Cahaya Dalam Tempurung by @HelaiSunyi
Kadang aku berpikir kenapa aku dilahirkan seperti ini. Badan hitam dan juga wajah terlihat seram. Barusan seekor burung merpati menghampiriku, tahu-tahu saja bercerita kalau dia habis putus cinta. Setelah puas ia langsung terbang, katanya ia lapar karena terlalu banyak mengoceh. Padahal aku ingin bertanya sesuatu.
"Hei kamu!"
Aku menoleh ke asal suara. Ternyata seekor katak hijau gembul. Perutnya terlihat sudah penuh, tapi ia masih saja sesekali mencomot makanan.
"Ya?" jawabku.
"Kamu terlihat makin menyedihkan kalau ekspresimu begitu. Ada masalah apa sih?"
"Tidak lihat ya? Badanku basah, kotor, bau, kepalaku terluka dan banyak tungau menggangguku," ujarku mulai merasa ingin menangis lagi.
"Aku yakin kok, kamu hanya belum menemukan manusia yang tepat. Teruslah berkelana, kalau tidak menemukan juga setidaknya kamu sudah berusaha," tuturnya seraya tersenyum. "Pergi dulu ya, ada acara makan-makan di seberang sungai. Daahh." Katak itu melompat ke air, lenyap sudah wujudnya.
Aku tidak menduga dia berkata seperti itu, karena apa yang dikatakannya tepat sasaran. Aku hanya ingin disayang manusia seperti temanku. Lalu makan ikan segar, bermain dengan majikanku, dan juga dimandikan dengan air hangat. Aku hanya ingin membuktikan kalau tidak semua manusia jahat.
Tunggu.
Sepertinya aku agak oleng karena seorang arwah manusia yang menceritakan kucingnya belum lama ini. Rasanya aneh karena ini pertama kalinya kepalaku lebih berwarna setelah sekian lama hanya berpikir untuk menjadi pengantar arwah ke tempatnya masing-masing.
"Kurang ajar," ujarku dengan sedikit jengkel.
Makhluk di depanku ini hanya terkekeh seraya meringis, "Maaf, aku terpaksa menggunakan kekuatanku."
Bocah dihadapanku ini hebat juga, bisa mempunyai kekuatan yang mengelabuhiku sehingga ia bisa berkelana di dunia orang mati seperti menganggap tempat ini hanya taman bermainnya. Kekuatan miliknya membuatku tanpa sadar patuh begitu saja saat ia meminta ingin pergi ke neraka.
Tapi, bocah ini masih hidup. Kalau atasanku tahu bisa-bisa aku dihukum menjadi anjing neraka. Oh aku tidak rela, panas tahu. Mendingan juga di perbatasan yang dingin dan gelap. Dan bisa ke neraka atau pun surga sesuka hati seraya mengantar arwah manusia.
"Tenang, kamu tidak akan ketahuan kok."
Aku tersentak, "Jangan sok. Denganku saja kekuatanmu cepat memudarnya."
"Kamu juga jangan sok. Aku sengaja menghilangkannya karena bosan menatap pemandangan mengerikan ini sendirian tanpa teman mengobrol," tuturnya enteng.
Teman. Dia anggap aku teman? Bercanda anak jaman sekarang memang begitu ya.
"Awas!"
Seketika kubelokkan perahunya ke kanan dengan tajam. "Wah, aku melamun."
"Hati-hati dong kalau aku mati gimana?"
"Ya siapa juga yang ke sini seenaknya. Hampir tertabrak gunung neraka 'kan ... wah sial kenapa rombongan barang memori gelap itu lewat sekarang?!" Seketika aku mendayung perahu tua ini gila-gilaan. Ke kiri dan ke kanan, atas dan kebawah, bahkan berputar-putar. "Hei, jangan muntah di neraka bocah!"
Baru kali ini aku frustasi astaga bocah ini terbuat dari apa? Rasanya ingin sekali menjambak rambut, tapi sehelai pun tidak punya.
"Maaf ... maaf, aku tidak tahu gaya menyetirmu sungguh brutal. Aku belum siap lahir batin," tuturnya seraya mengusapkan sisa muntahnya di perahuku.
"Memangnya apa yang kamu cari di neraka?" tanyaku mulai penasaran.
"Hanya ingin memeriksa sesuatu, apakah temanku masuk sini atau surga. Masalahnya temanku itu pendosa yang handal."
Aku terdiam. Memangnya bisa ya menemukan orang yang dia cari di neraka yang luas begini? Untuk ukuran manusia yang hidup pemandangan neraka bukanlah hal yang bagus. Mata anak itu bilang kalau dia sejujurnya ketakutan melihat api neraka yang menari-nari menyeret arwah pendosa ke dalamnya. Belum lagi siksaan yang keji.
"Aku bisa menemukannya, dia punya memori yang cukup kuat tentangku. Itu sudah seperti panggilan."
"Lalu? Apakah kamu mendengar panggilan itu? Padahal sudah sejam, nanti kalau balik ke dunia sudah berlalu 20 tahun lebih. Apa nggak masalah?"
"Tidak masalah!" katanya mantap, tapi ada air mata yang mengucur melewati pipi seenaknya.
"Hei? Kamu nggakpapa? Anu ... perjalanannya sudah selesai. Seluruh neraka sudah dilewati. Apakah ada tanda-tanda keberadaannya?"
Dia makin menangis, "Tidak! Sepertinya dosanya diampuni!" Wajahnya walau dipenuhi air mata, tetapi ia tersenyum. Memandangku dengan gembira dengan ingus-ingusnya yang mulai keluar juga.
"Syukurlah, mari kita pulang." Kudayung perahuku melewati awan hitam berpetir.
"Bang, tunggu aku tidak mau mati!"
"Diam dan lihat saja." Aku hanya harus melewati awan secepat kilat saat petir-petir itu berhenti menyambar.
"Wah! Langsung sampai perbatasan!" serunya seraya memelukku. Oh tidak ingusnya menempel di bajuku. "Terimakasih!"
"Anggap saja aku sedang kerasukan setan neraka jadi baik begini. Lagipula aku ingin tanya sesuatu. Mengapa dari sekian banyak penjaga perbatasan kamu memilihku?"
"Oh ... kalau itu sih kata temanku. Walau kamu yang kelihatan paling seram, tapi kamu yang paling baik juga. Berkatmu aku bisa menyebrangi alam barzah hidup-hidup. Sekali lagi terimakasih Bang Sufi!"
Setelah berkata seperti itu dia langsung lari seraya melambaikan tangan. Menghilang, kembali ke dunianya. Meninggalkanku yang terperangah bak orang bodoh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top