Keping 15 Evaluasi Dan Evolusi
“Namaku C. C….”
“Maaf kau sudah mengulang kata itu ketiga kalinya. Bisakah kau menjelaskan dengan lebih baik?”Tegur Pak Krish dengan tenang.
Beberapa anak mengernyit menyadari keanehan anak perempuan yang menjadi murid baru Phoebus Academy ini.
“Namaku C. C., “Penonton di depan podium menjadi hening. Beberapa hanya menguap bosan.
“Ya, itu singkatan yang sering melekat padaku. Aku, Cicinda Candra Malam. Orang memanggilku C.C. dengan ejaan Cici. Dan itu bukan masalah besar. Aku berasal dari tempat yang jauh. Aku sudah lama sekali tidak bepergian dan ini adalah kali pertama setelah sekian lama. Kali ini aku pergi dengan membawa sebuah pesan. Namun, tampaknya pesan itu telah terlambat dan kadaluwarsa. Pesan itu adalah tugas terakhirku selain melindungi sekolah ini, sekian,”
Tampaknya aku terhanyut dalam pidato singkatnya. Ada banyak kata-kata yang menganggu pikiranku. Mengusik memori-memori lama di sudut-sudut ruang otakku.
C. C. Cicinda. Candra. Malam. Pembawa pesan. Tempat yang jauh. Lama sekali. Aku merasa sangat mengenal seorang yang menyatakan dirinya Cicinda Candra Malam ini. Entah bagaimana aku tidak tahu. Rasanya benar-benar akrab bahkan melekat di memori.
Kepalaku mendadak pening. Bagaimana tidak? Sejuta memori menghantam otakku yang sedang berada dalam masa tenang. Aku punya hubungan erat dengannya di masa lalu.
Kurasa aku harus lebih dewasa menghadapi situasi ini.
Sorenya aku pulang bersama Agas. Sepanjang jalan dia mengomel tentang temannya yang merusak praktikum miliknya. Lalu, bercerita tentang yang lain. Tentang teknologi canggih penemuan Miss Reska yang katanya sangat menakjubkan.
Aku mendengarkan. Sesekali mengangguk dan bertanya singkat. Dan dengan cara seperti itu Agas terlihat bahagia. Di tengah jalan aku bertemu Agam. Maka, terjadilah hal yang tidak kuduga.
“Kau, yang membuat praktikum milikku berantakan! Dasar murid baru tidak tahu diri!” Tiba-tiba Agas berteriak marah-marah pada laki-laki di depannya yang tak lain adalah Agam.
Agas sudah bersiap ingin memukul Agam. Namun, dengan cepat aku menahannya.
“Maaf, tadi aku tidak sengaja. Tapi bukankah setelah itu aku ikut membereskannya? Bahkan membantumu menyelesaikannya,” Kata Agam pelan.
“Sama saja, seharusnya kau lebih hati-hati!”
“Iya, maaf,”
“Sudah-sudah, sekarang kalian harus saling minta maaf!” Kataku dengan kesal melihat tingkah mereka berdua.
Mereka pun saling meminta maaf dan bersalaman, walau tampaknya masih ada rasa sebal di masing-masing anak-anak ceroboh itu. Agam kemudian menatapku.
“Putri….engg….maksudku Ferre, bolehkah aku tinggal di rumahmu?” Tanpa permisi Agam berkata seperti itu.
Eh, busyeet! Agam seenaknya saja, bagaimana kalau Agas tahu bahwa Agam mengenalku? Menambah masalah saja. Seharusnya aku mengembalikannya ke dimensi asalnya.
Agas mendelik menatapku.
“Venus! Katakan padaku, kau mengenal laki-laki jahat ini?” Tanya Agas cepat-cepat.
Aku harus menjawab apa?
“A-aku,..aku,”
“Tadi kami bertemu di kafetaria. Ferre adalah anak yang ramah. Begini, aku tak punya kerabat dan tak punya tempat tinggal. Aku anak buangan yang terlantar,” Kata Agam sambil berpura-pura sedih.
