Keping 6 Tamu Selamanya

Teng! Teng! Teng! Teng!

Bel masuk telah berbunyi. Pelajaran sejarah akan segera dimulai.

"Halo, saya Miss Antha guru sejarah di sini. Salam kenal,"

"Sejarah sihir dimulai dari kemajuan teknologi di bumi. Masa itu, bumi sudah sangat maju. Tapi para ilmuwan masih berambisi untuk menghancurkan batas kemajuan manusia.

Hingga suatu hari, datanglah seorang anak remaja berambut hitam dan bermata merah semerah darah. Tidak ada yang tahu dia berasal dari negara mana.

Yang para ilmuwan tahu, remaja itu jenius. Maka para ilmuwan menyekolahkan dan mendidiknya secara istimewa.

Setelah dewasa, remaja itu membuat berbagai macam benda. Benda benda yang dibuatnya sangatlah maju. Setiap kali para ilmuwan bertanya bagaimana caranya. Dia hanya menunjukkan kertas berisi kalimat-kalimat aneh.

Orang itu pun menyebarkan suatu ilmu yang dia beri nama 'Ilmu Sihir' .

Akhirnya setelah beberapa dekade...

Semua orang di bumi bisa menggunakan sihir. Orang orang sangat bersyukur karena sihir dan teknologi saling melengkapi," jelas Miss Anita.

"Siapa yang hendak bertanya?"

Sie mengangkat tangan.

"Baiklah, Sie silahkan bertanya,"

"Bu bagaimana dengan orang asing itu setelahnya?" tanya Sie.

"Pertanyaan bagus Sie. Orang asing itu menghilang. Tak ada yang tahu kemana dia menghilang. Dia di cari di seluruh dunia. Namun, dia seperti hilang ditelan bumi,"

Sie mengangguk paham.

Sie adalah teman Jim. Jim mengenalkannya kepadaku. Namanya lengkapnya Eridanus Sie Lacerta. Namanya keren menurutku.

Aku mengenal kata 'Eridanus' dan 'Lacerta' apa ya? Ah, iya. Nama bintang.

Sie adalah anak orang kaya. Memiliki sebuah pulau milik pribadi namanya Pulau Bintang. Kata Jim, Pulau Bintang sering disewakan untuk kegiatan tes, jalan-jalan atau sekadar camping.

Pelajaran sejarah selesai.

***

Pulangnya aku sendirian lagi. Clara pergi ke rumah teman barunya, Kashi. Dia pergi bersama Anna juga. Tadi aku sempat diajak tapi aku menolak. Aku kelelahan hari ini.

Teman Clara baik-baik sepertinya. Shaula Kashi, seorang wanita jenius dari kelas 1B dan Anna Stephanie Lollyta cewek periang yang juga dari kelas yang sama.

Kenapa aku tidak sekelas saja dengan Clara?

Kan bisa berteman dengan teman teman Clara yang baik itu.

Di kelas 1A, aku masih kenal Jim, Alfa, dan Sie. Mereka semua laki-laki dan seorang musuh baru yaitu Alfa.

Nasib...nasib...

Bruukk...

Tiba-tiba saat aku berjalan ke jembatan aku menabrak sesuatu dan terjatuh.

"Aawww...," desahku mengelus kakiku yang sakit.

"Woooyy! Jalan tuh pake mata! Dasar bocah!!" orang yang kutabrak membentakku.

"Wooyy! Jalan ya pake kaki! Kasihan mata gua!" seruku tak kalah keras.

Kini aku telah berdiri.

"Kamu berani sama saya?" tanya orang di depanku.

Ku amati baik-baik dengan mata merah milikku.

Dia seorang bodyguard bertubuh kekar berisi dan tatapan membunuh.

Dia bersama kawan kawannya. Mereka semua berjumlah 20 orang. Mereka sedang mengerumuni sesuatu dan terdengar...

