Monster
"Wiiings?" panggil Alman. Suaranya masih jauh.
"Kalian di manaaa? Ayo, keluaaar ... Kalian tidak ingin aku sampai menggunakan sihir untuk mencari, 'kaaan?"
Brendan menelan ludah. Pelukannya pada makhluk berbulu lembut dipererat, dia sudah bertekad untuk melindunginya. Sedikit lagi tangannya akan mencapai tongkat ulir.
"Ha! Akhirnya ketemu, juga."
Pemuda Avian itu terlonjak. Tak menyangka Alman berhasil menemukan mereka. Takut-takut dia menoleh, memastikan posisi pengejarnya. Di situ, Alman berdiri membelakangi cahaya dari luar. Ketukan langkahnya terdengar mendekat.
"Nah, Wings ... Serahkan bola bulu di tanganmu itu!"
Beberapa tuas bercapit muncul mengikuti Alman. Dengung halus gerak-gerak mekanik yang biasanya membuat Brendan terpesona, kali ini terdengar sangat mengancam.
Tugas hari itu dimulai dengan adu argumen di antara dua petualang.
"Jangan beri dia nama!" larang Alman, tegas.
"T-ta-tapi, Red! Masak kita hanya memanggilnya dengan angka?" protes Brendan. "Itu sangat tidak manusiawi!"
"Lalu? Mereka 'kan bukan humanoid, makhluk hasil percobaan, pula ... Apa salahnya memanggil dengan angka?"
Brendan terdiam. Temannya itu tidak salah. Namun dia tetap tidak terima. Dia melirik pada salah satu makhluk berbulu dalam kurungan, tak sengaja pandangannya bertemu dengan yang berbentuk bulat, tak berkaki.
Seketika, Brendan tersentuh pada pandangan mata biru cerah yang terlihat tak berdosa itu.
"Jangan dilihat matanya!" tegur Alman, seraya melayangkan jitakan.
"Aduuuh ... Apa, sih. Bisa, tidak ... melakukan sesuatu tanpa kekerasan???"
"Supaya kamu sadar, Wings," jawab Alman sambil lalu. "Ayo, tugas kita hanya mengumpulkan kotak-kotak kurungan dari berbagai ruangan ke ruangan ini saja, kan? Kita masih ada satu kurungan lagi yang perlu dibawa."
Brendan tak menjawab. Saat ini pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, seperti:
Untuk apa kota ajaib yang sedang mereka tempati menyimpan makhluk-makhluk itu, padahal bukankah di luar sana banyak makhluk-makhluk lain yang juga berkekuatan sihir?
Apa fungsi bangunan tempat kurungan makhluk-makhluk itu berada, sekadar pet shop atau rumah sakit hewan? Dia tak berani memikirkan satu kemungkinan lagi, walau sempat terlintas dalam benaknya.
Mengapa mereka ditugasi untuk mengumpulkan kurungan berisi makhluk-makhluk itu dalam satu ruangan?
"Wings?" tegur Alman dari ambang pintu.
"Y-yaaa?"
"Jangan sampai kamu kasihan pada mereka, lho ... Ingat, yang membuat mereka mungkin orang yang sama dengan yang membuat perusak yang menyusup ke toko buku tadi malam!"
Brendan bergidik mengingat pengalamannya. Setelah cukup tenang, dia menyadari, pandangan makhluk yang digosongkan Alman itu sedikit berbeda dengan saat rekannya dalam wujud werewolf. Sama-sama mengancam, tetapi Brendan tidak bisa merasakan emosi apa-apa pada mahkluk itu. Bahkan tidak ada kemarahan secuil pun. Murni keinginan untuk menyerang.
Denging lembut di telinganya membuat Brendan menyadari bahwa salah satu tuas bercapit sedang bergerak. Bagi pemuda yang seumur hidup tinggal di desa, tengah alam, pemandangan mekanis sehalus itu sangat menakjubkan. Dia bisa merasakan aliran tipis energi sihir mengalir dari batu-batu biru ke tuas, tetapi dia tidak mengerti bagaimana benda-benda serupa di seluruh kota bisa bekerja nyaris tanpa henti.
