17. Silent War
Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan
How Should I seal your mouth?
With a kiss
***
Beberapa kali aku melirik, dia sedikitpun tidak mengalihkan tatapannya dari jendela.
Aku pun, nggak punya nyali mengawali pembicaraan karena takut diabaikan. Kami jadi seperti sepasang kekasih yang sedang berselisih, Ed hanya mau bicara pada sopir taksi dalam bahasa Thai. Aku tak mengerti. Kepalaku masih menyisakan pusing semalam, ditambah tak sempat makan cukup karena tak berselera, dicuekin pula. Otakku sepertinya kekurangan oksigen, aku jadi terkantuk-kantuk.
Bangun-bangun, sopir yang membawa kami membangunkanku dalam bahasa Thai sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar.
Kusatukan telapak tanganku sambil mengucap terima kasih. Di luar, Edward menanti di depan Wat Sanam Neua sambil melihat-lihat pedagang menjajakan aneka buah segar yang dipotong-potong dan didisplay di atas tumpukan es batu. Dia membeli seplastik mangga dan mulai memakannya dengan lahap. Saat aku mendekat, dia menjauh dan masuk ke terminal feri yang akan membawa kami menyeberang ke Koh Khret.
Dia bahkan hanya membayar tiket untuk dirinya sendiri!
Aku kesusahan mencari kepingan baht, tapi dia menoleh pun tidak. Di fery, kami duduk berjauh-jauhan. Dia mengenakan kacamata hitamnya dan mulai membuka ponsel untuk mengisi waktu. Bagus sekali. Dia benar-benar marah. Padahal, kami bisa saja jalan-jalan dan bersenang-senang.
Begitu dia bilang aku yang mudah tersinggung?
Mana tuh melepaskan endorfin yang digembar-gemborkannya?
Begitu kapal mendekati Koh Kret, perasaan seperti ini selalu muncul. Rasanya, seperti berada di dunia yang sama sekali lain dari keramaian Bangkok. Waktu terasa berjalan lebih lambat, angin bertiup sepoi-sepoi, matahari bersinar lebih ramah. Mike suka jadwal mengunjungi KohKret. Selain tentu saja menemui beberapa pengrajin tembikar, dia paling suka jajan dan menghabiskan waktu di tepi sungai. Kami tak pernah pulang dengan tangan kosong, terutama saat akhir pekan di mana weekend market digelar. Pada hari kerja seperti ini, keadaan pulau tampak lengang. Penjual makanan dan suvenir tidak sebanyak saat akhir pekan.
Biasanya, aku dan Mike menyewa sepeda untuk berkeliling. Dalam sekali kunjungan ke Bangkok, kami bisa dua sampai tiga kali ke sini. Tanpa dijemput, tanpa guide, kami tidak akan tersasar. Pulau ini kecil, hanya ada satu jalan utama yang hanya bisa dilalui pejalan kaki, pengendara motor, dan sepeda. Tak ada mobil. Semua titik mudah ditemukan di map yang dipasang di setiap sudut pulau. Namun, sepertinya Edward sudah menghubungi beberapa penyambut yang tak kukenal. Apa dia tidak akan memilih tembikar dari seniman yang bekerja sama dengan kami?
Bodo amat lah, aku malas bertanya. Kuikuti saja maunya.
"Sawadee Khaaab!" serunya aneh. Lebih aneh lagi setelah sepanjang jalan bermuram durja, senyum lebar dan tawa ceria seolah muncul begitu saja di wajahnya.
Dua orang yang menyambut kami itu rupanya kawan Ed. Seorang bule yang lebih muda darinya, dan seorang penduduk setempat yang fasih berbahasa Inggris dengan logat Thai yang tak bisa dihilangkan. Edward mengenalkanku sambil lalu.
"Wow ... seleramu tidak berubah," bisik kawan bulenya yang bernama Marc dalam bahasa inggris.
"Selera apa? Jangan sembarangan. Dia kawan Mike, usianya separuh usiaku!" Edward pura-pura menyikut perut Marc.
"Tapi, Ed, tidak kelihatan, kok!" sambar Kiet—si penduduk setempat—tersenyum-senyum padaku.
