Keping 17 Dermaga Manusia

Ferre

Kemarin, setelah Malam pergi suasana menjadi mencekam. Agam yang membuatnya demikian. Sedangkan Agas malah tampak bersemangat menantikan petualangan ke dimensi lain. Agam mengkerut, tidak ingin kembali ke dimensi Bulan karena dia akan terkena marah ayahnya, Pak Fred. Aku mendengus kesal.
Aku pun menyuruh mereka untuk berkemas ransel mereka. Lalu, kusuruh untuk memakai pakaian khusus sekolah. Pakaian penyihir.

Aku keluar dari kamar dengan membawa ransel penuh perlengkapan dan tiga jubah hitam bertudung. Serta, sebuah peta. Peta dunia pararel yang kuambil kemarin di perpustakaan dimensi Bulan. Sebenarnya, waktu itu bentuknya hanya deretan memori, tetapi aku menuliskannya ke dalam kertas sihir.

Perlahan kertas itu kubentangkan. Dengan sentuhan pelan aku menorehkan tanganku di atasnya. Pendar warna bermunculan. Dimensi Bulan berpendar berwarna biru, di bawah dimensi Bulan adalah dimensi Bumi berpendar berwarna hijau, dan dibawahnya lagi perndar lain yang samar, berwarna hitam keabu-abuan. Di atas dimensi Bulan ada pendar berwarna merah, dimensi Mars. Di atasnya lagi, hanya kabut tak berbentuk berwarna putih. Bukan, bukan batas. Hanya saja belum ada yang mampu untuk menjangkau dan memetakannya.

Jika dimensi Mars adalah dermaga para dewa, maka dimensi bulan adalah dermaga malaikat. Dimensi Mars lebih hidup akan emosi sehingga dihuni para dewa sedangkan dimensi Bulan lebih kontras dengan keadaannyyang dingin dan damai abadi dihuni oleh para malaikat, walaupun pada dasarnya tingkat mereka adalah sejajar. Lalu, dimensi Bumi. Tempat makhluk rendah dan diatur oleh para malaikat dan dewa. Aku tak berani menyebutnya seperti itu.

Aku menelan ludah menatap Agas. Dia manggut-manggut tampak memikirkan sesuatu. Bumi, akan kusebut dermaga manusia. Pemilik akal sekaligus rasa, mungkin.

Aku menyentuh bagian pendar hijau Bumi. Agam yang di sampingku ikut menyimak diam. Pendar hijau itu menunjukkan bagian kota ini, tempat kami berada. Menunjukkan lokasi-lokasi berbeda secara acak dan cepat. Memilah keberadaan spirit dan sihir aneh, serta anomali lainnya.

Derap langkah kami begitu terdengar ketika mulai memasuki aula Phoebus Academy. Yah, tak seperti perkiraan. Ternyata sihir merah berada di dekat sekolah. Lalu, saat aku amati baik-baik tak menemukan apapun. Namun, Agas entah apa yang terjadi dengan matanya dia menunjukkan sisi dengan spirit biru berpendar. Agam pun memperbesar peta. Di dalam sekolah beberapa guru dan siswa yang mempersiapkan acara besok. Salah satunya ada Alfa.

Jadi, kami memutuskan untuk ke sini.

"Venus, kita mau ke mana, sih? Di sini saja. Kita juga sudah sampai. Aku capek, ranselku berat," Kata Agas dengan wajah memelas.

"Sssssst, diam. Aku sedang mengamati situasi," Bisikku agar Agas diam. Dia tampak bersungut-sungut.

Sementara Agam, entah apa yang terjadi. Sebenarnya, aku ingin tertawa. Mata miliknya berpendar biru terang sekali, seperti senter. Aku takut karena itu kami akan ketahuan. Namun, penerangan dari cahaya itu membantu diriku yang mata normalnya buruk.

