1. Stalker
Note: Di-repost sebelum nanti dihapus untuk kepentingan penerbitan.
***
Do you believe in love at the first sight?
I don't even believe in love
***
"Stop. Stop di sini aja, Pak!"
Fiuh ... pas. Rp.84.500.
Taksi yang kutumpangi berhenti mendadak. "Di sini, Ibu? Nggak masukin gang sekalian?"
"Enggak usah, Pak. Saya mau jalan aja."
"Jalan?" Dari spion tengah, kelihatan alisnya mengumpul di tengah. "Ini udah tengah malam, lho, Bu."
Kalau dia mau berbelas kasihan, aku nggak keberatan dia mengantarku sampai depan rumah. Tapi kalau dia berharap aku membayar sisanya, percuma. Aku tinggal sendiri dan tak yakin ada simpanan berapa rupiah di rumah.
"Ambil aja kembaliannya," kataku. "Saya kehabisan uang."
"Nggak ada juga Bu kembalian gopek di saya," dengus si sopir taksi sebelum terdengar bunyi kunci dibuka dari sentral.
Dalam hati aku mengutuk diri sendiri. Kenapa sih aku mesti bilang gitu? Coba aku jelasin aja situasinya, tadi dia udah kelihatan cemas aku jalan sendirian malam-malam begini. Pasti dia tersinggung gopek aja kusebut-sebut.
Tapi harusnya dia nggak perlu sengaja menyemburkan asap kenalpot mobilnya ke mukaku juga kali! Aku terbatuk sedikit dan meski agak ragu melihat ujung gang yang tidak terlihat saking gelapnya, aku mulai melangkah.
Terus terang saja, aku benci gelap.
Kenangan terakhirku soal gelap memang mengerikan. Setiap kali ayahku mulai mabuk dan ibu tahu akan segera terjadi pertengkaran, aku disembunyikan di dalam kloset dan disuruh diam di sana sampai ayah pergi. Jika semua anak merasa hidupnya menderita setelah orang tua mereka bercerai, aku dan ibu merasa hidup kami baru dimulai saat orang itu tidak diperkenankan berada satu kota dengan kami. Aku mendengar kabar tentangnya terakhir kali saat usiaku sepuluh tahun, setelah itu, kami menganggapnya tak pernah ada.
Seharusnya tadi aku mendengarkan saran Lovi dan Chacha buat nunggu sebentar sampai ada yang pulang biar bisa nebeng. Semua ini gara-gara kehadiran Tigor yang tiba-tiba dan membuatku merasa diintimidasi.
Tanpa pikir panjang, aku pamit dari acara reuni dengan alasan sudah malam. Mana rupiah yang tersisa di dompetku hanya cukup buat bayar argo sampai depan gang, sementara rumahku masih dalam jarak tempuh lima belas menit jalan kaki. Mesin ATM tolol menelan kartuku sebelum jalan ke venue, makanya dana segarku terbatas. Kupikir aku bisa minjem Chacha dulu buat ongkos pulang. Panik ngelihat Tigor, jadi nggak sempat.
Ngomong-ngomong, nyaliku mulai ciut juga.
Seolah-olah aku nggak sendiri. Tadinya kupikir memang cuma parno, tapi bulu kudukku meremang semakin jauhnya langkahku dari jalan utama. Karena penasaran, aku sengaja menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Berharap ada suara yang ikut berhenti mendadak supaya aku bisa memastikan kecurigaanku benar. Meski mungkin akan makin seram, paling tidak aku bisa mengambil tindakan preventif. Tapi, tak ada. Hening.
Kalau memang ada yang berjalan terang-terangan tak jauh dariku, aku akan dengan senang hati membarenginya. Telinga dan instingku nggak mungkin salah. Jika tak ada yang mengikuti, harusnya hanya desau angin yang mengiringiku sekarang ini.
Tapi ah ... masa sih ada orang nekat berbuat jahat di tengah kompleks perumahan yang termasuk hunian padat gini? Sebagai warga kompleks, aku membayar iuran keamanan dan kebersihan setiap bulan. Seperti penghuni kompleks yang lain, kami diberi jadwal dan nama-nama satpam yang giliran patroli tiap malamnya, seharusnya aku nggak perlu khawatir.
