I AM AL by @E-Jazzy

AL. Itulah namaku untuk sementara ini. Nama lengkapku ... aku tak ingat. Intinya, pada petang yang dingin dan gerimis itu aku terbangun di sudut gang gelap, kepala benjol sebesar pentol. Rasanya pusing dan dunia seolah berputar-putar. Aku hanya bisa mengerjap dan bergumam, "Hiyaa hiyaa, aku amnesia!"

Lambat laun, hujan mengguyur lebat. Aku berusah bangkit, keluar sempoyongan dari gang sempit, dan sebuah kartu nama turun dari langit. Bersamaan dengan air hujan (kupisahkan kalimat ini agar kalimat sebelumnya tetap punya rima, menyalahi UU literasi pun aku tak apa).

Pada kertas kartu nama yang mendarat di atas benjolku itu, terdapat nama 'AL'. Sisanya tak terbaca karena basah.

Jadi ... ini mungkin pertanda dari Dewa Orang-orang Amnesia. Mendaratnya saja di atas benjol kepalaku. Namaku pasti AL itu—A dan L. Dua-duanya huruf kapital.

Di luar gang, jalanan riuh oleh pejalan kaki. Bahkan orang-orang keluar dari rumah dan kereta kudanya untuk berjoget di bawah hujan. Mereka mengabaikanku yang menggigil.

Mengendap masuk ke salah satu toko yang menjual jubah dan mantel, aku mencomot satu jubah paling tebal, hangat, dan lembut, lalu pergi begitu saja. Dewa akan memaafkanku karena aku amnesia dan kedinginan. Lagipula, kasirnya sibuk memasang sepatu untuk keluar dan menari bersama penduduk lainnya.

Kurasa, orang-orang desa ini menyembah Dewa Hujan atau semacamnya.

Sambil membawa-bawa kartu nama, yang masih kuyakini adalah milikku, aku menyusuri desa, menatap lentera-lentera yang melayang di tiap sudut trotoar, dan kanopi yang melingkupi jajaan kaki lima berupa barang sihir antik atau camilan. Aku berusaha mengingat-ingat ... di mana rumahku, siapa aku, dan hal-hal penting lainnya. Namun, gagal. Segalanya terasa asing bagiku.

Sampai aku melewati sebuah toko yang menjual pernak-pernik epos. Aku melihat perkamen-perkamen tua yang dipajang pada etalase terdepannya. Di atas perkamen itu, namaku terukir: AL: PENYIHIR SAKTI ABAD INI.

Kutempelkan wajahku ke kaca. Meski amnesia, ilmuku masih ada, dan aku masih bisa membaca (hore, berima!).

"AL, dikenal pula sebagai Alizarin, Aliza, atau Alizarinlake," bacaku dalam gumaman lirih. "AL merupakan penyihir sakti abad ini. Dia mengawali kariernya dengan mematenkan mantra kebal pecutan yang terinspirasi dari masa lalu kelamnya. Dalam tiga bulan awal kariernya, sudah ada 11 mantranya yang mendapat sertifikat dan 10 benda sihir temuannya memiliki lisensi. AL juga dikenal karena sihirnya yang ramah lingkungan dan tanpa korban nyawa manusia tak berdosa, hanya korban nyawa kriminal dan orang yang jahat ... wah, aku ternyata hebat."

Mataku menyusuri lukisan-lukisan dan patung-patung torso yang terpajang di sekitar perkamen. Sosokku digambarkan selalu memakai tudung jubah sampai wajahku tak terlihat. Hmm ... ternyata, aku juga misterius.

Pantas saja.

Kucubit jubah di tubuhku. Jadi, aku langsung mengambil jubah ini bukan karena aku kedinginan atau apa—ini adalah instingku sebagai orang misterius untuk langsung mengambil jubah bertudung panjang demi menutupi wajah. Pasti begitu. Tidak mungkin cocoklogi semata.

