It's Ok That's Love- My Best Friend's Secret
Setaleh makan di warung deket jalan dengan atomosfir yang gak bisa di diskripsiin gimana kak Verdhi kembali memacu mobilnya kearah sekolahku dengan kecepatan sedang, gak kayak orang kesetanan yang di tinggal nikah sama kekasihnya. Ngebutnya gak pake perasaan, gak takut kehilangan nyawa.
Kudorong pintu mobil sebelahku dan bersiap-siap turun "Nanti aku jemput, jangan kemana-kemana."katanya otoriter, terdengar sekali kalau dia nggak mau di bantah.
"Iya kak."jawabku lesu. Nggak bisa bolos dong kalau dia yang jemput? Ahh padahal aku udah punya rencana jenguk kak Chealse nanti waktu istirahat kedua, lebih tepatnya setelah ulangan biologi.
"Jangan pernah ada niatan untuk bolos."katanya seakan tau apa yang aku fikirin saat ini.
Dengan malas aku mengangguk "Iya kak, nggak bolos."jawabku pasrah sepasrahnya.
"Yaudah sana, belajar yang rajin, jangan pacaran mulu."
Ck. Lama-lama dia kayak papa deh, banyak aturan ini itu. Aku mendesah berat. "Iya kak Verdhi, iya, aku tau kok, tau, gak usah di dekte kayak gitu juga kali. Ah yasudahlah. Aku turun. Bete lama-lama."kataku sebal dan turun dari mobil tak memperdulikan decakan sebal keluar dari bibirnya. Sedikit keras kututup pintu mobilnya dan berjalan kearah gerbang sekolah yang masih sepi, hanya beberapa anak yang sudah sampe, ya maklumlah, masih jam 6 lewat sedikit.
"Naza!!"
Langkahku berhenti di ambang gerbang mendengar suara seseorang yang memanggil namaku, kepalaku menoleh kekanan dan kekiri mencari sumber suara. Tepukan di pundakku menghentikan mataku yang sedang jelalatan.
Kepalaku menoleh kekiri, melihat guru idaman sedang berdiri di sampingku, kedua tangannya di masukkan kedalam saku celana kain yang ia pakai, senyuman manis tersungging di bibirnya, aku ikut tersenyum. Lumayanlah pengobat bete yang menerjang.
"Ada apa ya pak?"tanyaku sesopan mungkin dan seramah mungkin, dan selembut mungkin.
"Nggak ada apa-apa sih sebenernya,"katanya dengan senyuman canggung, keningku berkerutan mendengar perkataanya, tangan kanannya menggaruk tengkuk. Ah aku tau, dia pasti mau nanya soal Tasha deh.
"Bapak mau nanya soal Tasha?"tanyaku yang membuatnya membelo dan tak lama kekehan kecil lolos dari bibirnya.
"Kamu tau?"tanyanya gak percaya.
Aku terkekeh dan mengangguk "Bapak suka kan sama Tasha? Dan bapak manggil saya karena bapak ingin tau di mana Tasha kan?,"Tanyaku yang di jawab anggukan. Aku tersenyum lembut, enak ya jadi Tasha di cintai sama dua pria begitu dalam. "Tasha kan udah keluar pak, dia pindah home scooling, emang bapak gak tau?"
"Home Scooling?"tanyanya nggak percaya.
Kepalaku mengangguk "Iya pak, dia kena masalah yang mengharuskan dia untuk berhenti sekolah"kataku menjawab kenyritan di keningnya.
"Masalah?,"gumamnya yang masih bisa aku dengar. Aku mengangguk mantab. "Hamil?."
Aku terdiam mendengar pertanyaan ah bukan, bukan pertanyaan tapi peryataan pak Rinaldi, kepalaku menoleh kearah lain mencoba menghindari tatapannya yang minta jawabanku, kuputar tumit kaki sebalah tangan pertanda aku gak mau jawab pertanyaanya.
"Naza!!"panggilan dengan nada amarah terpendam mengalihkan tatapan pak Rinaldi. Kepalaku menoleh kearah kanan di mana mobil kak Verdhi masih terparkir rapi di tempatnya, sama sekali terlihat belum beranjak. Jadi dia dari tadi masih di sini? Ngapain?.
"Masuk kelas, gak usah ganjen"
Aku mendengus mendengar titahnya "Iya kak iya, gak ada yang ganjen juga elah, cemburuan banget sih"celutukku asal dan menghentakkan kaki kelantai, berjalan masuk, tak memperduliin decakan sebal kak Verdhi dan tatapan pak Rinaldi yang masih menyuruhku untuk menjawab, nggak memeperduliin perkataan kak Verdhi tadi. Huh!! Laki-laki itu emang nyebelin.
