maaf
semoga feel-nya yang ini dapet lagi ya........
aku update lagi karena ada yang minta dua jatah, katanya udah lama nggak di update, jadi harus update lagi... -lirik salah satu reader dengan senyuman jail-
sooo menurut kalian ini bagaimana? apa feelnya dapte kayak kemaren? apa malah ancur? semoga yang terakhir tidak terjadi.....
>>>>>>>>>>>>
kuletakkan tangan di atas kedua lutut dan menumpukan dagu di punggung tangan, mataku menatap hamparan pasir tanpa minat, bayangan masa kecil bersama papa berputar dengan sendirinya, tanpa terasa air mataku sudah menetes membasahi pipi kanan.
setiap moment yang aku luangkan dengan papa terus berputar tanpa mau berhenti, hatiku berdenyit sakit saat kejadian malam kemaren terlihat dengan nyata, dan setiap kata yang keluar dari mulutku terdengar sangat menyakitkan.
aku fikir... aku yang paling menderita..... aku fikir, aku yang paling tersiksa, tapi aku salah, aku salah. justru papalah yang paling menderita.
kenapa aku bisa seperti ini? kenapa aku bisa berbuat kasar seperti ini? kemana sopan santunku yang selalu ku junjung tinggi untuk menghorbati papa?. kenapa ajaran sejak kecil tentang sopan santun nggak berlaku sekarang? kemana semua ajaran itu? hilang kemana? apa segitu dahsyatnya dampak kecewa akibat 'Cinta'? mungkin ini yang di namakan cinta itu buta.
mataku terpejam merasakan angin menerpa tubuhku membuat rambutku terbang tak tentu arah.
apa yang harus aku lakukan sekarang? aku malu untuk ketemu papa, sifatku terlalu kekanak-kanakan selama ini, tapi mau bagaimana? semuanya udah terjadi, bahkan aku sudah terlambat hanya untuk meminta maaf.
"nggak ada kata terlambat Naza"
mulutku terkatup rapat mendengar perkataan papa, dan kilasan masalalu kembali terlihat di depan mataku.
"tapi Aza salah pa"kataku bergerak gelisah di depan papa, kepalaku menunduk menahan air mata yang ingin menetes.
papa berjalan mendekat kearahku, meraup wajahku dengan kedua telapak tangannya, menyuruhku untuk mendongak menatap papa yang sedang berjongkok menyesejajarkan tinggi kami. perlahan kepala papa menggeleng, senyuman manis masih tersungging di bibirnya.
"nggak ada kata terlambat my litle princes, kalo Aza ingin minta maaf, minta maaflah sama abang, jangan sama papa"
air mataku sudah menetes yang dengan sigap papa menghapusnya menggunakan ibu jari.
kepalaku kembali menunduk, memainkan jari-jari mungilku.
"Aza takut papa"cicitku hampir tak terdengar.
elusan di kepalaku terasa sangat lembut, tapi aku masih nggak berani mendongak, menatap papa.
"nggak ada yang harus kamu takuti sayang!! kalau Aza tulus ingin minta maaf abang pasti akan maafin kok. papa yakin itu"
kepalaku mendongak menatap papa ragu "Aza nggak yakin pap"kataku menggeleng kepala yang di sambut dengan senyuman kebapakan papa.
"apa yang Aza takutin?"
aku terdiam sejenak menatap papa gusar "mainan itukan pemberian kak Velin sebelum meninggal, Aza yakin abang pasti marah nanti kalau tau Aza yang ngerusakin"
senyuman papa sama sekali tak memudar, meski apa yang aku katakan itu sangat menakutkan, melihat abang marah itu hal tereksrim di muka bumi ini.
"Aza nggak akan tau kalau Aza nggak nyoba"
mataku masih menatap papa ragu "tapi pa...."
"sayang dengar!! kalau kita berbuat salah, kita harus minta maaf, terlepas dari orangnya mau maafin atau tidak, yang terpenting kita berniat minta maaf dengan tulus. papa yakin abang nggak akan marah lama sama Aza, abang kan sayang Aza, abang selalu main sama Aza kan? abang juga selalu maafin perbuatan Aza yang menurut Abang menyebalkan. coba Aza ingat deh, apa pernah Aza liat abang marah sampe berlarut-larut sama Aza? paling betah cuman 1 jam kan?"
kepalaku mengangguk tapi bibirku masih terasa kelu hanya untuk menyunggingkan senyuman.