Tidak kelihatan maksudnya aku yang kelihatan tua, atau Ed yang kelihatan muda, kok nggak kelihatan? Aku buang muka. Kalau kami nggak lagi marahan, aku pasti tersipu-sipu. Aku nggak nyangka orang tua juga bisa merajuk.
"So, Lita," Marc menoleh padaku di tengah perjalanan. Kami melewati beberapa persewaan sepeda, jadi sepertinya kami akan jalan kaki. Tak masalah sih, mengelilingi Kohkret paling-paling hanya beberapa kilometer, dan mengingat hubungan kami sedang retak, sepertinya kami benar-benar hanya akan langsung ke desa pembuatan tembikar. Oh aku lupa. Tadi Marc sedang bicara. "Bagaimana kabar Michael?"
"Eum ... baik," jawabku pendek.
"Bisnis berjalan lancar?" tanyanya.
Yah ... aku mengangguk, tak ingin banyak bicara.
Marc sepertinya malas juga lanjut ngobrol denganku karena aku tak terdengar ramah. Dia beralih ke Ed. "Sekitar satu tahunan lalu, Mike sempat menelepon menanyai pengrajin tembikar padaku, tapi sepertinya dia tidak mengambil saranku menghubungi"—aku nggak bisa mengeja nama yang disebutkannya—"dengar-dengar, dia ambil tembikar dari pengrajin lain."
Aku nggak melihat ekspresi Edward, tapi dari balik punggungnya, aku bisa melihat kedikan bahunya. "Pantas. Aku benar-benar nggak cocok sama desain tembikar yang diajukannya."
What?
Dasar laki-laki tua nggak konsisten. Kemarin dia bilang masalah selera, sekarang saat lagi ngambek, mulai nyulut-nyulut masalah.
"Yah ... yang dia ambil pengrajin modern yang kebanyakan coraknya disukai orang-orang Eropa dan Amerika," Marc memelankan suara, tapi aku berjalan cukup dekat sehingga bisa mendengar. "Maksudku ... ngapain dia ambil tembikar Kohkret kalau nggak mau ambil desain khas Thailand, kan?"
Edward mengangguk-angguk.
Huh, culas!
"Oh ... kita akan langsung aja, tidak mampir-mampir dulu?" Kiet menyela saat kami melewati pedagang Foi Thong. "Nong ini sudah makan siang?"
Aku lega ditanyain, aku suka sekali Foi Thong, makanan penutup khas Thailand yang terinspirasi resep Portugis dan dibuat dari kuning telur. Warnanya keemasan, rasanya manis, dan menghangatkan perasaan. Setiap gigitannya akan membuatmu menutup mata saking enak—
"Aku sudah," Ed yang menjawab.
—nya. Kenapa dia yang jawab? Yang ditanya 'kan aku. Nong itu sebutan untuk orang yang lebih muda, kan? Kiet ini mungkin seumuran, atau beberapa tahun lebih tua saja dariku.
"Lita sudah?" Marc menoleh lagi.
Aku ingat kata-katanya saat menghilang di connecting door tadi, aku lebih baik makan sendiri daripada ditemani seseorang yang marah seperti babi. Dengan senyum kecut, aku mengangguk.
"Oh gadis-gadis nggak suka ngemil, ya?" Marc mengekeh. "Di Thailand, kamu harus lupakan kalori dan dietmu, Lita, sebab rugi. Thai—terutama KohKret—adalah surganya makanan penutup dan gula-gula."
"Benar itu!" timpal Kiet. "Tidak apa-apa, Nong, kalau mau membeli sesuatu dulu."
Secara mengejutkan, Edward ikut menanyaiku, "Kamu mau shopping dulu?"
Kata shopping yang dia gunakan benar-benar memicu kejengkelanku. Terdengar apa ya ... tidak profesional digunakan saat sedang melakukan perjalanan bisnis. Tadinya, aku berpikir untuk bersikap baik dan meminta maaf, tapi sepertinya Edward menikmati permusuhan kami. Aku mencebikkan bibir, menggeleng, dan sengaja membuang tatapanku ke arah lain.
