13. Mike Acts Weird

Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan
I am Scared
Me Too

Sejak kami berkumpul, aku sibuk menghindari Mike, Mike sibuk berusaha menautkan tatapannya denganku. Sewaktu akhirnya Satya berpindah ke gendongan sang kakek, akhirnya dia memanfaatkan kesempatan mendekatiku.

"Masih marah?" bisiknya.

Aku diam.

"Gue nggak bilang gitu, Lit. Berani samber geledek. Papa cuma iseng, soalnya lo uring-uringan terus."

Aku masih diam.

Kami menanti mobil kantor yang akan membawaku dan Edward ke bandara, sekaligus menunggu Nad yang akan kuserahi kunci mobil. Tadinya, mau kutinggalin di rumah, tapi Nad bilang dia mau memakainya. Aku tahu dia hanya mau curi-curi kesempatan bertemu Edward, syukur-syukur membujuk Mike menjadi member kartu sakti hotelnya.

Semalam, setelah Ed pulang, aku ribut besar sama Mike soal perkataan ayahnya. Aku tersinggung berat kalau benar dia punya anggapan seperti itu. Memang, aku paling nggak suka proyek dadakan, segede apapun duitnya. Akan tetapi, aku juga paham nggak bisa memaksakan kehendak. Jadi selama ini itu yang dipikirkannya kalau aku rewel soal pekerjaan?

"Lita ...."

"Stop!" hardikku. "Nggak usah rewel. Udah tahu ada bokap lo, please bersikap biasa aja. Gue males ya kalau dia sampai tahu kita berantem, terus entar dijadiin bahan buat dia nyindir-nyindir gue."

"Nyindir-nyindir lo?" ulang Mike. "Emang bokap gue suka nyindir-nyindir lo?"

Ups.

Aku lupa Mike sama sekali nggak tahu kejadian Jumat malam dan insiden lorong itu. Soal kanker sesuatu, juga tentang mengapa dia bawa-bawa bayaran profesional, dan sindiran-sindiran lain yang dipikirnya terucap dari mulut Ed tanpa alasan.

"Bokap gue nggak pernah nyindir siapapun," katanya. "Kalau dia nggak suka, dia pasti langsung ngomong depan muka orang itu."

"Ya makanya, gue nggak mau bokap lo yang protektif itu sebal ama gue karena gue diemin lo," aku berkelit.

"Lita, dia nggak akan sudi bepergian sama seseorang yang berpotensi akan bikin dia sebal. Trust me. He likes you," Mike mengembuskan napas berat. "Itu yang gue khawatirkan sebenarnya."

"Maksudnya?"

"Semalam dia nanya, kenapa kita nggak pacaran aja?"

Aku tertawa getir. "Lo bilang apa?"

"Gue nggak bilang apa-apa," jawabnya lesu, lalu menyandarkan punggung di sofa. Tiba-tiba, aku bergidik karena rambut di punggungku disentuhnya. "Gue juga nggak tahu kenapa ...," gumamnya, yang bikin aku menoleh seketika.

Ekspresi bertanya-tanya Mike menyongsong tatapan heranku tentang pernyataannya. Aku baru akan bilang; bukankah jelas kenapa? Bukankah kami sudah sepakat (walau tanpa kata) bahwa kami nggak pacaran karena nggak punya rasa apa-apa, persis seperti yang kami tertawakan di meja makan Burkett and Randle tempo siang?

Namun, pintu lobi keburu terbuka dan suara sapa Nad yang kelewat ceria mengurai kait tatapanku dengan Mike.

Aku menyambut Nad dengan kabut menyelimuti benak.

Kenapa Mike bikin ekspresi seperti itu, sih?

