2. Pepper Spray

Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan.

***

What do you remember about her?

Everything.

***

From: Ed.Kilmer

To: Her.Lita

Subject: 180103 Art Decor status: Failed

Dear Ms. Lita,

It was under expectation. Notes as attached.

Arrrghhh!!!

Tidurku terusik gara-gara suara email masuk. Dengan mata menutup sebelah, email singkat itu kubaca cepat tanpa membuka lampiran.

Under expectation, katanya? Status failed? Nggak ada regards atau ucapan terima kasih untuk email pekerjaan? Di mana kesopanannya? Apa lagi sih yang dia mau sebenarnya? Aku udah ganti list sebanyak tujuh kali, tapi nggak ada yang as expectation buat dia. Kalau bukan bapaknya Michael, aku udah abort mission gara-gara ngabis-ngabisin waktu, tenaga, dan biaya buat ngumpulin informasi ke sana kemari. Dia itu cuma nyari benda seni buat toko buku padahal, udah kayak mau bangun museum aja! Ah ... masa bodoh.

Aku mau tidur lagi.

Baru mau balik menyelimuti diri, teleponku kembali berbunyi. Kali ini panggilan masuk dari Mike. Ya ampun ... aku tahu ini sudah pukul sembilan pagi, tapi selama aku nggak ada janji pertemuan atau hal penting lainnya, harusnya aku bebas muncul di kantor siang-siangan. Pasti orang tua menyebalkan itu blind carbon copy ke anaknya, deh, dasar tukang mengadu.

"My dad hates it," buka Michael tanpa mengucap salam. Sama aja kayak bapaknya. "Dia bilang ini lebih buruk dari sebelumnya, Lit."

Edward Kilmer, ayah bos-ku yang tinggal di Stapleton, somewhere in New York bla bla bla, sedang membangun toko buku untuk menghormati mendiang istrinya yang meninggal karena kanker pankreas. Dia meminta bantuan galeri kami menemukan benda-benda seni unik untuk mendekor sudut etnis tokonya. Masalahnya, apapun yang kutawarkan tidak cukup baik buatnya. Menurut Michael, ayahnya perfeksionis.

Menurutku, dia cuma terlalu melankolis dan cerewet.

"Gue nggak paham selera bokap lo, ah, nggak jelas deskripsinya," keluhku. "Ini tuh udah list ke-tujuh, Mike. Give me a break! Lagian itu siapa sih yang balesin email? Nggak ada sopan-sopannya. Kalau dia bayar, gue bakal cariin ke Bangkok atau ke mana aja. Gue yang jalan kalau perlu."

Kantukku hilang sudah. Kusibak selimut jauh-jauh dan beranjak dari tempat tidur.

"Oh come on, have some respects," kata Michael letih. "This is for my late mother."

Paling sebal kalau urusan kerjaan dicampuradukkan dengan urusan pribadi, tapi mau gimana lagi? Bukannya aku nggak menghormati mendiang mamanya, tapi kan bisa bapaknya bikin toko buku di sini aja, ngurusinnya lebih gampang. Istrinya juga orang Indonesia, what's the point bikin toko buku di sana? Katanya, dia ingin menghabiskan masa tua di dekat keluarga.

Kalau aku ngomong hal nggak sensitif begini ke Mike, dia bisa tersinggung. Ibunya sudah meninggal sekitar lima tahun lalu. Butuh waktu lama buat Mike dan keluarganya membawa kembali sang ayah pada realita kehidupan. Aku belum pernah bertemu beliau, jadi nggak terlalu paham situasinya. Saat kami mulai bekerja sama, Pak Eddie ini sudah nggak di Indonesia lagi.

"Jam berapa lo ngantor hari ini?" Mike nanya lagi. Dia memang bos-ku di struktur organisasi badan usaha, tapi karena kami merintis galeri seni ini bersama dan mengawali hubungan sebagai teman, tidak membuat kami harus bersopan santun satu sama lain.

"Why?" tanyaku sambil menguap lebar.

