Keping 12 Festival Sihir
Hari ini adalah hari yang cerah. Burung-burung berkicau merdu diselingi tawa para remaja Phoebus Academy yang sedang asyik mempersiapkan diri untuk Festival Sihir pekan depan.
Banyak lomba yang akan diadakan. Di antaranya adalah lomba bersajak mantra, lomba pembuatan potion, lomba senjata terunik, dan lomba sihir fantasi. Keempat lomba itu di khususkan untuk kelas 1 dan 2. Kelas 3 akan menjadi panitia, sedangkan para guru akan menjadi juri dan penonton
Acara festival ini juga di hadiri para petinggi negara dan pimpinan dan senior academi lainnya. Jadi, persiapan yang kami lakukan harus maksimal.
Selain lomba-lomba, ada pertunjukan sihir dan permainan senjata, teknologi terbaru, kecerdasan buatan, dan penemuan baru lainnya.
Di akhir acara, akan diadakan pesta dansa. Acara Festival Sihir ini pun akan berlangsung selama dua hari.
Hari pertama adalah berisi pertunjukan dan para tamu undangan.
Hari kedua adalah berisi lomba-lomba dan pesta dansa.
Aku bersiap-siap untuk mengikuti lomba bersajak mantra dan pertunjukkan sihir dan permainan senjata.
Di depanku ada sebuah kertas yang melayang di udara dan sebuah pena melekat di tanganku.
Mataku mengerjap-kerjap, melihat ke sekitar. Semua teman kelasku sedang sibuk semua. Mulai dari praktikum memasukkan racun, potion, atau entah apa ke senjata mereka. Beberapa juga mengalirkan sihir ke senjata. Ada yang mengotak atik senjata sampai baju basah karena keringat.
Yang lebih banyak dari mereka memegang barbel dan sejenisnya untuk menampakkan otot mereka.
Di sini aku sendiri yang aneh, memegang pena dan menatap kertas. A k u s e d a n g i n g i n b e r s a j a k.
Akhirnya aku mulai menulis.
Namaku Ferrenicha Venus Camelia,
Pipi senja kini berona jingga
Semburatnya membangkitkan rasa
Bersamaan dengan wanginya bunga
Bunga rumput yang riang gembira
Lihatlah matahari tersipu
Di atas jingganya yang kemilau
Bayangkan di sana ada wajahmu
Bahagia hatiku
Tanpa kusadari aku menulis dengan fokus. Ternyata sihirku berdenyar denyar keluar dari tubuhku. Sekelilingku seolah sedang senja dan berwarna jingga yang mempesona. Lalu harumnya bunga rumput.
Teman-temanku menoleh ke arahku. Mereka bersorak gembira.
"Wow, kau yang membuat suasana ini Ferre? Kabut kabut indah ini? Mengesankan! Aku yakin kau menang pekan depan!"seru Sie padaku.
"Ya, aku yakin akan begitu,"dukung Aurel.
"Keren Ferre!!!"seru Jim.
"Kelas kita akan jadi juara umum!!!"seru teman sekelasku.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk berterima kasih.
Saat aku ingin melanjutkan pekerjaanku, tiba-tiba saja kepala Jim ada di depanku.
"Ada apa Jim?" tanyaku.
"Kami ingin kau juga ikut pada lomba sihir fantasi, kau harus mau...,"kata jim.
"Bagaimana kalau aku menolak?"kataku mendengus kesal.
"Kenapa kau menolak? Kelas butuh bantuanmu..."kata Jim memasang cute facenya.
"Malas ah, tema yang kalian pilih itu kan pertarungan?! Aku nggak mau ikut ikutan!"jawabku keras.
"Itu adalah tema yang menarik! Kamu ikut ya Re, soalnya kekuatan kamu itu keren buat di pertunjukan. Aku mohon, biar kelas kita jadi juara umum,"kata Jim memelas.
"Hmmn, baiklah. Lalu latihannya apa?" tanyaku pada Jim.
