Air Mata Pelangi by @Andrina_K

Sufi berjalan memasuki istana dikelilingi oleh pasukan berzirah hitam. Tangannya yang terikat tali baja membuatnya merasa tidak nyaman. Belum lagi kedua kakinya yang dirantai dan terhubung dengan dua prajurit di sisi kiri kanannya membuat pergerakannya semakin terbatas. Ia memandang ke sekitar. Terlihat para pelayan menatapnya seperti baru melihat fosil langka.

Apa ada yang aneh dengan mukaku?

Pintu utama istana terbuka. Menimbulkan suara berderik yang memekakkan telinga. Entah apakah prajurit yang lain sepemikiran dengannya. Begitu memasuki istana, mereka masih harus berjalan di lorong yang luasnya mungkin setara dengan Danau Sunninglade.

"Hei apa kalian tidak lelah mengenakan besi itu di sekujur tubuh kalian?" tanya Sufi ke salah satu prajurit di depannya. Namun tidak ada respon sedikitpun. Pasukan itu terus berjalan, menyeretnya untuk mengikuti langkah mereka.

"Terikat seperti ini sepanjang hari membuat sekujur tubuhku kesemutan. Bisa kau lepaskan ikatan ini sebentar saja," pintanya dengan nada memohon. "Aku janji tidak kabur."

Tapi tidak ada satupun dari mereka yang menengok ke arahnya. Sufi berdecih kesal melihat gerak-gerik mereka yang sudah seperti boneka itu.

Rombongan itu akhirnya tiba di ruang singgasana yang berada di tengah istana. Di depan mereka tampak sosok wanita berpakaian mewah dengan mahkota bertahtakan batu ruby di kepalanya. Rambut hitamnya tergerai lembut, tampak menyatu dengan gaun biru gelapnya. Tepat di samping singgahsana emasnya tergeletak sebuat cambuk hitam dengan bercak merah di sekujur talinya. Sufi menelan ludah kala cairan itu menetes dari tombak.

Pasukan itu serempak berjalan ke belakang Sufi. Menyisakan dirinya dan dua prajurit yang sudah mengeluarkan pedang mereka. Wanita itu menatap tajam lelaki itu dengan manik hitamnya.

"Sudah 648 tahun sejak terakhir kali kita tidak bertemu, Wahai Penyihir Agung Sufi Alvarez."

"Jabatan Penyihir Agungku pasti sudah digantikan oleh orang lain sejak enam ratus tahun lalu. Jadi, Yang Mulia tidak perlu repot-repot memanggil saya dengan sebutan itu"

"Tapi bagiku Anda masih layak menyandang gelar itu. Bahkan jika semua penyihir agung di seluruh negera melawanmu, Anda pasti bisa mengalahkan mereka dengan mudah."

"Anda masih saja berlebihan, Yang Mulia Ratu Bong Answorth." Sufi terkekeh pelan. Meskipun dalam hati ia was-was akan setiap gerak-gerik ratu Kerajaan Answorth ini.

"Tapi sepertinya ada sesuatu yang membuat penyihir yang telah bertapa selama ratusan tahun ini keluar dari guanya." Atmosfer di ruangan ini mendadak menjadi berat. Seakan ada kabut hitam yang mengelilingi mereka berdua.

"Aku hanya bosan dengan tempatku yang sekarang," ucapnya santai sambil mengangkat bahu.

Ratu Bong menggenggam pegangan tangan singgasana erat. "Anda tahu ada sebuah dongeng tentang Air Mata Pelangi yang airnya akan berubah putih setiap seribu tahun sekali. Konon siapapun yang meminumnya akan abadi."

"Itu hanya legenda. Tidak ada tempat seperti itu "

"Bagaimana kalau tempat itu nyata dan legenda itu benar adanya?"

"Apa maksud Anda?" tanya pria itu balik.

"Kudengar Anda pernah melihat tempat itu seribu tahun lalu, bukan?"

Senyuman Sufi luntur, bergantikan tatapan serius. "Apa yang Yang Mulia inginkan dari tempat itu?"

"Bagaimana jika kau tunjukkan dimana Air Mata Pelangi itu berada dan membawakan airnya kepadaku."

