4. Michael
Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan.
***
What do you love about me?
Your insecurities
***
I met Michael dua tahun lebih yang lalu.
Aku lulusan institut seni yang terdampar sebagai karyawan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran, transportasi, dan logistik internasional berpusat di Jakarta. Michael seorang pengamat, penikmat, sekaligus makelar kolektor benda seni yang sering berurusan dengan perusahaan kami.
Kami berhubungan setiap kali dia hendak mengirim atau menerima benda-benda seni ke dan dari seluruh penjuru dunia. Sewaktu dia berencana membangun galeri dan mematenkan bisnis, dia mengajakku bergabung sebagai partner. Sampai hari ini, aku juga tidak tahu mengapa dia memilihku untuk diajak bekerja sama. Tidak ada yang spesial dalam hubungan kerja kami. Aku tetap menyebalkan jika terjadi kesalahan dan dia lumayan teledor dalam melengkapi dokumen penting. In some cases, aku bahkan berpikir dia seharusnya tidak terlalu senang berurusan denganku. Kata Nad, mungkin justru aku menyebalkan dan terlalu teliti, makanya dia memilihku. Aku hanya tidak senang mengulang pekerjaan, jadi kadang cerewet.
Posisiku dalam bagan perusahaan adalah wakil direktur, tapi lingkup pekerjaanku jelas lebih luas daripada itu.
Bersamanya aku mencari, menerima dan menyeleksi proyek, mengawasi sampai segalanya sampai di tangan kolektor dan klien, serta memastikan kami dibayar sesuai perjanjian. Selain itu aku juga berperan sebagai kurator tunggal galeri kami, yang membuatku was-was setiap kali kami selesai mengadakan pameran atau lelang karena kritikus negeri ini cukup seksis terhadap kurator wanita, apalagi yang tidak mengenyam pendidikan sampai doktoral. Meskipun Mike sempat membayariku kelas singkat di Southampton sebelum kami memulai segalanya, buatku sendiri pun aku memang belum pantas mengemban posisi yang satu itu. Namun, kenyataannya bisnis berjalan lancar. Pandangan miring perlahan surut dan kami masuk dalam jajaran penggiat bisnis seni yang diperhitungkan bukan hanya di negeri ini, melainkan di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Oke, mungkin aku berlebihan, tapi jelas kami melaju jauh lebih baik dari perkiraan.
Di Indonesia, memang banyak lembaga tidak resmi yang menangani permintaan pencarian benda seni, termasuk Mike sebelum mendirikan galeri sekaligus unit usaha. Biasanya, bule-bule ini berkenalan dengan penduduk lokal, membayarnya untuk mencarikan ini dan itu sesuai keinginan mereka, dan mengirimnya dengan dokumen sederhana yang kadang rawan terhambat bea cukai. Dengan adanya galeri kami, meski jauh lebih rumit dan mahal, setidaknya mereka melalui jalur legal yang aman dan nyaman.
Dalam dua tahun, kami hanya tidak cukup tidur dalam satu tahun pertama. Memasuki tahun kedua, keuntungan perusahaan mampu mengcover penambahan beberapa karyawan untuk mengisi divisi ini dan itu, meski pada praktiknya aku masih turun tangan hampir dalam semua hal.
Mike juga.
Dan Mike itu ... oh ... dia luar biasa. Sebagai manusia, kawan, juga pemimpin. Dia hanya terlalu lembut dan kurang tegas, terutama soal kebijakan-kebijakan. Aku hampir selalu harus mengingatkannya untuk fokus tiap kali dia mulai kendur. Bisnis berputar terus dan perputarannya bukan makin pelan, lembek, tapi makin kencang dan alot.
Sebagai manusia dan sahabat, dia seperti malaikat tanpa sayap. Anak yang pernah kusebut diadopsinya itu adalah seorang anak yang kehilangan keluarga dari satu musibah kebakaran yang menewaskan begitu banyak orang selain dirinya. Sebuah keajaiban dan Mike ingin menjadi bagiannya, itu yang dikatakannya padaku. Padahal, Mike belum lagi berkeluarga.
Secara mendasar, orang itu sama saja denganku. Dia belum pernah benar-benar jatuh cinta, atau menemukan orang yang tepat. Bedanya, Mike tidak suka bermain cinta. Eh aku juga tidak, aku hanya tidak takut gagal, sedangkan Mike terlalu hati-hati.
Pintu di depan hidungku membuka sendiri.