"Nah, jadi begini konsepnya akan ada dua kelompok yang bertemu lalu bertarung. Kau akan jadi ketua tim 1, dan Alfa akan jadi ketua tim 2, kurasa itu sebanding. Nah, nanti di akhir pertarungan akan tinggal kalian berdua, konsepnya nanti Alfa yang menang. Dan aku yakin kamu setuju,"jawab Jim panjang lebar.
"Ya, tentu aku setuju. Karena aku memang tak berminat mengikuti lomba ini,"kataku.
Splash...
Tiba-tiba saja ada perasaan tidak enak dalam diriku. Instingku mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang berbahaya dan mengerikan.
Entahlah, semoga hanya perasaanku saja.
Ya, semoga hanya perasaanku yang terlalu lelah mengarungi berbagai samudera luas dunia ini.
Hari ini berakhir dengan kebahagiaan kelasku yang tak terkira. Persiapan kelasku telah mencapai 100%. Aku punya keyakinan besok pasti akan jadi juara umum. Bagaimana tidak? Kami kelas A. Kata kepala sekolah A itu Acceleration. Dan kelas A adalah petarung utama dengan reflek perang serta kecerdasan strategi tak terkira.
***
Plok! Plok! Plok! Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok! Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok! Plok!
Plok! Plok! Plok!
Suara gemuruh tepuk tangan. Membahana memenuhi ruangan aula Phoebus Academy. Festival Sihir telah dibuka dan diresmikan oleh kepala sekolah. Seluruh tamu undangan bertepuk tangan gembira pertanda sangat menghargai Phoebus Academy.
Hari pertama selesai dengan lancar sesuai agenda.
Hari kedua, pelaksanaan lomba-lomba berlangsung seru dan menarik. Benar, apa yang dikatakan teman-temanku. Aku juara di lomba bersajak mantra. Para juri terpesona dengan keindahan alam buatan dan suasana yang kubuat.
Siang hari, aku sudah siap untuk mengikuti lomba sihir fantasi. Seperti yang kemarin kami latihan, kami hanya punya satu tujuan. Membuat takjub para juri dan penonton. Hanya itu.
Tiba dinomor undi kelas kami maju. Aku bersiap di depan para prajuritku begitu pula dengan Alfa.
Aku dan Alfa mulai mengangkat tangan. Seperti kesepakatan latihan kemarin, Alfa akan menggunakan elemen cahaya dan api. Aku menggunakan petir dan bayangan.
Petir dari langit mulai merambat ke tubuhku. Seketika pakaianku berubah, setelah itu di tanganku terkumpul bayangan gelap. Karena begitulah Ferre di suruh untuk menjadi tokoh jahat.
Dalam hati Ferre mau tertawa, setelah melihat penampilan Alfa yang sok pahlawan.
Walah, mata biru safirnya membuat para penonton bersorak. Di tangannya ada sebuah pedang yang kemarin kubuatkan khusus untuknya. Dia sombong sekali dengan gayanya yang cool itu.
Yah, aku menikmati setiap detik pertandingan ini. Karena lawanku adalah laki-laki idaman para penonton. Mereka pasti iri padaku.
Tanpa senjata membuatku sedikit kewalahan ketika skill dan kecepatan Alfa meningkat seiring berjalannya pertarungan.
Aku harus bisa mengimbangi kemampuan Alfa agar pertandingan ini bisa berlangsung lebih lama dan menghibur para penonton.
Aku berpikir keras, senjata apa yang harus kukeluarkan. Senjata yang tidak bisa mencelakai Alfa tapi bisa untuk bertahan.
Akhirnya aku punya ide untuk mengeluarkan senjata tongkat sihirku. Bayangan pekat berkumpul di tanganku. Lalu perlahan mengeras dan membentuk sebuah tongkat sihir panjang yang indah.
Yah, tidak begitu indah. Karena aku harus tampak seram.
Pertarungan berlangsung seru penonton histeris setiap kali aku atau Alfa terdesak. Padahal kami sadar kami hanya acting menghabiskan tenaga sihir saja.
