Keping 14 Mereka

Tap! Tap! Tap! Tap! Tap tap! Tap tap!
Aku berjan lebih cepat menuju lapangan tempat di mana seleksi final akan dilakukan. Agas menyusul dengan wajah tertekuk. Bagaimana tidak? Aku telah memaksanya menunda makan siang hanya untuk menonton pertandingan final seleksi siswa baru pertengahan tahun. Aku merasa ada gejolak aneh di dalam tubuh ini.
Beberapa waktu kemudian aku dan Agas sampai di tribun stadion. Aku langsung duduk di rombongan kelas 1A. Tepat di samping Alfa. Agas ragu-ragu ikut duduk di sana.

“Hei, bukankah kau tidak berminat dengan seleksi siswa pertengahan tahun?” Tanya Alfa penasaran.

“Ya, tapi kurasa menonton bagian final tidak ada ruginya,” Kataku sambil menyunggingkan cengkram lebar.

“By the way, yang final ada berapa?” Tanya Agas ikut penasaran.

“Ada tiga orang, satu perempuan dan dua laki-laki,”

“Sedikit sekali,” Gumamku.

“Bagaimana ketentuan finalnya?” Celetuk Agas lagi.

“Pertarungan bebas. Setiap dari mereka boleh memilih lawan baik senior, guru, atau sebaya dengan jumlah terserah mereka. Mereka harus membuat lawannya sampai menyerah,” Jelas Alfa.

Peserta A….

Aku terbelalak. Bagaimana tidak? Salah satu dari dua laki-laki lolos seleksi tahap awal adalah Agam….

Apa rencana dia dengan ingin memasuki sekolah ini? Aku menepuk jidatku. Tentu saja orang seperti Agam haus akan ilmu pengetahuan. Aku menghela napas lega sejenak. Aku tak perlu mencari dia ke ujung dunia, dia datang sendiri kepadaku. Tak apalah.

Aku tak meragukan. Dia tentu lolos dengan mudah. Dia mendongak lalu menatapku dan tersenyum simpul.

Aku hanya menanggapinya dengan mengangguk sekilas. Mengapresiasi kenakalannya.

Agam masuk kelas C. Topinya berwarna hijau keperakan.

Peserta B…

Seorang pewaris perguruan prajurit perang. Kemampuannya hebat dan mengesankan. Dia akan menjadi tandingan Alfa. Kulirik Alfa sekilas, dia tampak tegang menyaksikan. Namun, pertandingan selesai dia tersenyum lebar. Merasa kemampuannya akan lebih unggul. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, anak yang keras kepala pikirku.

Dia masuk kelas A. Topinya berwarna merah menyala.

Peserta C… jantungku berdetak sedikit lebih cepat.

Aku terpaku ketika seorang perempuan berambut sangat panjang, sepanjang rambut wanita yang belum pernah kulihat. Berwarna hitam legam, setegas penampilannya. Rambut itu telah di gelung beberapa kali di puncak kepala, tapi sisanya masih banyak. Sisanya itu dibiarkan tergerai menyentuh mata kaki. Warna iris matanya begitu hitam cemerlang menyala dengan wajah anggun tetapi garis tegas terselip di antara ekspresinya.

“Dia seperti bangsawan,” Gumam Alfa. Aku menyetujuinya.

“Tapi dia pribumi, tidak, kurasa lebih,” Agas berbisik lumayan keras. Kali ini instingku merasa bahwa Agas benar. Aku menyipit, membuat mataku yang terlalu dipaksa fokus berubah menjadi merah.

Dia tampak sempurna. Tak membawa sehelai senjata pun. Siapa dia? Dia sangat percaya diri. Semakin kuamati, semakin detak jantungku bertalu-talu.

Aku merasa wajah itu akrab. Aku merasa punya kenangan banyak. Dia seperti hantu masa lalu. Tapi tentang apa? Kapan?
Aku terkejut ketika seorang menempatkan telapak tangannya ke pundakku. Kashi.
Jemari hangat yang selalu menyadarkanku dari segala lamunan dan khayalan serta hantu-hantu lainnya. Sentuhannya seolah memberi sugesti dan segala ketenangan. Dia berbakat dengan segala kemampuannya dalam medis.

“Maafkan aku,” Kataku lirih.

“Jangan melamun di saat seperti ini. Kebiasaan burukmu itu harus dihilangkan. Bahaya sekali, apalagi di medan perang,” Kata Kashi menasehati.

“Maafkan aku,” Kataku semakin lirih.

“Tidak apa-apa,” Lanjut Kashi.

“Lihat, dia memilih beberapa senior kelas dua dan tiga. Ini mengejutkan, dia memenangkan semuanya. Namun, kenapa dia belum juga meninggalkan lapangan?”Tanya Agas mengernyit bingung.

