Keping 8 Belantara Kota

Sepulang sekolah di hari Rabu ini aku pergi ke rumah Clara sebentar. Di sana sangat asyik, kami membuat bermacam macam kue. Mama Clara sangat baik.

Pulangnya aku diberi satu wadah penuh kue. Senangnya...

Sampai di rumah pukul 17.00, Agas dengan wajah bersungut-sungut menungguku di teras depan.

"Hai... Nih, buat kamu," kataku sembari menyodorkan bungkusan berisi kue padanya.

Agas masih menatapku sebal.

"Kenapa? Ada apa?" tanyaku bingung.

"Huh, kamu harusnya ingat. Hari ini katanya mau ikut ke tempat kerjaku!" kata Agas dengan malas.

"Eh, iya iya...," jawabku menunduk.

"Kalau begitu sana mandi! Pakai gaun yang bagus dan kita berangkat pukul tujuh malam. Aku lagi masak nih," perintah Agas padaku.

"Emang kamu siapa? Perintah-perintah aku segala! Aku tahu! Aku bukan anak kecil!" kataku dengan nada marah.

Namun, ternyata Agas bermain-main. Dia sekarang sedang tertawa lebar. Wajahnya terlihat menyebalkan!

***

Sebenarnya aku ragu dengan tempatnya bekerja. Aku takut kalau misalnya dia membawa diriku ke sisi gelap kota lalu bertindak jahat padaku.

Eh, aku tidak perlu takut kan?
Aku ini kuat, kan?
Tapi bagaimana kalau ternyata Agas memiliki bala bantuan para penyihir gelap yang diselundupkan pemerintah?

Ah, sudahlah. Agas itu kan polos...

Ceklek

Aku membuka pintu kamarku. Kali ini aku memakai gaun dengan rok selutut tanpa lengan berwarna maroon. Rambutku ku gerai sempurna.

Di ruang tamu Agas yang sedang menonton televisi bersama camilan, terlihat sedang menatapku dengan tatapan ingin menerjang.

Aku jadi risih. Ternyata Agas juga terlihat sudah rapi. Dia memakai tuxedo hitam.

Tunggu tuxedo? Dia mau kemana?
Kita mau kemana?
Pesta dansa?

"Hoi!!! Jangan tatap aku kayak gitu!" teriakku.

"... Dan lagi, kita mau kemana sih? Tempat kerja kamu di mana, hah?!!" teriakku keras tidak sabaran.

"Jangan keras-keras dong, udah cantik gitu masa ngomongnya kasar?" kata Agas pelan.

Apa aku terlalu keras?
Lihatlah Agas terlihat takut...
Mungkin dia bohong!!!

"Ok, emangnya tempat kerja kamu di mana?" tanyaku masih dengan nada yang tadi.

"Belantara kota," katanya pelan hampir bebisik. Namun, suara beratnya membuat kata itu terasa seram.

Agas mendengus pelan lalu membawa biolanya dan menarik tanganku untuk segera pergi. Aku hanya menurut.

Kami berangkat memakai mobilku. Agas yang menyetir.

Di dalam mobil, pandanganku lurus ke depan. Mata merahku menangkap berbagai hal. Termasuk lirikan Agas kepadaku. Aku tahu dia melirikku sesekali kalau ada kesempatan.

Mencuri pandang. Kurasa itu dia sebutan yang cocok.

Dan setiap itu pula jantungku berdetak lebih kencang. Rasanya seperti selalu kaget saat Agas mencuri pandang padaku.

Padahal bukankah aku sudah melihat?
Kenapa aku masih kaget?

Tentu saja ini bukan kaget, lalu apa?
Lalu apa dak dik duk di saat tidak kaget?

Entahlah, aku tidak pandai akan hal itu. Tapi sekarang yang pasti aku gugup. Gugup dengan tempat tujuan kami.