Tiba saatnya di penghujung pertarungan. Tinggallah aku dan Alfa yang masih berdiri. Aku dengan tongkat, Alfa dengan pedang.
Tongkatku terselimuti petir yang diselubungi bayangan pekat. Sehingga tampaklah petir hitam yang berpendar-pendar.
Bukankah sangat cocok peranku sebagai antagonis di sini?
Terlihat jahat dan mengerikan bukan?
Hei, coba lihatlah Alfa!!!
Tubuh Alfa terselimuti cahaya terang. Mata biru safirnya tampak menawan. Semua penonton bersorak gembira. Kami bertarung seru. Dan aku berusaha beberapa kali terpelanting agar aku tampak akan kalah.
Sampai di akhir pertarungan, kubuat tongkatku patah jadi dua dan aku terkapar dalam keadaan terlentang di atas lantai.
Penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Namun,
Tiba-tiba....
Splash.!!!..
Tubuhku terlalu lelah, hingga tak menyadari bahaya yang besar mengancam.
Seketika aku tersadar. Aku berusaha bangun dengan susah payah satu tanganku terpusat membuat tameng kristal sebanyak dan setebal yang aku bisa.
Mataku menyipit, radius 178,2 km seseorang membidik Alfa. Alfa tak menyadarinya, sedangkan kemudian gemuruh dari langit datang.
Sepertinya si empu dalang kejahatan memanggil dewa langit untuk membantunya memporak-porandakan Festival ini, sekuat tenaga aku membuat kubah kristal raksasa untuk melindungi aula dan sekitarnya. Tebal sekali.
Aku menggeram, mencoba menahan laju halilintar Dewa Langit yang mulai mengoyak kubah buatanku.
Penonton panik mendengar gemuruh. Sedangkan Alfa tampak bingung begitu pula dengan teman-teman yang lain. Mereka berusaha menenangkan para penonton.
Aku merasa aman. Tapi aku salah, Alfa berada jauh dari jangkauanku. Dia sedang mengevakuasi tokoh-tokoh penting bersama guru-guru dan murid lain.
Rasanya dadaku seperti tergores besi panas yang membara. Tameng kristalku ditembus sebuah panah.
Panah sihir terkuat.
Panah itu melesat dengan kecepatan cahaya ke arah Alfa. Mataku memerah dan seketika waktu berhenti. Aku hanya bisa menahan beberapa detik. Karena kali ini aku cukup kelelahan.
Dalam beberapa detik itu aku berlari ke Alfa. Persis di depan Alfa, kontrol akan manipulasi waktu ku berhenti. Semua kembali berjalan normal.
Termasuk panah itu. Dengan sisa-sisa tenaga kubuat tameng kristal paling tebal.
Namun, entah takdir apa. Elemen kristal, yang dikenal elemen terkuat pun tak bisa menahan laju panah aneh itu.
Maka, kuputuskan aku akan melindungi Alfa dengan tubuhku. Kurentangkan kedua tangan.
Panah itu tertancap persis di dadaku menembus hingga punggung. Tak ada rasa sakit. Aku pikir ini aneh. Tanganku yang gemetar berusaha memegang panah itu. Aku sadar, ini logam perak dari langit.
Mataku masih melihat jelas, darah dari tubuhku muncrat ke mana-mana. Lantai aula menjadi merah.
Aku tidak merasakan sakit.
Hanya saja, tenaga dan energiku terasa habis tak tersisa. Aku bahkan tak bisa merasakan ragaku.
Dalam gemetar, aku rebah ke lantai yang telah jadi lautan darah.
Aku beruntung. Panah ini tidak mengenai organ vitalku.
Aku mati.
Ragaku mati.
Jiwaku masih hidup.
Rasaku masih berjalan dan aku masih bisa melihat.
Banyak orang menangis. Dan aku segera di bawa ke ruang kesehatan sekolah. Kubah yang melindungi sekolah seketika juga langsung hancur menjadi debu gemerlap yang indah.
Inikah rasanya mati?
Aku belum siap. Belum siap untuk mati.
