Dongeng
Brendan meratap, kedua tangannya mencengkeram rumput lembut di dekat bebatuan, sementara matanya tertumbuk lurus pada permukaan kolam yang tenang. Tongkat kayu ulirnya, barang berharga pemberian sang guru, telah tenggelam.
"Ini semua salahmu, Red! Kembalikan tongkatkuuu!!!"
"Oke ... oke ... oke, yang tadi itu murni kesalahanku," sergah Alman. Menghambat suara rengekan Brendan dengan menutup telinga. Bahkan dengan telinga Huma-nya, lengkingan tangis pemuda bertelinga sayap itu cukup mengganggu.
Sebelumnya, akibat jamur yang dipetik dan dibakar oleh Alman, dia dan Brendan jadi mabuk seharian. Efek jamur itu muncul sangat lambat sehingga mereka tak segera menyadari. Tahu-tahu saja kedua orang itu sudah bernyanyi dan menari-nari bersama hasil halusinasi. Untunglah tidak ada makhluk lain yang mengambil kesempatan itu untuk memangsa mereka.
Namun, saat masih dalam pengaruh jamur, secara tidak sengaja Brendan menjatuhkan tongkat ulirnya. Detik-detik ketika kakinya terantuk batu, hingga menyebabkan tubuhnya terjerembab di rerumputan terasa berjalan lambat. Mungkin akibat lelah menari-nari seharian juga, genggaman tangannya melemah dan membuat tongkat terlepas. Setelah terpental sekali di bebatuan, meluncur mulus di atas rumput lembut, lalu ... PLUNG!
"AHAHAHA ... nyebuuur!" Alman baru saja menyusul sambil tergelak.
Brendan buru-buru bangkit dari jatuhnya untuk mengejar tongkat ulir itu. Terlambat, tongkatnya sudah tidak terlihat. Rupanya walau terbuat dari kayu, batu di ujungnya cukup berat untuk membuat tongkat itu terbenam. Dia sudah bersiap menceburkan diri ke dalam kolam, tetapi bahunya ditahan oleh Alman.
"Memangnya kau bisa berenang?"
Brendan hanya bisa menggeleng putus asa. Efek jamur yang tersisa membuat rasa tak berdayanya berlipat ganda. Sekejap saja pelupuk matanya sudah dipenuhi air.
"Tidak perlu khawatir, Wings ... untuk yang seperti ini kau punya mantra Druid yang bisa mengendalikan air itu, kan?"
Brendan menggelengkan kepala.
"Kalau pengendali angin? Kau ahli menggunakan mantra halus begitu, kan?"
Brendan kembali menggelengkan kepala.
"Ah ... mungkin kau bisa coba cantrip? Mantra level rendah yang bahkan tidak memerlukan pel- ...."
"Aku tidak bisaaa!" tangis Brendan pecah. "Tanpa tongkat ulirku, aku tidak bisa menggunakan sihiiir!"
"Ah, omong kosong!" Alman melambaikan tangan. "Tongkat itu cuma membantu konsentrasimu saja, lihat ... tanpa tongkat aku masih bisa menggunakan mantra," tambahnya seraya memainkan bola api yang dengan mudah dia munculkan begitu saja di telapak tangan.
"Kalau begitu, kau saja yang lakukan, Red!"
Balasan dari Brendan cukup mengejutkan hingga api di tangannya padam. Tetapi Alman malah terlihat senang. Dengan senyum lebar, pemuda berambut merah itu berjalan mendekati tepian kolam.
"Baiklah, coba lihat ini ... mantra sakti seorang Sorcerer kenamaan!"
Tanpa mempedulikan pandangan heran dari Brendan, Alman mulai mengumpulkan sihir dalam dirinya untuk merapal mantra. Bersamaan dengan itu dari dalam kolam muncul kelap-kelip bola-bola cahaya mungil. Brendan terperangah, dia menyiapkan hati untuk menjadi saksi sihir menakjubkan lain yang akan dikeluarkan oleh rekan seperjalanannya.