"Kiiikkk ... Kiiikkk!!! Ciiittt!!! Miiikkk!!!"
Jeritan beberapa makhluk menghentikan langkah Brendan yang baru saja keluar dari ruangan. Khawatir terjadi sesuatu, dia bergegas melongok ke ruangan tadi. Pemuda Avian itu terhenyak, sayap telinganya sampai layu.
Sebuah kurungan berisi beberapa ekor makhluk berbulu, dibawa oleh tuas-tuas bercapit ke sebuah lubang berbentuk persegi di dinding. Pintu baja yang terlihat kokoh berayun menutup dengan suara debum kencang. Kemudian dari lubang intip yang tertutup kaca tebal, seberkas cahaya menyilaukan berkedip sekali. Lalu sunyi.
Bagaimana para makhluk di kurungan lain bisa tetap tenang, Brendan tak mengerti. Dia yang hanya sekali melihat proses mengerikan itu, sudah sangat pening. Darah di kepalanya terasa surut drastis hingga dia mulai merasa mual.
"Kau masih juga di sini?" tegur Alman pada Brendan yang berusaha tetap berdiri dengan bertopang pada dinding.
Brendan menoleh dan terkesiap dalam kengerian, melihat rekannya membawa sebuah kurungan berisi beberapa ekor makhluk berbulu lain. Bayangan bahwa makhluk-makhluk lucu itu akan mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya membuatnya merasa sangat tak rela.
"Oi, Wings ... Ngapain kamu?!" tegur Alman pada rekannya yang tampak mulai komat-kamit merapal mantra. "Hentikan! Sekarang ini kau tidak sedang membawa tongkat ulir, kalau sembarangan menggunakan sihir- ...."
"Bukankah kau yang mengingatkan aku untuk berhenti tergantung pada tongkat itu, Red?"
"Memang, tapi ... kondisimu saat ini sangat tidak baik. Hentikan mantranya!"
Alman buru-buru meletakkan kurungan yang dia bawa, lalu menjulurkan tangan pada rekannya, mencoba menghentikan mantra yang sedang dirapal. Namun terlambat, mantra Brendan sudah selesai. Dari udara sejumlah besar air tumpah, tetapi alih-alih membanjiri ruangan, air itu mulai bergerak membentuk pusaran
Pusaran air menyambar banyak benda lalu menggunakan benda-benda itu dan tekanan yang ditimbulkan untuk menghancurkan kurungan yang tidak terbuat dari logam.
Begitu kurungan mereka hancur, semua makhluk berbulu berhamburan. Mereka melompat, melayang, melesat pergi meninggalkan ruangan. Yang tersisa hanyalah seekor makhluk bulat yang nyaris dinamai oleh Brendan dan beberapa makhluk lain yang kurungannya terbuat dari logam.
"Telah ditemukan: Pelanggaran. Identifikasi pelak- ...."
"Aku!!!" seru Alman memotong suara kota. Brendan melihat mata biru Alman berpendar, energi sihir yang selama ini ditahan mulai dilepaskan. "...Sorcerer Conlaed Frodesson. Meminta akses untuk mengambil alih kendali kota!"
Apakah hal itu mungkin terjadi? Alman yang begitu menentang segala yang dilakukan oleh keluarganya, mungkinkah diberi akses untuk mengendalikan kota?
Perlahan Brendan bergerak menuju makhluk berbulu terdekat. Mungkin tidak bisa semua dia selamatkan. Setidaknya, bertambah seekor saja.
" ...Akses diberikan."
Mendengar itu, Brendan langsung menyambar makhluk berbulu terdekat lalu merapal mantra ilusi yang menyembunyikan sosok dirinya.
"Kendali atas ... Kota 30-DWC-20 ... sementara ... dialihkan pada ... Sorcerer Conlaed."
Bersamaan dengan hilangnya gema suara kota, segala aktivitas tuas becapit terhenti sejenak. Batu-batu biru yang tertanam di berbagai tempat untuk sesaat kehilangan pendarnya. Kesempatan itu digunakan oleh Brendan untuk menyusup keluar, selagi masih tak terlihat.