Libur panjang justru membuatku lelah karena kebanyakan tidur. Sejak peristiwa Jumat malam lalu, aku tidak berani kemana-mana. Aku bahkan melewatkan tahun baru tidur-tiduran di kasur bersama Nad, membahas siapa kiranya orang yang berani kurang ajar padaku. Kami juga membicarakan siapa pria berumur yang bikin aku agak susah tidur membayangkan senyumnya, tapi karena Nad bilang dia terlalu tua, aku nggak membicarakannya lebih lanjut.

Paling enggak, usianya sekitar 40-an. Menurutku itu tidak tua sama sekali, tapi matang. Hanya saja, Nad bilang dia mungkin sudah punya istri dan kupikir masuk akal. Makanya sewaktu aku melapor pada keamanan terkait, aku sama sekali nggak nyebut-nyebut soal pemilik rumah kosong yang menyelamatkanku. Nggak jadi ingin tahu lebih banyak tentangnya, meski sangat tertarik. Aku cuma bilang supaya lampu jalan dan halaman rumah itu diganti untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan terjadi.

"Emang libur lo belum cukup?" Mike menyerang. "Sekali-sekali lah datang pagi, ngasih contoh ke yang lain."

"Lo yang harusnya ngasih contoh supaya yang lain nggak kepagian, Mike, nggak produktif," bantahku, menyerang balik. "Lo ngapain coba jam delapan udah di kantor? Rekan seniman kita juga baru mulai kerja malam hari. Lo cuman menuh-menuhin traffic Jakarta dengan desak-desakan sama pegawai kantor lain yang urusannya lebih urgen. Pegawai kita mulai beneran kerja kalau rekanan udah buka studio, kecuali jaga galeri, ya, atau kalau seniman udah bangun tidur, akibatnya kita bayar lembur karena mereka stay sampai setelah jam lima. We should revise the working hours."

Kudengar Mike mendengus. Dia memang terlalu lembut untuk jadi pemimpin dan aku bukan bawahan yang suka menahan kritik. Maksudku, salah siapa dia selalu datang pagi? Nggak ada orang ngurus galeri seni pagi-pagi buta, tiap hari, kayak dia. Pameran lebih sering dimulai petang sampai pukul sebelas malam, kalaupun ada, paling pagi buka saat jam coffee break pertama atau setelah makan siang, tapi nggak tiap hari orang ngadain exhibition, kan? Paling resepsionis, pegawai display dan toko suvenir yang harus memulai hari lebih dulu.

"Just come before lunch time, okay?" pintanya.

Aku mengecek cepat agendaku. Nggak ada meeting hari ini, pergantian tahun baru saja dimulai! Semua orang masih jetlag sama jadwal liburan mereka. "Mike, ini hari pertama kerja di tahun 2018, gue mau datang jam dua. Mau ke bank dulu ngurus ATM."

"Gue tunggu jam setengah dua belas, Lit. It's an order, and good morning," tukasnya tegas sebelum menutup telepon.

Terserah lah, aku juga udah nggak ngantuk lagi.

Sambil menunggu suhu tubuhku menghangat sebelum mandi, aku membuka laptop dan membuat sarapan. Iseng-iseng, kutilik catatan pada lampiran email Edd.Kilmer. Tembikar Koh Kret. Yang ini cukup menarik, tapi ukurannya tidak cukup besar untuk mengisi sudut yang saya butuhkan. Apa anda tidak membaca dimensi yang saya sertakan? And could you please find more details for the design? Those are too common. PS. Carikan informasi mengenai Nielloware.

Lidahku berdecih.

Apa yang dia tahu soal desain tembikar? Dan apa pedulinya pengunjung toko bukunya soal dimensi sudut ruangan dan ukuran tembikar? Bukannya mereka datang buat beli buku? Aku nggak akan peduli sama ukuran dan desain tembikar kalau mau beli buku. Apalagi jika aku sama sekali tidak bekerja di galeri seni, mungkin aku akan mengira itu vas bunga raksasa yang nggak penting. Mereka hanya butuh diskon yang lebih gede. Apa lagi?

Gini nih kalau buka usaha buat alasan sentimentil, dan aku sebal sama segala hal yang sentimentil.

Baiklah. Sambil menahan dongkol di dada, kubalas emailnya.