Baru dua minggu lalu, kawan sekantorku dijambret di jalanan sepi sepulang lembur. Aku menyesal karena saat itu menganggapnya angin lalu. Padahal aku tahu, cikal bakal intoleransi adalah ketika kita berpikir apa yang terjadi terhadap orang lain tak akan terjadi pada diri kita. Kalau saja tadi aku berpikir jernih, aku tak mungkin berada di sini membayangkan karma yang mungkin menghantuiku karena sudah bersikap tak peduli. Paling tidak, aku bisa menyampaikan keprihatinanku akan kejadian yang menimpanya.
Semua ini gara-gara Tigor, orang paling tak ingin kutemui lagi di dunia ini.
Padahal aku sudah memastikan dia nggak akan hadir di reuni, Lovi sampai harus menunjukkan balasan undangan virtual Tigor yang menyatakan confirm unattend dengan alasan jadwal kerja ke luar negeri, siapa sangka menjelang tengah malam dia justru muncul kayak tamu nggak diundang?
Aku juga nggak ngerti kenapa Tigor dendam banget sama aku.
Aku memang pernah mencampakkannya secara kejam dulu, tapi harusnya dia nggak sakit hati. It's nothing personal. Aku hanya belum berencana menikah waktu itu, pun sekarang. Kubilang nothing personal karena semua pria yang mulai kelewat serius selalu kuputusin. Aku nggak ingin terlalu terikat kalau belum yakin dengan pilihanku.
Aku selalu bertemu dengan pria yang menurutku tidak tepat, termasuk Tigor. Pria-pria yang menurutku terlalu memaksakan diri karena terobsesi menggoyahkan hati wanita. Semakin tampak tak tertarik terhadap mereka, ego mereka seakan tersakiti. Mereka terus berusaha, hingga membuatku makin merasa apa yang mereka suguhkan bukan cinta, apalagi ketulusan, melainkan keinginan mereka untuk menaklukkan demi memuaskan ego.
Hal yang sama terjadi pada hubunganku dengan Tigor. Dia—27 tahun sepertiku—kuterima ajakan kencannya karena konon dia seorang player yang anti berhubungan serius. Kami bertemu pertama kali saat remaja sebagai teman biasa. Delapan tahun berlalu, dia menjelma menjadi pria yang sulit ditolak pesonanya.
Dia sempurna secara fisik, wajahnya rupawan, rambutnya ikal tebal, rambut-rambut halus tumbuh rapi di seputar rahang dan janggutnya. Badannya apalagi, dia lari setiap pagi. Perutnya pun kotak-kotak. Sebagai player, dia tidak terlalu banyak merayu. Mungkin karena itu kaum perempuan tergila-gila padanya. Tapi, kelebihan-kelebihan itu saja tak sanggup mengubah pendirianku. Sama saja dengan pria-pria lain yang pernah bersamaku, ketertarikanku tak berkembang, makin dekat, aku makin tidak merasakan apa-apa.
Awalnya hubungan kami begitu menyenangkan. Latar belakang yang sama membuat kami punya banyak sekali hal untuk dibicarakan seolah tak ada habisnya. Kami mulai sering bertemu jika ada kesempatan, berkencan, bahkan lebih dari itu; kami pacaran. Kemudian, dia mulai memaksakan diri. Kami tak hanya bertemu saat ada kesempatan, dia mulai meluangkan waktu, dan membuatku melakukan hal yang sama seolah aku punya andil dalam pengorbanannya.
Dia tidak tahu aku menyukainya justru karena reputasi buruknya sebagai kekasih. Selain itu, aku suka karena dia sibuk. Dia CEO sebuah coffee shop trendi yang sedang menjamur di seluruh belahan negeri ini. Setiap minggu, dia pasti ada jadwal opening, visiting, quality controlling, dan sederet kunjungan lain ke luar kota, bahkan ke luar negeri. He's busy. Artinya dia nggak akan terlalu banyak merengek.
Salah besar.
Ujungnya, dia bukan hanya merengek, tapi membeli sebuah cincin indah untuk mengukuhkan hubungan. I dumped him with no reason, bahkan sebelum cincin itu diserahkannya. Kudengar dia sangat marah, tapi aku tak peduli.
Sehabis itu keadaan memang jadi agak di luar kendali, aku harus mengancam melaporkannya ke pihak berwajib atas perbuatan tak menyenangkan. Dia menelepon ponselku tiap lima menit sekali sampai semua telepon penting tak bisa kuterima sama sekali. Dia juga mengirimiku gambar-gambar alat kelamin yang kuduga bukan punyanya karena bentuknya beraneka ragam. Aku—tentu saja—tak pernah menyebarkan cerita itu pada siapapun kecuali pada sahabatku, Nad dan Mike.