"Okay, kalau begitu nanti saja. Ayo," ajaknya seraya menyentuh bahu Marc. "Lebih baik selesaikan urusan pekerjaan dulu sebelum bersenang-senang."
"Ayolah, Ed, kamu nggak perlu sekeras itu padanya," kekeh Marc.
Kiet berbisik padaku penuh perhatian, "Nanti kita belanja, jangan khawatir."
Mungkin dikiranya aku karyawan Edward yang diperlakukan tidak manusiawi. Untuk menghargai sikapnya yang manis, aku mengulum senyum dan mengangguk. Kami kembali ke perjalanan dan obrolan yang hanya melibatkan mereka bertiga. Sesekali karena Kiet kelepasan, mereka menggunakan bahasa Thai yang dicampur-campur dengan bahasa Inggris. Aku lebih banyak diam kecuali ditanya, menyusuri jalan-jalan yang kami lewati sambil sesekali memandangi jejeran sovenir yang dijual di toko-toko kerajinan, menahan air liur setiap ada pedagang Foi Thong, atau gula-gula. Apa salahnya sih berhenti sebentar, membeli jus mangga dan menyesapnya sambil mengobrol?
Dalam kondisi normal, aku yakin Edward sama excited-nya dengan Mike melihat sate cumi-cumi atau potongan buah warna-warni di dalam gelas plastik transparan.
Aku lapar.
Sesampainya di rumah pengrajin, aku yakin orang tua ini memang tak berniat pakai pengrajin kami. Karena desa itu kecil dan semua orangnya saling kenal, aku sampai harus menyembunyikan wajahku, kalau-kalau bertemu beberapa seniman yang sedang menggarap tembikar di sekitar sini. Sebenarnya sih tak apa-apa, yang terpenting adalah memenuhi seleranya. Memang, sih dia memilih desain tradisional Thailand.
"Toko buku ini," katanya pada Marc, kucuri dengar, "akan menampilkan napak tilas perjalananku dengan Febbi. Jadi kami akan punya spot-spot kerajinan dan benda seni khas dari negara-negara yang pernah kami singgahi."
"Kenapa harus toko buku? Di era digital begini, membuka toko buku sudah agak ... lewat masanya, bukan?"
"Aku tahu ..., ini lebih untuk memuaskan sesuatu yang belum tuntas di masa lampau. Mungkin akan lebih seperti kafe baca juga, aku dan Mike sudah membicarakan kemungkinan itu. Tapi, pelan-pelan sajalah ... aku tidak ingin buru-buru."
Perlahan, aku menjauh. Berpura-pura menyusuri berjajar-jajar tembikar setengah jadi yang ditata dengan hati-hati di dekat tungku. Kemudian, saat mereka berdua melihat ke arah lain, aku sepenuhnya keluar dari studio.
Bagaimana kami berdua akan melewati satu minggu di Bangkok nanti dengan perselisihan ini, ya? Apa dia akan memaafkanku kalaupun aku meminta? Atau apakah kami akan tahu-tahu saling bicara lagi, melupakan ucapanku begitu saja, dan bersikap seperti dua orang dewasa yang tak bisa menghindari percakapan karena urusan pekerjaan?
Mungkin sebaiknya begitu. Jurang perbedaan usia kami terlalu jauh, aku tak pernah tahu bagaimana berurusan dengan orang tua secara baik dan benar. Aku hanya akan melukainya lagi dan lagi karena apa yang kuanggap urusan kecil sering melukai sisi sensitifnya sebagai pria berumur.
Kalau saja aku tumbuh dengan seorang ayah, mungkin aku lebih bisa tahu hal-hal seperti apa yang sebaiknya kutahan, dan apa yang boleh kulepas di depan pria seusianya. Atau bisa jadi ... tak ada yang boleh kulepas sama sekali. Semuanya aja ditahan, tetap sopan, bersikap ramah, dan menjadi seperti yang ia inginkan sebab selain adalah ayah Mike, dia juga klien-ku. Siapa yang suruh aku bertingkah seperti diriku sendiri saat berduaan dengannya di Bangkok? Dan apa yang dia bilang soal lebih mengenalku itu hanya omong kosong, yang lebih tepatnya, dia hanya ingin memastikan apakah aku sesuai dengan standar moral, sosial, dan spiritualnya, seolah dia tak pernah muda.