Ini pasti gara-gara Edward mencekokinya doktrin tentang pernikahan secara terus menerus jadinya Mike mulai mikir macam-macam. Pasti nanti ujung-ujungnya dia punya ide gila, misalnya pura-pura pacaran denganku supaya ayahnya tenang dan segera pulang ke habitatnya. Masalahnya, kalau aku punya perasaan khusus pada sang ayah, aku jelas nggak mau diajak pura-pura gitu. Bukan berarti aku punya rencana PDKT sama Ed (sampai detik ini aku lebih berharap segera menemukan satu hal yang membuat rasa sukaku lenyap seperti terhadap Tigor), tapi aku menolak memainkan hatiku, atau hati siapapun.

Ed sudah tua, masa kami tega menipunya dengan harapan palsu?

"So where is he?" Nad langsung mengedarkan matanya ke segala penjuru sambil menerima kunci mobilku. "Oh my Goood!"

Tanpa bantuanku, Nad memekik begitu menemukan sosok Edward. Maksudku, siapa yang kesulitan menemukan pria berambut perak, seksi, dan tampan di sebuah lobi galeri yang hiruk pikuk penuh kuli angkut dan seniman patung berpenampilan seperti orang bangun tidur?

"Litaaa ... dia bukan Dr. Mcdreamy, are you crazy?" serunya dengan suara tertahan. Curi-curi pandang pada Ed yang menyadari kehadirannya karena kelewat heboh. "Dia Chris Hemsworth lima belas tahun dari sekarang! Mungkin sedikiiit di bawah level Thor, dan agak lebih manusiawi. He's totally your type dalam bentuk dewasa."

Aku mengernyit. "Maksud lo tua?" selorohku.

Tiba-tiba, seolah ada lampu menyala di sisi kepalanya, Nad mencengkeram bahuku dan memaksaku menatapnya. "Oh my God ... you're going to fall in love with him," katanya.

"Gue barusan bilang dia tua, Nad!" Siapa tahu dia salah dengar.

"Exactly. Lo selalu memuji cowok-cowok yang nggak lama kemudian bakal lo benci, Lit. Ini kebalikannya. Belum-belum, lo udah bersikeras meyakinkan diri bahwa lo nggak akan suka sama dia. Kedengarannya lo berusaha keras, tapi di dalam hati ... jangan-jangan lo nggak sadar lo udah suka sama diaaa ... dia! Bapaknya Mike!"

"Nad, baru kemarin lo bilang dia akan berakhir kayak gimana gue benci Tigor. Lo bikin gue gugup!"

Tapi, cewek itu nggak dengerin ucapanku sama sekali. Dia malah asyik menggumam menanti Ed menghampiri kami. "Well ... kalau ada yang nyalahin lo jatuh cinta sama bokap sahabat lo, suruh mereka salahin senyum sejuta dolarnya itu. Gue juga akan jatuh cinta kalau jadi lo, Lit. Istrinya sudah meninggal, kan?"

Aku baru mau mengumpat, tapi Ed keburu menyapa hangat dengan Satya bertengger di lengannya. Pria dan balita ... nggak ada yang lebih manis dari perpaduan itu, kan? Aku aja langsung meleleh seperti es krim yang jatuh di atas aspal. Siang hari. Musim panas. Dan lagi panas-panasnya ....

Pokoknya berantakan.

"Halooo ..., Edward Kilmer," dia menawarkan jabat tangan dan Nad langsung menyebut namanya. "Ini si ... girlfriend itu, ya?"

Saat aku gelagapan, Nad menjawab dengan ceria. "Yes, she did talk about me?"

"Yup, terutama karena aku yakin tulip itu nggak mungkin idenya." Edd ketawa. "Dipinjam dulu ya 'pacar'-nya, Nad?"

"Oh silakan ... dia memang butuh liburan."

Sialan. Kupikir paling enggak Nad akan menyangkal meski dengan kelakar, apa cuma aku yang keberatan sama sebutan 'girlfriend' hanya karena dia tinggal di US? Dia 'kan sempat meledek ke arah sana.