“Hmmn, itu benar. Semua itu sudah cukup. Dia sudah pasti lolos. Lalu, apa yang dia tunggu?”Tanya Kashi yang juga heran atas kelakuan calon murid baru itu.

Kami menunggu. Seorang panitia atau wasit mungkin, sedang mendekatinya. Kemudian, mereka bercakap-cakap sebentar. Akhirnya, wasit memberitahukan kepada seluruh mahasiswa yang ada di sana bahwa si calon murid baru itu menginginkan melawan seseorang terhebat dari semua mahasiswa. Dia belum puas, setelah melawan senior kelas dua dan tiga. Agas menggelengkan kepala tidak percaya.

“Aku akan turun,”Alfa bangkit dari duduknya lalu berlari menuruni tangga tribun. Aku menahan Kashi yang ingin mencegah Alfa. Benar, memang tak ada persetujuan awal. Salah satu dari kami harus turun. Lebih bagus jika dapat membuat calon murid baru itu jera.
Tentu saja emosi Alfa memuncak. Dia merasa ditantang oleh orang asing itu. Dari kejauhan mereka tampak bercakap-cakap terlebih dahulu sebelum bertanding. Untuk pendengaran normal mungkin tidak akan terdengar sama sekali, hanya hembusan angin.

Namun, aku mendengar lebih jelas. Aku terkejut, tapi aku berusaha biasa saja. Tidak ada yang boleh tahu.

Pertarungan itu berlangsung sengit. Alfa menggunakan pedangnya sedangkan si calon murid baru hanya mengenakan tangan kosong. Dia mahir beladiri. Sangat cocok apabila masuk kelas 1A. Dari caranya menangkis serangan, berkelit, dan melayangkan pukulan terlihat tangkas dan rapi. Aku akan begitu mengapresiasi kemampuannya bila ini adalah seni bertarung. Namun, semua itu melelahkan. Alfa tak pernah mendapatkan celah. Sementara semua serangannya dapat ditangkis dengan tangan kosong. Aku tahu, dalam dua puluh atau tiga puluh menit lagi Alfa akan kelelahan.

Wanita itu, calon mahasiswa itu, bagaimana mungkin menangkis semua serangan pedang Alfa dengan tangan kosong. Padahal, pedang milik Alfa sangat tajam. Dorongan angin di sekitar ayunannya dapat menggores baja. Dan kalau pedang itu di tangan Alfa akan terasa sangat berbahaya dan menyebalkan.

Bagaimana mungkin semua serangan itu ditangkis dengan mudah?

“Kashi, apa kau punya kecurigaan lain terhadap pertandingan ini? Lihat, Alfa seperti terdesak. Setiap serangannya dapat ditangkis dengan mudah,”Kataku.

“Coba lihat baik-baik, Re. Dia memang kelihatan tidak memakai senjata. Itu benar, tapi tidakkah kau lihat percikan api dan serpihan kristal ketika pedang itu terayun padanya?”Kashi mengamati dengan baik.
Itu benar. Berarti anak itu memang spesial. Dia telah mengendalikan elemen tertentu untuk bertarung. Sepertinya elemen yang rumit. Lain kali aku harus mempelajari itu.
Alfa semakin tersudut. Serangannya sudah tak sekuat dan secepat tadi. Ketika habis tenaganya dia berhenti. Memaksakan tubuh untuk tetap berdiri. Karena jikalau Alfa ambruk maka sudah jelas calon murid baru itu yang menang. Dan Alfa tidak akan terima begitu saja. Namun, hal ini tentunya membahayakan Alfa sendiri.

Si calon murid baru hanya berpikir bagaimana cara untuk merubuhkan lawannya agar dia menang atas pertandingan ini.

“Astaga! Alfa itu keras kepala ya?”Pekik Agas. Dia mengamati suatu gerakan aneh kedua tangan calon murid itu.

“Alfa memang begitu, apa yang akan dilakukan calon murid itu pada Alfa?”Kashi menambahi.

“Entah, sepertinya tidak bagus,”Lanjutku.
Kakiku sudah menapak erat di tanah. Seraya siap untuk melesat.
Semua kekhawatiran itu benar terjadi. Hujan salju datang tanpa diundang. Seperti elemen es.

Saat aku menoleh ke lapangan, Alfa telah terkapar. Aku terkejut. Namun, Alfa bangkit lagi. Keras kepala. Dia tidak menyadari kalau dia sekarang berhadapan dengan seorang penyihir jahat.

Si calon murid baru itu tampak geram. Dia mengangkat tangannya ke udara dengan gerakan aneh. Lalu, dia hanya menunjuk Alfa dengan tangan kanannya. 