Seorang wanita dalam seragam rapi menyambut dengan senyum lebar. "Selamat siang, sudah reservasi?"
"Michael Kilmer," sebutku.
Dia memintaku mengikutinya.
Ini sudah telat keterlaluan banget, Michael mungkin lagi cemberut sambil minum kopi hitamnya. Dia selalu memilih kopi hitam sebagai hidangan penutup. Aku harus memikirkan alasan datang terlambat yang dramatis dan agak berlebihan supaya dimaafkan. Begitu melihatku mendekat, wajahnya udah nggak enak duluan.
"What the hell Lita," serunya tertahan.
Tuh kan, langsung what the, what the persis bule gila di gang tadi. Michael diem-diem bule juga, meski setengah. Mendiang ibunya kala muda konon mirip Tara Basro, tapi aku belum pernah melihatnya langsung. Mike bahkan nggak memasang foto orang tua di rumah barunya. Dia menyimpannya di sebuah ruang khusus dan menganggapnya hal paling berharga yang akan diselamatkannya duluan jika terjadi sesuatu di rumah itu.
Halah, sentimentil banget. Ya iyalah diselametin duluan, dia 'kan maniak asuransi, apa-apa dia asuransikan.
Ayahnya, si Edward Kilmer itu, pure bule. Like 100% bule Amrik yang kesengsem sama kearifan lokal dan membuatnya sempat lebih mencintai budaya dan hidup di sini sampai kemalangan itu terjadi. Anehnya, entah kenapa dia justru buka toko buku untuk mengenang mendiang istrinya di New York. Bukan di sini. Itu kan nggak konsekuen, ya?
By the way ...
Sebelum Mike naik pitam, aku duluan marah-marah. "Lo nggak akan percaya apa yang barusan gue alami. Sial."
Dia mendengus kasar, sudah bisa mengantisipasi aku pasti punya cerita besar supaya dimaafkan. "Tell me about it."
"Gue kesel banget di jalan ke sini tadi ketemu orang cabul sialan," semburku sambil meletakkan begitu aja tas tanganku di kursi kosong sebelum duduk.
Aku tahu aku nggak boleh ngatain Om-Om di gang dengan sebutan seperti itu. Kami sudah berpisah baik-baik, dan aku seharusnya berterima kasih karena nggak jadi masuk penjara. Belum kejadian Jumat malam lalu. Rasanya aku pasti bakal mempertanggungjawabkan ucapanku ini secara moral. Tapi, itu sepadan dengan hilang-begitu-sajanya kekesalan Mike yang langsung tertarik dengan kisahku.
Oh aku belum bilang betapa protektifnya Mike, ya? Makanya aku jarang nyerita kalau ada apa-apa yang mengkhawatirkan. Biasanya aku baru cerita jika keadaan bisa kukondisikan, misalnya seperti kejadian barusan. Yang tidak kuceritakan, misalnya seperti kejadian Jumat malam.
"Dia ngikutin gue gitu, tapi ya dia nggak ngaku, sih. Namanya aja maling, mana ada sih yang ngaku, ya nggak?"—Ya Tuhan, ampuni hamba—"Masa gue mesti percaya sih dia bilang dia ngambil jalan sepi yang nggak biasa dilewatin orang kalau bukan ngikutin gue?"
"Kapan? Barusan ini?" tanya Mike belum sepenuhnya yakin.
"Iya, jalan ke sini tadi ini, lho. Gue semprot mukanya pakai pepper spray dan itu jadi heboh banget karena dia playing victim gitu. Mana orangnya udah tua lagi, kan gue nggak mungkin kabur!" Aku meraih kasar buku menu di dekat Mike. "Gue bener-bener jadi bad mood, hampir aja gue mangkir kemari saking betenya."
"Terus lo nggak kenapa-kenapa? Dianya gimana? Kena ke muka?
"Ya kena lah. Siapa suruh coba dia bikin gue takut? Lo tahu kan habis kasus Tigor dulu gue jadi parnoan?"
"Hah? Masa, sih? Enggak, ah, perasaan lo biasa aja habis kasus Tigor," bantah Mike. "Terus gimana kelanjutannya? Dia sebenarnya memang ngikutin, atau lo aja yang menduga kayak gitu?"
"Ya itu tadi dia bilang nggak ngikutin gue laaah. Terus ya untung kita debat seru dan akhirnya dia nggak memperpanjang masalah. Males kali dia urusan sama polisi."
"Kenapa emang?"
"Dia bule gitu kayaknya."
"Bule?"