Masih banyak yang harus aku kerjakan. Haruskah aku pergi ke dimensi bulan selama-lamanya?
Siapa yang akan mengurus Agas?
Siapa yang akan menjadi tempat curhat Jim dan Clara?
Kepada siapa Sie akan membelikan es krim?
Kepada siapa Alfa akan ngambek lagi?
Panah itu sudah di cabut dari tubuhku. Miss Fara datang untuk menyembuhkan. Namun, tiada hasil. Luka didadaku itu sembuh, tapi nyatanya aku sama sekali tak bisa merasakan ragaku. Sementara itu jiwaku pun tak bisa terbebas dari raga ini.
Panah sihir itu seperti membuatku terkurung di dalam ragaku sendiri.
Siapa pelakunya?
Aku harus bagaimana sekarang?
Masih kudengar isakan Clara, Kashi, Anna, dan teman lainnya. Agas, Jim, Chiba, Sie, Alka dan Azka juga tampak murung. Sementara Alfa tampak merasa bersalah.
Aku sendiri berusaha tenang. Kucoba untuk jatuh ke alam mimpi dan mengendalikan kesadaranku.
***
Di depanku ada sebuah pintu kayu berukiran bunga teratai dan bunga sepatu. Engselnya berwarna keemasan dengan ukiran yang hampir sama.
Aku membukanya perlahan. Saat aku mencoba melangkahkan kaki, aku merasakan dingin di telapak kakiku. Kulihat sebuah setapak yang berasal dari batu pualam.
Saat aku menatap ke depan, aku terhenyak. Ada ratusan makhluk aneh di depanku sedang menatap diriku sambil menunduk hormat. Wujud mereka beragam, seperti kebanyakan makhluk di negeri dongeng. Hanya saja mereka tetap satu famili dengan manusia.
Dari gerombolan itu keluarlah seorang manusia biasa berwajah tampan dengan baju serba putih berhiaskan bordiran benang emas yang menawan. Dia seperti bangsawan, tapi tidak merujuk ke seorang pangeran. Malahan seperti penasihat muda.
Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menyambutnya tanpa ragu. Instingku berkata kalau dia orang yang baik. Kami berjalan beriringan menghabiskan jalan setapak pualam ini. Semakin lama semakin melebar jalan ini. Di ujung jalan semakin jelas sebuah bangunan besar nan megah.
Kerajaan yang terbuat dari kristal. Gemerlap indah sekali. Aku berhenti berjalan dan terpaku.
Aku kembali ke rumah.
"Selamat datang kembali, Venus,"seorang bapak-bapak menyapaku dengan suara khasnya yang serak becek. Pak Krish.
"Lama sekali,"gukamku lirih.
"Ayo masuk dahulu, nanti kita baru bicara lagi,"kata Pak Krish dengan ramah.
"Oh, ya nanti Agam akan mengantarmu ke kamar, Putri Venus,"lanjut Pak Krish.
Agam mengantar aku ke kamar. Sebenarnya, aku belum pernah melihat Agam. Dan sama sekali tidak mengenalnya.
"Agam, kamu itu siapa?"tanyaku penasaran.
"Putri lupa kepada saya? Mohon maaf atas kelancangan saya Putri. Saya Agam, anaknya Pak Krish. Dahulu Putri pernah bertemu dengan saya saat saya masih kecil. Sekarang saya menjadi dokter kerajaan,"jelas Agam.
Aku sedikit terkejut. Dia, anak kecil waktu itu?
"Kenapa kau tumbuh begitu cepat? Bagaimana bisa?"
"Waktu itu, saya pergi ke dimensi lain untuk menuntut ilmu. Di sana dimensi waktunya berbeda jauh dari dimensi bulan. Saya hanya berada satu tahun di sana sama dengan lima tahun di dimensi bulan,"
"Oh, begitu. Jadi kau kemana? Ke mars?"
"Ya," Agam mengangguk lalu tersenyum manis.
Astaga tampannya...
Aku harus ingat dia lebih muda dariku. Dahulu aku menganggapnya sebagai adik.