Buk! Bukbuk! Buk!
Bukbuk! Buk! Bukbukbuk! Buk!
Buk! Buk! Buk!

Mereka mengeroyok seorang remaja laki-laki.

"Kalau saya berani, bapak mau apa?" tanyaku dengan nada sinis.

"Hei! Kamu itu berani banget ya! Kalau kamu berani ayo lawan aku dan teman-temanku sekarang!" bentaknya padaku.

Dia mengangkat tangan. Kemudian beberapa temannya mendekat sedangkan separuhnya masih sibuk menghajar remaja itu.

"Kapan?" tanyaku mencibir.

Mereka mulai merangsek maju mulai dari bapak-bapak menyebalkan tadi. Tanganku sudah gatal dari tadi, ingin rasanya kurobek perut dan dada tuan tuan tak tahu malu itu.

Mereka hanya berani mengeroyok remaja dengan beramai-ramai, bukan?

Srrettt...

Aku merobek perutnya sampai dia mati. Teman-temannya hanya melongo tak percaya. Mataku berkilat merah menyala.

Aku benci mengakuinya, tapi aku sangat bersemangat kalau hal itu adalah membunuh orang.

Berikutnya...

Sreeettt...

Berikutnya...

Sreeetttt..

Berikutnya...

Sssreet...

Berikutnya...

Sreett...

Berikutnya

Buk! Sreeett!!!

Berikutnya...

Buk! Buk! Buk!

Kraaakkk! Kraakk!!

Berikutnya...

Sreet!!!

15 orang telah tumbang dengan luka dominan yaitu dada dan perut. Kedua tanganku sudah berlepotan darah.

Tinggal 5 orang. Mereka seperti ingin kabur. Tapi aku mencegahnya.

Buk! Buk! Buk!

Sreett...

Sreeet...sreet..

Sreet...

Mereka tersungkur ke aspal jalanan. Aku berlari ke sungai di bawah jembatan. Mencuci kedua tanganku dan sarung tanganku.

Aku kembali ke jembatan untuk melihat remaja laki-laki tadi. Dia masih belum bangun, sepertinya dia kesakitan.

***

Agas P.O.V.

Tubuhku serasa remuk redam. Kulihat seorang wanita seumuranku dengan tatapan mata merah mengerikan telah menolongku.

Sekarang dia berada di depanku. Menatapku dengan mata merahnya yang berkilat. Rambut lurus hitamnya tergerai hingga pahanya. Hidungnya mancung tapi mungil, alisnya tebal dengan raut wajah tegas, dan bibirnya yang merah muda kecoklatan.

Malaikat penyelamat nyawaku...

Dia cantik. Secantik Kishargal...

Putri cantik dari dongeng yang sering diceritakan ibuku sebagai pengantar tidur.

Aku berusaha bangun dengan gemetar. Ternyata wanita cantik itu lima centimeter lebih pendek dariku. Kujulurkan tanganku. Dia masih menatapku aneh.

"Terima kasih telah menyelamatkan aku, perkenalkan namaku Agas Zarefa Pramana. Panggil aja Agas, salam kenal," kataku kepada wanita di depanku.

"Oh. Namaku Ferrenicha Venus Camelia, salam kenal juga," jawabnya.

"Bagaimana kalau aku memanggilmu Venus?" tanyaku hati-hati.

Dia mengangguk.

"Baiklah, Venus,"

"Apa kau bisa jalan?" tanya Venus padaku.

"Eh, se-sepertinya iya," jawabku gugup.

"Kalau nggak bisa, aku bisa gendong kamu sampai rumah," kata Venus padaku.

Aku terkejut, malaikatku ingin gendong aku sampai rumah?

"Ti-tidak perlu, terima kasih," jawabku gugup.

"Kau sangat meragukan, aku akan menemanimu sampai rumah," kata Venus kepadaku.

Venus sungguh baik.