Sufi tersenyum. "Maafkan saya, Yang Mulia, tapi Anda tahu saya ini buta arah. Apalagi sudah seribu tahun Saya tidak pergi ke sana. Saya sudah lupa jalan ke sana."

SRETTT

Dua pedang menyilang di depannya. Hanya satu senti jarak senjata itu dengan lehernya. Sufi menelan ludah melihat benda tajam itu sedikit lagi akan memenggal kepalanya.

"Mungkin sedikit adrenalin bisa mengembalikan ingatanmu, Penyihir Agung."

"Selalu saja menggunakan cara kuno," ujarnya dengan senyum memaksa.

Bong tersenyum melihat raut wajah penyihir itu. "Anda bisa memilih. Menunjukkan tempat itu padaku atau kepalamu dijadikan koleksi terbaruku."

"Bagaimana dengan kabur dan tidak pernah kembali?"

Tiba-tiba muncul cahaya menyilaukan diikuti asap yang muncul disekeliling Sufi. Ratu dan seluruh pasukannya menutup mata dan terbatuk-batuk. Setelah cahaya itu menghilang dan asapnya mulai pudar, semua yang berada ruangan itu terkejut melihat sosok yang terikat itu bukanlah Sufi Alvarez.

"Hei kenapa aku bisa berada di sini? Kenapa aku bisa terikat seperti ini?" tanya seorang pria panik.

"Siapa kau?" tanya Ratu Bong dengan nada tinggi.

"A ... Aru Schneider. Se ... sebenarnya kenapa aku bisa ... berada di sini?" Ia mencoba melepaskan diri, namun tidak berhasil. Raut wajahnya tambah panik, terutama saat menyadari bahwa yang berada di hadapannya adalah Ratu Answorth yang terkenal akan kekejamannya.

"SIAL! DASAR PENYIHIR GUA! SEGERA KIRIM PANGLIMA DAN PASUKAN TERBAIKNYA UNTUK MENGEJAR PENYIHIR ITU!" titah Ratu Bong penuh amarah. Hampir semua prajurit yang berada di sana segera meninggalkan ruang singgasana. Kecuali dua prajurit yang berada di kiri kanan Aru.

"Bagaimana dengan lelaki ini?" tanya salah satu prajurit sembari menujuk Aru.

"Singkirkan dia dari hadapanku!" Sang ratu pun bangkit dari singgasana emasnya dan meninggalkan ruangan dengan raut wajah jengkel.

Kedua prajurit yang berada di sisi kiri kanan Aru melepaskan rantai yang melilit kaki mereka dan membawa pria berpakaian kulit dengan jubah cokelat usang itu keluar istana.

"Kau berhutang padaku, Sufi," gumam Aru dalam hati sembari tersenyum tipis.

Di sisi lain, terlihat banyak penyihir lalu lalang mengitari hutan dan desa. Beberapa dari mereka menaiki sapu terbang dengan membawa karung dan keranjang berisi bahan makanan. Tak sedikit pula anak-anak yang bermain-main di atas langit dengan sapu terbang mereka.

Tiba-tiba muncul cahaya yang menyilaukan di langit, tepatnya di atas hutan pinggir desa. Nyaris tidak ada yang menyadari hal itu, mengingat bisa saja cahaya itu berasal dari ulah anak-anak yang sedang bermain dengan sihir. Apalagi tidak banyak orang melintasi hutan itu.

"AAAHHHH!" Dari cahaya itu muncul sosok pria berjubah hitam jatuh dari langit dan mendarat tepat di sapu terbang seorang gadis.

"Hei! Apa yang kau lakukan di sapuku?" maki gadis itu sembari mencoba menstabilkan sapu terbangnya yang oleng.

"Maafkan aku. Aku hanya—"

Belum selesai Sufi berbicara, gadis berjubah merah marun itu mendorongnya dari sapu terbang. Membuat pria itu jatuh ke hutan.

"Ada apa, Echa?" tanya seorang perempuan berjubah biru dengan pin ceri yang baru saja datang dari arah desa.

"Gak papa. Hanya sedikit beban di sapuku." Echa tersenyum senang melihat sapunya kembali stabil dan terbang menghampiri temannya.

