WEIRD
hay guys sory tadi watynya lagi ngambek-ngambek ngeselin. entah kenapa, aku mau ngasih tau kalau cerita ini bakal aku end-in secepetnya, maybe 2 or 3 month again?? aku nggak tau, tapi aku usahain secepatnya, kalo bisa sebulan. #waduh?? nah bagi kalian yang menginginkan cerita Chealse aku punya kabar gembira. apa itu?? sebentar lagi chealse bakal di uplood. kapan? I don't now. cuman batas paling lambat 3 bulan dari ini lah. dan serempak dengan TRIPLE GIRLS, TRIPLE GIRLS ini bercerita tentang 3 cewek yang bersahabat gitu. gila bareng, sinting bareng, nyebur kolam juga bareng. TRIPLE GIRLS rencananya aku buat dengan tema komedy. bisa nggak ya?? secara aku selalu buat yang serius, tapi karena aku suka tantangan dan hal yang berbau menantang jadi aku paksain. well mungkin jadinya ancur. hahahahahahaha. wokeh segitu dulu infonya. kalo nanti ada info lain pasti aku kasih. and then bagi kalian yang menunggu ceritaku yang lain tenang!! nggak usah demo, nggak bakal aku singsal kok, aku buat cerita di sini bukan untuk bikin kalian menunggu, tapi menyalurkan hobi. wokeh segitu dulu. wassalam!! #berasaceramah.
[PS. MAAF KALO JELEK, JUJUR AKU NGGAK ADA DAPAT ILHAM SAMA SEKALI BUAT CERITA INI, AKU BUAT KARENA AKU PAKSA DAN AKHIRNYA TERENG... SEPERTI INI. SORY YA GUYS KALAU NGGAK SESUAI KALIAN]
>>>>>>>>>>>>>>>
"Kak Naza ngapain tadi sama kak Nando?"tanya Ruby berjalan mendekat.
Aku tersenyum manis dan menggaruk kepala yang nggak gatal sama sekali.
"Cuman bicara aja. Kenapa?"tanyaku sok nggak ngerti sama situasi sekarang, mataku melirik kerarah cowok disebelah pintu sebelah kemudi yang terbuka dan kembali menatap Ruby.
"Cuman bicara tapi pake ngacak-ngacak rambut? Kakak tau nggak sih kalau dia itu orang yang selama ini Ruby ceritain ke kakak!!"katanya menaikkan oktaf dalam suaranya.
Aku mendesah pasrah. Cemburuan banget sih jadi orang? Dia kan belum jadi pacarnya tapi udah kayak gini, apalagi jadi pacarnya? Beuh di larang keluar rumah bisa-bisa.
"Gua itu cuman ngobrol sama dia, ngobrolin mantannya dia yang masih dia sayang"kataku menekan kata mantan, mencoba memberi tau kalau dia nggak ada hak buat marah-marah kayak gini, aku kakaknya loh, dan dia malah ngebentak, mau di sate??.
Air mukanya berubah keruh mendengar perkataanku, jujur saja aku nggak tega melihat wajah Ruby, tapi aku sebagai kakaknya harus melindunginya meski caraku salah, di liat dari pembacaraanku dan dia tadi aku tau kalau nggak ada celah buat Ruby untuk miliki hatinya, dia masih terlalu cinta sama mantannya, dan aku nggak akan tega biarin adiku satu-satunya menangis karena patah hati, dia masih kecil, masih SD meski beberapa bulan nanti dia akan jadi anak SMP tapi bagiku Ruby masih kecil, belum pantas untuk merasakan patah hati.