"Uhh ... Kunang-kunang ini bukan sihirku, lho," celetuk Alman.
"... Huh?"
"Aku bahkan belum mengucapkan mantra!"
Selamat datang di kolam gaib, wahai pendatang dari jauh!
Menggema suara misterius. Seperti beberapa orang yang berbeda bicara nyaris bersamaan. Alman mengedarkan pandangan ke sekeliling kolam, mencari asal suara. Sementara Brendan melihat permukaan kolam beriak pada setiap patah kata yang terdengar.
Sebuah benda baru saja tenggelam ke dalam kolam gaib ini, apakah kalian pemiliknya?
"YA!" jawab Brendan penuh semangat. Tak sempat mengagumi bagaimana butir-butir cahaya kembali menyembur setiap kali riak air timbul, menggantikan yang lenyap di udara setelah beberapa saat. "A-a-aku! Aku menjatuhkan tong- ...."
Tanpa menunggu Brendan menyelesaikan kalimatnya, air kolam mulai bergolak. Bersamaan dengan cahaya menyilaukan dari dasarnya, muncul dua siluet benda yang berbeda.
Apakah tongkat kayu ini ataukah persik raksasa ini, yang engkau jatuhkan, wahai pendatang?
Brendan termanggu sementara Alman kembali tergelak. Seperti tidak mempedulikan betapa konyolnya pertanyaan yang diajukan, suara misterius itu kembali bergema, mengulang kalimatnya.
"Te-tentu saja yang to- ...."
"Hei! Persik itu isinya apa sampai sebesar itu?"
"Eh, persik?"
Baiklah ... Ambillah persik raksasa ini, wahai pendatang!
"Eeehhh!!! Tunggu ... Tunggu ... Tunggu!!! Bukan persik, aku minta tongkatku! Heeei!!!"
Selamat jalan, wahai pendatang dari jauh ....
"Tunggguuu! Jangan pergi!!!"
Tangis dan teriakan Brendan tak ada artinya. Bersamaan dengan menghilangnya gema terakhir suara misterius, permukaan kolam kembali tenang. Tidak ada lagi riak maupun cahaya yang timbul.
"Oke, kataku!" tukas Alman, jengkel karena dihujani rengekan bercampur isak oleh Brendan. "Aku akan bantu menemukan kembali tongkatmu, tapi kau harus berhenti menangis dulu ... Berisik, tahu!"
Brendan terdiam. Isaknya masih tersisa. Dia masih kesal tetapi selama ini Alman selalu berhasil menyelesaikan masalah mereka, jadi dia menurut.
"Nah ... Aku bisa mengambil kembali tongkatmu, tetapi karena blukutuk-blukutuk misterius tadi keberadaan tongkatmu jadi tidak terlacak lagi. Jadi, aku perlu kau yang melacak keberadaannya."
"Tapi ... tanpa tongkat, aku tidak bisa!"
Alman melepas batu biru yang selama ini dia sematkan di penahan jubahnya.
"Kupinjamkan ... Aku dulu menggunakannya untuk belajar mengendalikan sihir," jelas Alman seraya menjatuhkan batu birunya ke tangan Brendan. "Kalau energi liar seorang Sorcerer setengah Beast saja bisa dikendalikan dengan batu itu, sekadar mantra deteksi saja pasti tak masalah, kan?"
Brendan menatap butiran biru cerah di tangannya. Warna yang sama dengan bola mata dan manik-manik penghias rambut Alman. Mungkin batu itu sama berharganya dengan tongkat ulir Brendan bagi rekan seperjalanannya.
"Bolehkah?" tanya Brendan, memastikan sekali lagi.
"Kecuali kau lebih ingin aku yang melakukan mantra pendeteksi."
Mengingat kali terakhir Alman melakukan mantra itu cukup membuat merinding. Entah monster-monster macam apa yang akan terpanggil olehnya kali ini.