Aku melanjutkan membaca. "AL menghilang sejak tiga bulan yang lalu. Dikabarkan, dirinya terakhir kali terlihat sedang melakukan perjalanan bersama Yang Mulia Baginda Sri Sultan Paduka Raja Sufi (Ya Tuhan, panjang sekali). Diduga, keduanya mengalami kecelakaan dari malfungsi sihir saat akan melancarkan duet penumbalan untuk menurunkan hujan, demi memperbaiki keadaan krisis air yang lima tahun belakangan melanda tanah Nusantara Pendia Circia."

Aku melirik etalase kaca satunya, di mana terdapat perkamen lain beserta patung torso yang membentuk sesosok anak laki-laki—umurnya mungkin masih 10 atau 12 tahun saat wajahnya diukir.

"Yang Mulia Baginda Sri Sultan Paduka Raja Sufi," bacaku sambil tersengal. Mari kita singkat saja nama dan gelar orang ini jadi Sufi karena aku lelah. "Lahir di Lembah Oranye, Desa Wattyas, Sufi dilantik menjadi raja termuda yang pernah ada, naik tahta karena raja pergi berperang dan tak ada laki-laki lain dari silsilah ayahnya. Sufi memimpin Nusantara Pendia Circia dengan arif dan jujur. Namun, semenjak bencana kekeringan yang menimpa sebagian besar desa di Nusantara Pendia Circia, Sufi kian jarang turun gunung dan hanya terlihat sesekali di lingkungan istana. Sebagian besar waktunya beliau habiskan bersemedi demi menurunkan hujan. Tiga bulan yang lalu, Sufi terakhir terlihat di Gunung Genvest, diduga sedang dalam persiapan untuk duet penumbalan bersama Great Wizard of AL."

Itu dia. Kalau ingin ingatanku kembali, aku harus memulai dari tempatku terakhir terlihat bersama si Sufi ini: Gunung Genvest.

***

Tidak ada yang memberitahuku kalau gunung sialan itu memakan 30 hari jarak tempuh dengan jalan kaki. Atau mungkin pernah ada yang memberitahuku ... entahlah. Susah jadi orang amnesia.

Saking tersohornya wilayah itu, banyak yang mencoba pergi ke sana. Para pengelana yang sudah pernah mencoba memanjat Gunung Genvest itu menyebut ekspedisi mematikan mereka sebagai 30 Days of Whipped Climbing, diambil dari bahasa kuno dari Benua Britania yang kurang lebih bermakna 30 Hari Memanjat sambil Dipecut, saking mengerikannya ekspedisi memanjati gunung itu.

Dan belum pernah ada yang sampai ke puncak.

"Sungguh?" tanyaku pada salah satu pengelana yang kutemui di tengah pendakian. Saat itu aku sudah dua hari jalan kaki di lereng gunung, memanggul ransel besar berisi perbekalan. Andai ada yang memberi tahu lebih cepat perihal 30DWC, aku akan mencuri jet sihir atau pegasus, dan membawa perbekalan lebih banyak. Sayangnya, hanya si pengelana asing ini yang memberitahuku saat aku sudah telanjur 1/15 jalan.

"Ya, belum ada yang sampai puncak. Awalnya karena gunung ini berbahaya. Sekarang, malah lebih berbahaya lagi karena, sejak Baginda Sufi menghilang di sini, para pengawal kerajaan berkeliaran di sekitar sini. Para pengawal itu menggila—mereka mengeksekusi semua pendaki yang mereka tangkap, tampaknya mengira kalau para pendaki ini akan mengganggu ritual yang sedang dilakukan rajanya. Tapi, kurasa, kita akan menciptakan rekor dan menjadi yang pertama sampai ke puncak, 'kan? Kalau berdua, aku yakin kita bisa!"

Aku ragu akan hal itu. Kurasa, aku sudah pernah sampai ke puncak sebelum ini, bersama Sufi. Barangkali ada kaitannya dengan amnesia ini.

"Omong-omong," kataku, "aku belum tahu namamu, wahai pengelana yang rendah hati."

Dia menyengir. "Namaku AL."

Lah?