"Hei, jangan mencuri pandang kepadaku!" bentakku pelan. Setelah sekian lama menyusun kata untuk diucapkan.

"E-eh, a-ak-u nggak curi pandang kok," katanya pelan dengan wajah bingung, gugup, dan kaget.

***

Setelah berhenti di sebuah rumah besar bagaikan istana emas, kami langsung dipersilakan masuk. Agas menunjukkan kartu namanya kepada seorang wanita bergaun perak.

Kami berdua masuk dengan langkah perlahan.

Tangan kiri Agas memegang biola sedangkan tangan kanannya mencengkeram erat tangan dinginku.

Sampai di ruang utama aku hampir pingsan melihat pemandangan ini.

Lihatlah ini tempat hiburan!
Ini hotel dengan fasilitas lengkap!

Kenapa aku tidak pernah tahu ada tempat seperti ini di negeri ini?

Buk!

Aku menabrak seorang laki-laki memakai jas hitam dengan sepatu mengkilat. Dia pasti orang kaya.

Laki-laki itu mendelik kepadaku. Lalu yang lebih mengagetkan dia...

"Kyaa!!" jeritku ketika dia mengelus rambut panjangku. Aku segera bersembunyi di balik punggung Agas.

Agas menatap laki-laki itu dengan dingin.

"Oh, selamat malam Tuan Zarefa, apa sekarang profesimu telah beralih? Aku tertarik dengan wanita di punggungmu itu. Dia terlihat menarik. Apa aku boleh pinjam dia?" kata laki-laki sialan menyebalkan itu.

Aku sudah mau marah, semarah marahnya. Tapi tangan Agas menghalangiku.

"Begini Tuan Felix, dia adalah pacarku. Jadi, dia istimewa buatku," kata Agas dengan nada dingin.

Laki-laki itu hanya menatap Agas sejenak lalu pergi.

"Agas, jelaskan semuanya!" kataku pelan tapi penuh penekanan.

Kami berdua memasuki lift. Agas menekan angka -3.

"Ini adalah hotel sekaligus tempat hiburan malam untuk semua orang kaya baik pegawai sipil maupun pengusaha. Para pejabat pemerintah adalah pengunjung utama tempat ini.

Lantai bawah tanah, ada tiga lantai. Kita menuju lantai terbawah di mana aku bekerja. Aku bekerja satu minggu sekali," jelas Agas dengan cahaya mata yang meredup.

Aku tak berani mengucapkan apa pun. Aku terlalu takut menyinggung perasaan Agas.

Ting!

Kami telah sampai. Di sana terlihat puluhan laki-laki kaya menggandeng perempuan cantik dengan pakaian ketat. Mereka melihat ke arah Agas dan aku.

Agas menarik tanganku. Kami berdua membelah lautan manusia di depan kami.

Masih dengan menuntun tanganku, Agas naik ke atas panggung di pinggir ruangan. Di atas panggung itu, berjejer berbagai alat musik lengkap dengan berbagai ukuran.

Perlahan Agas mengeluarkan biolanya. Aku duduk tidak jauh darinya.

Agas memulai pertunjukan musiknya.

.... .... .... .... .... ..... ..........

Alunan nadanya membuatku merasa bahagia. Rasa bahagia yang aneh. Rasa bahagia yang hanya ilusi. Tapi bedanya rasa ini tidak dibuat dengan meminum narkoba atau bahan kimia. Melainkan melalui cara alami, yaitu musik dan sihir.

Aku meraih harpa yang berukuran sedang. Mulai memetiknya dan menyesuaikan alunan nadanya dengan milik Agas.

Satu jam kemudian...

Orang-orang yang berdansa semakin banyak.

Hingga satu jam lagi, para peserta dansa di depan panggung mulai berpelukan erat.

Dua jam kemudian...

Mereka mulai berciuman. Suara kecupan terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Suara kecupan itu membuatku merinding.

Satu jam setelahnya...

