Pulang
Brendan menarik napas dalam-dalam, tongkat kayu ulirnya teracung tinggi. Dia sedang mengumpulkan semua sihir yang mampu dia tamping sebanyak mungkin dalam batu hijau tongkatnya. Saat Alman membuka gerbang dimensi, dia harus siap melepaskan satu mantra.
"DASAR KALIAN TAK BERGUNA!!!"
Teriakan parau Tuan Besar terdengar hingga ke penjuru lorong. Patahan tongkatnya tergeletak tak jauh dari pintu. Melihat itu, para pekerja lain memutuskan untuk tidak melintas di dekat ruangan tempat lelaki paruh baya itu berada.
Seorang perempuan berambut ikal dan gelap, melintas santai di antara kerumunan orang-orang yang sedang mengawasi keributan dari jarak aman. Gaunnya panjangnya yang nyaris menyapu lantai, terlihat anggun dikenakan. Beberapa orang yang menoleh, segera mengenalinya sebagai puteri tunggal Tuan Besar—mereka buru-buru menunduk hormat dan memberikan jalan baginya.
"ORLA!!!" panggil Tuan Besar, begitu melihat puterinya lewat di depan pintu.
"Ya, Ayah?"
"Kau ... Apa kau yang menyembunyikan bocah-bocah itu?"
"Ayah bicara apa," Orla tertawa kecil. "Sejak mengirim Conlaed, aku tak pernah menginjakkan kaki di dalam gedung ini lagi, bukan?"
Tuan Besar tahu itu. Dia yang memastikan puterinya tidak lagi ikut campur dalam proyek pengasingan cucunya sendiri. Namun tetap saja dia mencurigai rasa sayang perempuan itu terhadap cucu yang tidak pernah dia akui.
"Tuan Besar! Kami menemukan jejak tuan mu- ... maksud kami, anak-anak itu!" panggil salah seorang penyihir bawahannya. Mengalihkan perhatian sang Tuan Besar dari puterinya.
"Kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, aku permisi dulu, Ayah!" Orla membungkuk anggun lalu kembali melanjutkan melangkah, tanpa menunggu jawaban ayahnya.
Beberapa penyihir yang ada di ruangan bertanya-tanya, apa alasan Orla yang dilarang mendekati gedung, untuk datang hari ini. Namun kesibukan di bawah perintah Tuan Besar membuat mereka tak sempat mempertanyakan hal itu.
"Lalu, di mana mereka?" tanya Tuan Besar seraya menarik salah satu penyihir yang menghalangi pandangannya pada monitor terdekat.
"Mereka sedang di dalam portal dimensi, menuju tempat ini, Tuan Besar!"
"Hmph!" dengkus Tuan Besar. "Bocah anjing itu bisa juga mengontrol sihirnya sendiri untuk membuat portal. Lalu ... di mana mereka akan mendarat? Di dalam gedung ini? Di halaman? Atau ada tempat lain di kota yang gelombangnya paling dekat dengan pulau buatan kita?"
"Di-di sini, Tuan."
"MAKANYA ... Di sini itu di mananyaaa?!"
"Tepat ... di ruangan ini, Tuan."
Belum sempat Tuan Besar merespon informasi itu, di antara bola-bola monitor dan tempat para penyihir berdiri timbul sebuah garis lurus. Seperti ada seseorang yang menorehkan tinta biru terang di udara kosong. Detik berikutnya garis itu terkoyak, menimbulkan suara dengungan kencang.
Berbagai jenis tongkat, dan benda-benda sihir teracung ke arah robekan di udara. Untuk mencegah kedatangan siapa pun yang hendak memaksa masuk tanpa seizin mereka. Namun sebuah gelombang mantra sihir Druid menghantam mereka semua, membatalkan semua mantra yang sudah mereka siapkan.
Dalam kebingungan, tiga sosok anak-anak melompat masuk melalui robekan di udara. Alih-alih mendarat di lantai, ketiganya tetap melayang. Sebelum ada yang menyadari apa yang akan terjadi, mantra kedua Druid bertelinga sayap kembali dilepaskan.
Seperti ada yang memutar posisi ruangan, semua yang tidak terikat di lantai berjatuhan ke langit-langit dengan suara berdebum yang beruntun.
"Hahaha ... Rasakan!" Alman tertawa mengejek pada para orang dewasa yang melekat di langit-langit sembari melayang keluar ruangan bersama dua rekannya.
"BOCAH-BOCAH TERKUTUUUK!!!" maki Tuan Besar murka.
Ketika lelaki paruh baya itu bermaksud menggunakan mantra untuk mengejar cucunya, tiba-tiba efek pembalik gravitasi hilang. Seperti lalat terkena insektisida, para penyihir dewasa di ruangan itu berjatuhan kembali ke lantai. Ditambah bonus rompalan kap lampu dan bahan pelapis langit-langit ruangan.
Ketiga bocah petualang, terus berlari mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Alman. Beberapa pekerja di gedung itu melihat mereka tetapi tak banyak yang memahami apa yang terjadi, sehingga hanya membiarkan ketiganya melintas begitu saja.
"Kemana kita, Red?" tanya Brendan sembari terengah. Tangannya menggenggam lengan Ralhgi.
"Mencari mantra yang bisa memulihkan tubuh kita ke wujud semula. Memangnya kau mau keluar dengan wujud cebol begini?"
"Memangnya kau tahu penangkalnya?" Yang bertanya bukanlah Brendan.
Mendengar suara Orla, Alman menghentikan laju larinya. Agak mendadak, hingga Brendan dan Ralhgi bertabrakan dengan punggungnya secara beruntun.
