Kenyataan Pahit
sory no edit. mulai part besok aku privite. jadi hanya bisa di baca sama pengikutku aja. makasih.
dan beberapa part lagi, cerita ini akan teh end. Yeay! *sorak segembira mungkin*
>>>>>>>>>>>>>>>>
Kuangkat tanganku untuk mengetuk pintu di depan ragu-ragu, pikiranku berkecamuk. Aku memang suka dengan perkataan kak Verdhi, tapi gimana sama kak Chealse? Aku gak mungkin menghianati persahabatanku demi kak Verdhi. Apa sebaiknya aku batalain saja.
Kuturunkan tanganku, berbalik menatap semua orang di belakangku.
"Gua gak bisa, gua gak percaya sama omongan loe," kataku ragu, menatap Jason tajam.
Dia mendesah jengkel, tangannya terkepal erat yang jelas terlihat di mataku.
"Kalo loe gak mau, gua yang akan maksa dia buat keluar,"
Cepat-cepat aku berdiri di tengah-tengah pintu, merentangkan tangan menghalau tangannya yang ingin mengetuk pintu kamar kak Chealse.
"Gimana gua bisa percaya kalau loe aja main kasar, he? Jangan pernah main otot sama gua, inget! Ini di wilayah gua, gua bisa ngelakuin apapun yang gua mau di sini, bahkan gua bisa dengan mudah nyembunyiin kak Chealse lagi tanpa loe ketahui di mana keberadaan dia,"
Dia mendesis jengkel, melepaskan tangannya dari genggamanku. Tangannya merangkup wajah dan mengacak rambutnya kasar.
"Bilang sama gua apa yang harus gua lakuin demi liat dia? Bilang Naza, apa?!" tanyanya meremas pundakku kasar. Tanpa sadar aku merintih kesakitan.
"Loe bisa gak sih gak usah pake urat? Kalo loe kayak gini, gua setuju sama perkataan Naza, bahkan gua sendiri yang akan ngelindungi mereka," kata kak Verdhi, mendorong tubuh Jason kasar, membuat tubuh Jason limbung kebelakang tanpa tenaga.
"Gua hanya ingin ketemu sama dia, gua hanya ingin liat dia, gua hanya ingin bilang cinta dan maaf sama dia. Apa gua udah telat? Please Naza, gua mohon, hanya loe yang bisa bantuin gua ketemu dia,"
Aku terdiam, gak tau harus berbuat apa. Melihat air mata di wajah Jason mampu membuat hatiku bergetar kasian. Jujur, ini pilihan tersulit yang pernah ada.
"Gua gak tau Jason, gua takut loe nyakitin kak Chealse lebih dalam," akuku jujur. Suaraku melembut, melihatnya mengeluarkan air mata demi kak Chealse mampu membuatku begini. Karena aku tau, Jason bukanlah orang yang mudah untuk mengeluarkan air mata, apalagi itu demi cewek, dari gaya penampilannya terlihat jelas kalau dia itu badboy, urakan, atau apapun namanya itu.
"Gua emang brengsek, bajingan, tapi gua janji, gua gak akan pernah kasarin dia lagi, Za. Gua gak mau kehilangan dia lagi, please, temuin gua sama dia,"
Dadaku semakin bergejolak gak menentu. Air mataku jatuh begitu saja.
Dia membungkukkan badannya, berlutut di kakiku yang mampu membuatku membelo gak percaya. "Gua mohon Za, gua hanya ingin ketemu dia, meski itu hanya satu menit juga gak papa, asal gua liat dia, please!"
Kugigit bibirku kuat-kuat. Merasa bimbang sama apa yang harus aku lakuin. Mataku melirik kearah tante Velin yang sedang tersenyum manis, kepalanya mengangguk, di sebelah tante Velin ada kedua sepupuku, mereka juga memberiak reaksi sama.
Kuhela nafas panjang dan mengangguk. Biarkan apapu yang terjadi nanti, biar aku yang nanggung. Aku siap nanggung apapun.
"Berdiri, gua bukan patung yang harus loe sembah." Ucapku menarik tubuhnya untuk berdiri. Matanya menatapku penuh permohonan. "Gua akan bukain, kalo loe berdiri Jason, kalo loe gak berdiri, gua gak akan ketokin pintunya!" ancamanku mampu membuatnya menuruti perintahku. Dengan cepat dia berdiri, ingin rasanya aku terbahak, tapi aku tau, situasi sekarang gak mengijinkanku untuk tertawa.