"Baiklah,"

Kami berjalan menuju rumahku, tepatnya kos-kosan tempat aku tinggal. Sepanjang jalan aku terus mengajaknya bicara.

"Jadi, kamu itu tinggal di mana?" tanyaku

"Di dekat sini," jawab Venus.

"Oh. Kamu kelas mana?" tanyaku.

"1A,"

"Wuih, berarti pintar bertarung. Kalau aku dari kelas 1C. Hmmn, sebenarnya aku tidak suka jadi teknisi," kataku.

"..."

Gila! Ini cewek irit amat ngomongnya!

Agas P.O.V. end

***

Kami sampai di kos-kosan. Selama perjalanan kami berdua tak berbicara apapun. Sepertinya Agas kehabisan kata-kata.

"Hmmn, kenapa ada sepatu ibu-ibu di sini?" gumam Agas saat melihat sepasang sepatu di depan kosnya.

Tiba-tiba keluar seorang ibu-ibu gendut membawa dua tas besar. Kurasa dia ibu pemilik kos ini.

"Hei, kau bayar kos ini! Dan segera pergi karena ada pelanggan lain yang ingin menempati kos ini!" bentak ibu kos ini pada Agas.

"Bu, aku mohon beri kesempatan sehari saja. Besok malam aku baru bekerja, tolonglah bu," mohon Agas dengan memelas.

"Tidak bisa! Kamu harus angkat kaki dari sini! Ini pakaian kamu!" bentak ibu kos kepada Agas.

Agas mencari sesuatu di kedua tasnya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sepertinya dia tidak menemukan sesuatu yang dia cari.

"Di mana biola kesayanganku?" tanya Agas kepada ibu kos.

"Akan ku sita dahulu! Kalau kau menginginkannya kembali, cepatlah membayar!" kata ibu kos keras.

"Tapi aku tak punya uang... Biola itu satu-satunya barang berharg milikku," desah Agas frustasi.

"Terserah! Aku tak peduli!! Turuti dulu mauku!" ancam ibu kos.

"Aku mohon bu, saya tak punya tempat tinggal selain di sini," Agas memohon untuk kesekian kalinya.

"Hei! Kalau pun kamu bisa membayar sekarang, kamu tetap harus angkat kaki dari tempat ini!!!" bentak Ibu kos.

"Tapi, bu...,"

"Tak ada tapi-tapian!"

Agas menunduk dalam. Dia benar-benar frustasi.

Aku merasa sangat iba kepada Agas. Rasanya aku juga ikut kesal dengan perlakuan ibu-ibu gendut tak tahu diri ini.

Kubuka ranselku dan mengambil segepok uang tanpa menghitungnya. Dengan cepat kuserahkan uang itu pada ibu kos.

"Mana biolanya!" bentakku.

Ibu kos akhirnya menyodorkan biola milik Agas dan aku langsung mengambilnya. Aku menarik Agas yang masih tercengang untuk segera pergi dari kos kecil menyebalkan itu.

"Nona! Kembaliannya!" teriak ibu kos mengingatkan.

"Ambil saja!" teriakku dari kejauhan. Kulihat ibu kos menyebalkan itu tersenyum puas.

Dasar perempuan licik!
Maki ku dalam hati kepada ibu kos.

Aku berjalan membawa dua tas besar dan biola. Sedangkan Agas mengikutiku dibelakang dengan tertatih-tatih dan terbengong-bengong.

Tak lama dia menjajari langkahku.

"Venus, aku tidak tahu harus bilang apa. Hari ini kau menyelamatkan nyawaku dan hutangku," kata Agas dengan menunduk.

"Bilang makasih aja kek! Gak usah sok lebay!" kataku ketus.

"Iyah, iyah... Makasih malaikatku," kata Agas keceplosan, dia segera menutup mulutnya.

"Apa? Lu bilang apa?" tanyaku kaget dengan perkataannya.

Apa katanya? Malaikat? Dia gila!

