nggak berbakat. Satu-satunya hal yang kusukai dari tempat ini kalau terpaksa harus kusebutkan adalah segelas besar dairy-free yoghurt setelah setengah sesi Zumba (karena aku belum pernah sanggup menyelesaikan satu sesi tanpa melipir dari barisan). Bukan karena aku vegan, tapi karena memang mereka nggak menjual dairy yoghurt yang lebih murah. Waktu aku memesan segelas es teh manis, bartender bertubuh kekar di balik healthy bar itu menatapku dengan tatapan hina. Jadi begitulah kisah hubunganku dengan the creamy delicious alternative to dairy yoghurt made from the creamy milk of the coconut with plant fed Probiotic cultures blah blah blah which actually I would never ever order it in another place, for fuck's sake!
"Gue nggak tahu gimana harus minta maaf," keluhku, menyeruput yoghurt sampai habis setengah gelas sekaligus. Kayak habis lari-lari ngejar onta di padang pasir hausnya.
Nad sudah selesai dan bergabung dengan peluh bercucuran. Biasanya, dia akan mengeringkan tubuhnya dulu, masuk ruang sauna selama sepuluh sampai lima belas menit, baru mandi. Setelah olah raga, dia tidak akan minum apapun selain air putih, jadi dia mengernyit melecehkan segelas besar yoghurt di tanganku.
"Any suggestion?" tanyaku tak peduli dengan anggapannya. Aku sudah menceritakan duduk permasalahan kepadanya sebelum terjun ke lantai zumba tadi.
Gadis cantik bertubuh proporsional itu tidak menjawab. Dia bukan tipe menjawab, dia tipe membicarakan teorinya sendiri. "I think he's kind of cute"-maksudnya Edward-"Bahkan dari kisah yang gue dengar dari sudut pandang lo aja menurut gue dia tetap imut."
"He's 52," aku mengingatkannya.
"Who looks like 40," dia balas mengingatkan. "Gue banyak bertemu pria berusia 50an, mereka tetap saja pria yang akan luluh saat seorang wanita muda meminta maaf. Jadi gue nggak punya saran apa pun selain datengin dia, bawain apaan kek, asal jangan buah-buahan karena dia akan berpikir lo menganggapnya tua, dan bilang, 'saya benar-benar mohon maaf, saya menyesal, tapi sebagai tambahannya, Pak Edward, Anda seksi dan bikin saya hampir terangsang.'"
"Sialan," makiku.
"Gue ingat malam setelah kejadian penguntit itu lo membicarakannya seperti apa," Nad mencibir. "Coba gambarkan seperti apa sih tampangnya? Doi buleleng, kan? Hmmm... Hugh Grant?"
Aku malas, tapi Nad nggak akan berhenti merongrong kalau aku nggak menanggapi. "Lots younger look, I said he looked like 40 something. Hugh Grant is 50 year old looking 60."
"Oh iya," dia mengeringkan keringat di tengkuknya dengan handuk. "Mungkin karena namanya Edward, gue jadi ngebayangin papa-papa britania raya"-jeda-"Richard Gere?"
"Pretty Woman atau Autumn in New York?"
"Pretty Woman ...?"
Aku meminta waktu berpikir. "No, not exactly. Gue yakin dia bukan seorang pria tipe gentleman, workaholic, irit bicara yang terkesan pada hal-hal kecil kayak Edward yang itu. Bukan berarti dia nggak gentleman, ya ... dia cinta banget sama mendiang istrinya dan menurut gue itu manis banget, tapi bukan," jelasku panjang lebar seperti bicara sendiri.
Selama aku memikirkan sosok seseorang untuk menggambarkannya, Nad menyebutkan nama-nama bule berusia 50an. Mulai dari aktor, musisi, sampai nama-nama tamu hotel yang sebenarnya nggak kukenal sama sekali.
Tiba-tiba, satu nama berkelebat di kepalaku saat melihat seseorang berpiama mandi putih keluar dari sauna. "Dr. McDreamy. Derek Shepperd di Grey Anatomy."
"Patrick Dempsey?" tebak Nad tak yakin. Bukan tak yakin pada tebakannya, tapi kemiripannya dengan Edward Kilmer.
"Bukan Patrick Dempsey-nya, tapi karakter Dr. McDreamy."
"Warm and funny at one time, cold and self involved the next," sebut Nad fasih.
Aku mengangguk pasti kali ini.