Sementara di bawah, nasib penyihir itu bisa dibilang cukup beruntung. Ia mendarat tepat di dahan sebuah pohon besar. Sufi pun segera turun dari pohon dan memperhatikan sekitar sembari menyembuhkan tubuhnya dengan sihir.

"Sepertinya ini Hutan Sphinx. Untung saja dekat dengan tempat itu." Sufi pun berjalan menelusuri hutan.

"Aru benar-benar, ya. Awas kalau sampai ketemu," gerutunya mengingat sihir pertukaran tempat yang ia gunakan dengan Aru justru membuatnya jatuh dari langit. Sepertinya lelaki itu sengaja mengerjainya.

Begitu keluar dari hutan, Sufi disuguhkan dengan pemandangan desa yang belum pernah dilihatnya. Tampak rumah-rumah berbahan batu dengan berbagai model berjejer. Lalu lintas manusia yang lalu lalang juga ramai. Berbeda jauh dengan yang Sufi lihat sebelum dirinya bertapa di gua. Kalau saja istana sang ratu tidak ada, mungkin ia sudah mengira ini tempat asing.

"Padahal sebelumnya masih menggunakan rumah kayu dan jerami." Sufi pun berjalan menuju bangunan besar yang berada paling dekat dari hutan. Tempat teman lamanya tinggal selama beratus-ratus tahun.

"Hey, Mik. Gimana pesananku?"

"Kau ini baru keluar gua sudah membuat kekacauan. Barangmu belum selesai. Salah sendiri mesannya mendadak," gerutunya sembari memahat kayu yang hendak dijadikan sapu terbang.

"Apa tidak ada sapu lain?" tanyanya cemas mengingat pasukan sang ratu bisa datang kapan saja.

Mik menunjuk ke arah sebuah sapu di sudut ruangan "Itu ada sapu yang baru saja dibuat ayah. Tapi sepertinya be—"

"Itu dia orangnya. Ayo tangkap dia!"

Tampak para prajurit istana datang dari arah desa dengan seragam zirah lengkap. Sementara di langit puluhan serdadu menghampiri dengan sapu terbang mereka. Tak tanggung-tanggung panglima jendral mereka, Jo Hannanson menunggangi naga hijau lengkap dengan persenjataannya.

Sufi menyambar sapu baru itu. "Aku pakai ini saja."

"Tapi—"

Terlambat. Pria itu sudah melesat dengan sapu terbang itu. Meninggalkannya dengan puluhan prajurit yang ikut berbondong-bondong mengejar penyihir itu.

Mik menepukkan tangannya ke dahi. "Padahal sapu itu masih belum benar."

Sufi terbang menerobos pepohonan di dalam hutan. Meskipun sudah beratus-ratus tahun di dalam goa tidak membuat kemampuan terbangnya berkurang. Dengan lihai ia membelokkan sapunya melewati pepohonan lebat di sepanjang hutan. Kecepatan terbangnya juga tidak bisa diremehkan. Para prajurit bahkan sampai kewalahan untuk mengejarny. Sementara pasukan penerbang yang tidak bisa melihat Sufi dari balik dedaunan terpaksa menerobos hutan. Tak sedikit dari mereka yang berakhir dengan menabrak pohon.

"Ini menyenangkan. Aku bahkan tidak perlu mengeluarkan sihir." Sufi tertawa puas melihat pasukan di belakangnya mulai berjatuhan. Setelah dirasa tak ada lagi yang mengejarnya, ia menaikkan sapunya hingga terbang di atas hutan.

Mendadak muncul bola api melesat melewatinya. Sapu terbang yang ia naiki menjadi tidak stabil. Rupanya naga milik Jendral Jo masih belum menyerah mengejarnya. Naga bersisik hijau itu kembali mengeluarkan bola-bola apinya. Tapi bukan Sufi jika dia tidak bisa menghindari serangan kecil ini.

Setelah pasukan itu tak lagi terlihat, Sufi terbang lurus melewati hutan. Mendadak sapu terbangnya bergerak tidak beraturan.

Ada yang aneh dengan sapu ini.