Apa katanya? Terlantar? Buangan?
“Iya itu benar. Agas bagaimana menurutmu? Tidakkah kau kasihan?” Kataku sambil meremas jari-jari tanganku.
“Huh, terserah kau Venus. Aku tahu kau memang malaikat. Aku setuju apapun keputusanmu. Kau pemilik rumah,” Kata Agas. Dia seperti sangat pasrah dengan keputusanku.
“Baiklah, Agam. Kau boleh tinggal di rumahku. Masih ada sebuah bilik kamar kosong. Tepatnya bersebelahan dengan Agas,”
“Terima kasih, Ferre,”
“Ayo kita pulang,”
Selama perjalanan tidak ada percakapan berarti. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Sibuk menerka dan memahami tingkah laku teman kami sendiri.
Agam
Kami sampai di rumah Ferre. Rumah sederhana namun luas dan bergaya klasik. Sangat indah dan mengejutkan. Ya, sekarang aku harus memanggilnya Ferre untuk menutupi semua identitas kami. Aku tak tahu seberapa dekat Ferre dengan laki-laki yang bernama Agas. Sejak kapan mereka tinggal bersama dalam satu rumah? Jangan-jangan….
Ah, akan kusimpan pertanyaan itu untuk lusa. Sekarang aku sedang mandi. Rasanya segar sekali. Kamarku luasnya lebih kecil daripada milik Ferre dan Agas. Tapi itu tidaklah masalah. Ini bahkan sangat nyaman.
Pakaian berupa kaus dan celana tersedia banyak di lemari kamar ini. Aku mengambil dan memakai salah satunya. Ketika aku hendak membuka pintu kamar yang terhubung langsung ke ruang santai dan dapur yang super luas mendadak berhenti. Lamat-lamat terdengar suara bisikan halus. Percakapan antara Agas dan Ferre di sana.
Tidak ada yang mencurigakan. Hanya percakapan ribut tentang menu untuk malam ini. Aneh-aneh saja mereka. Diam-diam aku tersenyum. Ferre seperti telah menemukan sosok yang dapat mengisi kehidupannya dengan cara yang berbeda. Perlahan aku membuka pintu. Dan tampaklah mereka yang sedang berada di depan meja dapur.
Aku mengambil kursi di dekat meja makan dan duduk. Mengamati. Ferre tidak ikut membantu memasak. Dia hanya melihat dan mengomel ini itu.
Wajah Agas yang cemberut dan bersungut-sungut. Dia terlihat sangat sebal dengan omelan Ferre. Tiba-tiba mereka berdua menyadari kalau aku sedang mengamati mereka. Mereka berhenti lalu bertatapan sejenak dan tertawa.
“Agam, maafkan kami. Ini adalah kebiasaan,” Kata Ferre sambil tersenyum. Agas hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ferre, kau sebaiknya menyingkir dari sini. Aku akan memasak sesuai yang kau inginkan,” Bisik Agas. Ya, itu sebuah bisikan. Namun, untuk telingaku tetap saja terdengar.
Ferre beranjak dan duduk di depanku. Dia mengambil buah apel yang ada di tengah meja. Memainkannya lalu menggigitnya. Aku tahu sebentar lagi akan muncul percakapan yang panas dengan telepati.
“Agam,” Suara itu menggema.
“Jadi, hmmn apa?” Tanyaku basa-basi.
“Kau harus kembali ke dimensi Bulan! Kalau kau di sini, kau akan menggangu keseimbangan manusia,”
“Maaf, aku masih ingin di sini. Seharusnya kau lebih mengerti diriku,” Kataku lebih pelan tapi meyakinkan.
“Ya, aku tahu. Kau haus ilmu pengetahuan. Namun, bukankah telah banyak ilmu yang kau cari dan kau dapatkan? Di Bumi apa yang kau cari?”
