Bad Dream by @Prythalize
"Kau kira ini jam berapa?"
Sufi tahu, apa yang dikatakan oleh lelaki itu padanya bukanlah sebuah pertanyaan. Aru—teman sekamarnya—memang tidak banyak omong, tapi sarkasnya minta ampun.
"Tidur saja duluan, aku kan tidak mengganggu jam tidurmu sama sekali," balas Sufi yang masih enggan berbaring. Dia lebih memilih tetap pada posisi duduk, tetap memainkan gadgetnya.
"Enggak mengganggu?" Kali ini suara Aru terdengar lebih sinis. "Sama mengganggunya seperti semua camilanku yang kau makan tanpa seizinku."
Sufi tidak mengatakan apapun. Barangkali hanya persepsi Aru, bahwa dia agak berisik ketika mengekspresikan kekesalannya ketika bermain game. Atau mungkin, memang sudah mengganggu, sampai Aru mau saja repot-repot bangun dari tidurnya untuk menegurnya.
Oh, dan tentang camilan Aru, setidaknya dia sudah meminta maaf tentang itu.
"Sebegitu menakutkannya mimpi burukmu?" tanya Aru.
Sufi buru-buru membantah, "Aku tidak takut, tapi mimpinya agak kacau dan mengganggu. Sudah empat hari berturut-turut pula, mimpinya sama terus."
"Memangnya, kau mimpi tentang apa?" Aru bertanya penasaran.
Sufi malah mengendikkan bahu, "Aku juga tidak mengerti."
Pada mimpi hari pertama, Sufi hanya ingat momen ketika dia berdiri sendirian di tempat yang gelap. Langit penuh dengan awan-awan gelap, persis seperti langit malam ketika awan menghalangi bulan, tidak gelap total.
Mimpi pada hari kedua, ingatannya bertambah tentang mimpi yang dialaminya. Dari kejauhan, Sufi melihat satu titik yang bercahaya di ujung. Tanpa bergerak sedikitpun, dia mendekati titik bercahaya itu. Pengalamannya terasa amat aneh, sebab dia tahu persis bahwa cahaya itu tetap diam di tempat.
Lalu, di mimpi ketiga, Sufi mulai sadar bahwa apa yang dialaminya detik itu hanyalah mimpi. Namun kesadaran itu tidak juga dapat membangunkannya. Jadi, mimpi itu berlanjut begitu saja. Cahaya itu meredup, lalu sesuatu yang besar, gelap dan bergigi tajam mencoba keluar dari sana. Sufi tidak bisa bergerak dari posisinya dan hanya bisa memandang makhluk itu hingga keluar sepenuhnya dari cahaya itu.
Mimpi pada hari keempat ... mimpi kemarin malam ...,
Sufi memijit keningnya yang mengerut, "Sudahlah, aku akan tidur. Kau senang?"
Aru mengangkat sebelah alisnya, tapi tidak mempertanyakan keheranannya, "Ya sudah."
Sufi memposisikan dirinya berbaring. Diperhatikannya langit-langit kamarnya yang remang, lalu beralih ke Aru yang telah tidur memunggunginya dari seberang kasur lain. Ada lampu kecil yang menyala di antara mereka. Lampu kamar telah padam dan entah mengapa situasi itu kembali mengingatkannya pada mimpi aneh yang telah dialaminya.
Alasannya enggan tidur malam ini adalah karena mimpinya kemarin malam semakin mengerikan. Tahu bahwa akan ada sesuatu yang keluar dari cahaya, Sufi menghindari pandangannya dari cahaya itu dan memalingkan tubuhnya ke arah berlawanan. Namun bukannya melihat kegelapan, Sufi melihat cahaya di ujung lain.
Itu membuatnya berinisiatif memeriksa cahaya lain yang ada di belakangnya. Masih ada. Jantungnya berdebar amat kencang, sampai-sampai dia sendiri juga turut merasakannya dalam mimpi. Sangat jelas, sampai-sampai Sufi tidak sadar telah ikut menghitung denyut jantungnya sendiri.
Ada dua cahaya dan keduanya meredup. Sufi tahu persis apa yang akan keluar dari sana. Makhluk mengerikan itu telah mengganda.
Sedikitpun, Sufi tidak berniat mencari tahu kelanjutan mimpi itu.
*
Remang-remang,
Langit berawan malam.
Mimpi buruk itu masih berlanjut.
Memejamkan mata pun, dia tetap bisa melihat cahaya itu menuju ke arahnya. Cahaya yang meredup, kemudian sosok itu keluar, sama persis seperti mimpi sebelumnya.
Tak berani menengok ke arah lain hanya untuk sekadar memeriksa, dia memilih menatap lurus melihat makhluk hitam itu pelan-pelan mendekatinya.
Semakin dekat makhluk itu, semakin ngeri pula detail perawakan yang dilihatnya. Kuku-kuku tajam yang dihiasi darah, sampai dengan bulu tebal panjang yang membungkus semua tubuhnya. Tingginya juga di luar kewajaran. Tentu saja, ini hanyalah mimpi, tapi Sufi tetap tidak bisa tenang walaupun dia mencoba menghibur dirinya dengan alibi yang sama selama berhari-hari.
Meski begitu, dia seperti telah menginjak lem yang amat kuat. Kakinya enggan terangkat, walau hatinya telah memberontak frustrasi ingin menjauh segera mungkin dari sana.
Bangun, bangun, bangun, bangun!
"Berjanjilah." Suara itu menggema.
Sufi tidak sanggup melihat mata merah sosok itu. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh makhluk itu, tapi Sufi hanya mengangguk cepat dengan pasrah. Harapannya hanya satu; agar dia segera terbangun dari mimpi buruk ini.
"Kalau kau berjanji dengan sungguh-sungguh, ini akan menjadi mimpi terakhirmu."
Sufi yang mendengar janji itu langsung mengangguk kencang, "Janji ... iya, aku janji."
Baru mengatakannya, Sufi langsung menyesali jawabannya. Dia bahkan tidak tahu apa yang harus ia tepati dari sesuatu yang tidak dia ketahui dan tidak dia yakin bisa ditepati.
Jawaban di mimpi memang kadang tidak berpikir panjang.
Detik yang sama, Sufi terbangun dri mimpinya.
Pagi telah datang dan langit-langit kamarnya sudah agak terang. Sufi beranjak bangkit dari tidurnya dan memposisikan dirinya untuk duduk di atas ranjangnya.
Janji apa yang harus ditepatinya? Dan apakah mimpi buruk itu tidak akan datang lagi malam nanti?
"Lho, tahu bangun juga," ucap Aru yang ternyata sudah rapi dan perkataannya yang masih pedas.
Sufi tidak berkomentar. Dia berdiri dan bersiap-siap membenah diri, sebelum akhirnya dilihatnya sebungkus camilan yang tergeletak di atas meja.
Baru hendak mengambilnya, Aru lebih dulu menyambar camilan itu dan menatap Sufi agak murka, "Beli sendiri!"
"Pelit amat!"
Aru memincingkan mata, "Kan sudah janji nggak akan makan makananku lagi."
"Hah? Kapan?" tanya Sufi.
"Kemarin malam."
"...."
"Iya, kan?"
"Kok...? Ulahmu ya?!"
Aru tersenyum miring, "Seram, kan? Siapa suruh makan makanan orang tanpa izin?"
"Kok?! Lho?! Kok bisa?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top