Reunion
"Kau masih marah, Wings?"
Tidak seperti biasanya, kali ini Alman yang mengekor. Menyesuaikan langkah-langkah cepatnya agar tak menyusul Brendan. Sementara yang ditanya terus saja berjalan. Langkahnya agak menghentak.
"Sudah kujelaskan, bukan?" Alman kembali berkata. "Yang waktu itu hanya ilusi yang kubuat untuk membantumu menguasai mantra ... Agak seram juga waktu kau betul-betul berhasil menggunakan pembalik gravitasi itu—kami harus menjaga agar tubuhmu tak membentur langit-langit ruangan."
Yang dimaksud Alman adalah dirinya sendiri dan tuas-tuas bercapit yang dia kendalikan.
Brendan sedikit paham, orang penakut seperti dirinya, harus diberi stimulus kuat untuk berani mencoba sesuatu. Namun dia merasa ilusi yang digunakan Alman padanya sudah keterlaluan. Kemarin itu dia merasa betul-betul sakit hati karena dikhianati—walau hanya dalam ilusi—oleh para Alman ... Berkali-kali.
"Hari sebelumnya, kembali mengurus tanaman ... Aku tak terlalu keberatan, walau bertanya-tanya."
Masih dengan langkah-langkah menghentak, Brendan akhirnya mulai bersuara.
"Hari sebelumnya lagi, menghapal mantra ... Gulungan mantra yang kau berikan membuatku sakit kepala, tetapi aku yakin pada rencanamu. Hari sebelum itu, simulasi kedai kopi ... Untuk menggantikan biaya kerusakan yang kulakukan, baiklah aku tak keberatan ... ."
Langkah kakinya berhenti. Antara yang agak panjang membuat Alman merasa perlu untuk mundur sedikit.
"TAPI ... KEMARIN ITU APA?! KENAPA?!" sembur Brendan, tanpa menoleh.
"Uhh ...," Alman menggaruk pipinya yang tak gatal. "Untuk memastikan kau berhasil menguasai mant-"
Brendan membalik badan, menghadap rekannya dengan wajah penuh emosi yang tidak pernah dia tunjukan sebelumnya.
"AKU TAHU ITU, RED! AKU PAHAM! TAPI AKU TAK SUKA DENGAN CARAMU ... JADI AKU INGIN MENYAMPAIKAN PROTESKU, TAK BOLEHKAH?!" seru pemuda Avian itu seraya mencengkeram kerah kemeja Alman.
"Yah ... Sesekali melepaskan amarah yang terpendam itu perlu," jawab Alman, menanggapi. "Hanya saja, kalau bisa kau kurangi sedikit letupan amarahmu, karena yang barusan itu menarik perhatian para tuas-tuas bercapit kota ini."
Benar saja, di sekeliling mereka mulai bermunculan beberapa tuas bercapit dengan batu-batu biru berkilat. Seperti mengawasi gerak-gerik Brendan dan Alman. Belakangan Brendan merasa batu-batu biru itu memang berfungsi semacam monitor, selain untuk menyalurkan sihir.
"Aku sudah agak lega," gumam Druid bertelinga sayap itu seraya melepaskan cengkeramannya. "Maaf melampiaskannya padamu, Red."
"Yup ... tak masalah," jawab Alman santai. Walau dalam hatinya menetapkan diri untuk tidak terlalu mencoba batas kesabaran Brendan lagi. Mengingat di ilusi terakhir yang dia buat, Brendan sukses menghancurkan dua duplikatnya dengan mantra Druid.
"Lalu, hukuman apa lagi yang harus kulakukan sekarang?" tanya Brendan setelah memastikan setiap tuas bercapit sudah pergi.
"Hmm ... Apa, ya?" Alman pura-pura berpikir. "Mungkin ... mengasuh anak kecil?"
Wajah kebingungan Brendan memancing senyum maklum. Dengan isyarat tangan, dia menyuruh rekannya untuk mengikuti. Mereka menuju bangunan paling tak mencolok, di kota itu.
Alman sudah tahu keberadaannya sejak mendapatkan akses kendali kota. Namun Sorcerer setengah Beast itu memerlukan alasan untuk mendekati tempat anak itu disekap, untuk tidak memancing perhatian siapa pun yang mungkin mengawasi mereka berdua melalui batu-batu biru para tuas bercapit kota 30-DWC-20.
Batu biru berharga pemberian ibunya langsung disita oleh kota, pada hari pertama mereka tiba. Memang keributan yang dia timbulkan menjadi pemicu, tetapi mengingat para tuas tidak menyentuh aksesorinya yang lain, berarti siapa pun yang memegang kendali memahami betul latar belakang dirinya. Karena itu Alman berusaha untuk tidak menambah daftar sesuatu yang bisa dijadikan sandera oleh kota.
Pintu kayu bangunan yang terlihat seperti salah satu dari beberapa rumah tinggal tak berpenghuni yang ada di kota, berderit membuka. Alman mendorongnya dengan ringan, tetapi ketika Brendan menyentuh gagangnya, ternyata pintu itu berlapis baja dan cukup berat. Setelah melintasi ruang duduk kecil yang terlihat tak pernah disentuh, mereka tiba di pintu kedua.
Aneh sekali melihat pintu kayu biasa di hadapannya dilengkapi lubang kunci yang terlihat rumit. Batu biru yang terpasang di gagangnya juga menaikkan rasa waspada Brendan.
"Sorcerer Conlaed, meminta akses untuk membuka pintu!" ujar Alman.
"Jawaban: Akses ... diberikan untuk ... Sorcerer Conlaed!"
Setelah serangkaian suara klak-klik samar, pintu berayun membuka secara otomatis. Brendan sempat penasaran ingin memeriksa bagaimana cara kerja sihir dan kunci pintu itu, tetapi langkah-langkah cepat Alman mulai meninggalkannya, sehingga dia harus segera menyusul.
Di balik pintu, mereka melintasi lorong berlantai ubin trasso merah. Dindingnya berwarna mentega. Brendan sering melihat rumah yang menggunakan warna-warna itu, yang berbeda hanya ... jeruji di jendela kotak panjang, nyaris sepanjang dinding.
Mengira akan melihat pemandangan luar bangunan, Brendan melongok dan dikejutkan oleh keberadaan sebuah sangkar baja. Jauh lebih besar dari yang digunakan untuk mengurung makhluk-makhluk buatan tempohari, tetapi tampak sempit dengan ranjang rendah yang dijejalkan di dalamnya.
"Nah, Wings ... Anak inilah yang harus kau asuh seharian ini!" Alman berkata seraya membukakan pintu ketiga untuknya.
Brendan menghambur masuk, untuk memastikan lebih dekat. Ternyata penglihatannya tidak salah. Yang dikurung dalam sangkar raksasa itu adalah anak Ogre yang mereka temui ketika membelah persik raksasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top