Pergi ke Bangkok dengannya adalah keputusan Mike yang paling buruk dalam sejarah. Dan sebaiknya kuingat, apapun yang berkaitan dengan atasanmu tak akan memperbolehkanmu jujur, apalagi menjadi diri sendiri.
Sial. Kepalaku mulai pening karena lapar.
Satu peluh dingin jatuh dari kening saat ponselku berdering. Panggilan Line dari mama.
"Baby, kamu jadi visit akhir minggu ini buat ganti kemarin?" tanya wanita kesayanganku (selain Nad, baiklah) begitu mengucapkan salam.
"Enggak, mam, aku lagi di Bangkok."
"Pantesan nomormu nggak aktif," gumamnya putus-putus karena sinyal nggak begitu baik. "Sama siapa?"
"Sama klien."
"Bener?" selidiknya. "Bukan sama pacar, kan?"
Keningku otomatis berkerut. "Bukaaan. Mama kenapa nelepon segala?"
"Memangnya nggak boleh? Kamu udah lama lho nggak pulang ..., biasanya kalau mama mulai ngerasa kamu kok nggak pulang-pulang, sih, biasanya bentar lagi kamu ada masalah, terus pulang."
"Ih mama nyumpahin?"
Mama tertawa. "Mama kangen, tahu? Sama ... apa, ya? Kayak ada firasat aja gitu gara-gara habis tahun baru kemarin nggak sengaja ketemu sama Samudra."
"Samudra? Om Sam saudaranya papa?"
Mama menggumam. "Iya. Dia di Kanada sekarang, dan dia tahu lho kamu punya galeri sama Mike."
"Iya, Lita tahu, kok. Pas reuni angkatan jurusan seni rupa kemarin, Om Sam datang. Dia kan pernah ngajar sebentar di Institutku sebelum ke Kanada, Mam."
"Iya. Katanya kalau kamu pengin, kamu bisa buka galerimu sendiri."
Aku ketawa meremehkan. "Duit siapa buka galeri sendiri? Mau dibilangnya buka bareng Mike juga, aku cuman babu, Mam."
"Ya duit bos-nya Samudra lah!" kata mama enteng.
"Emangnya kalaupun aku mau, mama nggak masalah berhubungan lagi sama keluarga papa?"
"Asal bukan papa, mama nggak masalah. Kamu inget, kan, pas masa-masa sulit dulu ... malah Sam yang banyak bantu kita."
"Oh ... iya, ya. Well menggoda, sih kalau Om Sam-nya serius. Siapa tahu basa-basi doang karena udah lama nggak ketemu mama. Lagian aku kan punya kerjaan juga di sini sama Mike."
"Yah ... kan siapa tahu.... Ya udah, deh, mama tutup, yah? Kalau ada waktu, pulang. Lihat taman bunga mama udah cantik banget sekarang. Oke? Jangan pulang kalau ada masalah aja, sih, emang nggak kangen apa?"
"Ya, kangeeen ... tapi aku lagi sibuk, Mam."
"Iya, deh, iyaaa ... ya udah mama tunggu, ya, di rumah?"
"Oke."
Waktu kuakhiri panggilannya, hampir aja aku melonjak kaget karena Edward sudah berdiri tak jauh dari tempatku menerima telepon.
Tatapannya dingin. "Itu Mike?" tanyanya.
"Bukan," jawabku.
"Oh ... kupikir kamu mau bilang ke Mike kalau aku nggak ambil dari seniman yang kamu ajukan. Aku sudah bilang desainnya tidak sesuai dengan konsepku, jadi kupikir sebaiknya kamu melihatnya sendiri. Mike juga sudah tahu."
"Jadi hanya aku yang tidak tahu," aku menggerutu.
Edward menggerakkan bahu. "Aku sudah selesai," imbuhnya. "Kita bisa pindah ke tempat lain sebelum nyari nielloware besok."
