Noesa Prakacandra by @Crankie-
Seorang remaja bersembunyi di balik sampan terbengkalai. Tak lama, terdengar derap menggebu bergerak cepat melintasi. Setidaknya butuh waktu lima menit untuknya melongok ke luar setelah suara tersebut lenyap. Keluar dari persembunyian, remaja itu lanjut mengendap perlahan, melewati tiap-tiap rumah dengan upaya tidak jatuh tenggelam. Langkahnya begitu pasti menapaki daratan yang tersisa, berjalan dan melompat sesekali.
"Hei!"
Panggilan itu berhasil membekukan kegiatannya. Ia sedang berpijak di daratan yang tidak begitu luas. Ditambah lagi, posisinya sudah terlalu pinggir dari perbatasan. Bergeser beberapa senti saja, sudah tidak ada lagi darat yang tersisa.
"Apa yang kaulakukan?"
Remaja itu menoleh. Ia mendapati remaja lain—kira-kira berumur sama—sedang menyaksikannya dari balik jendela. "Aku bisa jelaskan."
Bocah itu melompat turun. Ia berjalan mendekati. "Aku Daru, siapa namamu?"
"Sufi."
Aru mengulurkan tangan. Mau tidak mau Sufi menerima. Kini mereka berdiri di dataran yang sama, tidak terpisah oleh laut samudera. Daru menelanjangi tubuh Sufi dengan tatapannya. Ia terheran, pakaian yang Sufi gunakan bukanlah setelan penghuni pinggiran. Kemeja abu—yang sebenarnya berwarna putih, tapi sangat kotor—dan potongan celana yang dikenakannya itu, rasa-rasanya pernah ia lihat di suatu tempat.
"Jadi, apa yang kaulakukan dengan mengendap-endap di belakang rumah orang lain?" kata Daru. "Tidak, aku lebih penasaran dengan, kenapa kau bermain-main di perbatasan Noesa?"
Sufi tidak mungkin menjawab dengan jujur. Bisa-bisa Daru malah memanggil para prajurit yang sedang memburunya seperti hewan itu, mengingat imbalan yang ditawarkan lebih mewah dari kata mewah itu sendiri. Sepuluh kantung emas dari tambang bawah laut di Papua, bisa membawa siapa saja untuk menaikkan derajat mereka turun-temurun.
"Aku hanya bermain-main," dalihnya, "maaf kalau mengganggu waktu istirahatmu."
Daru memicingkan bola matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sufi. Masa iya ada orang yang bermain-main selarut ini? Sebentar lagi mentari menyinari bumi, kenapa harus repot-repot memulainya begitu awal? Ditambah lagi, Daru memang acapkali menggunakan waktu tidurnya untuk menuntaskan pekerjaannya sebagai perakit sampan. Ia selalu memandangi laut samudera dari jendela kamar setelah menyelesaikan tiga sampai empat buah sampan. Namun, sepanjang tujuh tahun kariernya dijalani, baru kali ini ia bertemu dengan Sufi. Baru kali ini juga ia melihat prajurit pemerintah berlari kebingungan.
"Tidak usah berbohong. Kau tahu, kebohongan adalah senjata yang digunakan pemerintah Noesa dulu untuk mengelabui rakyatnya, sampai-sampai mengubur sistem demokrasi pancasila?" timpal Daru. "Dilihat-lihat, pakaianmu itu juga berasal dari pemerintahan, meskipun sudah dekil seperti itu, aku masih dapat mengenalinya."
Sial.
"Lebih baik berkata jujur padaku. Aku tahu kau sedang dijadikan buronan," katanya. Kalimat itu sebenarnya hanyalah terkaan semata, tetapi dari cara Daru mengucapkannya, terdengar jelas bahwasanya ia mengintimidasi Sufi dengan memanfaatkan hal yang belum pasti kebenarannya.
"Baiklah-baiklah!" Sufi menyerah pada akhirnya. "Kumohon, setelah kuceritakan apa yang terjadi, kau akan membiarkanku pergi."
Daru mengangguk senang. "Tentu saja. Juga, alangkah baiknya kita berbicara di rumahku saja. Hari sudah mulai pagi, kau pasti tidak ingin para prajurit mengetahui keberadaanmu. Aku tinggal seorang diri, kau tak perlu khawatir," jelasnya.