Kami memasuki sisi lain aula yang berseberangan dengan Alfa. Misi kita harus mencegah sihir merah itu mendekati Alfa.
Namun, baru saja kami tiba di sisi itu. Sepasang mata menyeramkan seperti yang diceritakan oleh Malam telah lebih dulu mengetahui keberadaan kami. Mata beriris ungu dengan lingkaran berwarna emas berpendar di malam hari. Aku menahan napas, mata itu begitu menakjubkan. Tapi itu artinya Zohrah telah bersatu dengan Iblis Merahnya.

Sayapnya terangkat ke udara. Satu kepakannya membuat tubuh kami bertiga terpental ke belakang. Tembok sekolah retak parah dan tulang kami serasa remuk redam. Para guru dan siswa yang berada di sekolah langsung mendekat. Mereka terkejut kemudian ikut membantu melawan. Sia-sia, mereka hanya manusia dan mereka tidak tahu apa yang ada di depannya. Sepasang sayap emas itu kembali mengepak. Membuat semua jatuh, dan dinding sekolah mulai runtuh.

Berulang kali, hingga sebagian besar dari mereka tak bangun lagi. Ini tindakan keji, aku tidak suka. Aku mendesak maju, dan kepakan sayap itu mulai tak berlaku lagi buatku. Mataku memerah lagi. Sinar merahnya seperti sinar mata iblis di malam hari.

Kapan-kapan aku harus bertanya kepada Malam. Sebenarnya, siapa yang lebih pantas disebut iblis? Aku? Ataukah Zohrah dengan segala keindahannya?

Ketika sebuah pedang kristal terbentuk di kedua tanganku, seseorang membuatku terkejut.

"Aku yang akan melawannya. Mundurlah," Teriak sebuah suara yang sangat kukenal. Alfa.

"Tidak, kita harus melawan bersama. Ayo, semua yang masih tersisa!" Teriakku kemudian.

Agas dan Agam bangkit. Lalu, tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan mendekatiku. Ternyata mereka adalah Alka, Azka, Sie, Anna, Clara, dan Kashi.

"Kurasa tempat ini kurang tepat, kita harus cari tempat lain," Kata Agam.

"Memangnya di mana?" Tanya Agas.

"Aku, tahu,"

Aku menyatukan kedua tangan dan melepaskannya lalu membentangkan telapak tangan ke bawah. Puluhan lingkaran sihir terbentuk. Teleportasi, ke belahan Bumi yang lain.

Dua kedipan mata. Kami sampai. Si Iblis Merah tampak bingung dengan tempat yang baru. Namun, sebentar kemudian dia tak lagi peduli.

Aku membisikkan sesuatu kepada Agam. Lalu, mulai serius bertarung.

Sembilan elemen telah digunakan. Elemen kesepuluh darah, juga sudah kugunakan. Teman-teman manusiaku sudah rebah tanpa tenaga untuk berdiri. Hanya Agas dan Alfa yang masih sanggup. Tangan kiri Agas tak berbentuk. Sedangkan Alfa tak lagi bisa berlari. Agam masih dengan semangatnya dan pendar spirit biru berkobar layaknya pendekar bulan sejati.

Aku tertunduk menatap kedua telapak tanganku menangkupkannya. Menyatukan dua kekuatan Bulan dan Matahari. Kegelapan dan Cahaya. Sepasang sayap perak terbentang di punggungku. Mataku berwarna merah pekat. Kegelapan mulai menyelimutimu, angin berdesir kencang, dan tanah di sekitarku bergetar.

Kuku-kuku tanganku memanjangmembentuk cakar berwarna perak.

Splash

Aku melesat ke arah Zohrah, ini menjadi pertarungan kami berdua. Pertarungan di atas langit. Cahaya perak dan emas yang saling beradu, serta gelegar kencangnya yang membuat Bumi ikut bergemuruh.
Dari kejauhan akan terlihat seperti petir yang saling menyambar dan angin putting beliung disertai badai di atas permukaan laut. Bumi bergejolak.

Suara desingan besi beradu memenuhi langit-langit. Percikan api terlihat samar-samar di langit karena diselimuti kegelapan yang sangat pekat. Berbagai senjata kami gunakan, tapi semua sia-sia.

Pada akhirnya kami bertarung dengan tangan kosong. Ketika aku berhasil memotong tangan kirinya, Zohrah tertawa sangat keras.