Dear Mr. Kilmer,

Noted. Mungkin kalau sebelumnya requirements yang dikirim menyebutkan tentang desain spesifik, kami bisa follow up tanpa bolak-balik mengirim katalog. For the sake of efficiency, Sir, and for your concern, we do not hire a psychic. But I fully understand that client has full rights to revise and we will re-submit immediately.

Tanpa salam, signature atau ucapan terima kasih. BCC. Mic.Kilmer. Mike mungkin akan jengkel, tapi biarin ah, aku aja nggak yakin kami terima komisi. Siapa tahu ini cuman proyek kekeluargaan semata.

Oke. Saatnya bersiap. Terima kasih ke Nad, dia meminjamku cukup uang sampai aku punya waktu ngurus ATM. Harusnya aku memang punya rekening cadangan, tapi aku nggak terlalu suka membagi-bagi jumlah simpanan. Di dompet pun sama. Aku selalu menjadikan satu semua uangku dalam satu dompet. Setiap kembalian, tiap kepingnya, kusimpan dalam wadah yang sama. Aku hampir tak pernah menyimpan uang di kantung celana, atau menyelipkannya sembarangan di tas. Oleh karena itu, jika dompetku tertinggal, atau hilang, maka aku kehilangan semuanya. Segala tips tentang menyimpan uang di beberapa tempat terpisah untuk menghindari kemungkinan kehilangan sekaligus, kuabaikan.

Hari ini, terpaksa, aku mengeluarkan mobil untuk menghemat ongkos perjalanan. Aku benci naik mobil, aku nggak bisa parkir dengan lurus, aku nggak bisa parkir sama sekali. Kalau space-nya sempit, aku akan mulai panik. Mobil ini kubeli karena komisi yang diterima galeri dua tahun belakangan cukup banyak dan kupikir aku harus membeli sesuatu, daripada menghabiskan, atau menimbunnya di bank. Mobil sederhana, mungil, dan irit bahan bakar. Bekas, lalu kulisingkan. Punya mobil memang mentereng, tapi sungguh merepotkan.

Aku merindukan hari-hari kursus mendalami seni rupa-ku di luar negeri, tapi Mike tak pernah mengizinkanku pergi lagi karena dia tak bisa mengurus segalanya seorang diri.

"Pagi, Lit, lo dapat bunga," sambut Nina, resepsionis. "Lagi."

"Oh please," cicitku, menghampiri Nina dan membubuhkan tanda tangan di buku tanda terimanya. "Kenapa cowok-cowok selalu mikir cewek suka bunga?"

"Lo nggak suka?" Nina melirik dengan cara aneh.

"Gue lebih suka sesuatu yang bisa dihabisin," candaku, menarik kartu ucapan yang masih dalam keadaan tertutup rapat. "Mau?"

Nina tersenyum manis. "Paling enggak dia udah membantu perusahaan menghemat uang dekorasi," kekehnya. "Lain kali, suruh dia ngirim bunga yang lebih tahan lama. Michael pasti suka."

Aku menjulurkan lidah pada si seksi Nina dan berlalu. Kalau saja aku tahu siapa yang ngasih, aku akan suruh dia berhenti mengirim barang nggak penting kayak gitu.

Aku nggak tahu bunga itu dari siapa, serius.

Selalu tertera pengagum rahasia di bawah deretan puisi murahan yang nggak pernah bisa kuselesaikan setelah paragraf kedua. Kuputuskan mengabaikannya karena selain Tigor, aku nggak punya masalah sama siapapun. Lagi pula, itu cuma bunga, nggak ada yang salah sama ngirimin seseorang bunga, kan? Aku juga nggak membuang bunga itu, atau kartu ucapannya. Lihat. Aku mengumpulkannya di laci meja kerjaku. Sebagian sempat kubaca, sebagian kubiarkan utuh. Seperti yang satu ini.

Ruang kerjaku terletak tepat di samping ruang Michael sebagai direktur, tadinya aku mau mampir sebelum ke ruanganku sendiri, tapi urung. Dia sedang ada tamu sepertinya. Toh, sebentar lagi dia akan nemuin aku kalau butuh. Aku cukup yakin dia cuma lagi senewen aja karena aku susah diajak datang pagi. Lagi pula kesannya nggak profesional datang kerja nggak masuk ruangan sendiri, padahal punya.