Dengan batu biru di genggaman tangannya, Brendan mulai mengumpulkan sihir. Terasa agak berbeda dibandingkan dengan saat menggunakan tongkat ulirnya, tetapi dia merasa konsentrasinya bisa terfokus dengan baik. Mantra pendeteksi dirapalnya tanpa kesulitan.
Beberapa gelombang sihir yang bermuara dalam dirinya menyebar ke segala penjuru. Melintasi semua benda dan makhluk dengan sangat lembut tanpa membuat mereka terusik. Hanya seperti embusan angin sepoi-sepoi.
"Ketemu!" seru Brendan, girang. "Tongkatku, masih ada di dasar kolam ... 30 meter di dalam sana."
"Heh ... Pas batas maksimal, ya?"
Ganti Alman yang merapal mantra. Menggenggam batu biru miliknya membuat Brendan menyadari perbedaan mantra Sorcerer yang digunakan oleh Alman dengan mantra Druidnya. Melalui mata biru sebagai media, Alman mengubah mantranya menjadi fenomena magis, menggerakkan tangan tak kasat mata yang terulur jauh ke dalam kolam.
Apa yang terjadi di dasar kolam hanya bisa Brendan ketahui sebagai pergulatan antara sesuatu yang menahan tongkatnya dengan tangan-tangan sihir Alman. Apa pun yang ada di dalam sana menolak untuk menyerah, bahkan menghancurkan tangan-tangan sihir Alman.
Bersamaan dengan itu batu biru di tangan Brendan berpendar. Sepertinya benda itu beresonansi dengan sihir reaktif yang timbul seketika setelah mantra pertama Alman dimentahkan. Permukaan kolam beriak dan bergolak lebih hebat dari ketika tongkat dan persik raksasa muncul.
Hentikan ... Wahai pendatang, apa yang telah kau lakukan pada kolam gaib ini?
Suara misterius kembali bergema. Ada nada panik dalam kalimatnya. Sementara kolam terus bergolak semakin hebat, seolah-olah air di dalamnya mendidih. Dengan cemas Brendan melirik pada rekannya.
"Kembalikan tongkat temanku, sekarang juga!"
Terdengar pekikan panjang yang memilukan. Lalu permukaan kolam perlahan tenang kembali. Tak lama, dari dasar timbul tongkat ulir berbatu hijau milik Brendan. Benda itu melayang ke tangan Alman dengan selamat.
"Terimakasih, Red!" penuh sukacita Brendan menerima kembali tongkat berharganya. Sementara batu biru Alman berpindah tangan. "Apa yang bisa kulakukan untuk membalasnya?"
"Tak perlu ... Daripada itu, aku masih penasaran dengan persik raksasa ini, menurutmu apa isinya?"
Perhatian Brendan teralih pada butiran persik yang kini tergeletak di rerumputan. Tingginya nyaris sepinggang, sementara lebarnya mencapai satu rentangan tangan orang dewasa. Permukaannya berbulu halus, aromanya manis, dan warnanya terlihat ranum.
"Kelihatannya ... enak, ya?" komentar Alman menyuarakan isi hati Brendan juga. "Ayo kita belah!"
Brendan buru-buru menahan lengan Alman yang sudah mengeluarkan pedang pendeknya. Instingnya mengatakan bahwa sebaiknya mereka memeriksa isi persik dengan sihir terlebih dahulu sebelum membelahnya. Ternyata benar, dia mendeteksi ada makhluk hidup di dalam persik itu.
"Belah dengan hati-hati!" Brendan mengingatkan. Walau terlihat agak enggan, Alman menurut.
Ketika buah persik raksasa terbelah, dari belahannya tergolek sosok seorang bayi. Besar dan bertanduk. Bahkan dalam kondisi tidur pun di mata Brendan bayi itu terlihat mengancam dengan taring menyembul dari sela-sela bibirnya.
"Uweeeh ... Bayi ogre? Jadi tidak berselera makan buahnya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top