"Iya, bule," kataku tanpa dosa. "Mungkin gara-gara itu dia nggak nuntut apa gimana udah gue bikin nyaris buta matanya. Lo makan apaan? Kok lo belum makan?"
Michael hanya menggeleng dan masih lebih tertarik dengan ceritaku, "Kejadiannya di mana? Gimana? Yang rinci ceritanya. Ini nggak bisa dianggap enteng karena kejadiannya dekat banget sama kantor kita, Lita."
"Oke .. oke ... ini salah paham, gue salah duga. Gue pikir hanya gue yang jalan lewat jalan itu, makanya gue langsung menduga yang bukan-bukan—"
"Wait," Michael menahan. "Lewat jalan itu mana?"
"Kejadiannya tuh ... di lorong sebelah kantor kita itu. Jalan sempit yang dulu kita tengok waktu mau masang AC. Inget?"
Aku langsung tahu aku udah salah ngomong saat kening Michael berkerut, "Ngapain lo lewat situ? Bukannya makin jauh ke sini?"
Nah ... kaaan? Aku keceplosan. Mana mungkin aku bilang ambil jalan itu supaya telat nyampe sini? Pertanyaan itu juga bikin aku inget kemana the grumpy old dad itu berada sekarang. Percuma kalau aku udah repot-repot telat ternyata dia lebih telat. Oh ... apa dia udah pulang duluan karena kelamaan? Bagus, deh. Berarti aku berhasil.
Untuk menanggapi pertanyaan Mike, aku memutuskan nggak menanggapi sama sekali. Pura-pura nggak dengar dan malah fokus pada hamparan gambar hidangan lezat di buku menu. Makan apa, ya? Aku jadi lapar. Energiku beneran terkuras di sana. Manalah meski teduh, udaranya panas karena lorongnya sangat sempit.
Untungnya Mike nggak mendesak jawabanku. Dia bilang, "Tapi lo juga ngawur, masa seenaknya aja semprot orang hanya karena dia ngambil jalan yang sama? Kalau dia perpanjang masalah, lo yang bakal susah. Lagian sejak kapan lo berpikir buat mempersenjatai diri gitu? And NO, lo nggak parno gimana-gimana habis kasus sama Tigor. Begitu dia berhenti setelah lo ngancam bakal memperkarakannya ke polisi, lo nyantai-nyantai aja. Lo bilang palingan Tigor beraninya begitu, ngirim gambar kelamin lewat inbox, nggak berani ngapa-ngapain."
"Ya ... gue bisa aja berubah pikiran, kan?" kataku. "Kalau Jumat malem gue nggak sampai diikutin, gue juga nggak akan separno ini. Gue sempat trauma dan Nad nyaranin supaya gue bawa"—for fuck's sake my mouth, padahal aku sama sekali nggak nyebut-nyebut kejadian itu ke Mike sebelumnya—terlanjur, "pepper spray."
"DIIKUTIN?"
Ini alasanku nggak memberitahu Mike jika keadaan belum bisa kukondisikan. Sekali lagi, dia protektif. Dia mengkhawatirkanku secara berlebihan, dia mengkhawatirkan semuaaa orang secara berlebihan, tapi terutama orang-orang terdekatnya. Setiap kali aku putus hubungan, dia akan mencemaskan keselamatanku karena aku selalu meninggalkan pria-pria itu secara sepihak. Dia pikir, suatu hari mungkin saja aku akan kena karma. Misalnya akhirnya aku mencintai seseorang, tapi keadaan nggak memungkinkan untuk kami bersama meski aku mau, atau sesuatu semacam itu.
Pffft ... aku nggak terlalu percaya sama hal-hal begituan.
Oke here we go. Michael Kilmer, ladies and gentlemen. "Ya ampun, Lit. You know, gue tahu cepat atau lambat kecuekan berlebihan lo dalam memutuskan hubungan itu akan berbuntut mengerikan. Laki-laki itu seperti singa di padang pasir, kalau lo usik, lama-lama mereka bisa ngamuk! Kalau terjadi apa-apa, penyesalan lo nggak akan ada gunanya, tau nggak?!"
"Nggak terjadi apa-apa," kubilang. "Relaks ... malah yang gue butuhkan sekarang ini bersikap lebih tenang dan perhitungan. Lo lihat kalau gue panik, kan? Ya seperti barusan ini contohnya, bisa aja Om-om barusan itu beneran nggak bermaksud buruk, iya, kan?"