"Ha ha ha, apa kau pikir aku begitu bodoh? Lihatlah teman-temanmu," Kata Zohrah sambil tersenyum mengerikan.

Aku segera menoleh ke arah teman-temanku.

Celaka!

Dua klon Zohrah ada di sana. Mereka mencabik-cabik Alfa, Agas, dan Agam. Napasku tertahan ketika melihatnya. Dalam sekali gerakan telah kutumpas dua klon itu. Namun, keadaan teman-temanku terlanjur mengenaskan. Aku bergetar sedih hebat.

Splash!

Zohrah melesat setelah melihat aku lengah. Tangan kananku terpotong. Sakitnya luar biasa, darahnya keluar tanpa henti. Aku menjerit kesakitan. Penuh amarah dan kebencian, aku menjadi monster.

Sayangnya pertarungan itu seperti tiada akhir. Kedua tanganku telah hilang entah kemana. Sayap perakku juga tercabik-cabik. Keadaanku sama dengan Zohrah. Kami seperti pencerminan.

Belahan Bumi, tempat kami bertarung sudah tak berbentuk. Hanya padang gersang yang luas. Tubuhku masih bergetar sesekali mengasuh. Berusaha bangkit, untuk melakukan hal terakhir, memusnahkan Zohrah. Sayangnya, ketika tangan kristalku sempurna terbentuk sebuah lingkaran besar muncul di atas langit. Lorong Aurora, pasti para dewa dan malaikat. Mereka sangat telat datang ke sini.

Zohrah lebih cepat. Dia membentangkan tangannya, lalu pendar merah bermunculan sangat banyak jumlahnya mungkin ribuan. Membentuk lingkaran sihir yang sangat kompleks. Aku menahan napas, bersamaan dengan lingkaran sihir merah yang membesar dari langit turun sembilan malaikat dan sembilan dewa. Dengan tenaga terakhir aku menyeret Sie dan Alfa keluar dari lingkaran sihir. Keadaan mereka sangat buruk bahkan tak sadarkan diri.

Ketika aku berusaha membawa Kashi dan Clara, karena Anna masih bisa berjalan sendiri walaupun terseok-seok. Zohrah tertawa keras, kami terlambat. Persiapan sihirnya telah selesai.

Permukaan Bumi bergemuruh, sekejap dalam satu kedipan mata dan tepat sebelum para malaikat dan dewa turun dari langit, Zohrah telah membawa kami ke tempat lain.

Ketika aku mencoba membuka mata aku tahu aku berada di mana. Tempat yang begitu gelap dan lembab. Di sana hanya ada warna gelap tanah lembab dan tumbuhan berwarna kecoklatan. Dimensi Pluto. Bagian Sang Iblis Merah. Dia telah membawa kami ke sebuah dimensi yang sangat-sangat jauh. Dimensi yang keberadaannya tepat di penyimpangan.
Membuat dimensi ini dipenuhi begitu banyak anomali dan perbedaan aneh lainnya. Teman-temanku bangkit dan mulai berdiri. Rasa sakit yang mereka alami hampir hilang. Tentu saja karena ini adalah tempat di mana hanya ada rasa hampa.

Aku menoleh ke sana kemari keberadaan Zohrah. Namun, belum sempat aku menemukan keberadaannya sebuah kelebat petir keemasan menyambar diriku.

Aku terpelanting sangat jauh. Mengaduh tertahan. Ketika kusadari kalau kabut mulai menebal tiba-tiba aku merasa sangat takut.

Bagaimana dengan teman-temanku?

"Agas? Agam? Anna? Clara? Kashi?" Kelebat bayangan mulai membayangi di mana-mana dan aku mengira itu teman-temanku. Ternyata bukan.

Lalu bayangan dalam kabut itu apa?
Mendadak aku bungkam takut. Terus berjalan maju menyibak kabut tebal. Sayangnya tidak kutemukan apapun. Aku terus memanggil-manggil. Hingga kemudian terdengar sahutan teman-temanku. Namun, tak lama terdengar jeritan mereka. Jeritan yang menyobek langit gelap.