Usai menghidupkan komputer dan mengecek beberapa email masuk dari kolega, aku meninggalkan sebagian dalam keadaan terbaca karena ada hal mendesak lain yang harus kulakukan. Mengucapkan selamat ulang tahun pada mama. Dia kecewa karena aku nggak bisa pulang malam tahun baru, habis gimana, ATM-ku nggak bisa ngurus dirinya sendiri.

Mamaku bilang it's fine, I could make it up this weekend.

Mamaku sangat pengertian, dia hanya curiga kalau aku punya pacar baru nggak bilang-bilang. Jika ada mama di dunia ini yang cemas justru saat anak gadisnya berhubungan serius dengan pria, orang itu pasti mamaku. Dia nggak bilang lebih baik aku sendiri, tentu saja enggak. Nggak secara gamblang, tapi kusimpulkan begitu.

Sejak bercerai, dia jadi parno terutama ke hal-hal yang related sama masa lalunya; pria, lampu mati, bau alkohol, keamanan sekitar, dan banyak hal lain yang nggak bisa kusebut satu-satu. Dia nggak pernah tidur sampai pagi, selalu terjaga dua tiga kali dalam semalam. Kami nggak pernah punya rumah dan jendela dengan satu slot kunci. Selalu lebih dari dua. Begitu aku pindah ke kota, mama pindah ke rumah yang jauh lebih kecil di mana tiap sudutnya bisa dilihat dari satu titik, bahkan memasang teralis di semua pintu dan jendela.

Dia selalu mengawali penilaian terhadap seseorang dengan rasa curiga, terutama lawan jenis. Nggak peduli cowok itu kelihatannya baik atau memang baik, dia pasti skeptis duluan. Dia bilang, ayahku dulu juga sangat baik, luar dalam, mereka memulai hubungan dengan persahabatan yang manis. Dia pria tanpa cela, tapi saat hidupnya jungkir balik karena karirnya hancur, dia berubah jadi iblis dalam waktu singkat. Mulai mabuk-mabukan, jarang pulang, mendobrak pintu karena nggak mau repot-repot bawa kunci saat keluar rumah (yang bikin mama pasang banyak slot kunci di pintunya), memecahkan jendela, dan mulai memukul.

Mom always said, once a boy laid hands on you violently, that's the only reason for you to leave him. Penyesalan terbesarnya adalah karena dia pikir ayahku bisa berubah, mama terus memberinya kesempatan, sampai kemudian dia nggak hanya memukul mama, tapi juga aku. Aku masih kecil saat itu, yang kuingat jelas justru tangisan mama dan bagaimana dia menyimpanku di kloset yang gelap semalaman supaya terhindar dari amukan suaminya. The thing is, she tend to assume semua pria sama saja.

Aku sendiri nggak punya ketakutan semacamnya, aku percaya karakteristik seseorang berbeda-beda dan nggak bisa dipukul rata. Kami memang sama hati-hatinya setelah peristiwa itu, namun sebaliknya, aku justru lebih senang mencoba dan gagal untuk menghindari masa depan hancur berantakan, daripada tidak sama sekali. Bagaimanapun, we are human being, kita mungkin butuh teman suatu hari nanti.

Orang lain berpikir aku suka bersenang-senang makanya aku mengakhiri hubungan dengan mudah, itu nggak benar. Bersenang-senang sama sekali bukan alasanku memutuskan hubungan yang mulai mengarah serius. Tapi, aku nggak terlalu suka meluruskan anggapan orang. It's such a waste of time.

Kupikir, aku selalu memutuskan hubungan baik-baik. Masalah itu keputusan sepihak atau tidak, yang namanya hubungan tidak akan jalan hanya dengan kemauan salah satu orang saja, bukan? Namun, setelah dikuntit Jumat malam lalu, Nad merasa perlu mempersenjataiku.

Dengan pepper spray.

Buatan sendiri.

Dia bilang kalau aku masih akan mutus cowok-cowok yang kutanggapi tapi kulepas setelah ternyata mereka nggak cukup memenuhi standarku yang nggak jelas, sebaiknya aku mulai jaga-jaga. Muathai, atau kick boxing mungkin bagus.

Pintuku diketuk tiga kali. "Lit, lo ditunggu Michael di Burkett&Randle," kata asisten Michael.