Mataku perih memerah. Aku tak bisa menjelaskan apa yang kulihat saat ini. Yang pasti sangatlah mengerikan. Sepersekian detik sebelum Calon murid baru itu melepaskan serangannya aku melesat menolong Alfa. Kali ini aku berusaha lebih cerdas untuk tidak menjadi korban lagi sebelumnya saat menyelamatkan orang lain.

Jadi, sebelumnya aku telah berpegangan tangan dengan Kashi sehingga aku melesat bersamanya. Saat sampai di tempat Alfa, Kashi membawa Alfa menjauh. Sedangkan aku meredam serangan calon murid baru itu.

Aku membuat tameng kristal lebar dan tebal. Tidak sepenuhnya kristal ada beberapa tambahan elemen bayangan. Bukan juga kristal yang keras. Tetapi kristal ini lunak bahkan mencair. Kekuatan calon murid baru itu cukup besar membuat telapak tanganku perih seperti terbakar.
Namun, semua serangannya terisap begitu mudah ke tameng kristalku. Namun, bagaimanapun tameng itu juga akan meledak. Aku menggerakkan pusarannya ke arah langit, lalu membekukannya. Setelah itu, beberapa saat terbentuklah bola kristal padat yang siap meledak.
Ledakannya teredam. Bola kristal itu berubah menjadi debu yang indah berkilau kala berjatuhan dari langit. Sang calon murid baru berdecih pelan. Kami sama-sama bertatapan dengan wajah datar.

“Alfa sudah kalah, pertandingan ini selesai,” Kataku pelan tapi tenang.

Dia hanya mengangguk lalu pergi ke menemui kepala sekolah yang sedang berada di lingkaran sihir untuk mengambilkan topi sihir calon murid baru itu. Alfa tidak komentar ketika kami datang untuk mengatasi keras kepalanya.
Alfa memang telah kehabisan begitu banyak energi. Wajahnya yang putih kini berwarna merah. Bajunya basah dengan keringat. Sementara tungkainya terlihat lemas dan gemetar.

Aku belum pernah melihat Alfa dalam keadaan seperti ini. Separah inikah, ketika dia berusaha mencoba mempertahankan harga diri dan ingin membuat seseorang mendapatkan pelajaran? Terlalu konyol.
Aku menoleh ke samping kiri, melihat cara si calon murid baru itu berjalan. Langkahnya tegas, panjang, dan tidak terburu-buru. Tidak juga terlalu pelan. Tidak ada gerak lain kecuali kedua tangannya yang melambai dengan tegap. Tak ada kesan kalau dia adalah orang aneh, jahat, ataupun yang lain.

Dia terlihat seperti bangsawan. Dan kemungkinan itu benar. Bajunya berkibar dalam naungan jubah hitamnya yang lebar. Rambutnya yang hitam panjang menambah kesan elegan.

Dan sekali lagi aku terpana ketika dia memberi salam kepada kepala sekolah. Kedua tangannya menarik jubahnya masing-masing ke samping. Lalu, dia sendiri merendahkan tubuhnya. Rasanya aku bisa melihat sepasang sayap lebar terbentang di punggungnya.
Dia terlihat begitu mengagumkan. Kepala sekolah mulai melakukan ritualnya.
Ini seperti ritual sebelumnya. Aku masih mengingat dengan jelas, tangan harus melayang dalam keadaan terbuka di atas lingkaran sihir. Lalu, perlahan-lahan lingkaran sihir itu berdenyar dan berubah warna, sesuai dengan warna topimu nanti.
Dari lingkaran sihir itu berdenyar. Dari sana muncul gelombang warna-warna yang aneh. Warna pelangi seperti berada dalam lingkaran sihir itu. Aku hampir berseru takjub. Warna-warna itu berpilin menjadi satu. Warna utama, warna pertama sekaligus warna paling mengesankan. Putih, lambang kesucian. Topi putih itu tampak menawan, daripada topi milikku yang hitam kegelapan.

Siapa dia? Baru satu siswa itu yang memiliki topi berwarna putih. Dia menyadari kalau aku memperhatikan, dia menoleh padaku dan tersenyum. Bukan, dia bahkan tidak bisa tersenyum. Dia hanya menarik kedua sudut bibirnya ke atas tanpa sebuah rasa bahagia untuk senyum.
Orang-orang akan mengira kalau dia tersenyum dengan penuh kebahagiaan.
Aku membalasnya dengan senyuman juga. Walaupun banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam otakku. Aku harus bersikap wajar. Ada satu keyakinan dalam instingku, dia bukan Zohrah. Jadi, tak ada yang perlu dirisaukan.

Mungkin mereka, tiga murid baru itu adalah sebuah petunjuk.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top