Sufi mencoba mengendalikan sapu itu. Namun, benda terbang itu menjadi semakin tidak terkendali. Benda itu mulai membawanya terbang ke atas, menukik, hingga berputar-putar tak karuan. Persis seperti roller coaster. Hal ini membuat Jendral Jo yang semula tertinggal jauh berhasil menyusulnya. Tepat setelah melewati hutan yang sangat luas, tampak hamparan pasir membentang luas lengkap dengan laut biru jernihnya yang indah.

Eh, ini bukan saatnya mengagumi pemandangan.

Sapu terbangnya mendadak melemparkan Sufi ke pantai. Setelah penyihir itu mendarat keras di hamparan pasir, benda terbang itu terbang meninggalkannya. Sementara itu terlihat Jo dan naganya semakin mendekat. Bahkan di belakangnya sudah terlihat pasukan bantuan yang siap menggiringnya kembali ke istana.

Gawat! Apa aku harus menggunakan sihirku sekarang?

"Hei, Suf." Lelaki itu refleks menoleh ke arah sumber suara.

"Cepat masuk ke air!" Seorang mermaid yang ia kenal memanggilnya dari balik bebatuan di pinggir laut.

Sufi pun menarik napas panjang dan masuk ke dalam laut. Tepat setelah seluruh tubuhnya tenggelam dalam lautan, ia menggunakan sihir untuk membuatnya bernapas di dalam air. Lelaki itu berenang mengikuti makhluk berekor biru yang memanggilnya. Mereka berdua berenang cepat memasuki sebuah gua dasar laut.

Gadis duyung itu menghela napas lega. "Untung saja. Pasukan mereka sangat mengerikan."

"Kamu Icha, kan? Tak kusangka kau sudah sebesar ini." Sufi sedikit terkejut melihat sosok duyung di depannya. Maklum terakhir kali mereka bertemu gadis berekor itu hanya setinggi pahanya. Dan kini duyung berambut cokelat lurus itu sudah nyaris menyamai tingginya.

"Kamu kelamaan di gua, sih." Icha melipat kedua tangannya di depan dada. "Sekalinya keluar malah dikejar-kejar pasukan ratu. Kamu membuat masalah apa sih sama dia, ha?"

"Ratu memintaku untuk menunjukkan jalan ke Air Mata Pelangi." Sufi menggumamkan mantra yang membuat tubuhnya menjadi kering meskipun berada di bawah laut. "Apalagi hari ini tempat itu akan terlihat setelah seribu tahun tersenbunyi."

"Lagian udah tau ratu tergila-gila dengan air abadi itu, kamu malah keluar di saat seperti ini." Gadis itu berkacak pinggang dengan mulut sedikit dimonyongkan. "Apa sih yang membuatmu keluar dari gua setelah sekian lama?"

"Yah, kebetulan aku juga ingin pergi ke Air Mata Pelangi, sih."

"Wah! Akhirnya Penyihir Hebat Sufi memutuskan untuk menjadi makhluk abadi," pujinya yang terdengar seperti penghinaan.

"Bukan, aku tidak berminat meminum air itu. Hanya saja ada yang sedang kucari di sana."

Icha menatap lelaki itu tajam. Sedikit curiga dengan penyihir di hadapannya. Dimana-mana orang mencari Air Mata Pelangi untuk keabadian. Apa yang menarik dari pulau kosong tak berpenghuni itu.

Tapi dia kan Sufi.

"Karena itu, bantu aku pergi ke tempat itu, ya. Aku sudah lupa di mana tempatnya. Kau pasti tau kan dari nenekmu," pintanya.

Mermaid itu terdiam sejenak. Memikirkan permintaan dari sahabat keluarganya itu. Gadis itu tersenyum saat sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya.

"Oke, tapi kau tahu tidak ada yang gratis di dunia ini."

Sufi menghela napas. " Apa yang kau inginkan, bocah?"

"Tanduk unicorn."

Sufi tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Seorang gadis mermaid baru akil balik meminta barang yang bahkan lebih berharga dari sebuah berlian. Penyihir itu pun menggumamkan sebuah mantra. Dalam sekejap sebuah kantong berwarna cokelat muncul di genggamannya.

"Berapa?" Icha mengangkat tiga jarinya ke hadapan Sufi.