Apa yang Daru katakan sangatlah logis, jadi Sufi mengikuti ke mana langkahnya dipijakkan. Keduanya masuk ke dalam sebuah ... entah layak disebut rumah atau tidak, tapi Sufi yakin kalau ini tidak pantas disebut demikian. Maksudnya, sebuah tempat tinggal seharusnya lebih layak untuk ditinggali, bukan sekumpulan kekacauan yang ditemui ketika membuka pintu utama. Barang-barang elektronik bekas menumpuk di salah satu sisi. Peralatan makan yang kotor dibiarkan memenuhi wastafel. Serta hal-hal terabaikan yang lainnya.
"Maaf, aku terlalu sibuk bekerja," kekeh Daru. "Kau bisa duduk di sofa itu, aku akan mengambil minum terlebih dahulu."
Menurut, Sufi bergerak mendekati sofa yang membelakangi sebuah akuarium. Ia bertanya-tanya karena hal itu, mengingat Noesa sudah tenggelam, kenapa Daru masih saja betah melihat ikan di dalam akuariumnya itu? Bukankah ini sama seperti representasi Indonesia—tidak, maksudnya, seperti Noesa sekarang?
"Aku tahu kau akan menganggapku aneh dengan menyimpan akuarium tersebut." Daru tiba-tiba datang. Menaruh dua gelas teh, lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan Sufi. "Justru keberadaan akuarium itu yang membuatku sadar akan kehidupan kita saat ini. Aku penasaran bagaimana rasanya menjadi warga Indonesia, bukan masyarakat Noesa. Aku penasaran dengan bagaimana keindahan yang dimiliki oleh dulu, tentang hidup di atas daratan luas. Aku penasaran dengan bagaimana bedanya kondisi saat ini dengan Noesa yang dulu disebut sebagai negara kepulauan."
Sufi memilih diam tak menanggapi.
"Namun, yah, itu semua hanya rasa penasaran. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu di mana lautan belum melahap daratan. Akuarium itu menyadarkan kalau aku memang harus hidup terkekang seperti ikan di dalamnya."
Cerita itu membuat Sufi bingung. Juga terkagum di lain sisi. Selama hidupnya, ia tidak pernah memikirkan sejauh itu. Yang diketahuinya hanyalah menjadi penerus ayahnya yang bekerja sebagai prajurit kepala pemerintahan. Ya, Sufi adalah sekolompok orang yang mendapat hak istimewa dalam hidupnya. Namun, karena apa yang terjadi tiga hari lalu, hidupnya langsung memutarbalikkan keadaan.
Sufi dijadikan buronan karena mengetahui rahasia pemerintahan.
Sebenarnya itu terjadi tidak sengaja. Saat itu, Sufi sedang mencari keberadaan sang ayah, Ramandi, di dalam Gedung Merah-Putih. Beliau sedang berbicara dengan Nyonya Liza, kaki tangan kepala pemerintah, mengenai hal yang kiranya berkaitan dengan Bukit Santara dan batu permata biru. Satu hal yang membuatnya terkejut—yang mana akhirnya ketahuan mendengarkan—adalah bagaimana Nyonya Liza memerintahkan Ramandi untuk mengirimkan putranya.
Sufi akan ditumbalkan.
Mendengar hal itu, ia bergerak tak terkendali hingga menjatuhkan sebuah vas besar. Ketahuan, Sufi pun pergi dari wilayah pemerintahan tanpa membawa apa-apa. Selama perjalanannya tiga hari ke belakang, ia sudah mendapat informasi bahwasanya Bukit Santara adalah satu-satunya tempat tinggi yang dikeramatkan. Sedangkan, batu permata biru dirumorkan hanya terlihat di bawah siraman sinar bulan.
"Kau sudah mendengar ceritaku, jadi apa boleh aku pergi?"
Daru benar-benar tidak habis pikir bahwa hidup dalam daratan pemerintahan bisa semengerikan itu. Ia pikir hanya masyarakat biasa saja yang sengsara, terlebih lagi mereka yang tinggal di perbatasan. "Jadi kenapa kau sampai ditumbalkan?"
Sufi menggeleng. "Itulah kenapa aku ingin pergi menuju Bukit Santara."
"Aku tidak habis pikir lagi dengan bagaimana pemerintahan berkuasa. Mereka sampai-sampai menumbalkan warganya untuk alasan yang tidak kami ketahui. Dunia sudah hancur. Benar-benar hancur. Rasa-rasanya, memiliki hidup di masa seperti ini hanyalah penderitaan semata."
