6. Sahabat Pena ...?
Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan
***
Will you be okay without me?
No, I'll be missing you
Ain't Missing You
-John Waite-
***
Hah?
Potongan buncis membuatku terbatuk. You, katanya? You-me-maksudnya?
Dari pantulan gravy boat stainless di atas meja, mukaku yang panas tampak jelas memerah seperti udang rebus. Mendadak, dadaku terasa sesak.
Mike jatuh cinta padaku? Sejak kapan? Aku benar-benar mematung saking kagetnya saat tatapan Mike menghunjamku tajam. Tadinya aku mau tertawa untuk menyamarkan reaksi kaget dan maluku, tapi nggak bisa. Ini nggak masuk di akalku. Kami bersahabat dekat, sangat dekat sampai kadang aku menceritakan hal yang teramat pribadi seperti perasaanku, ketakutan-ketakutanku, dan hal-hal yang membuatku cemas akan masa depan, tapi tak sekali pun aku pernah merasakan getar-getar cinta itu darinya.
Dia nggak pernah merayuku, atau melakukan hal spesial seperti-tunggu dulu-Mike selalu memperlakukanku spesial, tapi setahuku dia juga melakukan hal yang sama pada wanita lain. Saat suatu malam dia datang ke galeri karena aku lembur untuk lelang keesokan harinya, dia menyelimutiku yang ketiduran di depan komputer dan membawakanku makanan. Aku tersentuh pada perhatiannya kala itu, tapi saat hendak mengucapkan terima kasih, ternyata dia juga melakukannya pada Silvi yang kelelahan mengatur rundown acara. Silvi mengucapkan terima kasih dengan ceria di hadapan semua orang dan aku tak pernah mengungkitnya di depan Mike, memutuskan menganggapnya bukan sesuatu yang berarti.
Oke, kuakui, itu hanya satu dari sekian banyak kebaikan Mike yang hampir tak bisa kuhitung hanya dengan mengandalkan ingatan. Tetap saja ... sejak kapan? Kenapa aku tak pernah merasa? Apa dia begitu pandai menyembunyikannya? Dan kenapa dia harus mengungkapkannya di sini? Kalau benar, itu sangat tidak romantis!
Tahu-tahu, saat aku mulai terlena dan menganggap ucapannya serius, bahkan sempat terlintas bagaimana caraku menolaknya, ada suara membisik di kepalaku. Jangan terkecoh, kata suara itu. Lihat ujung bibir kirinya naik perlahan, masih suruh suara yang sama. Dia sedang membodohimu, Lita!
Aku menggeram.
Mulutku memaki saat Mike melanjutkan, "... you ... don't know," katanya.
"Maksud lo?" tanyaku masih belum paham.
Michael 'Idiot' Kilmer tertawa terbahak-bahak. "Obviously you don't know!"-ha ha ha lucu-"Gotcyaaah!"
Brengsek.
"Aku nggak mengerti," Ed kebingungan melihat putranya tertawa seperti orang gila, sementara aku kesal sampai melempar napkins ke arahnya.
Kalau nggak ada Ed, aku pasti sudah menggigit bahunya sampai memar-memar. Dia memang suka keterlaluan!
"Obviously you don't know, he was talking to me," jelasku pada Ed setelah kesalku mereda. "Not refering to me."
Aku kembali menggertak Mike karena dia belum berhenti ketawa. "For God's sake, Mike. Lo bener-bener nyaris bikin gue jantungan. Nggak lucu tahu! Ew!"
"Why 'ew'?" Ed menyerobot. "Why you said 'ew'? Apa yang salah dengan Mike?"
Sontak, kami berdua berhenti tertawa kencang dan saling ejek.
"Oh .... no offense," aku tersenyum lebar, melirik Mike yang juga mengurangi volume tawa. "Nggak ada yang salah dengan Mike. Kami cuma ... yah ... sudah terlalu dekat, kami bersahabat, dan ... we're just ... don't swing with bestfriend."
Ed bukannya paham, malah makin menyatukan alis. "I was falling in love with my best friend," katanya. "His mother was my greatest bestfriend."