"Kau gila? Kau pikir mencari tanduk unicorn itu mudah?" ucap Sufi tidak percaya.

"Yaudah." Icha mendadak berteriak. "RATU, PENYIHIR SUFI ADA—"

Sufi mendadak panik. "Iya, iya. Akan kuberikan." Ia pun mengambil tiga buah tanduk unicorn berukuran sedang dan memberikannya kepada gadis itu.

Icha menatap tiga tanduk berwarna putih susu itu dengan mata berbinar. Ia pun pergi ke luar goa. "Freya, tolong panggilkan dia, ya."

Seekor duyung lain keluar dari balik salah satu batu besar di dekat goa. "Oke, Kak. Jangan lupa bagi hasil, ya." Gadis duyung berambut ikat kuda itu berenang menjauh dari goa. Sementara Sufi menatap Icha kesal.

"Kau semakin mirip saja dengan nenekmu." Ia tidak percaya gadis kecil yang selalu terkagum-kagum melihat kehebatannya bisa merencanakan hal selicik ini.

Gadis berekor merah itu tertawa. "Kalau aku jadi nenek mungkin aku sudah meminta sepuluh tanduk." Icha kembali memandangi benda berharga di tangannya. "Dengan ini aku bisa awet muda untuk lima ratus tahun mendatang."

Tak lama kemudian Freya kembali ke goa. Tapi kali ini ia tidak sendiri.

Seekor paus besar berwarna biru tampak berenang di samping duyung berekor biru tua itu. Manik hitam besarnya tampak bersinar akibat pantulan cahaya matahari dari permukaan laut.

"Jangan bilang aku naik hewan besar ini?" ucap Sufi tidak percaya.

"Tenang, dia bisa dipercaya, kok," jawab Icha meyakinkan.

"Ngomong-ngomong, Kak, pasukan Ratu sepertinya menuju ke arah sini dengan mengendarai belut laut," lapor Freya.

"Sepertinya kau harus cepat, Tuan Penyihir." Paus itu perlahan membuka mulutnya.

"Apa aku harus masuk ke dalam?"

"Ini lebih cepat. Dari pada kamu harus bergelantungan di punggungnya seperti bendera perang." Sufi yang tidak punya pilihan terpaksa masuk ke dalam mulut paus itu. Setelah ia masuk, paus yang masih tergolong mungil itu mengatupkan mulutnya.

"Jangan lupa berikan aku satu tanduk itu padaku, ya, Cha," ujarnya tanpa membuka mulut.

"Tentu saja." Paus itu pun segera berenang cepat meninggalakan dua mermaid itu. Beberapa menit kemudian segerombolan pasukan Ratu menunggangi belut laut berenang cepat melewati mereka dan mengejar paus itu.

Paus itu bergerak meliuk-liuk menghindari serangan pasukan yang bertubi-tubi. Beberapa kali ia melakukan belokan tajam di karang besar untuk menjatuhkan mereka. Tapi hal itu masih belum cukup, mengingat pasukan yang dikirim ratu merupakan orang-orang pilihan. Apalagi penyihir istana mereka, Al Zharvatore.

"Tidak bisa kah kau pelan-pelan? Penyihir juga bisa mabuk laut, tau," keluhnya sembari berpegangan pada dinding mulut paus itu. Dari dalam ia bisa merasakan guncangan-guncangan hebat yang membuat perutnya seakan dijungkir-balik.

"Kau pikir mudah menghindari gerombolan ulat itu? Apalagi pasukan mereka bisa menggunakan sihir," omel paus itu sembari melakukan belokan tajam di karang setinggi dirinya dan dengan cepat melompat ke permukaan laut untuk mengambil napas. Di langit terlihat pasukan yang dipimpin Jendral Jo.

"Kalau aku menggunakan sihir untuk melumpuhkan mereka sementara, kau bisa berenang dengan tenang, kan?" tanya Sufi dengan napas terengah-engah setelah sebelumnya ia dilempar ke langit-langit mulut paus dan jatuh kembali ke dasar.

"Secara teknis iya."