"Merasa familier?" tanyanya dengan raut bangga. "Barangkali kau melihat namaku di balik etalase kaca toko atau poster-poster di festival? Atau mendengarnya dari lagu-lagu kepahlawanan yang dinyanyikan anak-anak paduan suara? Atau kau sudah dengar berita teranyar kalau aku menghilang di sekitar sini bersama Baginda Sufi?"

"Mengejutkan," kekehku canggung. "Dan lucu juga. Soalnya, namaku juga AL."

Raut bangganya melonggar. Cengiran tinggi hatinya turun, hanya menyisakan senyum tanggung yang tidak bisa ditarik datar atau ke atas. Atmosfer bersahabat di antara kami lenyap entah ke mana.

"Wah, lucu sekali," katanya.

Selama beberapa saat kami hanya saling pandang. Saling mengamati. Kami pun sadar bahwa kami sama-sama mengenakan jubah panjang bertudung dan berpenampilan lusuh.

AL gadungan menarik keluar sebuah belati dari kantung kulit di sabuknya, sementara aku bergerak mundur dan menyambar botol air mineral dari saku samping ransel.

Botol plastik untuk mengimbangi belati. Kita sudah bisa lihat ke mana nasibku akan bermuara.

"Turunlah kau, peniru!" bentaknya. "Aku AL! Alizarin dari Bukit Kristal, Aliza sang pengguncang Lembah Oranye, Alizarinlake yang membelah sungai Alizarin!"

AL gadungan pasti sudah belajar sejarahnya banyak sekali. Dia sampai hafal dari mana semua julukan itu berasal. Namun, aku menyengir percaya diri.

"Kalau kau AL yang asli, kau pasti tahu kekuatannya yang sesungguhnya bukan omong besar atau belati kecil," gertakku. Kuangkat botol air mineral tinggi-tinggi. "Aku, penyihir terhebat abad ini! Ululululluluulululu! Rasakanlah kemarahanku—karena akulah AL YANG ASLI!"

Guntur menggelegar, kilat menyambar, dan angin ribut menerpa pepohonan. Lalu, tak diduga-duga, tanpa tedeng aling-aling, bak petir menyambar di siang bolong—

Tidak ada yang terjadi.

Guntur dan petir masih menyambar, angin masih menggulung dedaunan, tetapi itu karena cuaca memang buruk sejak beberapa hari yang lalu—hujan terus mengguyur sejak aku bangun di gang sempit itu. Dan kami berdua, AL asli (aku) dan AL gadungan (si pengelana) adalah dua orang maniak yang nekat piknik ke gunung di tengah cuaca mematikan ini.

Bukan sihir yang menyelamatkanku, melainkan beberapa pasang mata yang mengintai dari balik semak. Al gadungan tampaknya menyadari itu juga. Dia menoleh, bersamaan dengan seorang pria berbaju zirah lengkap dengan bulu biru di puncak pelindung kepalanya yang melompat keluar dari pekatnya hutan.

Pengawal kerajaan.

Apa kata si AL gadungan sebelum ini?

Sejak Baginda Sufi menghilang di sini, para pengawal kerajaan berkeliaran di sekitar sini. Para pengawal itu menggila—mereka mengeksekusi semua pendaki yang mereka tangkap, tampaknya mengira kalau para pendaki ini akan mengganggu ritual yang sedang dilakukan rajanya.

Wah alamat buruk.

AL gadungan dan aku melupakan permusuhan instan kami untuk sesaat dan berlari berdua menyusuri lereng gunung, sambil dikejar-kejar para pengawal kerajaan yang bersorak-sorak mengacungkan tombak.

***

Kami lolos dari pengawal kerajaan, lalu hampir tertangkap lagi, lalu lolos lagi. Sesekali, kami terancam hewan-hewan liar di dalam hutan pegunungan. AL gadungan dan aku terpaksa kibar bendera putih pada satu sama lain dan bekerja sama untuk tetap hidup. Bagaimana pun, dia memang benar—berdua, kami bisa! Sendiri-sendiri, kami ambyar!