Indonesia tenggelam. Negara kepulauan ini akhirnya benar-benar menjadi pulau seperti sebutannya. Pemerintah berdalih banyak hingga menghancurkan tatatan demokrasi yang ada. Kami yang masih diberikan hidup, hanya bisa bergantung pada pemerintahan mengenai keberlangsungan hidup. Yah, setidaknya tidak ada masalah kelaparan kini, karena entah bagaimana ikan-ikan di laut samudera tiba-tiba melimpah. Namun, kita juga sadar kalau sumber daya tersebut pasti akan memiliki masa untuk habis.
"Kalau begitu, tinggallah sejenak. Kau bilang batu permata biru itu hanya terlihat tatkala bulan menyirami bumi dengan sinarnya. Juga, biar kutebak, kau tidak memiliki tempat persembunyian, bukan? Jadi ini adalah tawaran yang menarik," kata Daru.
Sufi tidak memiliki apa-apa. Ia hidup bersama ayahnya yang bahkan ingin mengorbankannya. "Baiklah, akan kuterima tawaranmu itu, Daru. Terima kasih."
Situasi di luar rumah begitu sibuk. Entah sedang berlayar atau apa pun itu. Sufi sudah terlelap lelah. Belakangan ini ia selalu tidur di sampan-sampan terbengkalai. Itu pun dipenuhi rasa takut akan tertangkap. Namun, kali ini, tidurnya begitu nyaman. Pikirannya tenang mengantarkan sang jiwa menikmati nyenyak. Daru sadar akan hal tersebut, itulah mengapa ia memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu yang mengundang berisik untuk datang.
Malam berkunjung. Sufi terbangun karena tepukan yang diberi oleh Daru. Ia langsung membasuh muka dan bersiap menuju Bukit Santara yang letaknya tidak jauh lagi. Ketika hendak berpamitan, Daru berkata, "Ayo kita berangkat."
"Kita?" ulang Sufi kebingungan.
Daru mengangguk. "Ya, kita. Aku akan menemanimu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin akan menceritakan prajurit pemerintahan mengenai cerita pagi tadi. Terserah kau ingin mengambil keputusan yang mana."
Sialan.
"Baiklah, kau boleh ikut."
Daru menanggapi dengan semangat. Ia segera mengeratkan ransel, mengunci pintu rumah, dan mengikuti Sufi yang sudah berjalan lebih dulu. Mereka bergerak ke arah timur dengan sesekali bersembunyi di tengah kerumunan mengelabui prajurit pemerintahan. Beruntung sekali malam ini ada acara yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan, jadi tidak perlu kesulitan untuk mengendap-endap menghindari.
"Hei, kalian yang di sana, berhenti!"
Awalnya, mereka pikir teguran itu ditujukkan untuk orang lain.
"Hei, kubilang berhenti! Apa kalian tidak mendengarku?"
Terdengar jelas ketukan pantofel mendekati keduanya.
Sufi spontan berlari. Daru mengikuti gerak serupa.
"HEI JANGAN LARI!"
Mereka tidak jarang menubruk orang, membuat mereka yang tertabrak mengucap sumpah-serapah. Prajurit pemerintah berada tepat di belakang kami. Entah sudah berapa banyak yang mengejar, yang pasti sudah menambah dari sebelumnya yang hanya tiga orang. Sufi dan Daru bergerak lurus, berlari dan sesekali melompati laut samudera yang membelah jalan.
Namun, kini keduanya terjebak.
Napas Sufi sudah terlalu lemah bila dipakai untuk berenang. Bisa-bisa ia mati tenggelam sebelum sampai di Bukit Santara. Tujuan mereka sudah ada di depan mata, tapi tidak ada lagi daratan yang tersisa. Laut samudera membelah pemukiman kira-kira sejauh tiga kilometer. Jarak yang sangat besar.
"Daru, lebih baik kau pergi." Sufi mengatakannya terengah. "Aku tidak ingin kau ikut terjerat permasalahanku."
Masih dengan napas tersengal, Daru memandang Sufi heran. "Kau gila? Ini sudah keputusanku. Aku tidak pernah bertualang sebelumnya. Ini seakan membuatku benar-benar hidup!" serunya kegirangan.
Daru lantas menarik salah satu sampan yang tidak memiliki dayung atau mesin. "Naik!" Ia memerintah. Sufi mengikuti apa yang Daru ucapkan karena tidak ada pilihan lain. Setelah keduanya naik, Daru mengeluarkan sebuah mesin dari dalam ransel. Tidak perlu waktu lama baginya untuk memasang dan menyalakan mesin tersebut. Sampan pun melaju cepat menuju daratan Bukit Santara.