Sufi pun menutup matanya, mencoba berkonsentrasi di tengah guncangan. Memang tidak mudah, namun ia berhasil merasakan aura pasukan mereka. Dengan satu tangan terangkat, penyihir itu kembali menggumamkan sebuah mantra. Tiba-tiba belut laut berserta pasukannya terjebak dalam kurungan es dan membeku. Penyihir itu kembali berkomat-kamit dan seketika muncul hujan jarum es yang menerjang pasukan di udara. Membuat air laut di sekitar mereka basah oleh darah. Paus biru itu segera menambah kecepatannya dan berenang lurus meninggalkan mayat para prajurit malang itu.

"Siap-siap. Sebentar lagi kita sampai."

"Apa mereka ma—"

BYURR

Sufi terlempar oleh semburan air yang dikeluarkan paus itu. Tubuhnya melayang dan mendarat dengan keras di hamparan pasir putih. Belum sempat Sufi mengomel, mamalia laut itu sudah kembali menyelam ke dalam laut dan berenang entah kemana. Membuat penyihir itu hanya bisa mengumpat kesal.

Belum selesai ia membereskan diri, terlihat beberapa prajurit yang berhasil lolos dari sihirnya bergerak menuju ke sini. Terlihat Jendral Jo dan Penyihir Al mengendarai naga mereka dan terbang mendekat. Sufi yang melihat hal ini berlari terburu-buru ke tengah pulau, tempat Air Mata Pelangi itu berada.

Tak tanggung-tanggung, serangan kembali dilancarkan oleh dua orang kepercayaan ratu. Bola-bola api ditembakkan, membakar pepohonan rindang yang membatasi Air Mata Pelangi dengan pesisir pantai. Sufi bahkan tampak kewalahan berlari sembari menggumamkan mantra air untuk memadamkan api.

Setelah beberapa menit berlari tanpa henti, penyihir itu akhirnya tiba di tengah pulau. Tepat di hadapannya terdapat tebing yang menjulang tinggi. Dari atas ratusan liter air turun ke bawah, membentuk sebuah kolam yang cukup luas. Lengkungan warna-warni terlihat begitu jelas. Namun yang membedakan air terjun ini dari yang lain adalah warna airnya yang seputih susu. Warna ini hanya tercipta seribu tahun sekali. Itulah air yang dapat memberikan keabadian bagi siapapun yang meminumnya.

Sepertinya bisa dipakai.

Penyihir itu dengan cepat mengeluarkan kantongnya. Ia juga mengucapkan mantra untuk memanggil ketel ramuannya. Sufi mengambil sebotol Air Mata Pelangi dan menuangkannya ke dalam ketel. Ia juga memasukkan berbagai bahan dari kantongnya. Setelah mencampurkannya, ia memasukkan botol berisi darah seluruh jenis makhluk yang sudah ia kumpulkan selama 12000 tahun.

Sementara itu, pasukan ratu semakin mendekat. Hutan yang mengelilingi pulau sudah hampir seluruhnya hangus terbakar. Membuat mereka bisa melihat air terjun itu dengan jelas.

Setelah ramuan itu siap, Sufi menuangkan cairan berwarna cokelat itu ke tanah tempatnya berpijak sembari berkomat-kamit. Tepat setelah mantranya selesai diucapkan dan seluruh ramuannya meresap ke dalam tanah, sebuah tameng berwarna putih mulai melingkupi seluruh pulau. Semua orang kecuali Sufi terdorong keluar pulau oleh perisai itu. Bahkan naga yang mereka tunggangi ikut terlempar keluar. Setelah tampeng.

Tidak butuh waktu lebih dari satu menit hingga tameng tersebut terbentuk secara sempurna mengelilingi pulau ini seperti kubah transparan. Sufi yang melihatnya langsung jatuh terduduk dan menghela napas lega.

Akhirnya selesai juga

Setelah menyimpan semua alatnya, penyihir itu berjalan menuju air terjun. Rupanya di balik air terjun terdapat sebuah goa yang sangat indah. Langit-langitnya bersinar seperti taburan bintang. Bagian dasarnya juga terlihat luas dengan sedikit bebatuan. Tidak akan ada yang menyadari keberadaan goa ini jika berdiri pada sisi yang tidak tepat.

"Akhirnya aku menemukan goa untuk kembapi bertapa," gumamnya bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top