02. Kenyataan

"Maafkan aku, aku tidak masuk SMA elit denganmu." Friska tidak bisa menatap Davin.

Davin yang baru saja ingin bangkit dari duduknya terdiam melihat Friska dengan ekspresi murung di depannya. "Kenapa? Apakah karena nilaimu? Apa orang tuamu tidak percaya dengan nilaimu sekarang?" tanya Davin bingung.

"Tidak!" seru Friska. Mulutnya yang terbuka kembali tertutup. "Ada alasan lain. Maaf," kata Friska menyesal.

"Begitu ya?" tanya Davin yang merasa sedih.

"Maaf, padahal kamu sudah berusaha mengajariku tetapi sia-sia," kata Friska sedih.

"Tidak, Friska juga sudah berusaha keras untuk mau belajar. Juga apa yang kita pelajari tidaklah sia-sia. Bukankah itu semua dipakai untuk ujian?" tanya Davin yang berusaha menyemangati Friska.

Friska melihat Davin sejenak lalu tersenyum kecil. "Iya, itu benar," kata Friska dengan anggukan pelan. Davin ikut tersenyum kecil, walau setelah ini mereka tidak bisa lagi bertemu seperti sekarang.

Setelah itu Friska kembali ke bangkunya untuk mengambil tasnya. Amel yang dari tadi penasaran karena Friska terus saja murung, memilih untuk mendekati Friska. "Kenapa Fris? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"

"Yah ... ada satu ... dan dua, dan lebih sepertinya ... alasan," kata Friska lemas.

"Apa ada hubungannya denganmu yang pulang cepat kemarin?" tanya Amel yang merasa kasian kepada Friska yang biasanya ceria.

Friska hanya mengangguk.

Amel berpikir untuk memilih kata-kata. "Tenang saja, sudah tahu lanjut di mana? Siapa tahu bisa satu seko-"

"Ada kemungkinan besar pindah ke kota yang lain," potong Friska. "Maaf," kata Friska dengan senyuman kecil.

Amel langsung memeluk Friska. "Berjanjilah kita tidak akan putus kontak," bisik Amel.

"Aku tidak bisa janji itu." Amel tersentak. "Tetapi aku bisa janji kita bakalan terus jadi teman," kata Friska yang membalas pelukan Amel.

Setelah itu Amel menemani Friska pulang dan mampir ke gerobak creps, untuk mengubah mood kata Amel. Walau begitu sampai di rumah Friska belum menyentuh crepsnya tetapi memilih untuk berbaring di kasurnya.

"Ya ampun, mentang-mentang itu seragam nggak bakalan dipakai lagi jadi langsung dipakai tidur dong," kata Renzo yang bersandar di mulut pintu kamar Friska.

"Apaan sih kak?" tanya Friska kesal, masih dengan posisi yang sama.

"Nih, es krim," kata Renzo yang memberikan sekotak es krim dan sebuah sendok ke arah Friska.

"Semuanya?" tanya Friska kaget walau begitu masih menerimanya dari tangan Renzo.

"Anggap aja permintaan maaf karena terlalu mendadak kasih tau. Rasanya benar-benar keluar dari zona nyaman bukan?" tanya Renzo yang duduk di sebelah Friska.

"Sangat." Friska langsung membuka kotak es krim itu dan menikmatinya. "Sebenarnya tahu dari mana kalau aku bisa saja menguasai semua kekuatan elemen? Apa namanya kemarin? Key? Ki?"

"Kyvernitis, singkatnya verni," kata Renzo

"Nah itu dia! Sekarang saja aku hanya bisa menguasai elemen angin."

"Yah, memang biasanya begitu. Para verni akan diketahui oleh keluarganya. Untung saja keluarga ini tidak peduli dengan namanya kekuasaan dan ketenaran, jadi jati dirimu masih disembunyikan. Walau begitu yang awalnya menyuruh untuk merahasiakan ini adalah kakek tetapi semua setuju dengan gampangnya," jelas Renzo.