"Agam? Apa yang terjadi?"

"Kyaaaaa....," Itu jeritan Clara.

"Clara?" Aku berlari ke asal suara.

Berturut-turut, hingga aku bingung. Dan,

Bruk!

Tubuhku terjatuh, bergetar menahan sakit. Tak mampu untuk menjerit. Cakar Zohrah menembus perutku dari belakang. Lautan darah mulai menggenang disusul oleh tawa jahat milik Zohrah. Mendadak, dunia begitu terasa tiada arti.

Aku memejamkan mata untuk bertahan. Kaki Zohrah menendangku. Membuatku terguling begitu jauh. Tubuhku semakin sakit. Entah bagaimana nasib teman-temanku. Mereka mungkin akan cedera parah, aku sangat bersalah atas hal ini.
Zohrah mendekat kepadaku yang kini dalam keadaan tengkurap di atas tanah hitam yang lembab. Di tangannya ada sebuah pedang kristal. Dia menyiksaku.
Dia mulai menusuk pedang kristalnya ke lengan kananku memotong rangka tulangnya. Setelah itu berpindah ke lengan kiri. Dia memotong tangan kristalku. Menusukkan ke perut lalu memutarnya.
Aku tidak kuat lagi. Aku menunduk mencium tanah. Mengheningkan cipta, menggenggam erat bandul kalungku. Seraya meminta pertolongan. Zohrah mengayunkan pedang kristalnya untuk mencabik kepalaku.

Senyumannya sangat mengerikan. Aku memejamkan mata. Menanti takdir Tuhan berikutnya. Aku sudah berusaha keras.

Namun,

"Kyaaaaarrrrgghhhhh..." Zohrah berteriak keras sekali. Membuat telingaku berdenyut.

Aku membuka mata dengan susah payah. Di sana, seorang perempuan bersayap hitam telah membelah tubuh Zohrah menjadi dua bagian. C. C.

Darah muncrat ke mana-mana.
Aku berusaha bangkit duduk. Benar, dia Malam. Datang ke dimensi Pluto untuk menolongku. Aku merangkak mendekatinya yang sedang mengkristalkan separuh tubuh Zohrah. Malam, dia tersenyum hangat.

"Kukira tugasku cukup sebagai pengantar pesan. Ternyata tidak. Aku menyerangnya dari belakang, seperti dia menyerang dirimu. Aku akan ikut dianggap musuhnya," Kata Malam.

"Bagaimana kau tahu?" Tanyaku konyol.

"Apa kau lupa sebutanku?" Malam berbalik bertanya. Aku hanya mengangguk pelan.

"Nah, selesai tinggal bagian berikutnya," Malam beranjak untuk meraih bagian tubuh lainnya milik Zohrah.

Splash!

Tubuh Zohrah yang tersisa tadi menghilang. Dan dari kejauhan muncul seorang laki-laki perawakannya mirip Agam. Jadi, kukira dia Agam.

"Agam...," Panggilku.

"Jangan, dia bukan Agam," Bisik Malam.
Dari belakang aku dan Malam, teman-temanku berjalan terseok-seok. Tubuh mereka sangat parah. Agam mendekatiku.

"Namanya Muno, dia mahasiswa Akademi Mars yang berasal dari Pluto," Jelas Agam santai.

Laki-laki asing itu semakin mendekat.

"Namaku Muno, aku kekasih Zohrah. Selamat tinggal. Kalian menang untuk kali ini," Kata laki-laki yang mengaku bernama Muno itu

Malam melesat menyerangnya tapi sia-sia. Muno telah berubah menjadi asap.

"Iblis hitam?" Gumam Malam saat meraba asap di udara. Wajahnya berkerut sebentar.

"Ada apa?" Tanya Agas.

"Apa dia masih berada di sekitar sini?" Tanyaku.

"Dia sudah pergi jauh dan membawa potongan lain tubuh Zohrah. Kita harus pulang ke dimensi Bumi. Kebangkitan Zohrah mungkin butuh waktu satu abad," Kata Malam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top