Ya ... ya ... ya ... orang yang sudah tersentuh cinta memang seolah tinggal di planet yang berbeda, seakan-akan langsung beda frekuensi kalau bahasannya mengarah ke sana. Aku dan Mike saling lempar tatapan karena tahu selanjutnya kami akan berada di negeri dongeng paling membosankan, yakni kisah cinta.
"Aku dan Febby-mama Mike-bertemu di sebuah pesta kawanku di Bali tahun 1987. Tiga tahun sebelum Mike lahir, dua tahun sebelum akhirnya kami menikah. Dua tahun itu kami sama sekali tidak bertemu muka lagi, tapi terus berkorespondensi. Kami sahabat pena."
Mulutku menahan semburan tawa. Sahabat pena? Yang begituan emang beneran ada?
"Why did you laugh?" tanyanya tersinggung.
Aku mengangkat tangan dan menutup mulut, meminta maaf tanpa kata.
"Kamu nggak tahu sahabat pena, Young Lady?"
Seketika, senyum dan tawa geli yang kutahan lenyap sama sekali mendengar sebutan itu, hanya Mike yang kemudian menahan semburan tawa. Entah mengapa, aku agak tersinggung. Namun, karena saat ini aku sedang berhadapan dengan seorang pria beda generasi yang mengangungkan cinta, aku mengalah. "Maaf, saya tahu sahabat pena-sahabat surat menyurat-menulis surat di selembar kertas dengan pulpen, memasukkannya dalam amplop dan menempelkan perangko, kemudian mengirimnya lewat kantor pos."
Wajah Mike merah menggembung mendengarku menggambarkan korespondensi zaman purba.
"Benar sekali."
Aku dan Mike bertatapan. "Saya hampir mengira itu mitos," kataku. Tawa Mike meledak tak tertahankan. "Maaf," ucapku lagi, tak sampai menggelak. "I am so insensitive, I know, I am sorry. Saya hanya tidak bisa membayangkan ketika kita mengirim surat pada seseorang, menanyakan hal penting, dan baru menerima jawaban beberapa hari kemudian. How frustrating. Kenapa tidak menelepon saja?"
Mungkin aku salah lihat, tapi kalau nggak salah, Ed menggertakkan rahang. "Bukan hanya hari, bisa berminggu-minggu, bahkan bulan, sebetulnya," katanya. Sinis. "Kami juga menahan diri dari menelepon karena zaman itu menelepon ke luar negeri sangat mahal, we can not afford that. Kami tidak mengenal Line chat, atau video call yang membuat hubungan seharusnya begitu mudah pada zaman ini, tapi nyatanya anak muda sekarang bahkan kebanyakan tidak bisa mempertahankan hubungan jangka panjang."
Ludahku tertelan.
Ed tidak berhenti sampai sana. "Dulu, kami hanya menunggu dan saling percaya. Aku memercayai hatinya meski saat pertemuan pertama itu, kami bahkan masih malu-malu karena tidak saling mengenal. Yang kami pegang hanya kesetiaan dan cinta, tapi hal itu mempertemukan kami kembali setelah nyaris dua tahun terpisah, hanya bertemu lewat selembar kertas dan goresan pena, beberapa lembar foto wajah yang kami tukar, dan ciuman di atas kata perpisahan yang kami bubuhkan di akhir surat. Hanya itu dan kami menikah, berhasil menjalani dua puluh tiga tahun pernikahan yang hanya terpisahkan oleh maut. Jika istriku masih hidup, sekarang kita akan duduk berempat, dan aku tak akan melepaskan lenganku dari bahunya."
Aku sendiri nggak percaya bahkan setelah ditohok sedemikian rupa, aku masih bisa-bisanya bilang, "Kalau istri Anda masih hidup, saat ini mungkin kita bahkan nggak akan duduk di sini dan toko buku di New York itu tidak akan membutuhkan ukuran tembikar yang sesuai dengan dimensi sudut ruangan mana pun."
Aku mengekeh.
Tapi tidak ada yang mengekeh bersamaku. Mataku memejam menyadari apa yang barusan kukatakan sementara Ed meneguk habis anggur di gelasnya dan Mike mengacak saus steak dengan tatapan penuh kutukan ke arahku.