“Maafkan aku Putri, bukan ilmu pengetahuan lagi yang kucari. Aku mencari ilmu tentang rasa dan apapun itu yang berhubungan atas perasaan,” Kataku tenang.
“Apa alasanmu mencari sesuatu itu?” Tanya Ferre menyelidik.
“Putri, sekuat apapun kekuatan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang masih akan kalah dengan cinta kasih sebuah perasaan. Yah, entahlah. Terakhir kunjunganku ke Mars membuatku banyak berpikir,”
“Aku tahu, dan aku juga tahu diriku tak akan pernah bisa mempelajari ilmu itu,” Kata Ferre. Aku terkejut mendengarnya tapi itu wajar untuk seseorang yang mempunyai kekuatan sedahsyat monster.
Sejenak aku tertegun. Kulihat mata kelabu milik Ferre menggelap, cahaya yang menyala setiap kali dia berbicara sekarang terlihat redup.
“Kau pasti bisa. Kita harus optimis. Apapun yang terjadi adalah takdir, tapi kita masih bisa berusaha untuk mengubah nasib,” Kataku berusaha memberi semangat dan motivasi kepada Ferre.
Namun, Ferre hanya menggeleng. Dia terlihat lelah. Beberapa kali aku melihat Agas mencuri pandang. Mungkin dia curiga ketika kami mengangguk dan menggeleng tanpa satu kata pun terucap.
“Ferre, sebenarnya siapa Agas?” Tanyaku hati-hati. Ferre mendongak lalu menatapku dengan tatapan yang kembali menyala.
“Dia anak terlantar dan buangan. Dahulu dikejar orang karena hutang. Tak punya kerabat dan tempat tinggal. Dia pandai memasak dan aku menyukai itu karena aku tidak perlu lagi melakukan kegiatan masak. Dia pandai bersih-bersih, semua sudut rumah ini dia yang merawatnya. Aku tak akan sempat melakukan hal-hal seperti itu,”
“Wow, tapi aku heran. Bagaimana mungkin kau bisa selunak ini kepada laki-laki itu? Mengejutkan, membuatku ingin tertawa. Apa kau mencintai laki-laki anak manusia itu?” Tanyaku sambil menahan senyum. Ditanya seperti itu membuat Ferre tergelitik dan marah.
Ferre
Bagaimana mungkin aku mencintainya? Setelah aku mengetahui kalau aku bukan sepenuhnya manusia, apa dia akan menerimaku? Kalau dia sampai tahu tentang dimensi lain dan hal-hal aneh lainnya, dia akan menganggap aku apa?
“Ehem, Ferre kita sedang bertelepati. Aku bisa mendengar segala pikiranmu. Dan, itu sangat lucu,” Agam mengejutkanku. Sial, benar-benar sial.
“Aku tidak tahu. Bahkan aku tidak tahu apa itu cinta. Kalaupun aku tahu, siapa yang akan mencintaiku? Aku ini Venus, Dewi Cinta. Dan mungkin, orang-orang menganggap bahwa Dewi Cinta sama sekali tak memerlukan sebuah cinta,”
Semua itu berakhir saat Agas mendekat membawa mangkuk-mangkuk panas berisi makanan, serta satu nampan berisi tiga cangkir cokelat panas. Aku berbinar bahagia. Kami makan bersama dalam keheningan. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu.
Perlahan aku menatap Agas. Mata yang hitam cemerlang itu, tak pernah bisa kubaca. Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia rasakan? Apa makna dari tatapannya?
Jantungku berdegup lebih cepat. Wajah Agas sama tampannya dengan Agam.
Namun, ketika aku menatap manik mata mereka semua terasa berbeda. Manik biru safir milik Agam dapat diartikan kalau dia sangat haus akan pengalaman. Sedangkan manik hitam cemerlang milik Agas, adalah manik kesederhanaan. Manik yang meneduhkan. Manik yang selama ini kucari. Manik yang ingin kudekap selamanya.
TBC guys
Tolong vote dan comment
Arrigatou
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top