Kami berjaga dan tidur bergiliran, berbagi makanan dan air, bahkan bertukar sandang di saat darurat. Geli, tetapi apa boleh buat.

Pada hari ke-13, AL gadungan cari mati dengan menceletuk, "Tahukah kau, Sobat? Angka 13 itu angka keramat. Bahkan, salah satu desa sampai punya tradisi memberi sesembahan hewan pada semua Dewa tiap hari ke-13 dalam sebulan agar tidak tertimpa kesialan."

"Haruskah kau membahas itu tepat pada hari ke-13, Sobat?"

"Jika kita mati hari ini, Sobat—"

"Hus!"

"—aku ingin mati dalam keadaan suci. Aku harus mengaku. Aku sebenarnya sedang amnesia. Aku bangun di kandang ayam seorang peternak di ujung desa, di tengah hujan rintik-rintik, dan mendadak saja—"

"Sebuah kartu nama turun dari langit, menimpal benjol kepalaku yang sebesar biji pentol," sambutku, sampai AL gadungan membelalak. "Aku juga begitu, Sobat. Kenyataan macam apa ini?"

"Kisah kita begitu keji dituliskan oleh Takdir," desahnya.

"Atau oleh seorang penulis sangklek yang habis obat, yang otaknya kebakaran hebat bekas dipecut dan disiksa event kepenulisan, lalu dipecut lagi untuk menuliskan kisah kita."

"Akurat nian."

Kami istirahat untuk sesaat di bawah pepohonan, memakan bekal yang diirit-irit. Sesekali kami berburu hewan, lalu memanggangnya. Namun, api menarik perhatian para pengawal kerajaan. Jadi, kami baru melakukan jika sudah sangat lapar.

"Katakan," kataku memulai. "Kau memanjat ke atas sini untuk mendapat kejelasan identitasmu?"

"Ya." Dia mengangguk. "Aku merasa ... aku harus menemui Yang Mulia Sufi. Beliau mungkin bisa mengembalikan ingatanku yang hilang."

"Aku juga," sambarku.

"Aku juga," sahut seseorang di sebelahku.

Kami menoleh, dan mendapati satu lagi pemuda asing yang tiba-tiba duduk pada akar menonjol di sebelahku. Dia tak berjubah, hanya mengenakan pakaian berburu dengan busur dan sewadah penuh anak panah tersandang.

"Aku juga," ulangnya letih, lantas mencomot buah apel di tanganku yang baru kumakan segigit. "Aku juga ...."

"Kami tak kenal kau," ucap AL gadungan.

Pemuda asing menghabiskan apelku. Dengan santun, dia berdiri dan membungkuk. "Maafkan kelancanganku. Perkenalkan, namaku AL."

Lah?

***

Kami bertiga sekarang, berlarian sebagai trio menerjang badai dan hutan, mendaki Gunung Genvest yang berbahaya, dikejar-kejar pengawal kerajaan yang tak kenal letih.

Pada hari ke-20, hujan mulai membuat longsor tanah. Sebatang pohon utuh yang terbawa longsoran dari atas nyaris membunuhku andai saja sang pemburu muda tak menyambarku dan menyelamatkanku. Sedangkan AL gadungan pertama rupanya berbakat mengenali tumbuhan obat dan menyembuhkan luka kami.

Biar kuulangi perkenalan diri kami. Aku AL—AL asli. Karena ini sudut pandangku, kalian harus puas dengan ketetapan ini. Pengelana pertama yang kutemui, yang bangun di kandang ayam dan berbakat mengenali tanaman obat, adalah AL gadungan pertama. Sementara si pemburu, yang rupanya bernasib persis seperti kami, adalah AL gadungan kedua.

Kian yakin aku, kisah ini dituliskan penulis sangklek yang habis obat. Dan penulis itu pasti mulai mengantuk.

Jadi, bayangkan saja: pengelana yang pandai mengobati, dan seorang pemburu cakap. Aku di tengah-tengah, ciut seperti bocah. Tiap para pengawal kerajaan menemukan kami, aku acap kali nyaris terbunuh duluan.