Kupikir aku harus merevisi ucapanku, bukan? "Which is lovely," kubilang, dengan napas tertahan. "I would love to see Nyonya Kilmer duduk di sini di antara kita bertiga. Makan siang ini tentunya akan lebih berwarna jika-"
"Tidak juga," Ed memotong. "Kanker SESUATU sudah membuatnya menderita beberapa tahun sebelum dia meninggal."
Sialan. Kanker sesuatu. Itu kata-kataku!
"Kanker pankreas, Pap," Mike yang tak tahu menahu meralat ucapan ayahnya, tapi Ed tak menghiraukan. Apalagi aku. Aku sudah nggak berani bergerak meski seujung jari.
"It would be painful for her to sit here if she were still alive," lanjut Ed. Jelas sekali dia sakit hati dengan ucapanku yang-kuakui-nggak sopan. "Aku memang merasa sangat terpukul saat kanker sesuatu merenggut nyawanya, tapi laun aku menyadari mungkin itu yang terbaik. Kenyataannya, aku jauh lebih menderita saat kehilangannya. Aku sempat berdoa agar Tuhan mengalihkan penyakitnya padaku saat dia masih hidup, tapi setelah aku kehilangannya ... kupikir memang lebih baik begini. Aku tidak akan tenang meninggalkannya sendiri tanpaku, membayangkan penderitaan yang kurasakan setelah dia meninggal menjadi deritanya ... aku tak sanggup."
Mike dengan gesit meraih jemari sang ayah dan menggenggamnya. They shared the same feeling I know nothing about. Aku hanya bisa termenung menyesali piring makananku yang belum tandas, tapi keinginan dan nyali untuk menghabiskannya saat meja makan sedang mengharu biru begini juga sudah lenyap.
Seumur hidup, atau paling tidak seingatku, aku tidak pernah punya ikatan kuat dengan ayahku. Melihat Mike menggenggam jemari ayahnya membuatku mual karena satu-satunya hal yang kuingat dari jemari ayahku adalah saat melayang menampar pipi sampai aku tak sadarkan diri. Atau saat tangan itu meninju perut mama. Atau memegang botol minuman keras.
Kalau Mike tidak mengenal cinta karena belum menemukan orang yang dia inginkan, atau karena standarnya tentang cinta demikian tinggi dari apa yang dilihatnya dari kedua orang tuanya yang saling mencintai, mungkin di lubuk hati aku memang tidak menginginkan cinta karena cinta tidak memberiku apa-apa selain kenangan buruk.
Edward mengedipkan mata sambil menengadah, menyeka air mata yang tidak sempat turun meski sudah berkaca-kaca. Dia lantas menghela napas dan tersenyum. Kepadaku. Katanya, "And anyway ... selain ukuran tembikar itu tidak sesuai dengan dimensi dalam pengajuanku, desain yang kalian ajukan sangat-sangat membuatku tersinggung."
Oh my God. Aku nggak siap diserang tiba-tiba sedemikian rupa. Dia melompat lebih cepat daripada Cheetah yang menemukan mangsa.
"Tersinggung?" Mike bergantian memandangiku dan ayahnya.
Dengan sorot mata tak lepas dari inti mataku, Edward Kilmer menjawab pertanyaan anaknya, tapi jelas ditujukannya pada siapa. Padaku. Tentu saja.
"It was senseless, Michael," ujarnya, tajam. "Desain yang bisa kutemukan di mana pun tanpa harus repot-repot menggunakan jasa penyediaan mahal dan menyita waktu."
Kalau ini diucapkan tanpa alasan apa-apa, aku jelas akan membela diri. Senseless is very subjective. Mengapresiasi seni bukan hanya soal rasa atau selera, tapi juga mempertimbangkan unsur lain seperti tema, gaya, teknik, komposisi-banyak hal. Kalau dia nyari tembikar buat dipasang di toko buku, dia nggak bisa memaksakan seleranya terhadap tembikar yang dilihatnya indah dan bagus di tempat lain, kan? Tapi sudahlah, aku paham mengapa dia berusaha memberi tahu bahwa kami dibayar secara profesional olehnya. Ini semua gara-gara aku sempat meragukan apa kami dibayar atau tidak oleh ayah Mike saat mengadu membabi buta di lorong tadi. Orang tua di mana-mana terlalu pakai perasaan.