"Udah siap? Nunggu Nad saja, kan?" Ed bertanya manis padaku, terlalu manis, sampai-sampai Nad memainkan matanya saat Ed tak melihat. Memang dia tidak pernah kasar, tapi aku juga merasa dia sama saja seperti Mike. Agak narsis. Sepertinya dia tahu gadis-gadis muda selalu mengidolai tampangnya.

Kok aku jadi nggak nyaman ya ngelihat dia kelewat ramah ke Nad? Bukan cemburu, tapi apa ya ... aku nggak bisa selepas itu bersenda gurau dengan Ed, persis seperti anak remaja yang diam-diam naksir temannya dan jadi salah tingkah sendiri tanpa sebab. Bahkan ketika mereka melibatkan Satya dalam obrolan mereka, aku hanya bisa sesekali menarik bibirku karena merasa nggak bisa membaur. Untungnya Mike bergabung memberi tahu agar kami segera menuju bandara.

"Kamu nggak nganter, Mike?" tanya Ed duluan masuk mobil.

"Nggak, Pap, aku ngurus yang di sini," jawabnya, mengambil alih Satya dan menahan lenganku secara bersamaan. "Aku pinjam Lita sebentar, ya? Tunggu sebentar."

"Oh please ...," Ed tersenyum. "She's all yours."

Jelas dong aku putar bola mata, apa coba maksudnya she's all yours? Nad langsung senyum-senyum memperhatikan. Aku menurut saja saat Mike menyeretku kembali ke lobi. Dia melepas Satya dari gendongan dan menyudutkanku di dinding.

"Don't make him like you, Lit," bisiknya. "Kalau lo nggak mau repot di kemudian hari. Gue punya firasat dia merencanakan sesuatu untuk mengenal lo lebih jauh. Kalau cuma ke Koh Kret sama Phuket, dia bisa sendiri."

"Sorry, ide siapa ya bocorin omongan orang sampai dia kepikiran ngerjain gue sampai Koh Kret segala? Lo tahu kita banyak kerjaan awal tahun!" aku nggak mau disalahin.

"Lo masih marah sama gue?" terkanya. "Serius, gue nggak ngomong kayak gitu. Lo tahu gue nggak bisa apa-apa tanpa lo, mana mungkin gue nganggep lo hambatan."

Aku memalingkan muka dan terkejut setengah mati sewaktu Mike menyentuh daguku, agak berkesan seperti merampasnya, supaya wajah kami bertemu. "Gue paling nggak suka kalau pisah dalam keadaan ada ganjalan begini."

"Apaan sih lo, Mike?" aku mengibas jarinya di daguku risih, rupanya Mike juga tak sepenuhnya sadar apa yang sudah dilakukannya.

Dia terhenyak.

"Sorry," katanya. "Ini gara-gara papa, he keeps saying weird stuff. Gue cuma nggak mau lo berpikiran macam-macam. Oke, gue salah, tapi pas ngomong soal ucapan lo ke dia itu gue beneran nggak ada maksud apa-apa."

"Lalu soal idealisme gue menghambat lo itu, apa yang sebenarnya lo ucapkan sampai bokap lo punya pikiran kayak gitu? And what kind of weird stuff?"

"Nevermind," kelit Mike. "Soal idealisme lo itu, gue memang berdiskusi dulu sama dia soal pemakaian galeri buat kepentingan komunitas lain. Gue bilang, lo nggak akan suka. Lo lebih suka mengurus exhibition dari perencanaan sampai semuanya beres supaya bisa mempertanggungjawabkannya kalau ada apa-apa. Dan nggak ada yang salah dengan itu."

"Terus kebetulan lo ngomong soal ejekan gue ke dia dan tadaaa ... pas banget momennya buat nyingkirin gue dari proyek yang memang sejatinya nggak akan gue setujui kalau lo diskusinya sama gue, kan?" aku menuduh.