Ini bukan hanya perasaanku saja. Aku memang diikuti.
Langkah-langkah di belakangku terdengar menderap lebih cepat, menyesuaikan kecepatan langkahku. Aku menggagapi tubuh mencari ponsel sampai kuingat sebelumnya benda itu kusimpan dalam ransel kerjaku karena batrenya habis. Dengan alasan yang sama juga aku nggak bisa memesan taksi online dan memilih ambil risiko memanggil taksi yang melintas di jalan.
"Hssst!!!"
Aku bisa mendengarnya sengaja mendesis!
Tindakan preventif yang sempat kusebut tadi tak pernah kulakukan karena terlalu panik. Hanya langkahku yang kupercepat, tapi pikiranku berkecamuk memperkirakan apa yang akan dilakukan orang ini terhadapku.
Langkah-langkah itu makin lebar dan dekat denganku.
Dengan sisa keberanian yang kukumpulkan, aku menengok ke belakang tanpa mengurangi kecepatan jalan. Orang itu menunduk, menutup wajahnya dengan topi hingga aku kesulitan mengenali. Pakaiannya serba hitam, benar-benar mencurigakan.
"Siapa kamu?!" jeritku dengan susah payah.
Tak ada jawaban.
Di depan adalah tikungan terdekat dengan rumah, tapi juga merupakan sudut tergelap sepanjang jalan. Rumah di sudut itu sudah lama tak berpenghuni. Sejak pindah ke sini, lampu jalannya padam dan tak ada yang memperbaiki. Sulur-sulur pohon yang tumbuh liar menjuntai ke jalan tampak seperti momok yang siap menerkam. Siapapun dia, aku yakin dia akan menyerangku di titik tergelap itu.
Namun, aku tak punya pilihan. Aku bahkan tak punya nyali untuk mengambil jalan terus siapa tahu rumah di depan sana masih ada tanda-tanda kehidupan. Aku tetap menukik di tikungan dengan langkah lebih cepat, tapi sewaktu kudengar suara tawa dari orang yang mengikutiku, aku merunduk kengerian. Dengan sengaja aku menjatuhkan diri dan entah dari mana, satu kekuatan muncul dari dalam diriku.
Aku menjerit sekuat tenaga.
Pada saat yang sama sewaktu sentuhan kasar mendarat di bahuku, lampu sorot satu mobil yang diparkir tak jauh di depanku tiba-tiba menyala. Tangan yang sudah sempat menyentuhku ditarik kembali. Seiring dengan suara langkah berlari menjauh, aku mendengar pintu mobil ditutup dan langkah-langkah baru mendekat.
Aku masih dalam posisi jatuh dengan kedua tangan meraup wajah. Air mataku berderai sementara suara langkah sang penyelamat melewatiku begitu saja, mengejar seseorang yang melarikan diri tadi. Jantungku berdegup sangat kencang seperti akan meledak biarpun aku tahu kemungkinan besar aku sudah aman.
Beberapa saat kemudian, engah napas terdengar bersama derap langkah cepat ke arahku. Kuraba sekitarku untuk mempersenjatai diri, siapa tahu orang jahat itu yang kembali. Kutemukan sebuah batu dan kugenggam erat di samping tubuhku.
"Are you okay?" tanya suara pria dengan napas putus-putus.
Batu di tangan baru kulepas setelah memastikan pria yang kembali ini mengenakan blazer berwarna lain, aku tak yakin apa, yang jelas bukan hitam. Dia berjongkok tepat di depanku sambil mengulang pertanyaan yang sama.
"Apa dia sudah pergi?" tanyaku begitu bisa bernapas lebih lega.
"Dia sudah pergi," jawabnya. "Are you okay?"
Aku menggeleng.
"Ada yang luka?"
Aku menggeleng lagi.
"It's okay, it's okay ... he's gone at the moment."
Aku mencoba mengucap terima kasih, tapi bayangan menyeramkan tadi kembali menjelma menjadi air mata. Aku terguguk penuh syukur, tapi bibirku tak kunjung sanggup mengucap sepatah kata pun. Pria itu hanya bisa terdiam, sesekali menyentuh bahuku, dan mengusapnya.
Dia bertanya, "Di mana rumahmu? Dekat-dekat sini?"