Kenapa aku nggak biarin aja? Siapa tau itu hanya cinta monyet? Sekali lagi aku tekankan, kalau aku kakaknya Ruby, aku tau semua sifatnya, meski dia masih SD yang kata orang masih bau kencur tapi Ruby nggak seperti anak kecil lainnya, dia akan bilang suka kalau dia suka, dia akan bilang cinta kalau dia cinta, karena dia sudah bisa membedakan mana yang cinta, mana yang kagum dan mana yang hanya sekedar suka
"udahlah, gua mau kerumah kak Nandi, loe pulang aja kalau mau nangis juga"kataku jutek dan membalikkan badan berjalan santai tak memperdulikan tatapan tajam yang menghujani punggungku, aku tau siapa orang yang sedang menatapku demikian, siapa lagi kalau bukan dokter Verdhi?.
Ngomong-ngomong kenapa dia bisa sama Ruby? Ketemu di mana? Dan ngapain dua orang itu ke sini? Ada keperluan apa?.
Tubuhku berbalik dengan sendirinya dan meringis merasakan cengkraman di pergelengan tanganku, sebisa mungkin aku menampilkan wajah biasa saja saat tau siapa orang yang sudah menarik tanganku secara kasar.
"Kamu nggak bisa bicara yang halus sama adik kamu? Apa kamu di didik jadi gadis tanpa perasaan sama orang tua kamu"tanyanya tajam, matanya menyala marah. Kenapa dia yang marah? Seharusnya kan aku!!.
"Kalau iya kenapa? Masalah? Nggak usah sok perduli deh, udah nurunin anak orang di pinggir jalan gitu aja bukannya minta maaf atau apa malah marah-marah? Gua bingung kenapa gua bisa cinta sama loe yang kasar banget?"tanyaku mulai terpancing emosi akan kata-katanya barusan.
Nggak punya perasaan? Siapa? Aku? Aku bicara kayak gitu karena aku tau gimana rasanya sakit hati, aku tau kalu orang yang lagi patah hati hanya butuh sendiri, dia nggak butuh orang lain selama berhari-berhari, tapi bukannya aku akan membiarkan Ruby patah selama itu, aku akan menemaninya setelah dia puas menangis, karena itulah yang di butuhkan seseorang saat patah hati, bukan penyemangat tapi tempat sampah untuk menuangkan semua uneg-unegnya, dia sebagai dokter seharusnya tau hal ini, apalagi dia psikolog.
"Lepas dok, gua udah janjian sama kak Nandi"ujarku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang semakin mengerat.
Aku merintih tertahan merasakan ngilu di pergelanganku, apa dia berniat meremukan tulang di pergelengan tanganku? Sumpah ini sakit banget.
Tanganku terus bergerak berusaha melepaskan pergelengan tanganku dari cengkramannya, ini sakit banget gila. Mataku beralih menatap mata dokter Verdhi yang menyala marah. Apa tadi aku salah bicara? Tapi apa?.
"Gua? Kamu aja baru bilang 'gua' sama aku?"tanyanya semakin tajam.
Bulu kudukku berdiri merasakan auranya yang berubah dan di tambah tanganku yang semakin ngilu, perpaduan yang sangat bagus untuk membuat orang kesakitan sekaligus ketakutan.
"Pulang!! Nggak ada Nandi-Nandian"sambungnya menarik tanganku menyuruhku untuk berjalan. Tubuhku terdorong kedepan saat dia baru saja menarik tanganku, keseimbanganku hampir oleng kalau saja kakiku nggak sigap menahan berat tubuhku.
Dengan kasar dia membuka pintu mobil dan menghempaskanku masuk kedalam, ya menghempaskan bukan mendorong atau apa, tapi menghempaskan, seolah aku adalah karung bertonton yang beratnya naudzubilah.
BLAM
Pintu mobil tertutup sempurna dengan keras, mataku terpejam mendengar benturan tadi, sumpah dia ngeri banget kalo lagi marah kayak gini. Dan parahnya dia marah hanya karena aku mengubah bahasa panggilan. Gila, dia positive gila.
Mataku menatap Ruby yang duduk di belakang sedang menekuk wajahnya menatapku sinis. oh tuhaannn!!! Kenapa aku harus hidup di antara orang seperti ini?.