Mike menjatuhkan kepalanya tepat di depan wajahku. Aku bisa melihat puncak rambut tebalnya yang menguarkan aroma sampo.

"Lit ...," cicitnya.

"Apa?"

"Don't hate me," pintanya memelas.

"Kalau gue hate lo kan gampang urusannya. Bokap lo juga akan benci sama gue dan dia nggak akan ngasih lo ide gila macarin gue, kan?"

"Iya, tapi gue nggak mau beneran dibenci sama lo."

"Kenapa? Masih nggak bisa ngurus semuanya sendiri?"

"Lit, lo kok gitu, sih?"

"Lagian ngapain sih lo bolak-balik mewanti-wanti gue supaya nggak bikin bokap lo suka ama gue, segitu bencinya dijodohin sama gue, iya?"

"Bukan gitu, bukannya gue benci. Gue—"

Aku nggak membiarkannya menyelesaikan kalimat. "Tenang aja, Mike, gue juga nggak akan mau. Mau dia suka sama gue juga, kalau gue nggak mau sama lo, dia bisa apa?"

Mike hanya bisa memejamkan mata dan membuang napas lewat mulut. Dia tahu dia selalu kalah adu argumen denganku.

Lagian Mike nih nggak punya perasaan banget sih jadi orang! Ya memang aku juga nggak mau dijodohin ama dia, tapi ngomong sekali aja kan cukup. Ini pake diulang-ulang. Kesannya aku nggak deserves banget dicomblangin sama dia, padahal yang mau bokapnya. Heran. Jangan-jangan ... bukan itu yang sebenernya dia takutin. Jangan-jangan Mike tahu aku naksir Ed? Tapi nggak mungkin. Nad boleh jadi tahu karena dia mengenalku luar dalam, Mike—sedekat apapun kami—kurasa tidak sampai bisa mencium ketertarikan yang kusimpan rapat-rapat.

Rasanya aku pengin bilang ke dia, tenang aja, Mike, aku juga nggak berniat pacaran sama bapak sahabatku sendiri. Atau sama sahabatku sendiri.

Kalau soal mengagumi, itu 'kan hakku.

"Lita, dengar, bukannya gue benci. Gue justru nggak enak sama lo kalau bokap gue ngebujuk-bujuk, atau—"

"Bokap lo bukan orang seperti itu, Mike!"

Ya ampun ... dia ini emang nggak kenal apa gimana sih sama bapaknya sendiri? Beberapa hari mengenalnya aja aku bisa nulis sepuluh ribu kata tentang sifat dan sikap Edward Kilmer. Salah satu yang nggak akan kutulis adalah menjodohkan anaknya dengan sahabat yang sudah hampir membuat matanya buta.

Masalahnya Mike nggak tahu sih insiden-insiden itu!

"Gue yakin bokap lo bukan orang sedangkal itu. Meskipun dia ingin ngelihat lo menikah, dia nggak akan lah jodoh-jodohin, norak amat."

Aku nggak tahu kesan semacam apa yang ditangkap oleh Mike saat ayahnya membicarakanku sampai dia sebegitu takut bakal dijodohin denganku, tapi aku cukup yakin Edward Kilmer hanya ingin bersenang-senang dan mengambil kesempatan membalas semua perlakuanku—baik yang disengaja, maupun tidak—padanya.

Lebih dari itu, daripada menjodohkanku dengan Mike, dia akan lebih tertarik mengorek tentang Mike dari sudut pandangku! Ya Tuhan Mike, Ed Kilmer itu penggemar terbesarmu! Kemungkinan kedua, dia ingin memberiku pelajaran besar soal cinta yang kuremehkan di meja makan Burkett and Rundle dengan mendongengiku kisah cintanya yang maha sempurna seminggu penuh di Bangkok!

"Mike," aku memanggil. "Bener semalam dia nanya kenapa kita nggak pacaran aja?"