Lautan manusia di depan panggung mulai berkurang. Mereka mulai menuntun pasangan mereka memasuki kamar-kamar di pinggir ruangan.

Tanganku mulai memerah karena memetik senar harpa tanpa henti selama 5 jam lebih.

Aku melirik Agas, memohon untuk segera menghentikan pertunjukan musik ini.

"Satu jam lagi...," bisik Agas dengan suara sepelan mungkin.

Satu jam terakhir itu, terasa seperti satu tahun. Manusia-manusia di depan panggung mulai menepi mencari kamar kosong di pinggir ruangan.

Akhirnya, ruangan ini telah kosong sempurna.

Agas memasukkan biola ke dalam tasnya. Sedangkan aku meletakkan harpa ke tempat semula.

Tiba-tiba seorang laki-laki memakai kaus dan celana jins datang mendekat sambil menenteng tas kulit berukuran sedang.

Dia menyerahkan tas itu kepada Agas. Agas mengambilnya lalu menarikku untuk segera pergi.

Aku dan Agas masuk lift.

Ting!
Kami sampai.

"Awww," pekikku kesakitan karena Agas menggenggam terlalu erat pada tanganku.

Agas tidak peduli dan terus menarikku keluar dari bangunan megah itu.

Sampai di dalam mobil, aku hanya diam menatap keluar jendela. Lalu, sekali-sekali menatap tanganku yang merah dan tergores.

Tidak ada rasa marah di dalam diriku. Yang ada hanya rasa sedih. Jadi, beginikah kehidupan orang yang bernasib seperti Agas?

Menderita, menghabiskan 6 jam hanya untuk menghibur dan mendorong gairah puluhan orang-orang pemilik nafsu yang buruk.

Sekali lagi kulirik Agas yang tengah terpaku meratapi jalan raya. Aku tahu, baginya tempat tadi adalah kantornya juga sebagai neraka baginya.

Kalau saja semua orang memiliki kepandaian dan bakat sepertiku...
Mungkin tak ada yang hidup sengsara.

Tapi bukankah semua ini telah menjadi takdir Tuhan?

"Agas," panggilku pelan.

"Hmmn?"

"Aku minta maaf," kataku dengan menunduk. Menutupi air mataku yang hampir jatuh.

"Aku tahu, aku juga minta maaf telah mengajakmu ke sana," kata Agas.

"Tapi, tak apa. Lagi pula tempat itu tidak terlalu buruk. Mungkin hanya kesan pertamaku saja yang terlalu egois,"

"Venus, bakat bisa dicari. Takdir dan nasib bisa diubah. Harta kekayaan bisa didapat dengan mudah. Yang sulit itu kesetiaan dan ketulusan hati," kata Agas dengan menatapku.

Tatapannya sulit diartikan. Mungkin semua itu karena kehidupannya yang keras.

Tapi, setelahnya Agas mulai tersenyum. Sorot mata hitam cemerlangnya kembali menyala. Lesung pipinya terukir sempurna saat bibir merah mudanya tersenyum.

Tanpa terasa aku ikut tersenyum.

***

Belantara Kota

Tempat di mana kita bisa melihat dan memahami arti dari sebuah kehidupan

Tempat kita melihat di mana nasib orang orang selain kita

Belantara kota, begitulah tempatnya
Tetapi, sebuah makna besar terpendam rapi di dalam sana

Manusia diciptakan berbeda
Agar setiap manusia itu sendiri tahu kelebihan dan kekurangannya

Menerima manusia lain apa adanya adalah hal yang baik

Sadari dan resapi,

***

Hai readers....
Ketemu lagi nih, baca dan langsung vote yukk...

Kalau ada kesalahan typo tolong diingatkan yah...

Yang mau saran jua boleh...

Jangan lupa vote, komen, dan saran ya...

Saya tunggu...

Konnichiwa
Arrigatou

TBC

See you,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top