Mega Supervillain by @mutiateja
"Seberapa tangguh dirimu?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, si makhluk berkulit ungu menjadi semakin gugup. Sepasang matanya bergulir ke sana ke mari dengan gelisah, terang-terangan mengindari tatapan milik pria bermahkota di hadapannya.
Di atas singgasana yang megah, sang raja duduk santai seraya menyilangkan kaki. Satu kali menguap, dua kali menguap, dan jawaban yang diminta tak juga dia dapatkan. Tadinya dia sudah bersiap memerintah pengawal untuk mengusir si pendatang, tapi tidak jadi karena makhluk tinggi besar itu akhirnya membuka mulut.
"Saya bisa memusnahkan separuh kehidupan dengan satu jentikan jari."
Raja mulai menunjukkan ketertarikan. "Menarik." Senyum tipis terulas di wajahnya. "Lalu?"
"Asalkan saya berhasil mengumpulkan enam batu yang—"
"Meh," cibir sang raja. Dia mengubah posisinya jadi duduk bersandar dan mulai melipat kedua lengan di depan dada. "Mengumpulkan batu? Sungguh ketinggalan zaman! Aku jadi teringat kisah tragis seorang penyihir—oh, dia botak, sama sepertimu—dulunya salah satu anak buah kesayanganku dan aku berharap banyak darinya. Dia sempat mengira sudah berhasil membunuh bocah musuh bebuyutannya, tapi kau tahu apa yang terjadi? Bocah itu gagal mati gara-gara sebuah batu! Sejak itu aku illfeel dengan yang namanya batu! Kau paham?"
Makhluk ungu itu buru-buru mengangguk.
"Dunia kejahatan perlu inovasi!" Raja mendesah dramatis. "Karena itulah kita selalu kalah dari para protagonis menjijikkan. Strategi kalian terlalu old-fashioned! Kau paham itu, Tanatos?"
"Thanos, Yang Mulia."
"Oke, Santos. Kau paham maksudku?"
"Paham, Yang Mulia."
"Segera revisi proposal rencana kejahatanmu dan jangan kembali sampai menemukan ide yang fresh!"
"Baik, Yang Mulia SufiAL."
Barusan adalah rencana kejahatan ketiga yang dia tolak dalam seharian ini. Menjadi pemimpin dari segala villain, antagonis, dan penjahat se-dunia akhirat sama sekali tidak mudah. Sufi harus menemukan orang yang tepat, kemudian merekrutnya agar masuk ke dunia kegelapan. Eits, tugasnya tidak selesai sampai di sana. Setelah itu pun dia masih harus menempatkan orang-orang terpilih di konflik yang sesuai, menyuruh mereka mengajukan proposal rencana kejahatan, dan memberi pelajaran serta nasihat kalau diperlukan. Sufi tidak peduli meski pun dia jadi tidak terkenal di kalangan para protagonis di luar sana. Baginya bekerja di balik layar—menata strategi dan mengatur pion-pion untuk digerakkan—jauh lebih menyenangkan.
Sayangnya, Sufi sudah kenyang dengan yang namanya kekalahan. Kebaikan selalu menang, kata mereka. Ingin rasanya Sufi mengutuk orang yang pertama kali mencetuskan kalimat itu.
Sepeninggal Thanos, Sufi melanjutkan kegiatannya semula, yaitu leyeh-leyeh menonton siaran ulang Perang Dunia II lewat bola kristal. Memasuki adegan klimaks—di mana sebuah pesawat tampak sedang bersiap menjatuhkan bom atom ke suatu negara—seseorang membuka pintu ruang tahta dengan rusuh.
"Yang Mulia Sufi! Yang Mulia Sufi!"
Sufi berdecih pelan dan terpaksa menjeda film dokumenter real-live action di depannya. Dipandanginya lelaki berkacamata yang baru saja masuk.
"Ray, kau benar-benar ingin kukutuk jadi kuda poni rupanya."