BLAM
Pintu mobil kembali tertutup dengan kasar, aku bergidik ngeri. Dia aneh.
Dia melirikku sekilas dan memakai seatbelt, aku hanya diam saja nggak ada niatan untuk memakai seatbelt.
Mobil melaju kencang membelah jalan ibu kota, tanganku dengan spontan memegangi pegangan di atas, mataku melirik kearah Ruby yang duduk tenang di belakang, matanya menatap dunia luar tanpa minat, seolah dia sudah menduga kalau hal ini bakal kejadian.
"Dok pelanin mobilnya, aku takut"cicitku semakin mengeratkan genggamanku, dia melirikku sekilas dan kembali berzig zag di jalanan ibu kota yang padat tanpa menurunkan kecepatan mobilnya tak menggubris makian dan teriakan klakson dari mobil maupun motor yang ia lewati secara serampangan.
Dalam hati aku terus berdo'a, semoga nggak terjadi apa-apa, demi apapun aku masih pengen hidup, aku masih pengen nikah sama dokter Verdhi, punya anak yang lucu-lucu ngalahin cleopatra, dan hal yang bikin pengen aku hiudp itu... aku belum berhasil bikin dokter Verdhi takluk sama aku.
Ciiiitttt
Duuuuaaaaggghhhh
Sukses. Kepalaku sukses membentur dashboard tanpa berperi kelembutan.
"Aduuhhh"ringisku menahan tangis yang ingin merebak, sakit banget. Kalian tau rasanya jatuh dari sepeda motor? Sakitkan? Tapi rasanya jauh berkali-kali lipat dari itu, kepalaku rasanya belah jadi beberapa bagian saking kerasnya menghantam dashboard.
Ini bukan hanya menakutkan dan menyakitkan tapi juga menyengsarakan. Apa sih dosaku di masalalu sampe bikin aku jatuh cinta sama orang yang kejemnya kebangetan? Dan aku juga bodoh, udah di jahatin kayak gini bentuknya masih aja cinta. Di sini yang salah itu aku apa dia?.
"Sakit"ringisku manja mengelus-ngelus jidadku yang berdenyut-denyut.
Mataku melirik kearah dokter Verdhi yang hanya melirikku dan beralih melirik Ruby yang sedang menggigit bibirnya menatapku khawatir seakan ikut merasakan apa yang terjadi padaku.
"Kamu masuk Rub"titah dokter Verdhi yang membuatku menatapnya bingung. Masuk? Masuk kemana? Bukannya Ruby udah masuk mobil?.
Suara pintu tertutup mengalihkan fikiran bingungku dan melirik Ruby, loh? Kok nggak ada? Kemana Ruby? Kepalaku menoleh kesamping dan aku merasa menjadi orang bodoh di dunia ini. Ya panteslah dia nyuruh Ruby masuk, orang udah nyampe rumah.
Tanganku menekan pintu mobil ingin keluar tapi sayangnya pintu nggak bisa terbuka, mataku melirik kearah dokter Verdhi yang sedang berbicara sama papa. Sial!!! Aku di kunciin. Hua pengen nangis.
"Hiks hiks hiks"air mataku di sertai tangisan keluar begitu saja dari bibirku. Kepalaku udah sakit, hatiku ikut sakit melihat mereka yang sepertinya sedang berbicara dengan bahagia, tak memperduliin aku yang sengsara di dalam mobil.
Kakiku memancal-mancal sembarangan dan menendang apapun yang ada. Aku keki, aku sebel, aku pengen mati.
Mereka jahat, mereka nggak ada yang perduli sama aku, padahal aku kesakitan, jidadku rasanya makin nyut-nyutan saja, dan tangisanku semakin pecah.
Kedua orang yang sedang berpacaran langsung menengok kearah mobil, kakiku masih menendang-nendang nggak jelas, tangan kananku memencet benjolan di keningku sebal yang semakin membuatnya nyut-nyutan, dan tangisku semakin pecah.
