5. Memalukan

Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan.

***

I am in love with you

You're late. I am in love with you much earlier

Edward playlist

All Out of Love

-Air Supply-

***

Pertama-tama, caranya menahan tawa melihatku malu sebenarnya sangat imut. Pipinya menggembung, sementara mulutnya dibungkam kepalan tangan yang sikunya tersangga lengan kursi. Ya, pria tampan berusia sangat matang dan berambut kelabu ternyata bisa sangat lucu dan menyebalkan pada saat bersamaan.

Lucu karena dia memang bertingkah menggemaskan, menyebalkan karena dia pura-pura belum pernah melihatku sehingga diam-diam aku terpaksa memuji aktingnya. Itu bagus, memang, dengan begitu aku nggak perlu meluruskan ucapanku kepada Mike, atau merasa bersalah karena sudah membuat ayah tercintanya celaka.

Tapi tetap saja, rasanya malu bukan kepalang!

Belum lagi, masa dia udah 52 tahun? Bunuh aja aku sekalian! Aku berani sumpah paling tua usianya baru awal empat puluhan, 52 sih seusia mamaku! Apa mungkin dia sebenarnya bukan ayah kandung Mike? Dia mengadopsinya barang kali? Nggak logis aja kalau muka seganteng itu udah 50an.

Nggak mungkin, Mike memang anak kandungnya. Jangan lanjutkan berspekulasi ke arah sana. Aku hanya benar-benar nggak habis pikir bagaimana dia menghentikan sepuluh tahun usianya dan tampil seprima itu? Menakjubkan.

Memangnya ada pria lima puluhan yang bodinya masih atletis, gurat kerutannya sangat tipis, dan ubannya tumbuh sangat dinamis seolah memang disengaja muncul di bagian-bagian yang menunjang wajah tampannya memiliki kesan berwibawa?

Akan tetapi, kemudian aku teringat sederet aktor Hollywood yang justru kelihatan makin menawan di awal 50an. Sebutlah Hugh Jackman, Patrick Dempsey, Keanu Reeves! Keanu Reeves is currently 52 years old and still one of the most charming man in Hollywood. Kenapa aku nggak kepikiran sampai sana waktu menghakimi berapa usianya? Kalau aku ingat Keanu Reeves saat itu, aku bisa saja langsung mengaitkannya dengan Pak Edward, kan? Memangnya berapa banyak bule yang lewat situ bertepatan dengan datangnya sang tamu agung yang kutahu pasti bule juga?

Dasar Lita tolol. Tolol. Bego!

It's not like I could prevent that stupid incident from happening, tapi paling tidak aku bisa menahan reaksiku. Aku sempat sangat galak di lorong itu, kan? Apa lagi ... OH .. MY .. GOD ... aku menjelek-jelekannya habis-habisan. Kupikir aku sudah tamat, tapi kemudian dia bersandiwara dan aku memutuskan mengikuti permainannya.

Sudah gitu, kenapa caranya menyembunyikan kejadian sebenarnya antara aku dan dia dari Mike bisa begitu menawan walau jauh di lubuk hati terdalam aku merasa malu dan kesal?

Dia bilang ke Mike matanya kemasukan serangga yang sangat besar dan pemarah. Besar dan pemarah. LOL. Kurang ajar, dia menyindirku. Dia tahu aku nggak akan bisa meralat.

Michael percaya begitu saja dan sedikit pun nggak mengaitkan pengakuannya dengan kisahku. Sesederhana karena sebelumnya aku menggambarkan seseorang yang kena sasaran semprotan mericaku berusia empat puluhan, bukan lima puluhan, Mike langsung menganggapnya sebagai dua cerita berbeda yang kebetulan terjadi pada saat bersamaan. Michael tertawa karena momen bersamaan itu, sedangkan aku tahu Pak Edward menertawakan hal lain yang ada hubungannya dengan memanasnya kedua pipiku sekarang ini.

Memangnya hanya aku yang menganggap pria di seberangku ini nggak mungkin lebih tua dari 40? Aku yakin semua orang yang nggak mengenalnya akan punya anggapan yang sama. Coba tanyai pelayan wanita yang tadi bersikap ramah sewajarnya terhadap Mike (yang sebenarnya juga sangat tampan) menjadi ramah menggoda saat mencatat pesanan Yang Dipertuan Edward Kilmer. Atau, tuh, dua cewek remaja yang—kalau dipikir-pikir ngapain mereka makan siang di sini, emang berapa uang saku mereka?—dari tadi kasak-kusuk sambil ngelirik ke arahnya.