Penasehatnya itu langsung berlutut. "Ampuni, Yang Mulia. Tolong jangan ubah saya jadi makhluk menggemaskan itu. Harga diri saya bisa hancur."
"Awas kalau ini tidak penting!"
"Maleficent berhasil dikalahkan, Yang Mulia."
Terdengar suara petir menggelegar.
"Apa?" Sufi langsung berdiri. "Bocah mana biang keroknya kali ini?"
Ray mengangkat kepalanya dan memandangi sosok itu cemas. "Pangeran Philip, Yang Mulia. Lalu—"
"Masih ada lagi?"
"Kita gagal merekrut Elsa untuk bekerja sama."
Sufi terpaksa menelan kekecewaannya bulat-bulat dan kembali menghenyakkan tubuh di kursi kebesaran. "Padahal dia gadis yang sangat potensial. Sayang sekali Elsa malah memilih jalan yang sesat." Tidak ada yang lebih mengesalkan dibanding kehilangan calon bibit villain unggul. "Ini tidak boleh dibiarkan, Ray! Kalau begini tujuanku untuk menghitamkan dunia bisa gagal! Saatnya aku turun tangan!"
Lagi-lagi petir menggelegar dan ruang tahta berguncang terkena gempa lokal.
Ray terkesiap, tidak menyangka sang Raja yang hobi rebahan itu pada akhirnya memutuskan untuk terjun langsung ke lapangan.
"Baik, Yang Mulia Sufi." Ray sebenarnya tidak bisa memahami pola pikir lelaki di hadapannya—mungkin memang tidak akan ada makhluk waras yang paham—tapi sebagai penasehat teladan yang berdedikasi, tidak ada yang bisa dia lakukan selain memberi dukungan penuh.
"Akan kubuat para protagonis itu menangis memohon ampun," tukas Sufi dengan api di matanya—api sungguhan, secara harfiah. "MIK! MIIIK!"
Untuk yang kedua kalinya, pintu ruang tahta dibuka dan dibanting kasar. Dari baliknya muncul seorang pemuda berpakaian serba hitam. Saking terburu-burunya, dua kali dia hampir tersandung ujung jubahnya sendiri.
"Mik, ayo bersiap-siap! Kita akan bersenang-senang!"
"Wow, kita akan perang?" Mik—sang panglima kerajaan—segera memberi hormat, lalu bertepuk tangan semangat. "Saya akan mengumpulkan pasukan."
"Kau meremehkanku? The Great SufiAL tidak butuh pasukan! Kita pergi bertiga!"
"Saya juga?" Ray menunjuk dirinya sendiri, diam-diam berharap sudah salah dengar.
"Aku butuh umpan dalam keadaan mendesak."
"Yang Mulia ...." Ray lelah. Mungkin memang lebih baik dia jadi kuda poni saja.
"Kuda Anda akan segera saya siapkan!" Mik kembali mengumumkan.
"Kuda cuma untuk pangeran lemah!" bentak Sufi. "Bawakan aku komodo!"
"Ta-tapi itu terlalu lambat, Yang Mulia." Mik menambahkan dengan takut-takut.
"Kalau begitu Albatros!"
"Albatros tidak akan mampu menahan bobot Anda."
"Ray, kau mau bilang aku gendut?"
Petir ketiga pun menggelegar.
Keinginan Ray untuk resign jadi semakin kuat.
***
Setelah 2301 tahun, Sufi akhirnya menjejakkan kaki di luar kastil.
"Ray, carikan aku lawan yang kuat untuk ditaklukan." Sufi memerintah dari atas kudanya—yang sudah dia modifikasi jadi kuda api supaya kesannya lebih gagah dibanding kuda para pangeran lemah. "Tapi yang terdekat saja, ya. Aku mulai bosan."