"Ehmmmn, gak ngomong apa-apa kok," kata Agas gugup.

Mana mungkin? Tadi aku dengar dengan jelas. Ah, sudahlah aku tak peduli.

"Memangnya orangtua kamu di mana?" tanyaku kemudian.

"Mereka meninggal satu tahun yang lalu. Mereka meninggal dalam keadaan mengerikan. Mereka dibunuh," kata Agas dengan nada sedih.

"Terus?" tanyaku.

"Mereka meninggalkan hutang yang sangat besar. Aku baru bisa membayar seperempatnya. Aku kehilangan rumah dan segalanya," kata Agas sambil mengingat kejadian demi kejadian masa lalunya.

"Terus?" tanyaku.

"Aku bekerja keras untuk membayar hutang dan mencukupi kebutuhan hidupku. Hidupku sangat sengsara," kata Agas dengan mata berkaca-kaca.

"Terus?" tanyaku lagi.

"Sekarang aku dikejar-kejar orang untuk membayar hutang dan dikejar orang asing yang ingin membunuhku. Bahkan lebih parahnya aku tidak punya tempat tinggal lagi sekarang," ratap Agas.

"Terus?" tanyaku lagi.

"..."

Agas menjawab dengan desahan napas.

"Terus?" tanyaku kembali.

"Aku bingung cari tempat tinggal. Di kota ini tidak ada yang murah," ratap Agas kembali.

"Terus?"

"..."

"Terus?" tanyaku lagi.

"Aku tuh capek! Lemas dan pusing tahu! Terus?! Terus?! Terus?! Lo kira gue mobil yang mau keluar dari parkiran?" tanya Agas dengan telinga memerah.

"Katamu capek? Tas lu aja gua yang bawa!!," bentakku.

"Sory Venus, aku sangat frustasi. Aku bahkan gak tahu lagi harus tinggal di mana...," kata Agas merasa bersalah.

"Ok ok. Kamu boleh tinggal di rumahku," kataku.

"Seharusnya kamu bersyukur karena bisa hidup dengan orang tua kandungmu!" kataku sembari menatap cakrawala langit.

"Eh, beneran nih?? Waahh, makasih Venus," kata Agas dengan mata berbinar-binar.

"Memangnya kenapa dengan masalah orang tua? Kedua orang tuamu di mana?" tanya Agas menanggapi kalimat keduaku.

"Gak tahu. Aku belum pernah melihat orang tuaku. Dulu aku hidup dengan orang tua angkatku. Keluarga Marlon Alexandrea," jelasku.

"Oh, jadi begitu aku turut sedih. Ternyata kenyataan kamu lebih buruk, tapi bukankah diangkat jadi anak keluarga Marlon Alexandrea itu enak? Hidupmu enak kan?" tanya Agas hati hati.

"Kata siapa enak! Di sana aku dimanfaatkan sejak kecil, terutama kemampuanku. Aku disuruh mengerjakan pekerjaan kotor," kataku sedih.

Emosiku bergejolak. Mungkin mataku sudah merah lagi dari tadi.

"Pekerjaan kotor?" tanya Agas penasaran.

"Membunuh, mencuri, dan menipu," jawabku pelan.

Agas tampak sedikit terkejut. Tapi sesaat kemudian dia kembali tenang.

"Kita sampai," kataku.

Agas menatap rumah di depan kami. Dia seperti terkejut dan terpesona dengan keindahan rumahku.

"I-ini rumah kamu?" gumam Agas tak percaya.

Di dalam rumah aku menunjukkan kamar kosong di sebelah kamarku.

Agas masih takjub.

"Ini tasmu, tata dengan rapi. Aku tidak suka berantakan. Setelahnya, masaklah masakan untuk makan malamku. Ingat kau harus membersihkan rumah ini juga!" kataku datar.

"Baiklah, aku akan melakukan apapun pekerjaan di rumah ini. Aku masih berhutang banyak padamu," kata Agas dengan senyum lebar.