Seorang prajurit pemerintahan berdiri memandang kepergian keduanya. "Cepat laporkan pada Nyonya Liza kalau target pergi ke Bukit Santara. Hah ... sial! Bisa-bisa Ratu Nalisa menggantung kita nanti!" ujarnya pada salah seorang bawahan.
Sementara itu, Sufi dan Daru bergerak menembus jarak. Tidak butuh waktu yang lama bagi keduanya untuk kembali menemui daratan. "Sial, aku tidak tahu kau memiliki alat sehebat itu!" puji Sufi kegirangan.
Daru hanya terkekeh dengan menampilkan wajah menyebalkan. "Aku menciptakannya."
Akan tetapi, pernyataan itu tidak digubris oleh Sufi. Sufi sudah berlari memasuki hutan lebih dulu. Daru kelabakan mengikuti. Mereka berlarian mengikuti titik biru kecil yang ada di penghujung. Sudah sepuluh menit mengejar, tapi tak juga sampai. Keduanya duduk terengah-engah.
"Gila, kenapa kita tidak juga sampai?"
Sufi menghela napasnya. "Entahlah, Ru, tidak tahu."
Waktu istirahat mereka berkurang, karena tak lama kemudian, para prajurit pemerintahan sudah sampai di daratan yang sama. Sufi dan Daru sontak bersembunyi di balik pohon, mereka bergerak diam-diam di balik gelap, tetap mengarah pada satu titik yang dituju: cahaya biru.
"Lihat, cahayanya semakin bersinar terang."
Sufi sadar akan hal yang dibicarakan Daru. Sesaat lagi mereka akan sampai di permata biru. Namun, setelah itu apa? Entahlah, itu bisa diketahui nanti.
Ketika hendak berpindah tempat, sesuatu menarik lengan Sufi. Ia terkejut. Ramandi membekap mulut Sufi, menjaganya agar tidak berteriak curiga. "Diam, jangan berisik. Kita bisa ketahuan nanti," kata sang ayah.
Sementara itu, Daru terus bergerak. Tidak ada sedikit pun niatan untuk memeriksa keberadaan Sufi yang sudah terpisah darinya. Baru ketika menemui sebuah dinding batu dengan permata biru di tengahnya, Daru sadar kalau Sufi tidak ada. Ia tidak mungkin meneriakkan nama lelaki itu kencang-kencang, yang ada malah mengundang perhatian para prajurit pemerintah untuk mendatanginya.
"Sialan, apa dia tertangkap?"
Daru berusaha mencabut permata biru untuk dibawakan kepada Sufi. Sudah berulang kali dicoba, batu itu masih enggan terlepas dari cengkraman batu dinding. Terus berusaha, tapi selalu sia-sia. Daru rasanya ingin menyerah. Terlebih lagi, kini para prajurit sudah menemukan keberadaannya. Sufi tidak juga datang, lalu tidak ada jalan untuk kabur. Para prajurit sudah menodongkan pisau tombak mereka ke arah Daru.
"Tunggu!" Sufi tiba-tiba datang bersama Ramandi. "Aku akan menemui Dayang Hilia kalau kalian membebaskannya."
Nyonya Liza yang memimpin pasukan, menitah mereka untuk menurunkan senjata. "Baiklah."
"Jaminan apa yang kudapat kalau kalian akan membebaskan Daru?"
"Tenang, anak itu akan aman bersama Ayah," jawab Ramandi. "Sekarang, seperti yang Ayah bilang sebelumnya, kau harus bertemu dengan Dayang Hilia untuk mendiskusikan keberlangsungan hidup bangsa Noesa. Dia adalah kepercayaan Ratu Kanjeng Roro yang sudah meluluhlantahkan daratan yang ada di sini."
Mendengarnya, Daru menautkan alis, bingung.
Sufi berjalan mendekati teman barunya itu. "Kau tenanglah, aku hanya akan mendiskusikan beberapa hal dengan ... aku juga tidak tahu apa." Ia menepuk bahu Daru dan langsung berjalan menuju batu permata biru. Dilepasnya sang batu dengan mudah. Namun, beberapa saat kemudian, Sufi jatuh pingsan.
Beberapa prajurit pemerintah langsung memindahkan tubuhnya menuju tandu yang disediakan. Ramandi bergerak menuju Daru. "Namamu Daru?" tanyanya.
Daru mengangguk. "Ya, aku Daru Altrapehi."