"Tapi barusan lo bilang dia cabul? Sekarang lo bilang dia mungkin nggak bermaksud buruk, gimana sih lo? Oh iya ...,"—Mike teringat sesuatu—"Ada bunga buat lo lagi tadi pagi. Jangan-jangan pengirimnya orang yang sama dengan yang lo semprot barusan? Kalau nggak salah kata Nina bunga-bunga itu nggak pernah ada namanya, kan?"
"Oh bukan, bukan. Gue sih YAQIN bukan itu."
"How could you be so sure? Bisa aja kan dia pura-pura nggak berniat ngapa-ngapain karena posisinya nggak menguntungkan?"
"Enggaaak. Bukan. Ini tuh udah tua kok orangnya, nggak mungkin banget lah mau secret admirer segala macem nggak penting! Cowok seumuran itu pasti udah settle, punya istri cantik di rumahnya," aku mengibas, tanpa menambahkan keterangan bahwa ini orang yang sama yang menyelamatkanku saat diikutin. Bisa panjang omelan Mike nanti. Aku harus mengalihkan perhatiannya. "Gue boleh pesen wagyu yang ini ya, Mike? Lagi weekdays discount, kok, boleh, ya?"
"Udah tua?" Mike sama sekali nggak menggubris permintaanku. "Setua apa?"
"Hmmm ... mungkin sekitar empat puluhan," jawabku sambil melambai memanggil pelayan. "Gue nggak sempet mastiin, lebih tepatnya nggak mau. Ini aja gue berdoa semoga dia nggak memperpanjang masalah. Kalau dia berobatnya ke US, bisa tekor bandar gue. Eh ... BTW mana bokap lo? Udah balik?"
Alhamdulillaaah kalau udah.
"Balik gimana? Malah justru belum ke sini lagi. Papa barusan udah duduk, udah hampir mesen, terus baru inget ada yang ketinggalan gitu di ruangan gue. Lari dia, nggak mau gue suruh orang aja nganter kemari. Gue juga heran kok bokap lama banget"—Michael menyingkap lengan, mengintip arlojinya—"takutnya kalau gue telepon, doi panik lagi. Tapi kalau dibiarin entar ...."
"Nyasar kali?" sambarku asal, buru-buru menyebut pesanan ke pelayan sebelum Mike berubah pikiran.
"Nggak lah, ngeremehin bokap gue lo," kekeh Mike. "Doi mah masih bagus banget ingatannya, masih gagah, strong, bukan tipe yang bakal kesasar kalau dilepas di jalan. Cuman yang barusan ketinggalan kayaknya something yang dia ambil dari rumah lama dan mau dia tunjukin ke gue. Barang lamanya almarhum, kalau nggak ketemu, dia pasti freak out gitu."
"Bokap lo ada sweet-sweetnya gitu ya?" aku menyengir. "Sayang demi mewujudkan sweetness-nya, suka bikin orang kena pahitnya!"
Michael tertawa kecil. Lalu, "Oh itu dia papa," katanya seraya melambai. "Lho? Kenapa tuh muka bokap gue?"
Karena posisi dudukku membelakangi pintu masuk restoran, mendengar kecemasan di nada bicara Mike—bahkan sampai beranjak dari duduk untuk menyambut sang ayah—membuatku ikut-ikutan memutar pinggang sampai mata kepalaku bisa menyaksikan apa yang terjadi pada muka seorang pria berusia 40an yang begitu kukenal karena sudah kujumpai dua kali dalam kurun waktu tak lama.
Kenapa Mike menyebut pria itu 'bokap gue?
Bukannya Pak Edward berusia 52?
Dan kepalaku pun mendadak pening.
Yaaas!
Finally we meet the man who will be the centre of the story
Siapa yang nebaknya bener?
Jadi ceritanya baru mau mulai, nih, kayaknya masuknya ke genre romantic comedy campur-campur chiclit gitu lah, ya. Kalau ada yang bilang ew kok cowoknya udah tua, sih, bokap sahabatnya lagi ... ya udah ... stop aja bacanya. Berarti nggak suka age gap love story yang gap-nya banyak. Sebab kalau diterusin percuma, mau protes juga nggak bisa, kenapa? Karena toh semua pemeran di cerita ini udah dewasa, kok, they are all free to decide who to love.
You too, you're free to decide who to love, asal jangan ngambil punya orang lho, ya!
LOL
Ayo, banyakin votes dan komennya dong, nanti saya update cepet, yah? 500 votes gitu, hihihi...
Love,
Kin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top