Kepedihan

Brendan menghela napas panjang. Sejak pagi, Alman uring-uringan. Penyebabnya, pakaian yang susah payah dia temukan di salah satu bangunan toko, dilucuti lagi oleh para tuas bercapit. Sekali lagi mereka memaksa rekannya mengenakan tunik katun, rompi dan celana wool, serta dasi sutera berbentuk pita besar.

"TI-DAK-MA-U!!!"

"Hukuman: Memasak di ... dapur ... kantin Tavern. Disarankan: mengenakan ... celemek ... dan pelindung lain. Contoh: masker dan kacamata!"

"Red ...." Brendan ikut mencoba membujuk. "Memasak itu banyak berurusan dengan bahan panas dan merusak pakaian, memang sebaiknya memakai cel- ..."

"Baiklah!" sergah pemuda berambut merah itu, akhirnya. "Tapi aku hanya mau pakai celemek saja!"

Brendan bertanggung jawab memberi rempah dan bumbu masakan. Sedangkan Alman bertugas mengiris semua bahan yang akan dimasak. Di antara mereka, yang dengan patuh mengenakan pelindung tambahan hanya Brendan, walau agak menekan telinga sayapnya.

Dengan cekatan Brendan mulai memasukkan bahan-bahan yang sudah tersedia ke dalam kuali. Bumbu dan rempah juga bisa dia masukkan sesuai dengan resep yang terpampang di meja dapur. Proses memasak memang mirip dengan proses membuat ramuan yang sangat sering dilakukan oleh druid sepertinya.

Setelah memastikan sup di hadapannya tinggal menunggu selesai dididihkan, Brendan bermaksud meminta irisan sayur dan umbi pada Alman untuk tumisan. Begitu menoleh, pemuda Avian itu tertegun, nyaris tidak mempercayai penglihatannya.

Untuk kali pertama, sejak pertemuan mereka di pulau misterius itu, Brendan melihat rekan yang biasanya tampil gagah dan berani itu, bercucuran air mata. Bahkan ingus ikut mengalir dari hidungnya.

Alman, bolak-balik menggumamkan mantra untuk menghilangkan pedih. Tetapi percuma saja, ukuran umbi bawang yang harus dia iris-iris terlalu besar. Sudah sejam berlalu, dia masih belum juga selesai mengiris setengah umbinya, karena terhalang air mata.

"Brengseeek!" umpatnya kesal. "Tidak boleh pakai sihir untuk mengiris?"

"Jawaban: Mengiris ... dengan sihir ... hasilnya tidak akurat. Penjelasan: Dikhawatirkan akan melukai orang lain ... atau merusak barang."

"TIDAK AKAN!" bantah Alman sewot, sembari menyedot ingus. "Kendali sihirku sempurna, tahu!!!"

"Jawaban: Batu pengendali masih ... disita ... Dikhawatirkan- ...."

"KALAU GITU, KEMBALIKAN BATUKUUU!!!"

"Jawaban: Hukuman pada ... Individu- ...."

"Arrrgh ... Iya! Iya! Iya!" potong Alman lagi seraya menutup kedua telinganya. "Aku ingat, kok. Tidak usah diulang-ulang. Menyebalkan, tahu!!!"

"Persoalan: Individu Sorcerer Conlaed ... tidak mau mengenakan alat ... untuk meringankan pedihnya. Saran: putarkan ... lagu ... untuk menghibur."

Terdengar suara denging dan klak-klik halus. Brendan sedang menduga-duga gerakan alat mekanik macam apa yang bisa menimbulkan suara seperti itu, kemudian terdengar alunan lagu.

"Kumenangiiis,
membayangkan,
betapa kejamnya dirimu atas diriku."

Bukannya terhibur, mendengar lirik lagu itu malah membuat kemarahan Alman semakin menjadi-jadi. Dengan membabi-buta dia mengiris semua umbi bawang raksasa yang tersisa. Akibatnya seisi ruangan dipenuhi uap yang memedihkan hidung dan mata.

Brendan akhirnya perlu menggunakan tongkat ulir untuk memanggil angin dengan sihirnya. Membawa semua uap pedih itu keluar dari jendela ruangan. Dengan mata ikut berkaca-kaca karena sisa pedih di mata, pemuda itu menoleh pada Alman.

"Uhh ... Red? Mungkin pandangan mataku agak kabur karena air mata ... tapi, rasanya kelopak matamu menebal?"

"Bugan juma berasaanmu, Wig ... Madagu memag benggag barah. Hiduggu sambe bundu." **

**Bukan Cuma perasaanmu, Wings ... Mataku memang bengkak parah. Hidungku sampai buntu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top