"Aku Ramandi Dakacandra, prajurit kepala, ayah dari Sufi. Mungkin hal ini akan terlihat aneh bagimu, tapi aku akan berusaha menjelaskan semua yang hal perlu kauketahui," jelasnya.
Ramandi duduk di sisi Daru. Ia menyandarkan tubuhnya ke pepohonan dan mulai menceritakan bagaimana asal-mula Indonesia terkena musibah hebat. Lautan yang mendominasi negara kala itu tiba-tiba melahap daratan. Ramandi berkata kalau ia mendengar cerita itu dari kakeknya yang merupakan keturunan asli penjaga Laut Selatan.
"Seperti yang kita tahu, Nyi Roro dulunya seorang bidadari dari Khayangan yang akhirnya berbelok menuju ilmu hitam. Ia menguasai Laut Selatan demi melindungi orang yang dicintainya, Jaka tarub dan anak mereka. Namun, suatu ketika, pemberontakan antara Khayangan dan Dunia Bawah terjadi setelah mengetahui identitas Nyi Roro yang sebenarnya adalah Dewi Nawang Wulan. Hal itu tentu berdampak pada tempat kita tinggal. Nyi Roro yang kala itu murka, memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyerang Khayangan.
"Peperangan itu berakhir seri, walaupun Nyi Roro sempat mendominasi. Itulah kenapa negara kita tenggelam dan hanya beberapa orang yang mengetahui cerita yang sebenarnya. Selama ini, kamu pasti mengira kalau ini hanyalah sebatas bencana alam. Tapi, tidak semudah itu. Kejadian ini terjadi ketika Nyi Roro mengetahui pihak Khayangan berusaha mengganggu keturunannya. Anak dari anaknya," simpul Ramandi.
Informasi yang datang tiba-tiba itu langsung memenuhi kepala Daru. Ia memang pernah membaca sebuah buku jadul mengenai Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Namun, tidak sampai seperti ini. "Lalu, apa hubungannya dengan Sufi dan pertemuan dengan Dayang Hilia?"
Ramandi menatap anak semata wayangnya itu. "Kakekku merupakan penjaga Laut Selatan sebelum perang gaib terjadi. Beliau diberi keistimewaan oleh Kanjeng Ratu karena telah bersedia menjaga ketenteraman Laut Selatan. Suatu waktu, beliau didatangi oleh Dayang Hilia atas nama Kanjeng Ratu. Ternyata, mereka mendiskusikan tentang permohonan maaf Kanjeng Ratu atas kemurkaannya. Maka dari itu, kau pasti heran, kenapa sumber daya laut tidak pernah habis walaupun kita eksploitasi terus-menerus? Itu merupakan permintaan maaf darinya."
Daru mengangguk paham.
"Kini, Sufi sedang berdiskusi dengan Dayang Hilia karena pasokan yang diberikan oleh laut tiba-tiba berkurang. Hanya keturunan kakekku yang dapat berbincang dengan Dayang Hilia. Aku terlalu tua untuk melakukannya lagi. Dayang Hilia merasa sia-sia untuk memberdayakan ekosistem laut apabila dipakai oleh orang yang akan mati. Jadi, aku dan Nyonya Liza memutuskan bahwa Sufi harus mulai mengerjakan pekerjaan ini. Namun, untuk mempertemukan keduanya, kita perlu mengantar Sufi menuju gerbang istana Laut Selatan yang ada di hadapan kita ini."
Cerita tersebut benar-benar di luar ekspektasi Daru. Ia tidak mengira kalau Kanjeng Ratu itu benar-benar ada. Juga, tentang bagaimana silsilah Sufi yang memiliki keterkaitan dengan manusia penjaga Laut Selatan. Juga, siapa yang mengira kalau pulau tempatnya berpijak saat ini, pulau yang dikeramati oleh pemerintahan, ternyata adalah gerbang menuju istana Laut Selatan?
"Jadi, dalam kondisi pingsan seperti itu, Sufi sedang berdiskusi dengan Dayang Hilia?"
Ramandi menggeleng. "Tidak."
"Lalu?"
Lelaki tua itu tersenyum dan mengatakan, "Setiap pertemuan perdana, Dayang Hilia pasti mengajak mereka ke istana di Laut Selatan untuk bertemu langsung dengan Kanjeng Ratu. Impresi awal adalah hal yang sangat dinilai penting oleh Kanjeng Ratu, jadi saat ini jiwa Sufi sedang berada di balik Bukit Santara, berbincang bersama dewi yang membelot ke arah kegelapan, Nyai Kanjeng Ratu Roro Kidul."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top