"Kau berhutang seluruh hidupmu," kataku dengan nada mengancam.

"Ba-baiklah," kata Agas menelan ludah.

"Aku bercanda! Hahaha...," aku tertawa terbahak-bahak.

***

Agas P.O.V.

"Aku bercanda! Hahaha...," Venus tertawa lepas.

Dia terlihat seperti benar-benar malaikat. Ini pertama kalinya dia tertawa dan tersenyum sejak bertemu tadi.

"Aku mau mandi! Setelah mandi makanan sudah harus siap!"

"Ok Venus..,"kataku tenang.

Setelah mandi dan merapikan rambut aku segera keluar memasak makanan. Aku memasak sup jamur, ayam panggang, dan susu cokelat hangat.

Venus masih berpikir di dalam kamarnya. Ia telah mengizinkan seorang laki-laki aneh bermata hitam cemerlang, rambut lurus berwarna hitam, hidung mancung, lesung pipit, bibir merah muda, dan alis tipis tinggal di rumahnya.

Venus menghela napas pelan.

Saat Venus keluar kamar ia dikejutkan dengan penampilanku yang berbeda. Aku jauh lebih segar dan ceria.

Aku juga terpana ketika Venus keluar dari kamarnya. Dia terlihat cantik dengan dres selutut warna putih tanpa lengan. Rambutnya yang setengah basah dibiarkan tergerai rapi.

Venus tersenyum kepadaku dan langsung menuju meja makan. Dia makan dengan lahap. Dia perempuan yang rakus.

Ternyata makannya lebih dari tiga porsi besar.

Untung saja aku memasak banyak makanan dan diriku masih mendapat bagian. Tanpa kuketahui aku tersenyum bahagia melihat Venus.

"Agas," kata Venus pelan karena masih banyak makanan di mulutnya.

Dan itu pertama kalinya dia memanggil namaku sejak bertemu tadi siang. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Apa?" tanyaku gugup.

Dia menelan makanannya dan menjawab,

"Masakanmu enak banget...," kata Venus padaku. Mungkin kalau dalam drama, pipiku sudah semerah tomat.

"Kok, telinga kamu merah? Kamu marah? Besok-besok masak yang banyak ya... Kalau bahannya habis langsung belanja aja. Kalau uang kamu habis bilang ke aku, nanti aku kasih kamu kartu tabungan. Isinya mau buat apa terserah kamu," kalimat terpanjang yang diucapkan Venus padaku.

"Satu lagi, jangan tatap aku dengan mata hitammu itu! Nanti kucongkel pakai garpu ini!" ancam padaku. Aku baru sadar ternyata aku menatapnya dari tadi.

Aku mengangguk paham pada Venus.

Dan lagi, jadi selama ini kalau aku tersipu, yang merah itu bukan pipiku? Melainkan telingaku? Aku akan dikira pemarah.

"Venus," kataku pelan.

"Ya?" jawabnya singkat.

"Besok malam mau ikut ke tempat kerjaku?" tanyaku hati hati.

"Iya boleh, aku juga lagi penasaran sama kerja kamu!"

Venus menutup pintu kamarnya pelan.
Aku mendesah pelan. Hari ini hari yang panjang, kurasa aku juga harus tidur.

Agas P.O.V. end

***

Ferre tidak tahu kalu Agas adalah tamu selamanya dalam hidupnya.
Agas menjadi kunci petualangan Ferre di dimensi lain.

*****

Hai...
Readers...
Kalian semangat terus baca cerita ini ya...
Nantikan keping berikutnya...

Beri vote, komen, dan sarannya...

Keping ini memang keping yang panjang.

Saya tunggu saran dan votenya ya..
Ingatkan kalau ada typo nya,
Saya akan segera merevisinya..

Terima kasih atas perhatiannya...
Arrigatou gozaimazu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top