Aku tidak boleh kelewatan.
Aku pun istirahat. Lalu pada saat makan malam, aku berkumpul di aula kerajaan.
***
"Aku bisa menyembuhkan tuan Putri. Tapi aku harus pergi ke dimensi bumi,"teriak Agam sambil berdiri di seberang meja.
Ares dan Poseidon menggeleng tegas.
"Kau itu makhluk dimensi Bulan atau dimensi Venus. Kau tidak boleh sembarangan bepergian kemana-mana,"Kata Poseidon menasehati.
"Si cupu itu benar, kau tidak boleh pergi. Nantinya kau akan merepotkan orang lain juga,"Kata Ares serius.
"Hei, apa kau bilang? Si cupu? Atas dasar apa? Kau itu si jomblo! Ngga pernah dapat istri cuma bisa selingkuhi istri orang!"
"Apa???? Aku...,"Teriak Ares
"Berhenti! Aku setuju kalau Agam pergi. Tidak bisakah kalian para dewa bersikap bijaksana? Bukan kekanak-kanakan seperti ini!"Athena memotong perkataan Ares.
Ares tampak cemberut. Poseidon hanya nyengir tanpa salah.
"Sebelumnya, kita perlu persiapan dan penelitian untuk tahu siapa yang menyerang Venus. Logam perak itu berasal dari dimensi Pluto,"kata Hephaestus. Suasana kembali serius.
"Apakah dia pengkhianat dari penghuni dimensi Mars? Atau dimensi Bulan sendiri? Mungkin dia berasal dari Pluto? Tidak mungkin kalau dia orang bumi biasa,"terocos Apollo.
"Atau mungkin dunia bawah?"tanya Luna dan Selena bersamaan.
"Tidak mungkin! Di dunia bawah semua transportasi sangat tertib dan lagi selama seratus tahun terakhir, tidak ada roh yang membebaskan diri. Lalu, tidak ada logam perak langit di dunia bawah,"Tolak Hades terhadap duo kembar dayangku itu.
Selena dan Luna mengangguk paham.
"Itu nanti kita yang pikirkan. Sekarang kita persiapkan keberangkatan Venus dan Agam. Ingat, Venus ke sini hanya wujud dari mimpinya,"kata pak Kris.
Seisi ruangan mengangguk. Kemudian, Apollo dan Hermes mengangkat tangan.
"Aku yang akan mengantar, kita pakai lorong Aurora saja ya?"teriak Apollo antusias. Seisi ruangan mengangguk.
"Aku akan memberi hukuman kepada dewa langit yang bersekongkol dengan orang jahat,"Kata Hermes.
"Aku punya pekerjaan baru untukmu Zeus,"kata Hermes kemudian dengan senyum mengerikan.
Zeus yang terikat rantai di sudut meja tampak murung. Halilintar ya sudah di sita oleh Pak Krish. Dia harus menyesal setelah ini.
***
"Terima kasih atas tumpangannya," kataku dan Agam berbarengan.
"Hahaha, ini adalah tumpangan terbaik buat kalian. Jangan bosan-bosan ya... Venus kapan-kapan kencan sama aku ya?"kata Apollo sambil mengedipkan matanya.
Iuh Hoek...
"Nggak mau bang, Abang udah tua. Saya masih muda," kataku jijik.
"Eitss, liat tampilan aku dong. Masih 17 tahun nih, hehehe. Tua-tua aku pro masalah cinta. Liat wajah dong so handsome..."kata Apollo genit.
"Maaf, Pak. Nggak doyan,"semburku.
Apollo melambaikan tangan dan segera pergi ke langit. Aku di dimensi bumi masih dalam wujud tembus pandang. Sedangkan Agam telah wujud manusia utuh.
Aku menunjukkan jalan kepadanya untuk menuju ruang kesehatan sekolah.
Agam mempersiapkan diri. Dipakainya jubah putih, khas dokter di Bumi. Sejak kapan dia tahu dan belajar? Aku menatap Agam terheran-heran.
Dia hanya nyengir tanpa dosa.