"Baru seperempat jam yang lalu kita meninggalkan kastil." Ray hanya bisa menghela napas berat. Dia menjauhkan tangan kanannya dari tali kekang dan mengulurkannya di depan tubuh dalam posisi telapak tangan tertengadah. Sebuah bola kristal muncul di atasnya, mengawang beberapa senti dari permukaan kulit. "King A-Roo."
"Jadi aku harus melawan makhluk yang hobinya loncat-loncat."
"King A-Roo, Yang Mulia." Ray menjelaskan lambat-lambat. Tatapannya masih terpaku pada bola kristal. "Dia petinggi Nu'Paradise Country, sebuah negeri besar yang terbuat dari emas dan kaya akan sihir. King A-Roo raja yang kuat dan sakti luar biasa. Konon katanya dia bisa membunuh orang lewat tatapan mata. Ditambah lagi dia punya pengawal setia yang ditujuluki 'Petjoet Sakti Mandraguna'. Belum ada anak buah kita yang berani mengajukan proposal untuk mengalahkannya."
"Oke, kita ke Nu'Paradise kalau begitu!" Sufi mempercepat kudanya, tidak sabar untuk segera mengalahkan King A-Roo, menguasai kerajaannya, kemudian kembali ke kastil untuk rebahan sambil lanjut menonton siaran ulang black death yang fenomenal.
"Yang Mulia, lima meter di depan sana ada sekumpulan orang." Mik yang berkuda paling depan akhirnya angkat suara. Dia terdiam sebentar. "Menurut rumput yang bergoyang, mereka ada 30 orang. Sepertinya kaum nomaden."
"Ayo kita pemanasan, anak-anak," tukas Sufi seraya memasang senyum penuh arti.
Tiga puluh orang itu tidak tahu apa yang menghampiri mereka. Awalnya mereka sempat terdiam melihat kuda api dengan seorang lelaki berambut hitam berpakaian nyentrik yang mengendarainya. Namun, tersadar akan ancaman, mereka segera meraih senjata terdekat. Dalam sekejap, Suji dan dua pengikut setianya berhasil terkepung.
"Yang Mulia, Anda tidak akan mengumpankan saya sekarang, kan?" Ray sudah siap untuk memutar balik kudanya dan mengambil langkah seribu saat itu juga.
Namun, sang raja yang agung tidak gentar sedikit pun.
"Tadi si Termos bilang kalau dia bisa menghilangkan separuh kehidupan dalam sekali jentikan." Sufi kembali terbayang pertemuannya dengan si makhluk ungu berkepala botak. "Lihatlah bagaimana aku mengancurkan orang-orang ini dalam sekali kedip. Hei, kau!"
Dipanggilnya pria terdekat yang sedang mengacungkan pedang ke arahnya. Pria itu menoleh dan Sufi pun langsung mengedipkan sebelah matanya. Si pria malang refleks menjatuhkan pedang dan memasang ekspresi seperti akan muntah.
Namun, bagian menariknya baru saja dimulai.
Dalam sekejap sekeliling mereka berubah jadi lautan api.
Sufi tertawa menikmati pemandangan di hadapannya. Api yang berkobar. Jeritan pilu. Tangisan penuh luka.
Betapa menyenangkannya.
***
"Yang Mulia!" Ray mengalihkan pandangan dari bola kristal, sepuluh menit setelah mereka meninggalkan areal pembakaran. "Ternyata yang Anda bakar tadi adalah gerombolan penyamun yang mengurung Aladdin di goa!"
"APA?" Sufi syok berat. "Kenapa tidak kasih tahu dari tadi?"
Jadi secara tidak langsung dia sudah membantu memberantas para penjahat?
"Ray! Mik! Awas saja kalau kabar ini sampai tersebar!"
Mau ditaruh di mana mukanya kalau berita ini sampai ke telinga orang-orang?
Mik yang tadinya sedang terkikik geli langsung bungkam begitu mendapat hadiah tatapan tajam dari sang raja.