Tak satupun dari kami menghabiskan hidangan setelah kalimat terakhir Ed terucap. Mike membayar pesanan dalam diam, meninggalkan tips cukup banyak karena harus mengejar sang ayah yang bersikeras nggak mau diantar pulang. Aku berjalan pelan-pelan sementara mereka berdiskusi di depan restoran. Sesudah selesai, Mike menyalip langkahku dan menyuruhku mampir ke ruangannya.
"It was unexpected!" Pria tinggi besar itu menyerangku secara lisan di ruangannya. Dia uring-uringan seperti banteng mengamuk. "And awfully unacceptable, actually! Lita ... what were you thinking? Dia bokap gue!"
"I am sorry," hanya itu yang bisa kuucap. Tulus, tanpa kebencian, aku mengutuk diriku sendiri karena kata-kata dan anggapanku yang kekanak-kanakan. Baru kali ini aku menunduk penuh sesal di hadapan Mike. Ed sudah pulang duluan setelah menyetop bus, katanya dia ingin mengenang jalanan kota Jakarta setelah beberapa tahun tak menginjaknya.
Melihatku menunduk dan meminta maaf, yang sebenarnya tidak sering kulakukan kepadanya, suara Mike melunak. "Gue memang nggak bisa semata-mata nyalahin lo, oke .. bokap gue mungkin terlalu sentimentil dan bawa perasaan, tapi setidaknya lo nggak perlu merendahkan kisah cinta mereka, dong. That's my parent, for your infomation."
"Tapi lo juga ketawa waktu gue ngebahas sahabat pena." Aku agak kurang terima saat Mike bilang aku merendahkan kisah cinta mereka. Dia tertawa lebih kencang daripada aku!
Mike tidak bisa mengelak. "That was really funny, tho," dengkusnya. "TAPI. Tapi kemudian lo keterlaluan, Lit. I mean you could've said sorry and that's it. Kenapa lo bisa nanya kenapa mereka nggak saling teleponan setelah dia pulang ke negaranya setelah pertemuan pertama itu?"
"Dia nggak ngomong mereka terpisah sejauh apa sampai harus surat menyurat," sangkalku masih tak mau kalah. "Dia hanya bilang, habis itu mereka bersahabat pena! Siapa tahu mereka hanya terpisah pulau, atau Jakarta dan di mana gitu ... Bekasi ... Medan ...."
Mike mengatupkan rahang. "You know where my Dad originally came from," dia bilang.
Aku menyerah. Sejujurnya, aku tidak berpikir sependek itu. Aku sudah tahu, tapi kupikir Ed bisa diajak bercanda sedikit.
"Dan asal lo tahu, bokap gue nggak sebego itu. Lo meremehkannya. Coba gue tanya, gimana bisa lo milih ukuran tembikar nggak sesuai sama dimensi yang dia mau?"
"Tunggu dulu, gue nggak asal ya ngasih beberapa alternatif dimensi dan desain itu, Mike. Gue memang ngasih yang tingginya di bawah requirements, tapi gue juga ngasih penyangga yang cantik dan sesuai dengan wall paper toko buku bokap lo. Mike, we're part of the artist, kita bukan sekadar makelar. Kita nggak hanya nyariin, tapi juga ngasih saran dan masukan!"
Michael mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Gue nggak mau berdebat. Pada akhirnya lo selalu benar."
"Yah ... paling enggak, dengan lo selalu dengerin, bisnis kita sampai di titik ini. Jauh lebih cepat dari harapan lo semula, Mike. Soal yang barusan itu ... dengan kerendahan hati, gue minta maaf. Gue salah. Insensitive. Gue nggak memperhatikan perasaan klien, tapi gue yakin lo paham gue nggak punya maksud jahat-"
"Bukan soal maksud, gue ngerti lah itu bercanda," gunting Mike sambil mengenakan kacamata bacanya. "Tapi minta maaf ke gue juga nggak ada faedahnya. Kita temenan udah lama, lo mau gue sampaiin maaf lo ke bokap? Gitu?"
"Tapi gue udah minta maaf di sana tadi."