"Oh dia nggak ada di ruangannya?" tanyaku. "Kirain tadi ada tamu."

"Memang ada," Kanaya berbisik. "By the way, gue baca balasan email lo tadi pagi. Gue pikir lo tahu bokapnya lagi di sini."

Oh my God!

Aku langsung kebayang email balasanku tadi pagi. Mengirim email dengan nada sengit ke klien mungkin hal biasa, seseorang bisa kesal meski posisinya bawahan, tapi ceritanya akan lain kalau pada hari yang sama bakal bertatap muka. I mean ... dia udah tua, mungkin seusia mamaku. Orang tua selalu cerewet, aku tahu. Kenapa aku nggak bisa memakluminya, ya Tuhan, dan kenapa Mike nggak bilang ayahnya mau datang? Atau dia bilang tapi aku nggak dengar?

"Apa dia marah?" aku meringis.

Kanaya angkat bahu. "Well ..."—lalu mengubah-ubah mimik wajah, kebingungan memilih padanan kata yang tepat—"yang jelas dia sempat bilang aura kantor kita nggak mencerminkan kantor yang bergerak di dunia kreatif setelah Mike nyebutin bahwa lo yang ngedesain, he said something like ... dull and boring."

"Dull and boring?" mulutku menganga.

Aku nggak yakin dia paham desain interior kantor yang SENGAJA dibikin minimalis supaya pekerjanya punya ruang lebih buat berpikir jernih. Buat orang yang request desain tembikar yang lebih rumit buat toko buku, emang dia pengin kantor galeri seperti apa? Penuh desain ukir-ukiran atau patung anak kencing di tengah ruangan?

Dia nggak hanya sudah tua, tapi tua dan menyebalkan. Mungkin sudah sepantasnya dia nggak kumaklumi.

"Lit, jangan telat, ya?" Kanaya mengimbuhi sebelum pergi. "Mike yang bilang gitu tadi."

Oh aku akan memastikan diriku terlambat, mungkin baru datang saat mereka sudah selesai makan siang supaya nggak harus terlalu lama berbasa-basi. Dia nggak akan di sini dalam waktu yang sangat lama, kan? Mungkin dia sedang berlibur tahun baru untuk ketemu cucunya? Michael punya anak angkat berumur empat tahun yang punya andil besar dalam membangkitkan semangat hidup pak tua itu setelah istrinya meninggal. Atau mungkin Mike hanya sedang ingin nunjukin usahanya yang maju pesat kepada sang ayah?

Kalau boleh terus terang, aku agak alergi (dalam tanda kutip) dengan hubungan ayah anak yang harmonis. Aku tidak ingat pernah merasakan punya ayah yang baik dan memberiku dukungan. Mike tahu itu, makanya dia nggak banyak cerita soal keluarganya. Kami memang baru dua tahun kenal sejak merintis bisnis bersama, tapi kami cukup dekat untuk saling tahu kepribadian masing-masing karena chemistry itu diperlukan untuk bermitra.

Bagaimanapun, aku harus menghadapinya dengan profesional. Aku sudah terlanjur mengirim email tersebut, mau gimana lagi?

Kukemasi barang-barangku tanpa terburu-buru. Burkett and Randle ada di balik galeri dan hanya perlu menempuh beberapa menit jalan kaki. Malah, kalau aku lewat pintu belakang, literally cuma ngelewatin lahan parkir. Tapi aku akan nyari rute terpanjang supaya sampai sana lebih lambat. Aku akan turun ke lobi, keluar lewat pintu utama, ngobrol sebentar dengan Nina—kalau dia nggak lagi sibuk dandan setelah coffee break—lalu jalan memutar lewat lorong sempit antara gedung ini dan gedung sebelah. Lagi pula di situ teduh, terhindar dari sinar matahari siang Jakarta yang menusuk. Aku berjalan santai, haha-hihi sebentar, mengabaikan peringatan beberapa orang supaya nggak lewat jalan itu karena banyak tikus, bahkan kadang dipakai tidur pengemis, atau gelandangan.

Lorong ini jauh berbeda dari terakhir kali kami memasang pendingin ruangan dua tahun lalu. Aku memang nggak pernah lagi menjamah celah kecil ini sejak kami membayar karyawan untuk merawat gedung, tapi tak menyangka kondisinya seperti ini.