***
Jiwa mimpiku telah menyatu dalam ragaku kembali. Aku bisa merasakan Agam di dekatku. Bahkan melihatnya. Agam memakai topeng. Agar semua yang di situ tidak mengenalnya.
Agam membuka sebuah gulungan. Aku seperti pernah melihatnya, tapi lupa di mana. Benar juga. Aku hanya anak dan reinkarnasi dari Venus sang pemilik bulan dan planet Venus.
Gulungan itu berdenyar. Ahh, simbol-simbol itu. Aku ingat semua sekarang. Tulisan-tulisan di dalam gulungan itu bergerak merambat ke tubuhku yang mulai bergetar.
Penyatuan raga dan jiwa. Agas mendapatkan gulungan suci itu dari Mars pastinya.
Aku mengerang mulai merasakan kaku dan lemahnya persendian serta otot-otot tubuhku. Mulutku bahkan terkunci. Telingaku tuli untuk sementara waktu. Menyedihkan.
Aku hanya mampu meneteskan air mata sambil mengerang.
Seisi ruang kesehatan itu terhennyak. Lalu, beberapa terharu dan mengucap syukur.
Agam meletakkan gulungannya setelah semua tulisan kembali ke tempat asalnya.
Dia menggulung jubahnya ke siku. Di sana, di pergelangan tangan atasnya terdapat simbol penyimpanan khas dimensi Bulan. Dia mengusapnya lalu pendar cahaya keluar dari sana.
Tangannya yang lain masuk ketangannya yang bercahaya itu. Dari sana ia mengambil sebuah botol berwarna biru gemerlap. Dibukanya, hingga aroma aneh tercium di indera pembauku yang masih belum peka. Dia meneteskan cairan itu ke mulutku.
Satu tetes. Seketika, semua sejarah dan apapun itu masalalu entah apa berkelebat secepat cahaya melesat. Tubuhku pulih, hanya saja belum dapat lincah seperti sebelumnya.
Aku langsung bangun terduduk.
Aku mencari Agam ingin mengucapkan terima kasih kepadanya.
Tapi dia berlari, lalu tubuhnya hilang bersama asap.
Apa maksudnya? Bukankah ia berjanji akan kembali setelah ia sembuh? Dan aku yang seharusnya mengantar dia pulang. Agam tidak punya kemampuan melintasi lorong antar dimensi.
Aku berusaha meraihnya, begitupun seisi ruangan. Tak ada hasil.
"Agam..."teriakku yang hanya terlahir bisikan lirih.
Clara telah memelukku bersama Anna, Kashi, dan teman perempuan lainnya.
Mereka tampak bahagia. Namun, saat mereka memelukku tubuh ini terasa amat sakit. Aku mengerang perlahan.
Kashi kemudian membaringkan tubuhku kembali. Napasku satu-satu. Aku seperti sekarat.
Mungkin seharusnya aku lebih bersyukur karena jiwaku telah menyatu dengan ragaku kembali.
Kabar kepulihanku langsung menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Lalu, penonton yang luka-luka kini masih terbaring memenuhi bagian lain ruang kesehatan.
"Kau tahu? Ini sudah tiga hari semenjak kau terkena panah itu. Kami hampir menguburkanmu,"kata Alfa.
"Hampir, karena tubuhmu begitu dingin tanpa denyut nadi,"sambung Sie.
"Siapa laki-laki berpakaian dokter yang menolongmu itu?"tanya Clara.
"Kenapa dia langsung lari?"tanya Kashi curiga.
Agas hanya diam. Entah apa yang dipikirkannya.
"Ma....a..ff...., A..ku tii...dak bis...a men..ce....ritak..annya..,"aku terkejut aku bahkan sulit untuk bicara.
Air mata mengalir di pipiku. Lidahku kelu, entah apa yang kusesali. Entah apa yang membuatku begitu sedih.
Aku menangis tanpa suara.
***
Hai readers, selamat membaca
Salam literasi
Jangan lupa vote dan komen
Ada saatnya seseorang menangis tanpa alasan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top