Gurat usia memang tampak di sudut bibir, mata dan kerut dahinya, tapi percayalah ... sebagian besar pria setengah abad mengukir jejak usia jauh lebih banyak dan dalam di wajah mereka. Lagi pula, badan sekekar dan segagah itu, sorot mata yang memukau itu, lalu struktur rambut tebal yang meski sebagian memang sudah berubah kelabu tapi cutting-nya masih demikian up to date itu, nggak akan ada yang menduga usianya sudah setengah abad. Berani taruhan sama iblis, di Hollywood sekali pun, kasus seperti Patrick Dempsey dan Keanu Reeves tidak terjadi di lorong-lorong sempit seperti yang terjadi kepadaku, kan?

Aku nggak bisa nge-judge Mike juga, sih. Bagiku, mamaku juga sudah renta, meski banyak orang menganggapnya awet muda. Hanya aku yang melihatnya sebagai sosok yang jauh lebih matang dariku, tempatku bersandar, seorang lanjut usia, dan semacamnya. Sebagian besar yang lain menganggapnya masih segar dan seksi. Aku nggak mau menganggap mamaku masih seksi, itu agak ... apa, ya ... awkward aja.

Mungkin Mike mengalami hal yang sama denganku. Jadi ketika kubilang orang itu berusia 40an, dia nggak kepikiran bahwa ayahnya tampak sepuluh tahun lebih muda dari yang seharusnya.

Edward Kilmer memang jelas mewariskan ketampanannya pada Mike. Namun, dengan perpaduan darah melayu dari mendiang sang ibu pada diri Mike, memang agak sulit menentukan kemiripan keduanya. Untuk kasus ini, bukan salahku kalau nggak menduga sama sekali. Tapi, oh! Tidak juga! Aku ingat malam itu sempat bertanya-tanya di mana aku pernah melihat wajah yang mirip dengannya! Tolol dua kali, Lita! Dia mirip bos-mu, dungu!

Begini, sih perbedaan dan persamaan mereka berdua. Mata Mike berwarna cokelat gelap selayaknya orang Asia Tenggara, sedangkan bola mata ayahnya berwarna hazel. Merah kecokelatan. Bentuk wajah mereka juga berbeda, Mike punya dagu lancip, sedangkan ayahnya berahang kotak. Hidung mereka sama-sama mancung, tapi terlihat berbeda. Pokoknya sama-sama tampan, tapi tidak mirip. Bahasa tubuh dan senyum mereka justru yang beberapa kali membuatku memahami di mana letak hubungan genetis mereka.

Aku selalu mengakui kegantengan Mike, tapi sayang sekali, melihat ayahnya, aku juga harus mengakui bahwa lelaki tampan yang sudah berumur dan bisa mempertahankan keremajaan seperti Tuan Ed Kilmer yang nyengit banget via email-emailnya jauh lebih memesona.

Ngomong-ngomong soal email, berarti dia membalasnya saat sudah berada di Indonesia, bukan? Apa Jumat malam itu dia sudah menyadari bahwa aku adalah orang yang menangani kebutuhannya akan tembikar? Dia sudah tahu namaku, kan?

Sudahlah, aku benar-benar dipermainkan.

Mukaku langsung panas saat Ed—kupanggil saja begitu—pura-pura kaget mendengar cerita Michael tentangku yang barusan menyemprot wajah pria tak dikenal dengan pepper spray. Dia malah menyebutnya 'what an awful coincident! I was stung by a big angry bug right in my left eye!' apa nggak bingung aku mau naruh muka di mana? Segala keterpesonaanku padanya seketika pupus ketika dengan sengaja dia memintaku menceritakan kronologi kejadian tersebut.

Aku berusaha menyederhanakan kisahnya, tapi Michael justru mengimbuhi tepat seperti bagaimana aku mengisahkannya. Ya. Lengkap dengan predikat cabul yang sempat kusematkan pada awal cerita. Aku sudah meralatnya, Mike juga meragukan penilaianku tadi, tapi dia menyebutnya telak dan aku merasa semuanya sudah terlambat untuk dikoreksi.

"Why did you take that aisle anyway?" tanya Mike tanpa tendensi apa-apa sambil menyuap sepotong daging ke mulutnya sendiri. "Bukannya lewat pintu belakang lebih cepet?"

Wajahku kembali pias. Aku bisa mengalihkan pertanyaan ini tadi saat kami berduaan, tapi sekarang aku seperti terjebak. Mau ngomong apa? Pak Edward sudah tahu jawabannya. Aku jadi ingat salah satu meme yang menggunakan gambar orang sedang tersenyum mengejek dengan kalimat: when somebody telling lies and you've known it already.