"Yah aku berterima kasih atas hal itu, jadinya aku bisa menikmati hidup normal," kata Friska yang menaikkan kedua bahunya acuh lalu kembali menikmati esnya. "Kalau memang ingin dirahasiakan, mengapa kakek malah meminta kakak membawaku kerja di kantor kakak?" tanya Friska bingung.

"Nenek punya kekuatan untuk meramal masa depan dan ia mengatakan bahwa nantinya, kamu akan dibutuhkan. Nenek juga yang memberi saran agar kamu masuk ke Imperium di divisiku, tetapi aku tebak sarannya juga dari ramalannya," kata Renzo yang bertumpu kepada kedua lengannya di belakang.

Friska terdiam sebelum akhirnya kembali makan es krimnya dengan sedikit tergesa-gesa.

"Kenapa takut?" tanya Renzo jail.

"Tentu saja! Kemarin kakak sendiri yang mengatakan bahwa nyawaku bisa saja jadi taruhan dalam pekerjaan," kata Friska yang cemberut.

"Haha! Tenang saja! Aku yakin nyawaku lebih terancam dari pada kamu, Fris," kata Renzo dengan tawa dan menepuk punggung Friska pelan.

"Woah. Sama sekali tidak membantu," kata Friska datar.

"Aku'kan juga sudah berjanji dengan om-tante akan selalu melindungimu sebisaku, beda cerita kalau sampai kita beda tim. Tapi tenang saja, ketua itu orang yang baik ditambah ia tahu mengenai dirimu dan akan menyembunyikan kekuatanmu kepada anggota lainnya," jelas Renzo yang sudah hafal aura adik sepupunya yang kesal.

"Masih di sembunyikan lagi?" tanya Friska bingung.

"Tentu saja, ini untuk jaga-jaga tetapi tidak ada salahnya. Nah, sekarang istirahat nanti malam kamu akan ikut denganku," kata Renzo yang berdiri dari posisinya.

"Nanti? Malam? Ngapain? Mencurigakan," kata Friska yang memasang ekspresi jijik.

"Apaan dengan ekspresimu? Yang penting lihat saja nanti ... oh aku sarankan pakai baju sedikit tebal ya, malam biasanya dingin. Dah~" Renzo menghilang di balik pintu.

Friska menghela nafasnya pelan lalu menghabiskan es krim yang masih tersisa.

....

Malamnya Friska sudah siap dengan jaketnya dan celana panjang untuk melindungi kulitnya dari serangan dingin. Ia duduk di ruang tengah bersama ibunya yang menikmati tv. Tak lama Renzo keluar dari kamar tamu dengan pakaian hitam-putih.

"Jangan bilang kita akan melayat," kata Friska kesal.

"Tidak kok, lihat saja nanti," kata Renzo dengan senyuman jailnya. "Tante, kami pergi dulu ya. Ayo Friska," kata Renzo yang berjalan ke pintu keluar.

"Aku pergi dulu bu," pamit Friska yang mengikuti Renzo dari belakang.

"Tentu, hati-hati ya. Ingat kalau sampai Friska terluka, kamu harus siap-siap Zo," kata Areta yang menatap tajam Renzo

"Iya tan, tenang aja ini tidak susah kok," kata Renzo sebelum pintu tertutup.

Friska mengikuti langkah Renzo tanpa bertanya lagi karena sudah terlalu malas melakukan itu. Renzo juga merasa tidak masalah dengan hal itu. Mata Friska melihat sekeliling, memastikan mereka berjalan ke mana.

Tak lama Renzo berhenti dan berbalik. "Baiklah, aku rasa di sini sudah bagus."

"Di sini? Ngapain?" tanya Friska. Padahal ia baru saja melihat rumah Davin yang sudah terlewati oleh mereka.

"Ngapain lagi? Kerja lah," kata Renzo santai sambil mengeluarkan sesuatu dari tas pinggangnya. Sebuah tongkat dengan lingkaran di ujung kepalanya dan lingkaran-lingkaran kecil di dalamnya.

"Kerja?! Jangan bilang ini adalah pekerjaan kakak?" tanya Friska curiga.

"Tentu saja. Karena ini dekat dari rumahmu, jadi aku ditugaskan ke sini," jelas Renzo yang telah selesai memasang tongkat yang sebelumnya terbagi tiga. "Tenang saja, ini tidak susah kok. Aku membutuhkan perisai anginmu," kata Renzo saat melihat ekspresi kesal Friska.