Gedung tinggi yang mengapit dari dua sisi membuat lorong ini teduh dan agak lembab. Aspalnya dipenuhi serakan sampah dan agak licin berlumut. Box-box ditumpuk dengan jarak beberapa meter hingga tak memungkinkan melewatinya tanpa halangan. Besok aku akan bilang supaya bagian kebersihan lebih memperhatikan juga sulur-sulur kabel dari instalasi yang tak terpakai, bisa jadi berbahaya. Mungkin memastikan ada sedikit cahaya masuk, siapa tahu seseorang menggunakan lorong ini sebagai alternatif, atau tempat berteduh kala hujan. Aku nggak keberatan jika ada gelandangan bernaung jika bagian ini dirapikan, daripada harus terlanjur melangkah masuk dan seolah terlempar ke Knocturn Alley. Aku tidak akan kaget bila seseorang berpikir mereka bisa berbuat jahat di sini. Dinding tebal dan suara berisik lalu lintas kota akan meredam suara teriakan minta tolong sekencang apapun.

Baru beberapa langkah memasuki lorong sempit yang bakal membantuku mengulur waktu, aku terpaksa menggagapi blazer dan bersyukur pepper spray Nad kubawa.

Sama seperti Jumat malam lalu, seseorang jelas-jelas mengikutiku diam-diam.

Tadinya kupikir, memangnya ada yang berani berbuat jahat tengah hari bolong, di tengah hiruk pikuk kota, pada jam makan siang pula? Jauh di ujung sana saja aku bisa melihat orang ramai lalu lalang. Walau tak seorangpun sudi menengok kemari, tapi kemungkinan satu dari ratusan pekerja--yang keluar makan siang di sekitar sini lewat jalan alternatif yang sama—memergoki tetap ada.

Apa orang jahat akan mengambil risiko sebesar itu?—Aduh. Aku hampir saja tergelincir—bukan nggak masuk akal, sih, mereka berbuat nekat. Namanya juga penjahat.

Oke. Cukup. Aku nggak mau dihantui perasaan bersalah, apalagi ketakutan diteror semacam ini. Aku akan balik menyerang!

Dengan tekad tersebut, aku berhenti melangkah secara tiba-tiba.

Langkah di balik badanku pun.

Hidungku mendengus kasar, kupupuk keyakinan diri sambil menanti apa yang akan diperbuatnya. Pepper spray kugenggam erat di saku blazer. Aku berdiri mematung dengan mata pejam, mengatur napas dan memfokuskan pendengaran pada langkah yang sempat terhenti namun kini terdengar diseret pelan. Mendekat. Aku memantapkan letak jempol tanganku di puncak botol pepper spray yang masih tersembunyi.

Siap menembaknya di saat yang tepat.

Kuhitung dalam hati sesuai derap samar langkah lambatnya. Satu. Dua. Tiga. Mati kau dasar stalker sialan. Emmmpat—SPRAY!!!

Sambil menjerit, aku berbalik mengacungkan pepper spray ke arahnya dan menembak bertubi-tubi tanpa pikir panjang. Mati kau! Buta! Buta! But—tunggu dulu.

Tembakanku berhenti saat aku menyadari pria yang kuserang itu menjerit sama lantangnya denganku, dan bukannya lari, atau menyerang.

Ya Tuhan ... kusaksikan korban tembakanku terhuyung tak berdaya menabrak dinding. Seketika, tubuhku menggigil melihat sebagian rambutnya yang kelabu. Apalagi sewaktu dia berteriak dengan logat Amerika betulan, bukan logat amerika-amerikaan.

"WHAT THE FUCK?!"


Halo,

Ada yang nungguin cerita ini, nggak? Do you like it? Do you anticipate it? Are you excited about this? Hehe ... I am so nervous everytime I post a new story.

Anyway ... votesnya masih dikit banget, ya? Apa kecepetan update-nya? Diupdate lagi kalau semua bab udah 400 votes gitu? Hihi ... tapi masih baru, sih, yaaa.

Ya udah deh.

Ditunggu vote dan komennya, yaaa.

Enjoy!

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top