"Tidak. Tidak. Aku bisa mimpi buruk selama 2301 tahun ke depan. Ray, carikan aku mangsa potensial secepatnya! Jiwa jahatku harus segera dimurnikan!"
Dan untuk yang kesekian kalinya hari ini, Ray kembali mengamati bola kristal.
"Tidak jauh di depan kita ada sepasang cinta sejati, Yang Mulia."
"Bagus! Akan kupisahkan mereka."
Memisahkan cinta sejati termasuk kategori pencapai besar level B. Sekedar informasi, level A-nya adalah menghancurkan sebuah negeri.
Sosok yang mereka temui selanjutnya adalah gadis manis berambut hitam pendek dan pemuda berpakaian ala pangeran. Sufi tidak ingin membuang-buang waktu. Dia segera turun dari kuda dan mengubah penampilannya dengan sihir. Sekarang, di mata dua orang itu, dia adalah sosok gagah berambut pirang dengan mata biru dan senyum mempesona. Oh, biasanya dia juga sudah gagah sih.
"Salam." Sufi melempar senyum mautnya pada sang gadis. "Saya sudah menunggu lama, Tuan Putri. Bukankah kita sudah berjanji untuk bertemu di Fairytopia demi memadu kasih? Oh, siapa si jelek ini?" Dialihkannya pandangan pada si pemuda yang wajahnya mulai memerah. "Dia mantan bau yang pernah kau ceritakan, Putri?"
"Putri! Apa-apaan ini?" Si pemuda membentak tidak terima. "Kupikir kita adalah cinta sejati!"
Sambil berurai air mata, pemuda itu pun berlari menjauh dan menghilang di balik pepohonan.
Sementara itu, Sufi tersenyum puas. Rencananya sukses besar. Akhirnya jiwa jahatnya termurni—
"Terima kasih banyak, Tuan." Gadis berambut pendek meraih tangannya dan menatapnya dengan pandangan berbinar-binar. "Kita tidak saling kenal, tapi Anda baru saja menyelamatkan saya dari si mesum berkedok cinta sejati."
"Hah?"
"Dia pikir, hanya karena dia berjasa membangunkan saya dari tidur panjang, dia bisa memiliki saya begitu saja." Gadis itu memasang ekspresi cemberut. "Padahal saya lebih suka tidur. Santai, bebas, tidak ada beban pikiran, tapi si berengsek itu malah mencium bibir saya tanpa izin!"
Pikiran Sufi mulai berkecamuk. Kenapa cerita ini familier? Apa gadis ini dulunya sasaran Maleficent? Oh, atau mungkin target gagalnya si ratu penggila kaca?
Apa pun itu, yang jelas Sufi baru saja menolong orang. Lagi.
***
"Ray. Mik. Kita pulang saja."
Kedua pengikut setia itu terang saja dibuat kaget mendengarnya.
"Tapi Nu'Paradise Country masih jauh, Yang Mulia." Ray mencoba mengingatkan.
"Dan belum sampai satu jam kita meninggalkan kastil." Mik ikut menimpali.
"Aku lelah." Sufi mendesah capek.
"Kenapa dari awal Anda tidak berteleportasi saja?"
Mendengar itu, Sufi terdiam. Detik berikutnya, sebuah cahaya keluar dari telapak tangannya dan Ray pun berubah jadi kuda poni. "Kenapa tidak bilang dari tadi?" Teriakannya menggelegar.
Mik memandangi kuda poni lucu itu dengan tatapan prihatin.
"Sudah cukup untuk hari ini!" Sufi kembali menaiki kudanya dan putar balik ke arah kastil. "Mungkin akan kucoba lagi di milenium selanjutnya. Semoga si Kangaroo masih hidup sampai saat itu."
***
.
.
.
YANG MULIA SUFI TOLONG JANGAN BUANG SAYAAA T..T
Terakhir, mohon maaf dan terima kasih buat oknum-oknum yang namanya sudah kupakai tanpa izin <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top