"Lama tak jumpa, Conlaed ... Ibu sudah lama tidak melihatmu mengenakan baju seperti itu, manis sekali!"
"Geh!" Alman mencoba melangkah mundur, menjauh dari perempuan yang kini berjongkok untuk mengamati penampilan 'manisnya' dengan lebih jelas.
"Oh, menurutku sebaiknya kau tetap di sini. Kakekmu memang masih tak bisa bergerak, tetapi para bawahannya sudah mulai dikerahkan untuk mencarimu, lho."
"Apa maumu?!"
"Ck ck ck ... memanggil ibu kandungmu sendiri, dengan sebutan 'kamu' ... Rupanya hukumanmu masih kurang lama, ya?"
" ...bu-Bunda," gumam Alman lirih. Pipinya bersemu. Tak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa Brendan saat ini sedang terperangah mendengar cara Alman memanggil ibunya.
"Rupanya kau betul-betul anak keluarga baik-baik, ya ... Red?"
"DIAAAM ... Makanya aku tak suka kalau bertemu Bunda saat bersama teman-temanku," gerutu Alman, menggaruk kepala merahnya, frustrasi. "Bunda mau apa lagi, sih? Awas saja kalau masih mau mengirim kami ke pulau aneh itu atau memberi kutukan yang tidak-tidak!"
"Hmm?" gumam Orla, masih tersenyum senang. "Ibu hanya ingin melihat sosokmu selagi masih imut. Conlaed, coba lihat sini?"
Reflek Alman menoleh ke arah yang ditunjuk Orla. Seberkas kilat berkedip sekali. Lalu selembar kertas meluncur ke tangan ramping perempuan Huma itu.
"Tadaaah, gambar foto Conlaid mungil dan teman-temannyaaa!" seru Orla, riang. Memamerkan mahakarya penggabungan sihir dan science yang membuat Brendan terkagum-kagum.
"Sudah! Sudaaah ... Berhenti main-mainnya, Bunda!" protes Alman, mulai kesal. "Kembalikan kami, ke wujud semula!"
Orla tak langsung menjawab, hanya memasang wajah kecewa.
"...Kumohon, Bunda?"
Senyum mengembang di wajah cantik Orla. Perempuan itu bangkit lalu mengeluarkan sebaris mantra di udara. Deretan huruf-huruf rune melambai mengikuti gerakan ujung jari langsingnya, seperti pita panjang. Pita-pita rune itu membelit mereka bertiga lalu meresap masuk ke tubuh masing-masing.
Alman mulai merasakan terjadinya perubahan pada fisiknya. Pada saat panjang lengannya mulai melebihi ukuran lengan bajunya, pemuda setengah Beast itu baru menyadari, pakaiannya tidak ikut membesar. Panik, dia buru-buru merapal mantra ilusi.
Karena lelah setelah membuka pintu dimensi dan membuat tiga sosok terbang secara berturut-turut, ilusinya hanya berhasil membuat seolah-olah celananya ikut membesar sesuai ukuran tubuhnya. Sedangkan kemeja dan rompinya compang-camping. Ketika proses perubahan wujudnya selesai, ibunya masih terpingkal-pingkal di sebelahnya.
"Bajumu tak robek, ya ... Wings?"
"Se-sepertinya kalau mengenakan baju yang sama dengan saat terbawa ke pulau, bajunya bisa ikut membesar, Red." Brendan memutar badan, untuk memastikan tak ada jubahnya yang robek.
Sepasang tangan kekar menepuk pundak mereka berdua, membuat keduanya menoleh. Di situ berdiri sosok raksasa seorang Ogre dewasa. Nyaris telanjang karena pakaian yang diberi oleh Alman di kota, tak banyak bersisa.
"Tuan Cadmus di sini, sudah kukirim ke pulau sejak 5 tahun yang lalu. Jadi sekarang usianya hampir sebaya denganmu, Tuan Wings," jelas Orla. "Waktu itu kekuatannya terlalu besar untuk anak seumurnya, jadi daripada membuat masalah, kusegel saja di pulau."
"Oh, begitu ... Lalu, kenapa Wings dikirim ke sana juga?"
"Ah, itu aku mendapatkan permohonan dari guru sihir Tuan Wings, Druid Nay-El-Rhilon ... Katanya untuk ujian kelulusan, supaya para tetua desa tak ada yang protes soal tongkat ulirmu."
Alman mendesah panjang. Pemuda itu menebak ibunya sengaja menggunakan fasilitas milik keluarga mereka supaya ujian dan hukuman mereka tidak diganggu pihak lain. Mungkin Orla juga yang meniupkan ide soal 'mengusir' cucunya pada ayahnya di pulau yang bisa mereka awasi, untuk memastikan keselamatan mereka juga.
"Nah, di depan sana sudah ada kereta yang menunggu. Sebelum para bawahan kakekmu mencapai tempat ini, lebih baik kalian segera masuk ke kereta!" Orla berkata seraya mendorong-dorong tubuh ketiganya menuju pintu keluar.
"Biar nanti ibu menyusul!" serunya seraya melambaikan tangan pada kereta yang mulai bergerak pergi.
Di dalam kereta sudah tersedia 3 setel jubah ukuran besar, mungkin untuk antisipasi bila ketiganya berganti pakaian selagi menciut. Alman segera mengenakan satu, karena sihir ilusinya mulai pudar. Brendan membantu Ralhgi mengenakan jubah yang lain.
"Lalu ... Kemana kita sekarang, Red?"
"Hmm ... iya, ya. Untuk sementara, kita cari tempat makan yang enak!"
"Setuju!" geram Ralhgi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top