"Aku perlu membereskan kekacauan karena kaburnya makhluk-makhluk lain, nanti aku akan menyelesaikan urusan denganmu, Wings!"
Seruan Alman sempat terdengar olehnya, tetapi Brendan terus saja berlari. Hari ini dia meninggalkan tongkat bukan karena teledor, para tuas bercapit menyita tongkatnya saat memasuki bangunan tempat mereka bertugas hari ini. Dia yakin Alman bakal mengetahui tujuannya, karena itu untuk jaga-jaga Brendan merapal satu mantra, begitu dia melihat wujud tongkatnya pemuda itu memanggil angin kencang dan melontarkan tongkatnya sekuat mungkin melalu jendela.
PRRRAAANNNG!!!
Suara kaca jendela yang pecah tertembus tongkat ulir Brendan terdengar hingga lorong tempat Alman berada. Pemuda berambut merah itu berdecak kesal. Jerih-payahnya untuk bersabar selama beberapa hari terakhir mungkin jadi sia-sia.
Batu-batu biru yang terpasang di berbagai penjuru kota mulai berpendar kembali. Tuas-tuas bercapit masih belum bergerak.
"Pertanyaan: Sorcerer Conlaed, apa perintah anda?"
"Lacak semua fur-ball yang kabur, berikan informasi keberadaan mereka padaku!"
"Dimengerti. Segera aktifkan: Pelacak lokasi ... semua ... makhluk percobaan!"
Brendan masih berlari. Dengan sihirnya dia terus mengecoh deteksi para tuas-tuas berkait, sembari melacak keberadaan tongkatnya. Angin yang dia panggil dengan terburu-buru membuat tongkat ulir Brendan terlontar cukup jauh, hingga ke tepian kota, di salah satu gua dangkal.
Walau napasnya hampir habis, akhirnya Brendan berhasil juga mencapai tujuan. Mantra penghilang keberadaannya mulai luntur ketika tiba di mulut gua. Melihat rapihnya dinding batu gua itu, sepertinya dulu gua itu adalah bangunan buatan yang terbengkalai. Tak begitu terlihat dengan banyaknya akar dan sulur yang meliputi.
Di ujung gua, Brendan bisa melihat sedikit pendar dari batu hijau di tongkatnya. Perasaan lega membuat lelah di tungkainya mulai terasa. Namun Brendan belum bisa istirahat, telinganya menangkap suara Alman yang memanggil.
"Bola bulu yang kau pegang tidak selucu tampilannya, Wings!"
"K-k-kita 'kan ... tidak tahu itu. Bisa saja yang ini bisa dididik jadi anak baik?" Brendan berusaha mengancam dengan mengacungkan tongkat ulirnya.
Alman menghela napas panjang. Tak begitu jelas karena silau cahaya dari luar, tetapi terlihat menggaruk kepala merahnya. "Benda itu tidak bisa dididik, Wings ... Kau yang Druid harusnya sadar, mereka tidak memiliki jiwa."
Brendan terdiam, melirik pada makhluk berbulu di tangannya. Wajah imut bermata biru. Mana mungkin yang seperti itu tidak berjiwa.
"Mereka bisa bergerak karena suplai energi yang diterima dua batu biru yang jadi mata mereka ... Kau pikir apa alasan makhluk berbulu semalam menyerangmu, Wings?"
Brendan terkesiap ketika mulut mungil makhluk di pelukannya menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajam. Apa yang dia kira sebagai telinga, ternyata adalah tungkai depan, memunculkan cakar untuk mencengkeram erat lengan pemuda Avian itu.
Brendan memekik. Lalu sebelum makhluk itu sempat melakukan sesuatu lebih jauh, tubuh bulatnya terbakar hebat. Berbeda dengan malam itu, sihir Almanlah yang membunuhnya. Menakutkan bagaimana benda itu bisa terbakar habis, sementara lengan Brendan hanya terlihat gosong sedikit di lengan baju.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top