Ed menatapku dengan tampang polos sambil mengunyah Filet Mignon. Dasar bule gila, geramku dalam hati. Terang dia nggak ingin melewatkan jawaban seperti apa yang akan kuberi karena dia sudah tahu kebenarannya. Mana dia senyum-senyum sembunyi-sembunyi lagi, dia benar-benar menikmatinya.

"Aku ada urusan sama resepsionis," jawabku, pura-pura sibuk memotong daging yang disajikan di atas piring keramik.

Ed mengatupkan bibir, menggeleng samar seolah bilang jawabanku kurang seru.

"Soal bunga dari pengagum rahasia itu?" terka Michael cepat. Kemudian, dia menjelaskan pada sang ayah yang tampak bingung, "Lita ini cukup populer, Pap. Dia terkenal paling cepat mengakhiri hubungan dan lebih cepat lagi memulai hubungan baru. Banyak juga yang sudah berharap, tapi ditinggalkan begitu aja."

Aku hanya bisa menghela napas sementara Ed mengusap bibir dengan napkins dan mengangguk-angguk percaya. "It's not surprising," ucapnya.

"See?" Michael mengekeh. "She has a commitment and male phobia, I guess."

"I do not!" sanggahku takjub walaupun aku tahu Mike tengah bercanda. Aku memelotot mengirim sinyal supaya dia tutup mulut, tapi cowok itu malah menyemburkan tawa. Dengan inisiatif sendiri, aku meluruskan anggapannya (yang sedetik kemudian kusesali). Ngapain juga aku serius menanggapi gurauan semacam itu? "Mana mungkin aku punya phobia macam itu? That's nonsense, Mike. You need to stop believe that, lebih-lebih menyebarkannya seolah itu benar."

Mike mengangkat kedua tangannya di udara, tertawa tanpa suara sambil main mata sama bokap bulenya.

Makin gemas lah aku. "Aku cuma lebih berhati-hati aja. Lagi pula, apa salahnya memulai hubungan tanpa prasangka, iya, kan? Kalau di tengah jalan nggak cocok, pernikahan pun bisa berakhir sesederhana tak adanya lagi kecocokan, apalagi hanya hubungan kekasih. Kupikir semua pasangan mengalami hal itu."

"Exactly," Ed menunjuk ke arahku dengan ujung garpunya. Aku merasa terhibur sampai dia menambahkan, "Tapi cinta bukan hanya soal cocok dan tidak, tidak ada pasangan yang sepenuhnya cocok satu sama lain."

Mendadak, makan siang mahalku jadi nggak terlalu menarik untuk disantap.

"Nah," kata Mike mendukung ayahnya. "Kamu harus mencintai seseorang untuk bisa berkomitmen dengan mereka. Dengan berkomitmen itu lah kamu bisa menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bukannya menjalin hubungan, mencari tahu apa kamu mencintainya atau tidak, lalu putus setelah menyadari kamu tidak cukup mencintainya untuk berkomitmen. That's misconception. Aku udah pernah bilang padanya soal itu."

"Jadi menurutmu, hubungan kekasih hanya bisa diawali dengan cinta, begitu?" tanyaku dengan nada meremehkan.

Secara mengejutkan, dua pria semeja denganku itu serempak membenarkan dengan anggukan kepala.

Aku tertawa tanpa suara. "That is unfair," cemoohku. "Menurutku, dua orang bisa bersama karena kepentingan yang berbeda, dan berpisah karena alasan yang jauh lebih kompleks daripada saat mereka memutuskan bersama."

"Contohnya?" tanya Ed.

"Banyak," pendekku. Kemudian memikirkan daftar alasan secara acak dan buru-buru. "Keinginan, kenapa tidak, kebutuhan, kesempatan ... kesepian ... kita hidup pada zaman di mana segalanya serba dituntut cepat dan tepat. Kita tidak pernah tahu kapan kesempatan akan datang lagi, tapi kita jelas tahu kapan sesuatu itu jelas tidak kita butuhkan lagi."

Mike—yang sudah cukup mengenalku—menggelengkan kepala sambil meneguk minumannya. Saat meneguk itu, aku bisa melihat jelas bola matanya memutar menganggapku konyol.

Ayahnya—yang sama sekali tidak mengenalku, menjalani monogami selama puluhan tahun, dan tidak menikah lagi setelah istrinya meninggal dunia—merasa perlu menamparku dengan teori yang dianggapnya benar, "You've never fallen in love."

Aku hampir tersedak sepotong Wagyu. "I beg you pardon?"

"Atau sudah pernah jatuh cinta, tapi kecewa berat," timpalnya tanpa perasaan.

Aku melempar tatapan pada Mike yang juga menyadari ayahnya sudah mulai sentimentil, meminta bantuan supaya ditengahi, tapi yang kudapat hanya gerakan bahu lebarnya. Apa mereka bersekongkol membangunkan naga tidur dalam diriku?