Selama 10 hari setelah tanah longsor, Kami hanya punya beberapa jam untuk tidur bergiliran. Sebagian besar waktu kami harus melek. Seluruh perjuangan keras ini akan terbayar setimpal ... iya, 'kan?

Maka, saat pendakian mematikan ini hampir selesai dan puncak telah terlihat, tentu saja Takdir pun bermain-main. Kami bertiga tak berdaya, kelelahan, dan akhirnya tertangkap oleh para pengawal kerajaan. Di antara kericuhan karena masih berusaha melawan, kepala si pemburu terpukul gagang tombak, dan si pengelana pingsan karena tertimpa di bawah badan dua orang pengawal kerajaan berbaju zirah lengkap.

Aku? Aku sempat bertahan. Namun, saat dua kawan seperjalananku tak sadarkan diri, aku jadi dengki. Aku menyerbu salah satu pengawal kerajaan sampai kepalaku terbentur perut baju zirahnya yang keras, lalu ikut pingsan.

***

Apa yang si pengelana sempat katakan di awal-awal pendakian kami? Coba ingat lagi ....

Aku AL! Alizarin dari Bukit Kristal, Aliza sang pengguncang Lembah Oranye, Alizarinlake yang membelah sungai Alizarin!

Sang pengguncang Lembah Oranye ....

Bukankah Lembah Oranye adalah tempat kelahiran Baginda Sufi? Coba cek paragraf 17 kalau tidak percaya.

Perlahan-lahan, ingatanku mulai kembali ....

Aku membuka mata. Kukerjapkan mata, mengusir air hujan dan sisa tanah. Kedua kawan seperjalananku berdiri di hadapanku dengan tas baru yang tersandang.

"Apa ...." Aku berusaha berbicara, tetapi kepalaku masih sakit.

"Terima kasih," ucap si pemburu sepenuh hati.

"Dan selamat tinggal," kata si pengelana.

"Tunggu," kataku sambil memaksakan diri untuk bangun. "Kalian—"

"Aku ternyata bukan AL," kata si pengelana dengan mata berkaca-kaca, tetapi dia tampak lebih terharu dan lega ketimbang kecewa. "Maksudku, aku bukan sang penyihir. Namaku Aletheia alias Kinudang_B. Iya, pakai tanda garis bawah. Aku seorang pengelana. Ibuku berkebun tanaman obat, dan ayahku beternak—karenanya aku bangun di kandang ayam. Ayam-ayam yang kukagetkan itu ternyata ayam-ayam peliharaanku sendiri."

"Dan namaku ArudaL," ungkap si pemburu. "Tidak pakai alias, dan huruf A-nya bahkan tidak dikapital ...." Si pemburu terisak. "Kami sungguh berterima kasih kepadamu, dan Penyihir Sakti AL."

"Terima kasih," kata si pengelana/Aletheia/Kinudang_B sambil mengangguk. Namun, dia akan selalu menjadi AL gadungan pertama di hatiku.

Aku menatap si pemburu/ArudaL, lalu berucap, "Kau pun akan selalu menjadi AL gadungan nomor dua di kenanganku."

Mereka menatap salah satu pengawal kerajaan, yang mengangkat bahu dan berkata, "Kepalanya terbentur sangat keras. Mungkin masih melindur."

Dunia seolah berputar lagi di sekelilingku. Kusadari bahwa kami sudah berada di puncak gunung, terlindung tenda besar yang bukaannya menghadap matahari serta pelangi. Awan mendung telah pergi. Udara terasa dingin menggigit sehabis hujan.

Saat Aletheia dan ArudaL memberi hormat lalu pergi menuruni gunung, aku berdengap.

"Tidak apa-apa," kata si pengawal menenangkanku. "Mereka akan baik-baik saja. Kami sudah memberi mereka perbekalan, dan menyihir jalur untuk memudahkan mereka. Area yang terkena dampak longsoran takkan membahayakan mereka."

Aku meringis.

"Anda baik-baik saja?"