Mike ngangguk.

"Nadanya gimana?" tanyaku lagi, tapi nggak ngasih kesempatan pada Mike buat menjawab. "Nadanya kayak 'kenapa kalian nggak pacaran?' atau beneran kayak yang lo omongin 'kenapa kalian nggak pacaran aja?'"

Mike termangu.

"Udah gue duga, udah minggir sana," usirku. "Dia tuh beneran cuman nanya doang, apa yang bikin kita nggak pacaran karena dia nggak percaya sama persahabatan antara cowok dan cewek dewasa. Bukan lantas kenapa kita nggak pacaran aja toh udah sahabatan. Lo paham nggak sih Mike penjelasan gue?"

Mungkin merasa aku ada benarnya, bahu Mike bergerak kasar tak mau mengakui.

"Jangan parnoan, deh," kubilang. "Gue pergi, ya?"

Mike membalas peluk perpisahanku. "Nggak usah kelamaan," katanya. "Banyak kerjaan."

Aku tertawa kecil di bahunya. "I'll be back before you realize it."

"Lit," panggilnya, mengamit jemariku dan mencegahku menjauh. "Jaga bokap gue, ya?

"Mike ... Mike ... dia baru 52, kayak udah jompo aja. Lo yang ngelarang gue ngeremehin dia kemarin. Harusnya dia yang jagain gue. Kan gue perempuan!"

Michael akhirnya bisa tersenyum melepas kepergianku. Dia berbincang sebentar dengan Ed sementara sopir membantuku memasukkan sisa barang-barang di bagasi.

"Pakai pengiriman resmi aja, ya, biar mereka yang urus. Jangan dibawa masuk bandara, ntar ribet," pesan Mike sambil melambai-lambai sebelum pintu mobil ditutup.

Aku baru meluruskan punggung di sandaran kursi saat Ed mengucapkan sesuatu yang membuat semua kekhawatiran Mike tentang perjodohan denganku terdengar seperti ketakutan kosong dan tak berdasar.

Begini katanya, "Mike sebaiknya dibiarkan sendiri sementara waktu. Kalau ada kamu terus, dia nggak akan menemukan jodohnya."

Aku menyesal nggak merekamnya.

"Menurutmu Nad gadis yang baik, atau tidak?" sambungnya.

Aku menyumpal telingaku dengan earphone. 

Jawaban buat Trivia Question lalu adalaaah ... LIBRA!

Hohoho ... Male Libra is a zodiac sign for the best lover (hmmm...) and those who are inclined to be committed to their partner for good. Cocok banget, kaaan?

Saya sih sebenarnya bukan fans horoscope thingy ya, tapi salah satu tips buat bikin karakter dalam cerita fiksi adalah detail ke hal-hal kecil dan zodiac signs kadang lumayan membantu pembentukan karakter tersebut, lho. Libra ini pas banget buat latar belakang karakter papanya Mike yang masih so ganteng di usia senja.

Kalau jawaban trivia question tentang siapa yang nembak duluan ... you'll find out soon enough. Hihi

BTW beberapa hari ini Wattpad kayaknya eror lagi, ya, kalau sebelumnya cape2 nulis pas disend nggak muncul, lenyap begitu aja, sekarang dikirim berhasil, eh pas diliat lagi ilang wkwk

Jadi dari kemarin tuh repy-an saya ada yang bisa kebaca dan dibales lagi sama kalian, ada yang enggak kayaknya. Taunya pas kebetulan baca komen2 dan inget udah bales komen ini, udah kekirim juga, ternyata nggak muncul. Semoga ini nggak menyurutkan niat pembaca budiman untuk vote dan komen, deh.

Soalnya sukak banget sama komen2 yang udah pada mulai tersepona sama Pak Edward, nih. uwu. Hayoh milih Mike apa bapaknya, jangan kekepin dua-duanya kalo kata Nad ngahaha!

Love,

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top