"ini beda pahh...."
"bedanya apa sayang?"
kepalaku kembali menunduk merenungkan kata-kata papa, tapi rasa takut masih mendomisi hatiku.
"coba dulu Aza. nanti kalo abang marah biar papa yang ngelindungin kamu. papa janji"kata papa mengulurkan jari kelingkingnya kearahku.
perlahan kepalaku mendongak menatap papa tak yakin, senyuman di bibirnya semakin mengembang mengatakan 'semuanya akan baik-baik aja' lewat senyuman manis di bibirnya.
perlahan tanganku terulur, menjentikkan jari kelingkingku dan menautkan di jari papa meski sedikit ragu.
dan senyuman papa semakin mengembang melihat jari kelingku dan jari kelingkingnya saling bertautan, tangan kirinya mengacak rambutku halus, perlahan senyuman di bibirku mengembang.
senyuman di bibirku ikut tertarik seiring anak di bayangan itu tersenyum manis, menunjukkan deretan giginya.
papa benar. nggak ada kata terlambat.
mulutku terbuka menghirup angin sore di pantai dan menghembuskannya perlahan, memberi tenaga untuk diriku sendiri.
walau bagaimanapaun ini salahku, aku harus minta maaf sama papa dan mama.
.
.
.
kakiku terus bergerak menunggu tamu di ruangan papa pergi, desahan nafas gugup selalu keluar dari bibirku tanpa perlu di komando, jari-jari tanganku saling bertautan dan keringat dingin mulai keluar dari telapak tangan.
seumur-umur ini kedua kalinya aku merasa gugup saat bertemu papa.
pertama, ketahuan pacaran saat masih SMp.
kedua.... ya ini.
mataku melirik jam di pergelengan tanganku gusar, fikiranku terus berkecamuk bertanya 'apa papa mau maafin aku? apa papa setelah maafin aku mereka akan bersatu lagi?' pertanyaan terakhir di hatiku berhasil membuatku gusar dan ragu untuk meminta maaf.
jujur saja aku nggak rela mereka bersatu. aku nggak mau munak, nyatanya itu yang aku rasakan.
kreeettt
suara pintu akan terbuka terdengar dengan spontan aku berdiri dan berjalan kearah pintu serentak dengan pintu yang terbuka lebar.
entah apa ekspresi apa yang kini aku tampilkan saat melihat 'dia berdiri di depanku, tangan kanannya memegang handle pintu kantor papa menatapku terkejut namun tak selang lama wajahnya kembali berubah datar dan berjalan melewatiku begitu saja.
kepalaku masih setia mengikuti pergerakan punggungnya yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang di balik lift.
mataku mengerjap beberapa kali mencegah air mata yang siap tumpah lagi terjun bebas di pipiku.
arah pandangku masih setia menatap lift yang tertutup rapat sampai suara pintu kembali terbuka membuat kepalaku menoleh kearah pintu.
wajah yang tadinya lesu kini berubah menjadi sangat terkejut saat matanya melihatku berdiri di hadapannya, kepalanya menoleh ke kanan lebih tepatnya kearah lift dan kembali menoleh kearahku, raut cemas dan khawatir sangat terlihat di wajahnya, sedangkan aku berdiri di hadapan papa dengan tatapan hampa.
mataku terpejam menghalau air mata yang siap tumpah ruah tak terkendali, tanpa bertanyapun aku tau, aku tau apa yang terjadi di dalam sana. mereka maksudku papa dan dokter Verdhi bertengkar, kalau tidak, papa nggak mungkin menampilkan wajah lesu dan frustasi seperti tadi.
"Aza in...."
tanpa mau menunggu perkataan papa selesai tubuhku langsung ambruk kearah papa, memeluk lelaki paruh baya itu dengan erat, air mataku sudah terjatuh di dalam mataku yang tertutup rapat.
"Az...."
"maafin Aza pah"kataku memotong perkataan papa lagi dan semakin erat memeluk peria paruh baya ini.