"Sakiiiitt"teriakku kesakitan dan bergerak-gerak nggak jelas.
Bunyi pintu terbuka di susul tubuh dokter Verdhi duduk di jok depan kemudi tak mampu menghentikan tangisku. Tanganku malah semakin menekannya dalam alhasil jeritan kesakitan keluar di bibirku lengkap dengan isakan serta ingus meler.
Tangan kiriku mengusap ingus dengan punggung tangan dan mengusapnya di seragam sekolah, kakiku kembali nenadang-nendang nggak jelas.
Kudengar helaan nafas sebal keluar dari bibir orang di sebelahku, mataku melirik sinis dokter Verdhi dan menggigit lengannya keras-keras.
Teriakan kesakitan keluar dari bibirnya, aku diam saja dan kembali menangis, kali ini tangan kananku nggak menekan benjolan di keningku tapi mengusapnya pelan, meski begitu rasanya masih saja sakit.
Matanya melirik kearahku sinis aku balas melirik kearahnya tak kalah sinis, tanganku terulur untuk menggeplak kepalanya dengan tinjuku membabi buta.
"Ampun, aww, sakit, Naza udah, sakit, aww, Naza"katanya begitu terus berulang-ulang, aku nggak perduli, aku semakin menghajarnya membabi buta, mengeluarkan kekesalanku selama ini yang terpendema. Sebelum aku benar-benar menghentikan aksi brutalku kujedotkan kepalanya di stang kemudi, baru aku benar-benar puas. Sangat puas, seakan beban di dada dan pundakku terangkat begitu saja.
"Udah puas nyiksanya? Mau nyiksa lagi?"tanyanya sinis memegangi jidadnya akibat ulahku dan beralih mengelus lengan maupun kepalanya yang menjadi sasaran kekasalanku.
Aku hanya melirik sinis dan membuang muka kearah lain. Isakanku kembali keluar, meski sudah sekuat tenaga aku mengahalau isakanku tapi tetep aja bisa lolos, tanganku bersidakap acuh tak acuh.
Helaan nafas kesal keluar dari bibirnya lagi, perlahan mobil yang kutumpangi bergerak, suara klakson terdengar dan papa mengangguk seakan menjawab klakson itu, tanganku masih bersidakap, bibirku terus mengeluarkan isakan dan mataku menatap dunia luar. Sesi marahanpun terjadi di mobil ini.
Tega. Dasar raja tega, aku kesakitan bukannya nenangin atau apa malah diam aja, focus nyeti., peria kurang ajar, minta di getok pake apaan? Palu? Nggak bakal mempan? Palu raksasa? Beli dimana? Apotek ada nggak? Mana lagi kepalaku Sakit banget, dari tadi nyut-nyutan.
Entah berapa menit aku terus terisak meskipun airmataku sudah mengering, tapi isakanku seakan nggak mau berhenti, dan orang di sebelahku juga nggak mau repot-repot untuk nenagin aku.
Kepalaku menggeleng sedih, aku benar-benar nggak bisa masuk dalam hatinya, meski masuk untuk di kasihani juga nggak bisa, dia menolak akses untuk aku masuk, semua di blokir tanpa berfikir. Emang dia pernah berfikir? Nggak! Dia nggak pernah berfikir. Nyesek bangetsih hidupku, cinta sama orang yang bentuknya kayak dia? Kalau begini terus aku mau ke dukun untuk nyantet dia, kalau bisa jadiin ayam biar besok pagi aku jual terus di potong di jadiin ayam potong.
Drrrttt drrrrttt drrrttt
Getaran di tanganku mengalihkan perhatianku dari duia luar dan menatap handphone.
Kak Calvin calling.
Mataku terus menatap layar handphoneku yang bergetar menampilkan nama kak Calvin sekaligus wajah tampannya.