"Oke."
Caranya menarik-embuskan napas agak mengganggu. Aku merasa dia terpaksa bicara padaku.
"It's not just 'Oke'."—nah kan?—"bukannya kamu harus mengurus pengiriman dengan pengelola studio karena Mike nggak mau kita bawa-bawa barang lewat imigrasi?"
Oh ya ampun. Aku benar-benar harus mengumpulkan kembali fokusku yang berceceran supaya bisa berpikir lurus.
"I am sorry, akan kutangani segera."
"You'd better," katanya. "Mereka sudah menunggu."
Aku tidak ingin membicarakan dingin sikapnya, perhatianku tersita pada kerongkonganku yang mendadak kering—sepertinya—efek alkohol semalam, juga keringat dingin yang mulai mengucur memprotes lambung kosongku.
Edward menahan lenganku saat aku hampir melintasinya. Matanya memincing meneliti wajahku. "Kamu pucat," katanya.
Kutepis cengkeramannya sambil berdecih. "Kupikir kamu nggak bicara lagi denganku."
Ed tersenyum sengit. "Aku bukan anak kecil yang marah-marah hanya karena kelihatan buruk di mata orang lain. Aku nggak keberatan kita saling diam kalau kamu lebih sigap bekerja. Begitu aku selesai, seharusnya kamu mengurus sisanya."
"Kalau begitu, lepasin, biar segera kuurus!"
Namun, Ed bersikeras. Cengkeramannya malah mengencang. "Kamu nggak dengar aku bilang apa barusan, hm? Kamu pucat!"
"I am okay. Cuma lelah sedikit, mungkin pengaruh alkohol semalam."
"Apa yang kamu makan siang tadi?"
Aku tak menjawab soalnya aku nyaris nggak menyentuh apapun.
Tak mau menunggu, Ed menempelkan punggung tangannya di atas dahiku. "Geez, Lita. Badanmu kelewat dingin. Kamu bukan hanya lelah sedikit, kamu sakit! Jangan bilang kamu nggak makan apa-apa sebelum kemari?"
Aku cemberut. Memangnya salah siapa semua itu, coba?
"Ya Tuhan, harus kuapain lagi sifat keras kepalamu ini?!" geramnya.
Sewaktu dia menyeretku ke sebuah rumah makan tak jauh dari studio dan memelotot saat kuprotes, aku malah merasa senang.
Duh ... aku benar-benar udah nggak waras.
INGAT
Selain urusan asmara Lita, kita masih punya beberapa urusan lain yang dipending gara-gara kehadiran Edward. Jangan lupa untuk tidak mengabaikan detail yang ada di cerita ini, ya, jadi nantinya nggak berasa ujug-ujug kok ada begini, begitu, karena dari awal ada fakta-fakta yang udah dicecerin dikit-dikit. Terus terang, waktu nulis ini, saya sampai bikin list permasalahan yang ada dan harus diselesaikan supaya saling berhubungan tanpa kebetulan-kebetulan yang berlebihan. So, jangan teralihkan sama Ed aja, woi, mentang-mentang ganteeeng.
TRIVIA QUESTION
Coba, ada yang bisa nyebutin nggak bibit-bibit masalah di cerita ini apa aja?
Hampir tiap tokohnya ada peran dalam cerita ini, dan karena ini cerita cukup panjang, memang konfliknya bakal akan banyak. Next part, we'll step on another stage of this story.
Nah, akhir-akhir ini udah bisa mencapai 1k votes, jadi part ini saya juga maunya 1k votes minimal, deh, baru update. Terus part-part yang belum 1k, ditengok lah dan diklik vote yang belum klik. Katanya sayang Ed /uhuk
Udah, yaaa
Terakhir, saya mau iklan hihi udah pada PO Yudha beluuum?
Katanya kemarin nunggu-nunggu :3
Cek info lengkapnya di cerita Enjoy The Little Things yaah
Semoga puas, deh, mana lah doi tebel dan ada beberapa part yang nggak pernah dimuar di Wattpad.
Ditunggu, ya!
Love,
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top