Kubalikkan tubuhku, menghadap pintu coklat di depanku. Kuhembsukan nafas dan mengetuk pintu kak Chealse sepuluh kali, sembari memanggil namanya sebanyak ketukanku.
Suara kunci terputar terdengar, di ikuti pintu di depanku yang perlahan terbuka. Hampir saja pintunya kembali tertutup kalau aku gak sigap menahannya.
"Dengerin Zaza dulu kak," kataku memelas. Memasang wajah semenyedihkan mungkin.
"Apaan sih Za? Minggir, kok kamu gini sih sama aku? Kalau gak niat bantuin kabur gak gini caranya Za,"
Kepalaku menggeleng keras. "Kak Chealse dengerin Aza dong, Aza juga awalnya gak mau bawa dia kemari, tapi..." kataku menggantung di udara, melirik Jason yang sedang menatap kak Chealse dengan pandangan yang sulit untuk di diskripsiin. "Selesiin masalahnya dulu ya, kalau ada yang gak berkenan, kak Chealse tau siapa yang harus di bunuh," sambungku mencium pipinya dan mundur, mendorong tubuh Jason yang kaku kearah kak Chealse.
Pintu kak Chealse ingin kembali tertutup, namun Jason jauh lebih gesit, pria itu lebih dulu masuk dan menutup pintu kamar kak Chealse, teriakan gak terima ala kak Chealse terdengar.
Semoga keputusan yang kuambil kali ini benar. Semoga aja. Dan semoga saja masalah kak Chealse sama bebengik itu selesai.
Kepalaku mendongak, menatap kak Verdhi yang ternyata sedang menatapku, mengedipkan sebelah mata genit yang di balas putaran mata malas ala Verdhi. Dia berlalu begitu saja dari hadapanku, tentu saja aku mengejarnya, mengamit lengannya lengkap dengan senyuman bodoh.
"Kak Verdhi ingatkan sama apa yang kamu ucapin tadi di Café? Iyakan?"
Matanya melirikku dengan tanya, menyuruhku untuk kembali melanjutkan apa yang kuinginkan.
"Aku minta 3 permintaan, 1, nanti malem dinner sama aku, yang kedua dan ketiga, aku kasih tau nanti, aku tunggu di rumah jam tuju, gak boleh ngeret ok? See you later tonight," kataku mengecup pipinya lagi dan berlari keluar rumah tante Velin dengan kekehan.
Pipinya sangat lembut, enak banget di cium, apalagi kalo di elus. Mungkin jauh lebih enak. Ah, aku gak sabar untuk nanti malam.
Batinku menjerit kesetanan. Akhirnya oh akhirnya. Sebentar lagi kak Verdhi pasti aku genggam. Aku yakin itu, pasti bakal aku genggam. Jangan panggil Naza kalau aku gak bisa genggam kak Verdhi, genggam dia untukku seorang. Aw.
.
Tepat pukul tuju aku sudah duduk manis di ruang tengah, menunggu kedatangan kak Verdhi. Bandana putih berpita besar melekat di atas kepalaku, dress bertali spagetti di atas lutut melekat sempurna di tubuhku, dress langsungan, perpaduan warna pink sama biru tua.
"Nunggu Verdhi Za?" tanya mama duduk di sebelahku, menatapku dengan senyuman manis, tangannya merapikan rambutku yang tergerai indah.
"Iya ma, tapi belum dateng, padahal aku bilang jam tuju pas, gak boleh ngeret," kataku sebal, menghembuskan nafas kesal.
"Mungkin di jalan macet sayang, biasalah jam segini kan lagi macet-macetnya,"
"Tapi seharusnya dia datengnya lebih awal, bukan ngepas,"
Mama hanya tersenyum mendengar gerutuanku.
"Tunggu aja, nanti dia juga pasti dateng kok sayang, mama kedalem dulu ya,"
Aku hanya mengangguk mendengar perkataan mama. Mengambil smarthpone, dan mengetikkan beberapa kata agar kak Verdhi cepat datang, namun beberapa menit terlewati begitu saja, tanpa ada kabar darinya.
Wajahku kian kusut. Apa dia gfak dateng? Kalau gak dateng seharusnya kabari, kalaupun macet, gak selama ini juga kali, ini udah jam lapan, lebih tepatnya setengah sembilan. Ya ya aku tau Jakarta itu kotanya macet, tapi gak sebegininya juga kan? Dia kira nunggu itu enak apa?.
"Loh? Kamu mau kemana dek?"
Kepalaku mendongak, menatap abang tercintaku yang sedang melonggarkan dasi, dan duduk di sebelahku, menatapku dengan pandangan bertanya.