Aku ingin angkat tapi aku takut kalau kak Calvin tau aku habis nangis, kalau dia tau bisa-bisa gawat, rumah dia akan gempar. Angkat nggak ya??
Kubasahi bibirku ragu. Angkat ajalah. Jempolku sudah siap menggeser layar untuk mengangkat telfon kak Clavin tapi telfonku yang tiba-tiba di rampas menghentikan aksiku.
Mataku melirik kearah Dokter Verdhi di sebelahku yang memasukkan handphoneku di balik saku kemejanya. Mataku menyipit menatapnya nggak suka tapi nggak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirku untuk memakinya.
Kuhela nafas panjang berusaha mengontrol emosi yang naik turun kayak roolercoster, sepertinya aku akan dapat tamu bulanan.
"Turun"perintahnya dengan wajah datar dan suara yang dingin.
Aku diam tak bergerak dari tempatku, mataku masih menatap dunia luar, menatap hemparan pasir dari dalam mobil.
"Naza, nggak usah bikin aku emosi deh,"
Aku masih diam pura-pura nggak denger perkataanya, dengan sengaja membashi bibirku sendiri dan bergumam malas.
Helaan nafas kasar keluar dari bibirnya di sertai pintu tertutup keras. Dia ini...? Apa nggak bisa nutup pintu lebih lembut? Untung nggak ada undang-undang yang mengatur tutup menutup pintu mobil, kalau ada di pasti sudah masuk penjara karena sudah melanggar terlalu banyak undangan itu.
Pintu di sebalahku terbuka kasar, aku terkesiap nggak tau kalau dia akan membukakan pintu, dengan kasar dia menarik pergalangan tanganku yang membiru akibat genggamannya tadi dan kini malah di tambah, aku jamin pasti makin biru.
"Sakiithh"rintihku kembali mengeluarkan air mata tanpa memberontak.
Dia berhenti berjalan dan membalikkan badannya menatapku dengan pandangan yang aku sama sekali nggak tau apa arti padangan itu, perlahan cekalan di pergelangan tanganku mengendur yang langsung kutarik tanganku jangkauannya, menyembunyikannya di balik punggung.
Matanya terpejam serta hembusan nafas berat keluar dari bibirnya, langkahnya maju mendekat aku diam saja nggak ada niatan untuk mundur, menatapnya dengan wajah penuh air mata, bibir atasku ku gigit dan tarikan ingus di hidungku terdengar.
Langkahnya berhenti tepat di depanku, hanya beberapa inci jarak kami memudahkanku untuk menatap wajahnya yang menjengkelkan tapi juga menyenangkan. Aneh? Aku tau aku aneh nggak usah di bahas untuk itu.
Entah kerasukan jin mana dia tiba-tiba mendekapku tanpa pemberitahuan, jadinya aku hanya diam saja nggak ngerti harus gimana, dadanya naik turun seakan menahan emosi.
Tak lama dia melepaskan pelukan sepihaknya yang belum sempat kubalas, tangannya bertengger di kedua pundakku dan merambat menyentuh keningku yang sedikit benjol. Aku meringis menampik tangannya kasar dan langsung menutupi jidadku dengan kedua tangan.
"Nggak usah pegang-pegang, sakit tau"kataku ketus.
Dia terdiam tanpa ekspresi dan berjalan menjauh. Aku cengo bener-bener cengo. Apa itu tadi? Kenapa? Oh ya ampun!! Perasaan tadi aku yang di cium dashboard dengan mesra tapi kenapa dia yang aneh? Ini hari apa sih? Boleh buat pengumuman nggak?.
Tubuh berbalik kearahku masih dengan wajah tanpa ekspresinya "jangan panggil aku dokter, panggil aku kak, dan jangan pernah pake bahasa loe-gua ngerti?"katanya dari jarak kejauhan.
Aku semakin cengo, dia kenapa? Apa dia kerasukan jin? Jin apa? Jin iprit apa jin uprut?
>>>>>>>>>>>>>>>.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top