"maafin Aza. Aza salah. Aza durhaka sama papa, Aza nggak bisa menjadi apa yang papa ingini, Aza minta maaf pa, Aza bersungguh-sungguh minta maaf. ini semua salah Aza, seharusnya Aza dengerin perkataan papa dan mama, seharusnya Aza bersikap lebih dewasa, maafin Aza pa. maaf... maaf"racauku memeluk papa erat, sangat erat.
perlahan kurasakan elusan lembut di daerah punggung, papa membalas pelukanku. mengetahui hal itu aku semakin merapat kearah papa, mencari tempat ternyaman di dalam pelukan yang hampir dua minggu aku nggak bisa merasakannya.
isakanku kembali keluar, menumpahkan beban di hatiku dalam pelukan papa, beban yang aku buat sendiri, beban yang membuatku menjadi anak durhaka, beban yang sangat menyesakkan dada.
"ssshhhh ini bukan salah Aza, ini salah papa, seharusnya papa yang minta maaf sama Aza, maafin papa ya sayang, papa terlalu egois"ucapnya purau.
kepalaku menggeleng lemah dalam dada papa, menyangkal setiap kata yang keluar dari mulut papa.
"ini bukan salah papa. ini salah Aza. Aza yang egois, Aza yang terlalu mentingin diri sendiri. Aza yang terlalu kekanak-kanakan. Aza minta maaf yah papah?"kataku di sela isakan yang nggak mau berhenti.
"iya. papa maafin Aza. Aza juga mau kan maafin papa?"tanya papa memelukku semakin erat.
kepalaku mengangguk mendengar perkataan papa.
"ini semua salah Aza pa. papa nggak perlu minta maaf. seharusnya Aza yang minta maaf, ini semua salah Aza. Aza terlalu egois, Aza nggak mikirin perasaan papa sama mama, Aza minta maaf ya pah?"
"papa sudah maafin Aza sebelum Aza minta maaf"kata papa terdengar semakin purau dan sesekali aku merasa puncak kepalaku di cium.
mataku terbuka dan menumpukan dagu di pundak papa, seketika mataku membulat. bagaimana bisa ada di sini? cairan bening keluar dari mata indahnya meski ia sesekali menghapus cairan itu.
perlahan pelukanku mengendur, sepertinya papa mengerti apa yang yang aku mau dan aku maksud, kepalanya menoleh kebelakang sebelum ia melepaskan tangannya dari tubuhku.
perlahan tapi pasti langkah kakiku berjalan kearah mama, menatap wanita yang begitu cantik sedang mengeluarkan air mata dan memeluk tubuh tegar mama.
"maafin Aza ma. akhir-akhir ini Aza durhaka sama mama, maafin Aza jika kata-kata Aza nyakitin hati mama, maaf maaf maaf dan maaf"kataku dalam pelukan mama yang di balas dengan hangat.
kurasakan sesuatu bergerak diatas kepalaku, kemungkinan mama mengangguk "ehm.... mama juga minta maaf ya sayang. ini juga salah mama, mama udah bohongin kamu. maafin kita ya sayang?"tanya mama meraup wajahku dengan kedua telapak tangannya, menatapku penuh harap.
perlahan kepalaku mengangguk yang membuat senyuman mama terukir dengan indah.
"Aza janji, Aza nggak akan ngelakuin itu lagi"ucapku sungguh-sungguh.
kepala mama mengangguk mantab "mama tau dan mama percaya"
perkataan beliau mampu membuat senyumanku terukir indah.
"papa juga percaya sayang"kata papa ikut memelukku dengan erat, lebih tepatnya aku berada di tengah di antara kedua menusia yang sangat aku cintai saling memeluk satu sama lain. senyuman manis terukir di bibir kami masing-masing.
author pov.
tanpa mereka sadari sepasang mata menatap keluarga yang saling berpelukan dengan tatapan yang sangat sulit untuk di artikan, cairan bening keluar dari mata peria itu tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu, bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus di tengah-tengah kertas putih tanpa noda.
tangannya menekan tombol memerah membatalkan apa yang ingin ia ucapkan dengan gadis di tengah-tengah keluarganya yang tersenyum manis.
matanya masih betah menatap keluarga itu sampai pintu lift menghalangi pandangannya.
22 - 06 - 15 : 02 : 45
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top