"Mau dinner,"
"Sama Verdhi?" tanyanya ragu.
Aku mengangguk mengiyakan, mengesampingkan wajah kebingungan ala kakku tercinta.
"Kenapa?" tanyaku pada akhirnya, melihatnya yang sejak tadi mengatup membuka mulutnya, kayak ikan kehabisan oksigen.
"Emh,"
Alisku terangkat mendengar geraman kebingungan darinya. Firasat buruk menghampiriku. "Emh?"
Dia menghembuskan nafas gusar, matanya menatapku tegas namun kasian, yang lagi-lagi membuatku mengrenyitkan kening heran.
"Tadi waktu gua di café sama Hana, gua liat papa sama Verdhi sedang makan di sana,"
Seolah duniaku berputar mendengar perkataan kak Bian, perlahan tapi pasti air mataku jatuh begitu saja. Pantes aku sms gak di bales, nelfon gak di angkat. Percuma aku belajar dandan, percuma aku belajar masak, percuma aku mengejarnya, percuma aku memberi perhatian lebih kedia, percuma aku menunggunya kayak orang bego di sini, percuma. Semua yang kulakukan percuma. Nyatanya dia sama sekali gak menghargai apapun yang aku lakuin buat dia, dia gak menghargai prasaanku yang remuk redam untuk mengejarnya. Dia sama sekali gak perduli sama apa yang aku lakukan. Nyatanya yang dia perduliin hanya papa. Papa. Dan akan selalu papa.
Aku hanya benalu yang menyusahkannya, aku hanya figuran yang gak di anggap penting olehnya, aku... aku hanyalah cewek bodoh yang mengharapkannya, mengharapkan tangannya terulur kearahku, mengharapkan kepalanya berpaling kearahku, mengharapkan namaku terukir di hatinya.
"Apa yang harus aku lakuin?" gumamku lirih. Aku merasa terabaikan, oh gak, memang dari awal, aku terabaikan. Ini semua salahku, salahku mencintainya, salahku mengejarnya, salahku mengharapkannya, salahku menyayanginya lebih dari apapun. Ini salahku. Jadi gak ada hal yang patut aku salahkan ke dia. Gak ada. Karena ini semua salahku.
"Mungkin," ucapku lirih, air mataku terus menetes, membiarkan kak Bian mengelus kepalaku, merasa perihatin mungkin sama jalan cintaku yang gak normal. "sudah saatnya aku berhenti. Meninggalkannya, membiarkannya bahagia."
Elusan di kepalaku berhenti, mataku melirik kak Bian hampa, air mataku terus berjatuhan. Perlahan bibir kak Bian tertarik keatas.
"Seharusnya, sejak dulu kamu berhenti,"
Dan isakanku keluar. Menahannya aku tersiksa, melepaskannya aku tersiksa, aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan? Kenapa pilihannya menyesakkan? Kenapa?.
Kak Bian memelukku erat, mengecup kepalaku beberapa kali, tangannya mengelus punggungku lembut, berusaha menenangkanku.
"Berhentilah saat kamu udah gak kuat, pergilah jika itu kemauanmu," kata-kata yang kak Bian ucapkan persis seperti kata-kata kak Verdhi beberapa bulan lalu. "Kejar bahagiamu sendiri, kejarlah mimpimu, lupakan dia, lupakan semua rasa sakit yang dia torehkan, lupakan, kalau kamu pernah mengenalnya, hapus semua memory tentang dia, hapus semua prasaan yang kamu punya untuk dia. Kakak hanya ingin kamu bahagia dek, jangan siksa batinmu terus-terusan."
Kepalaku mengangguk. Aku kan bahagia, aku kan melepaskannya. Setelah ujian besok, aku akan pergi. Meninggalkannya, meninggalkan semua tentangnya, mengahpusnya, menghapus semua tentangnya. Aku akan bahagia dengan begitu. Dan dia akan jauh lebih bahagia tanpaku.
Meski aku sangat mencintainya, meski aku sangat mengharapkannya. Tapi aku akan melepaskannya. Aku gak sekuat batu karang di tengah laut, yang setiap kali di hempar ombak besar masih bertahan, tapi selemah batu karang di pingir laut, yang selalu terkikis dengan sendirinya saat air laut terus menghentamnya dengan ombak.
Dengan begini. Aku kan melepaskanmu, meninggalkanmu, menganggapmu gak pernah ada di dalam hidupku. Semoga bahagia bersama dia saat aku dan mama gak ada di sekitar kalian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top