"Kalau kamu mencintai seseorang, kamu tidak akan berdoa untuk jalan mulus tanpa medan terjal atau tikungan curam, kamu akan berharap diberi kekuatan untuk menghadapi segalanya berdua. Bukan soal kesempatan, keinginan, atau kesepian, apa lagi ... 'kenapa tidak'? Apa arti frasa kenapa tidak dalam konteks ini, aku bahkan tidak mengerti. Bukan apa yang kita butuhkan, tapi soal mempertahankan segalanya sampai usaha terakhir. When you're in love and committed, in the deepest part of your soul, you will try your best, no matter how hard the challenge breaks you apart, you will find ways to get both of you back together."

Kali ini, bukan hanya aku yang mendengarkan dengan rahang jatuh sampai mulutku menganga lebar, Mike pun demikian. This is why we don't discuss relationship with older people. They'll get too serious like they've never been in their 20s. Tapi kemudian kalau dipikir-pikir, orang tua ini bertemu dengan wanita dalam hidupnya pada pertengahan 20an dan tidak pernah sekalipun menengok kanan kiri sampai maut memisahkan.

"Itu terlalu berat, Pap," Mike angkat bicara, ada tawa kering dalam suaranya. "You're scaring the hell out of her."

Ed tergeragap. "Oh ... maaf," katanya. "Aku hanya berusaha terdengar seperti pria berusia lima puluh tahun."

Tawa mereka membuatku ikut tertawa. Canggung. Terlalu canggung.

"Tapi benar," timpalku kemudian. "I've never fallen in love, setidaknya belum pernah sedalam itu. Dan ini bukan pengakuan buat sekadar menyenangkan ayah dari bosku di kantor."

Mereka berdua tertawa makin kencang.

"Mike juga belum," aku melempar umpan sebagai balas dendam. "Dia 27, sepertiku, dia juga belum pernah jatuh cinta."

Ed menatap putra tunggalnya penuh kekecewaan. "When I was 27, kamu sudah mulai berjalan dan menghitung angka satu sampai sepuluh."

Mike melirikku tajam.

Eat that, Mike. Eat that. Aku nggak suka banget dia bawa-bawa urusan pribadiku dalam perbincangan umum dengan orang asing seperti ini. Bagiku, Ed tetap orang asing, meski bagi Mike ayahnya. Aku merasa dirugikan sudah dijadikan objek bercandaan dan bulan-bulanan seolah kehidupan asmaraku pantas dihakimi.

"Siapa bilang? Aku sudah pernah jatuh cinta," kata Mike sambil mengunyah.

Jelas aku berdecih menganggapnya membual.

Dia malah menimbuhi. "Actually I AM in love now."

Keningku mengerut dalam. Kami memang terbiasa berbohong untuk menyenangkan seseorang, terutama klien, tapi untuk konteks seperti ini—terlebih di depan orang tuanya—rasanya tidak pantas dia berbohong hanya supaya terdengar lebih unggul dariku. Aku tahu dia tak pernah jatuh cinta, dia menyimpan cintanya untuk seseorang yang pantas dan belum ditemukannya. Memang waktu itu dia mengucapkannya dalam keadaan setengah mabuk pada pesta perusahaanku sebelum kami bekerja sama, tapi aku cukup tahu dia jujur. Lalu selama dua tahun bahu membahu mewujudkan impian, aku hampir nggak pernah melihatnya jalan dengan seseorang, apalagi berhubungan serius.

Sewaktu ayahnya menepuk bahu si putra tunggal dengan raut bangga, aku makin merasa dipojokkan tanpa sebab. "That's great, son," katanya. "Make a move dan kenalkan padaku. Kamu sudah nggak muda lagi."

"Dengan siapa?"Aku menyambar.

"Masa kamu nggak tahu?" tanggap Mike santai.

"Dengan siapa?" ulangku tak sabar.

Mike menatap langsung pada mataku hingga membuat jantungku berhenti berdetak menyadari adanya mara bahaya mendekat. Sewaktu dia mengucap pelan satu kata demi satu kata—"Well ... Obviously ... you ..."—potongan buncis yang kukunyah menyumpal tenggorokanku.

Yes. Edward is 52, single, and the father of 27 year old Mike.

Will he ever he fall in love with a very sharp mouthed, traumatized by an abusive father, 27 year old, his son's bestfriend Hersekti Prajwalita?

Is age really just a number?

Vote dan komen, pleaaase!

Love,

Kin

Ehm ...

Udah pada PO Dear Lovely Brother Kenan belum, nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top