"Tidak!" bentakku getir. "Aku krisis identitas! Aku tak tahu lagi siapa aku! AL gadungan pertama adalah Aletheia, dan AL gadungan kedua ternyata ArudaL! Huruf A-nya bahkan tidak dikapital! Jadi, aku ini siapa?!"

Semilir angin dingin melewati tengkukku. Aku bergidik ... kepalaku berdenyut ....

Lalu, kepingan-kepingan memori itu kembali.

Lembah Oranye, tempat kelahiran Sufi ... tempat yang pernah diguncangkan Penyihir AL.

Lalu, saat Sufi dan AL akan memulai duet penumbalan untuk meminta hujan pada Dewa ... ritualnya disabotase oleh raja.

Raja, alias ayah dari Sufi yang pergi berperang, yang mendendam kepada AL karena sang penyihir pernah meruntuhkan seluruh aset dan rumah-rumahnya dengan memporak-porandakan Lembah Oranye demi membersihkan semua kriminalitas—terutama kegiatan bertagar 17 sampai 21+—yang pernah melanda di tempat itu.

Sang raja mengintervensi duet penumbalan, membebaskan semua hewan dan kriminal yang telah dibawa ke puncak gunung yang seharusnya ditumbalkan, lantas mengantarkan dua orang manusia ke atas puncak Gunung Genvest ini, satu pengelana dan satu pemburu: Aletheia dan ArudaL, untuk ditumbalkan sebagai ganti para hewan dan kriminal itu.

Keduanya bukan kriminal. Jika keduanya dijadikan tumbal, nama besar sang Penyihir akan tamat di mata penduduk Nusantara Pendia Circia.

Sufi percaya pada sahabatnya, sang Penyihir, maka mereka melawan raja untuk menyelamatkan Aletheia dan ArudaL.

Aku mengerjap, terbayang cahaya menyilaukan ....

"Mantra penghapus ingatan sementara," kata si pengawal kerajaan itu, yang ditanggapi anggukan teman-temannya di belakang. "Raja menyerang Penyihir AL dengan mantra itu, tetapi Anda melompat ke depan dan mengorbankan diri Anda. Tubuh Anda, yang tak memiliki entitas sihir apa pun, tak mampu menampung serangan sampai kekuatan mantra itu tersebar, mengenai dua manusia lainnya di dekat Anda: Aletheia dan ArudaL. Kami berusaha memperingatkan Anda di sepanjang lereng gunung, tetapi kalian malah lari. Hujan begitu berisik—kalian tak mendengar kami yang mencoba berbicara."

"Berbicara sambil mengacungkan tombak?"

Si pengawal tersipu. "Maaf. Kebiasaan."

"Dan kabar bahwa kalian mengeksekusi semua pendaki?"

"Hoax."

Aku memijit pangkal hidung. Kepalaku sakit sekali. "Jadi, di mana sahabatku—ja, jangan bilang pada akhirnya yang menjadi tumbal itu adalah ...."

"Penyihir AL sedang semedi di belakang tenda," jawab si pengawal. "Raja akhirnya yang jadi tumbal—beliau kelelahan dan syok karena mengenai Anda, lalu tergelincir jatuh."

Aku terdiam, bingung harus berekspresi seperti apa.

"Kartu nama itu—?"

"Itu petunjuk dari Penyihir AL agar kalian menemui satu sama lain dan mencari cara agar ingatan kalian kembali. Penyihir AL terlalu lemah karena melawan raja dan mengungsikan kalian sehingga dirinya sendiri tak bisa turun gunung. Namun, jangan khawatir, kini beliau hampir pulih."

Aku berjalan keluar tenda, mengabaikan para pengawal yang menepi dan berlutut selama aku lewat.

Di belakang tenda, sahabatku duduk bersila di atas batu besar, membelakangi matahari dan pelangi.

"Sudah sadar, Yang Mulia Al?" sapanya tanpa menoleh.

Aku meringis. "Sudah, sahabatku, Penyihir AL."

Ah, betul juga ....

Namaku, 'kan, SufiAL.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top