"Memangnya apa musuhnya?" tanya Friska setelah menghela nafas kasar.

"Ilusi kegelapan, katanya begitu. Di dekat ini ada bayi yang baru saja lahir beberapa bulan yang lalu, jadi kekuatannya belum begitu bisa dikontrol. Setelah aku menyerang dan mengetahui titik lemahnya, aku akan membuat jimat untuk sang bayi," jelas Renzo. "Seharusnya sebentar lagi muncul. Ayo kita ke bawah lampu."

Friska mengikuti Renzo malas. Seharusnya ia tidak begitu percaya dengan kakak sepupunya. Karena dia keluarga, itu adalah alasan Renzo semakin tidak perlu dipercayai.

Mereka sudah diam di bawah lampu jalan. Renzo hanya diam sambil melihat sekelilingnya. Friska juga melihat sekelilingnya, mencari adanya sesuatu yang aneh.

"Mereka datang," kata Renzo yang mulai bersiap.

"Tahu dari mana?" tanya Friska bingung. Yang ia lihat hanyalah kegelapan dan rumput yang bergoyang karena angin.

"Kekuatanku cahaya semua dan cahaya adalah kebalikannya dari kegelapan. Jadi aku bisa merasakannya." Baru saja Renzo selesai menjelaskan, sebuah bayangan dengan bentuk dua bulat atas dan bawah, di bagian kepala terlihat dua tanduk beserta tangan dan kaki di bagian badan, muncul di tepi cahaya.

Friska langsung menarik Renzo di belakangnya dan membuat sebuah perisai angin yang terlihat seperti bola. Renzo menghentakkan tongkatnya, membuat lingkaran-lingkaran kecil itu bertabrakan dan menghasilkan suara. Dari suara itu membuat bayangan itu sedikit mundur.

"Bertahan Friska, usahakan tidak membuat angin yang begitu keras. Tenang saja lawan ini tidak begitu kuat," kata Renzo yang menepuk pundak Friska.

"Baiklah," kata Friska yang mengurangi kekuatan anginnya. Matanya masih sibuk melihat sekeliling.

Renzo berfokus pada kekuatannya sampai cahaya, yang terangnya tidak terlalu menyakitkan mata, keluar dari tubuhnya.  Cahaya itu membuat bayangan itu mulai berjalan menghilang satu per satu. Sayangnya itu hanya efektif hanya beberapa menit saja dan bayangan-bayangan itu semakin banyak. Renzo kewalahan karena fokusnya mulai pecah. Bahkan Friska mulai panik dengan keadaan sekelilingnya. 

Ada sebuah bayangan yang berhasil menyelinap dari bagian bawah, menyatu dengan tanah yang Friska dan Renzo pijak. Refleks Friska langsung menginjak, menggeser bayangan itu ke belakang, dan menendangnya. Renzo kaget melihat Friska. Sejujurnya menginjak bayangan tidak bisa dilakukan dengan orang tanpa kekuatan kegelapan atau ilusi.

"Bagaimana bisa Friska ... menendangnya?" tanya Renzo kaget.

"Hah? Aku hanya melakukan sesuai pikiranku saja," kata Friska yang tidak bisa melepaskan pandangannya dari depan.

Renzo tersenyum puas. "Kalau begitu aku serahkan pada pikiranmu," kata Renzo sambil menepuk pundak Friska yang hanya bisa membalas dengan tatapan horor.

.
.
.
.
.

Jadi mulai sekarang saya akan update setiap 2x seminggu.
Ini dia list ceritanya:

1. The 7 Element Controllers

2. New Daily Life Royal Twins

3. A Little Hope [Revisi]

4. As Blue Sea

5. My Family is Perfect But I'm Not
6. Akar Merah

Itu dia urutannya, bisa dicari setelah saya posting.

Mungkin ada perubahan dari tata bahasa dsb-dsb tapi semoga kenyamanan dalam membaca masih bisa dinikmati yaa~

Sampai jumpa kembali :3


-(29/05/23)-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top