Jariku menunjuk arah menuju kediamanku.
"I will walk you home," dia bilang, sembari mengumpulkan barang-barangku yang berserak di atas aspal. "Bisa berdiri?"
Dengan perasaan yang sudah jauh lebih tenang, aku bangkit sambil bertanya-tanya dalam hati kenapa orang ini sangat fasih berbahasa Inggris, dan justru agak aneh saat berbicara bahasa Indonesia. Sinar terang lampu mobil yang dinyalakannya tadi membantuku mengenali wajah yang aku yakin belum pernah kulihat sebelumnya di sekitar sini.
Dari struktur wajah dan bentuk rahangnya, sepertinya orang asing.
Usianya mungkin sekitar empat puluh tahun atau lebih karena sebagian rambutnya sudah berubah warna. Dahinya berkerut menandakan simpati atas kondisiku. Tatapannya tak lepas sedetik pun dariku, penuh belas kasih dan ketulusan membantu. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang, tapi otakku belum bisa diajak mengingat-ingat wajah siapa yang membuatku berpikiran demikian.
"Terima kasih," ucapku akhirnya, lemah tak bertenaga.
Senyumnya melengkung sempurna membentuk gurat usia di kedua sudut bibir dan matanya. Tak perlu diucapkan, dia masih mengkhawatirkanku.
Kami sampai tepat di depan rumahku. Aku menghentikan langkah dengan tiba-tiba, membuatnya paham bahwa di sinilah tempatku tinggal. Mulutku masih belum bisa menjelaskan apa-apa. Aku ingin berterima kasih menggunakan kata-kata yang terdengar lebih sungguh-sungguh, tapi tak bisa. Otakku seperti membeku. Melihat rumahku dalam keadaan gelap, hanya lampu halamannya yang menyala, pegangan tanganku di besi pagar mengerat.
"Tinggal sendiri?" tanyanya lembut.
Ya. Aku tinggal sendiri. Sejak Michael menyarankan supaya aku mengalokasikan uang pemberian mama atas penjualan rumah kami untuk mengambil kredit rumah, sudah kurang dari satu tahun ini aku tinggal sendiri, bukan di kos seperti sebelumnya.
Sambil membukakan pagar untukku, dia memastikan, "Kamu akan baik-baik saja?"
"Ya."
Sambil menjawab, aku mendapat kesempatan memperhatikan wajahnya dengan lebih saksama. Kepalaku harus mendongak karena pria berumur itu jauh lebih tinggi dariku.
Kalau kuperhatikan baik-baik dengan bantuan cahaya lampu malam dari halaman rumahku, dugaanku semula kemungkinan besar benar bahwa dia berdarah kaukasia, jelas bukan orang asia, atau melayu. Hidungnya tegas mancung, alisnya tebal sewarna rambut yang belum memutih, kelopak matanya lurus. Aku tidak terlalu bisa memastikan warna bola matanya yang bersinar redup, tapi bisa kupastikan warnanya tidak hitam. Mungkin cokelat terang, atau merah kecokelatan. Garis rahang tegas dan bibir tipis menambah nilai ketampanannya, bahkan masih sangat tampan untuk usianya.
"I will stay here for a while to make sure you're okay," imbuhnya, sekaligus menyadarkanku dari menatapnya cukup lama.
Aku ingin bilang bahwa dia tidak perlu melakukannya, aku memasang tiga gerendel kunci atas saran mama. Namun, kelihatannya dia sungguh-sungguh ingin membantu.
Apa sebaiknya kutawari dia masuk supaya bisa kubuatin segelas teh hangat?
"Go inside," suruhnya.
Mungkin tidak. Rasanya nggak pantas menawari masuk seorang pria setelah apa yang terjadi padaku.
Kuberanikan diri bertanya, "Kalau boleh tahu ... bapak sedang apa di sini?"
"Dulu aku tinggal di rumah itu"—dia menunujuk arah tikungan—"aku pindah dari sana beberapa tahun lalu. It's quite a long time ago. Rumah di sudut itu. Aku tinggal di daerah ini cukup lama untuk tahu lingkungan ini seharusnya aman."
"Ini pertama kalinya terjadi"—suaraku parau—"saya nggak pernah mengalami ini sebelumnya."