"Nah. Another insensitivity," desah Mike lelah. "Lo tahu nggak, minta maaf itu nggak selesai kalau lo belum dimaafin. Kalau ada yang bilang, yang penting gue udah minta maaf, itu bukan minta maaf namanya, itu hanya salah satu bentuk keegoisan. You don't even try."
"Maksud lo gue harus minta maaf sampai dimaafin sama bokap lo?"
"Yah kalau ini terjadi sama lo, gimana?"
"That's insensitivity," aku membalas. "Lo tahu hubungan gue sama ayah nggak sama dengan hubungan lo dan bokap."
"Ya taruhlah sama ibu," Mike mendahului. "I met your mom several times, apa gue pernah menertawakan insekuritasnya yang kadang berlebihan, bahkan dilihat pakai standar lo?"
Nggak pernah.
"Even once? Pernah? Seperti lo menertawakan soal sahabat pena? Gue tahu gue juga ketawa, but I would never-ever-do something like that ke mama lo."
Aku sibuk mengalihkan tatapan ke segala penjuru.
"Ada yang mau lo sampaikan lagi?" tanya Mike. "Pembelaan diri yang lain gitu? Terus terang, ya ... gue sangat kaget waktu lo bawa-bawa almarhum nyokap dan nyambung-nyambungin ke topik ukuran tembikar-"
"Ya ampun kita mau ngebahas itu lagi?"
"Sebanyak apa pun lo mau kalau lo masih duduk di sini."
Aku memukul udara kosong di sekitarku saking jengkelnya. "Why men always do this to women? You've just cornered me without choices!"
"Apologize," tegas Mike, sama sekali tidak tergoyahkan dengan taktik menyerang balikku yang bawa-bawa topik emansipasi perempuan dan laki-laki harus selalu salah. Jelas tak mempan untuk Mike, dia terlalu memahamiku. Setelah berpura-pura membenarkan kacamata baca kemudian mengetuk beberapa berkas ke meja, Mike menggulirkan bola matanya ke arah pintu karena aku masih mematung tak percaya. Dia menyuruhku keluar.
"He stays at my house," katanya sebelum aku membuka pintu ruangannya.
Sialan. Dia serius.
Kayaknya masih ada yang belum bisa relate sama perbedaan usia yang cukup banyak ini, ya, hihi... ya nggak apa-apa, sih, ini preference aja, kok. Ada yang suka hubungan cinta dengan orang seumuran, lebih muda, atau lebih tua juga, cuma selama ini seringnya kalau ngomongin age-gap paling yah beda 10 tahunan, gitu. Nggak apa-apa, preferensi orang beda-beda, tapi perlu diingat, ya, preferensi kita nggak bisa kita pakai buat ngejudge sesuatu. Jangan lupa, lho saya bikin karakter ceweknya juga udah sangat dewasa.
BTW kalau ada yang bertanya-tanya, emang ada ya yang bisa jatuh cinta dengan perbedaan usia sebanyak itu?
Ini, nih beberapa buktinya wkwk...
Michael dan Catherine ini favorite saya, hehe, when they met and first dated, Catherine was 28 and Michael was 53. Now they were married for 18 years since 2000. At that time, Michael Douglas was still one of sexiest Hollywood actors.
Nah, kalau cast saya nggak terlalu musingin kali ini, saya nemu banyak banget Om ganteng usia 50an di Pinterest. As long as he's handsome, silver haired, Kaukasian, you can imagine Wolfgang Edward Kilmer that way. LOL.
Untuk medianya, sekali lagi, saya emang pake Jeremy Irons, tapi itu karena kebetulan cakep aja foto-foto dia sama Mila Jovovich dan beberapa female actress lain. Jeremy Irons actually udah 70an tahun, dia kelahiran 1948, tapi foto-foto yang saya kasih itu kayaknya diambil belasan tahun lalu, deh. Ples, Jeremy Irons ini punya anak yang ganteng banget, namanya Max Irons, you can google it.
Anyway, let's not think too much soal cast dan sebagainya, yang penting suka nggak sih sama ceritanya?
Kalau suka, ayo dong, divote, komen, dan referensiin ke temen-temen kamu. Komen apa aja juga boleh, yang ngintip doang, baca doang, juga boleh kok ngevote, hehe ... 550 votes deh saya update. #siapupdatecepet 😂
Love,
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top