"See!" seru Nad. "Dia makin menarik kalau gue bilang. Lo yakin sebel sama dia, bukan sebaliknya?"
"Sebaliknya gimana?!"
"Yah ... naksir gitu barangkali?"
"He's 52," lagi-lagi aku menggunakan kalimat pusaka itu.
"And you're 27," kata Nad. "Lima puluh dua dan 27 nggak sama dengan 35 dan sepuluh tahun, Lit. There's same 25 years distance, but there's a huge different meaning in between, it's age of consent. Beside, he's rich."
"And my boss's father," timpalku, kemudian kembali menyeruput sisa yoghurt. "Anyway ... kita nggak sedang membicarakan sex appeal-nya, atau kemungkinan gue hook up sama dia, kita lagi ngomongin tuntutan Mike supaya gue minta maaf!"
"Did you not think you need to apologize?"
"I do, tapi-"
Tapi aku masih tetap bingung kenapa bercandaan semacam itu dianggap personal. Mereka mengawalinya duluan dengan bawa-bawa persoalan asmaraku dan aku hanya sedikit kelewatan dalam menanggapi soal sahabat pena. Lagi pula, aku sudah meminta maaf, dan mereka sama sekali nggak minta maaf atau peduli siapa tahu aku juga tersinggung. Aku tersinggung, ngomong-ngomong, aku nggak minta tumbuh dewasa sebagai pribadi yang sulit jatuh cinta.
"Apa kesukaannya?" tanya Nad karena aku tak kunjung menyelesaikan kalimat.
"Mana gue tahu?"
Nad mengembuskan napas lelah. "Lita, lo butuh pekerjaan ini, percaya, deh. Gue tahu jabatan lo di perusahaan Mike bagus, kontribusi lo nggak bisa dianggap enteng, tapi ketahuilah, lo tetep aja karyawan. Nggak ada karyawan yang nggak bisa digantikan sehebat apa pun dia. Mike tetap memegang peranan penting dalam karir lo sekarang ini, lo kerja buat dia."
"Maksud lo kalau gue masih bersikeras nggak mau baikan sama papanya, dia bisa aja nyingkirin gue, gitu?"
Nad mengangguk-angguk membenarkan.
Aku langsung tertawa getir meremehkan kekhawatirannya. "Mike nggak akan mecat gue begitu aj-"
"Mungkin," Nad menyambar. "Tapi mungkin juga enggak."
Napasku tertahan, kami bertatapan. "Serius?" tanyaku.
Menurut Nad, meski pekerjaanku tak sepenuhnya sama seperti dia, tapi kami sama-sama bekerja di medan paling mengerikan dalam dunia bisnis, yakni pemasaran. Di dunia pemasaran, si lemah akan mudah ditendang, hanya yang kuat yang bertahan. Tapi, apakah hanya angka di atas kertas yang menentukan nasib seorang pemasar di mata perusahaan? Jawabannya tidak. Perusahaan manapun benci orang tak berguna, tapi kalau bisa memilih, mereka akan mempertahankan karyawan penurut yang tidak rentan memberontak, daripada yang keras kepala.
Aku mengacak rambut memikirkannya.
Mike nggak boleh memecatku gara-gara masalah sepele ini, aku nggak bisa kembali ke rumah orang tuaku. Mamaku sudah menjual rumah lama kami dan membeli sepetak bangunan yang menurutku nggak layak disebut rumah karena dia terlalu takut pada ruangan yang tak terjangkau penglihatannya dalam sekali duduk. Rumah dan mobilku masih kredit, Mike yang meyakinkanku mengambilnya karena dia bilang semua tagihan akan terbayar dengan bonus penjualanku. Dan kalau aku ditendang dari sini, tidak bisa bayar utang ke bank, mantan-mantanku akan berpesta pora.
"Tapi gue mesti gimana? Masa gue ke sana begitu aja cuma buat bilang maaf?"