Alisnya melengkung simpatik. "Apa ada dugaan tertentu?" selidiknya. "Mungkin sebaiknya kamu bikin laporan, paling tidak ke penanggung jawab di sini. Kalau memang tidak pernah ada yang mengalaminya sebelum kamu, it could've been someone you know. Jangan anggap remeh hal seperti ini. It could've been serious, many cases happened because people think being stalked casually happens."
Aku mengangguk, dan dia menambahkan, "Tapi setidaknya malam ini dia nggak akan kembali."
Dia mendorong pagar rumahku hingga terbuka lebih lebar, kuucapkan terima kasih sekali lagi sambil bertanya, "Bapak ... masih pemilik rumah kosong itu?"
"Ya, hanya tidak kami tempati," jawabnya.
"Mungkin sebaiknya bapak ganti lampu jalannya," kataku dan kusesali sedetik kemudian.
Segala keramahan, alis melengkungnya yang simpatik, serta senyumannya yang menenangkan seketika memudar. Tangannya yang menahan pagar terlepas hingga aku harus menahannya dengan tanganku sendiri. Dia mundur selangkah. "Oke ... besok aku ganti lampunya," angguknya kecewa.
"Maaf ...," ucapku sebelum terlambat. "Saya tidak bermaksud."
"No, you're right. Hanya saja, I was not around for quite a while, dan sepertinya putraku tidak melaksanakan pesanku dengan baik. You know ..."—bahunya bergerak—"pemuda zaman sekarang ... sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak pernah menghargai kenangan ... jadi ... yah ... saran yang bagus."
Aku meringis nggak enak.
"Masuk saja, aku akan stay di mobil sampai beberapa saat lagi," dia bilang. "So ... cobalah beristirahat."
"Thanks. Selamat malam."
"Selamat malam—?" dia membalas dengan ujung kalimat bernada menggantung seperti akan menyebutkan namaku, tapi dia belum tahu.
"Lita," sebutku sendiri. "Hersekti Prajwalita."
"Lita," dia menyebut dengan senyum samar yang rupawan. "Selamat malam lagi."
Kupikir, dia akan duluan meninggalkanku, ternyata dia tetap berdiri di tempatnya dan mengisyaratkan dengan gerakan mata supaya aku masuk. Tanpa kusadari, senyum terkulum di bibirku. Pipiku terasa panas sampai belakang telinga dan tak bisa kuredam meski dengan mengatupkan rahang. Alih-alih, aku mengangguk dan menunduk untuk menyembunyikan muka, siapa tahu dia bisa melihat perubahan ekspresiku.
Memalukan sekali. Ngapain coba aku tersipu-sipu? Dia masih menanti di balik pagar sampai aku masuk, kelihatannya baru pergi setelah beberapa detik pintu kututup.
Pikiranku berkecamuk. Dia mirip siapa, ya?
Haiii!
Jadi siapaaakah si Om-om gemash ini?
Hmmm... sebelumnya saya mau kasih warning dulu ya, awal-awal chapter, like usual, narasinya agak panjang selain buat pengenalan ini, itu, juga karena si Lita ini memang agak skeptis, terutama soal asmara, jadi dia sering bicara dalam hati saat menyangkal hal-hal yang tak sesuai sama pendapatnya dan nggak bisa semua diutarakan blak-blakan, terutama yah ... karena dua orang yang akan sering dihadapinya dalam cerita ini yang satu lebih tua, yang satunya lebih berkuasa.
Jadi kepala dia tuh aktif banget, dia juga quite open minded anaknya, cuma nggak ngejeblak awut-awutan kayak Kenya ya, Lita ini civilized banget. Di sepertiga cerita pertama mungkin akan banyak pembicaraan dewasa (bukan dalam artian dewasa yang nganu) tentang perasaan, kepribadian, hubungan, pokoknya saya ingin pembaca membangun atmosfer cerita dewasa di sini karena tokoh-tokohnya udah dewasa. Chemistry-nya juga akan dibangun sedikit demi sedikit yang bikin cerita ini agak panjang, because well ... it's kind of complicated relationship,
Tapi tenang aja, setelah ceritanya mulai mengalir, nanti narasinya akan jauh berkurang, kok. If you like my other chiclit story, kemungkinan kamu akan suka juga yang ini. Kemungkinan, ya, so ... mari kita mulai petualangan kita. Jakarta, Bangkok, Kanada, New York ... via Wattpad wkwk.
I really hope bisa dikasih vote dan komen yang banyak.
Jangan pelit-pelit, biar cepet update.
Love,
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top