"Minta maaf tuh bukan bilang," kata Nad. Mendengus. "Maaf tuh memohon, bukan sekadar bilang. Juga bukan CUMA. Apologize itu maha penting. Dalam pekerjaan gue, berterima kasih dan memohon maaf adalah dua hal yang harus dilakukan tanpa pikir panjang dan tak boleh terlanjur terlambat. Akibatnya fatal. Kalau telat, mereka nggak akan sudi balik-balik lagi. Lo mau kerjaan lo nggak balik karena BILANG maaf lo nggak dikabulkan sama klien penting ini? Gimana dia mau ngabulin, kalau lo cuma 'bilang'. Lita! Woi!"-Nad mengibaskan handuk basahnya ke mukaku sambil tertawa mengejek-"Lo baru akan dapat maaf kalau at least lo minta, atau memohon. Ini bokap bos lo, gila lo, ya? Lo sering nonton Hell's Kitchen nggak sih kalau Ramsey kedatangan keluarganya? Nah, sekarang posisi lo tuh jadi head chef-nya Ramsey, lo orang kepercayaan Mike, Pak Edward yang udah tua tapi seksi ini ayahnya. Udah punya gambaran sekarang?"
Astaga ... Nad yang bicara nggak pake titik koma, dadaku yang kembang kempis megap-megap. Apa itu manfaat Aerobic BL Mix Zumba empat kali dalam seminggunya? Napasnya luar biasa. Tapi, serius, aku nggak kepikiran sejauh itu.
Dan mulai panik. "Oh my God ... what did I do? What should I do?"
"Oke ... gimana kalau lo bawain dia sesuatu buat matanya yang hampir lo bikin buta?" tanyanya dengan wajah datar.
Aku memijat pelipis. "Apa itu nggak berlebihan?"
"Ngebawain obat mata?"
"Iya, apa itu nggak berkesan ... menjilat, atau ... sok perhatian?"
"Lit ..."-Nad mengajakku berhadap-hadapan-"actually yang soal obat mata itu gue bercanda saking gemasnya sama kelambatan lo dalam berpikir. Tapi kalau lo masih menganggap perhatian pada kondisinya berlebihan ... oke, sekarang kita napak tilas hubungan lo dengan Pak Edward yang dalam bayangan gue sangat hot ini."
Aku mendengarkan.
"Pertama. He saved you from that stalker, bahkan sampai mengejarnya meski nggak sampai tertangkap karena mungkin napasnya udah pendek-pendek, nggak kuat lari jauh, mengingat dia sudah 52 tahun. Waktu itu sudah malam, lo panik, dan nggak sempat berterima kasih secara pantas, padahal dia lebih dari pantas mendapatkannya.
"Kedua. Lo melukai mata tuanya tanpa alasan, tapi dia nggak lapor polisi. Bahkan, ketiga, dia masih menyelamatkan posisi lo sebagai anak buah anaknya. Lo kebayang nggak sih gimana akan marah dan sekaligus malunya Mike kalau sampai dia tahu itu perbuatan lo? Ha? Lagi-lagi belum dapat kesempatan berterima kasih, lo secara ceroboh jelek-jelekin dia di depan mukanya sendiri hanya karena lo ngerasa nggak perlu kenalan sama seseorang yang udah membebaskan lo dari kejahatan begitu aja. And are you finished? No. You were not. Lo juga udah ngebecandain bininya yang udah wafat.
"Did you still think you don't need to apologize properly? Like extra apologize kalau perlu dan mengesampingkan perasaan takut dikira sok perhatian dengan ngebawain dia sesuatu buat meredakan sakit matanya? Kalau gue jadi Mike, gue mungkin akan mereview persahabatan kita lagi."
Mau tak mau, aku merenungkan kalimat Nad dan membenarkannya dalam hati. Aku ingat bagaimana Mike meremas tangan sang ayah saat beliau hampir menangis membicarakan mendiang istrinya. Hanya karena aku nggak relate sama hubungan ayah-anak mereka, aku nggak berhak melampiaskan ketidakbisaanku berempati dengan menganggapnya angin lalu.
Nad benar. Mike memang sahabatku, tapi bukan berarti aku bisa seenaknya. Dan siapa bilang hubungan persahabatan akan selalu mulus sepanjang jalan, hubungan suami istri saja bisa berantakan.
Lama banget ya update-nya? Hehe I've been busy, been unwell juga, ini aja masih agak-agak flu, ya ampun kayaknya saya nggak pernah flu separah dua minggu terakhir ini sepanjang hidup saya, LOL. Sampai suara nggak keruan, nggak bisa tidur segala macem, untung makan tetep doyan wkwk. Jadi ya gitu, saya baru siap update lagi sekarang.
Ya udah, yuk, mana nih vote dan komennya? Jangan pelit-pelit, dong, views-nya aja lumayan, masa ngintip doang, sih? Faedahnya apa coba?
1k votes gitu wkwk
Love,
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top