Lorong-lorong sekolah masih sepi, lampu-lampu juga masih menyala, hampir semua kelas pintunya masih tertutup rapat pertanda masih terkunci, kepalaku menoleh kekiri kearah lapangan basket, melihat beberapa orang yang sedang menyapu dedaunan kering di sana. Langkahku terus maju kedepan, berjalan kearah perpustakaan yang pasti baru di buka.
Kudorong pintu perpus kedalam, bau buku-buku langsung menyapa indra penciumanku, mataku berkeliling mencari kursi yang strategis untuk tidur, mengambil buku secara acak dan duduk di kursi paling pojok, kursi yang jarang diduduki siswa atau siswi, mengeluarkan hadset dari tas dan handphone dari saku seragam sekolah, memutar music secara acak, tak butuh waktu lama untuk aku menyusul alam mimpi yang damai.
.
Suara riuh di dalam perpus membangunkanku dari tidur yang gak memimpikan apa-apa, dengan malas kubuka mataku, menyingkirkan buku dari wajahku dan duduk dengan tegap.
Mataku menatap orang-orang di hadapanku bingung, perasaan seragam sekolah SMP Antariksa gak kayak gitu deh, mana lagi wajahnya asing-asing lagi di mataku, nggak ada yang aku kenal di sini, satupun nggak ada.
Kugaruk kepalaku bingung dan menoleh kekanan, di sana ada Niken yang sepertinya sedang mengajari beberapa anak dari sekolah antah berantah ini, aku gak tau karena jujur aja aku malas untuk tau.
"Ken, ada apaan sih? Kok rame amat?"seruku malas.
Orang yang merasa aku panggil menoleh dan berdecak sebal, sebenernya bukan hanya Niken yang menoleh tapi semua, semua orang yang ada ada di perpus.
"Loe gak tau kalau hari ini ada perkunjungan SMP 5 ke sini?"tanya Niken yang terdengar malas untuk menjelaskan.
"Nggak tau, kan kemaren gua libur."jawabku polos.
Niken kembali berdecak dan menatapku sinis. "Makanya kalo punya hp itu di gunain secara baik, gua kan udah sms ke eloe kalau hari ini ada perkunjungan, yang wajib masuk hanya anggota osis, yang lain gak masuk nggak papa."
"Oooo,"Jawabku mengangguk dan membulatkan bibir, namun tak berapa mataku terbelalak, "jadi hari ini semestinya libur?"
Niken tak menjawab hanya menatapku datar. Kutepuk jidadku sedikit keras yang langsung di sahuti ringisanku. Ck. Kenapa sih nih benjol betah amat di jidadku? Apa dia gak tau kalau kebiasaan menepuk jidad itu gak bisa di ilangin? Halah.
"Loe gak pa-pa?"tanya orang di sebelahku terdengar khawatir.
Kepalaku menoleh keasal suara dan mendengus. "Nggak. Enak kok,"Jawabku sebal, Niken terkekeh yang tak kuperdulikan. "Gua duluan ya semua, selamat sekolah. Hahahaha"sambungku melenggang pergi meninggalkan beberapa umpatan dari semua anggota osis yang 'ku kenal dengan akrap.
"Sialan loe Za, gua sumpahin kejedot tembok."
Tubuhku berbalik menghadap Reinard -ketua osis baru- dan meletin lidah tanpa menghentikan jalan yang di balas cibiran olehnya, aku terkekeh melihat responnya.
Jedduuukkk
"Aww!"pekikku begitu saja saat merasakan menabrak rak buku, buku-buku berjatuhan kebawah, untung nggak ada yang menimpaku.
Tawa membahana di ruangan sialan ini membuatku mengutuk dalam hati, nggak mau lagi berjalan kayak tadi, nggak-nggak lagi.
"Sukurin, manjur kan do'a gua. Hahahaha."katanya di iringi tawa paling membahana.
Aku mendengus dan mengambil buku yang jatuh di lantai melemparnya ke Reinard yang langsung memekik kesakitan, kini giliran aku yang tertawa, nggak mau ngambil resiko di sumpahi lagi aku langsung keluar dari perpus di iringi makian dan kekehan dari sana.
Aku masih terkekeh meski kini aku sudah berada di halte, membuat anak-anak SMP 5 yang ada di sana menatapku bingung sekaligus heran, aku tak perduli sama tatapan mereka, aku masih saja terkekeh.
"Naza!"Panggilan suara yang sangat aku kenal menghentikan tawaku, kepalaku menoleh kekiri melihat kak Chealse berdiri di samping pintu mobil mewah, di dalam mobil ada pria brengsek yang sedang menatapku malas. Aku mendelik menatapnya geram, dia sama sekali gak perduli sama delikan mataku. "Naza!"panggilnya lagi membuat kepalaku menoleh kearahnya yang ternyata sudah berdiri di sampingku.
"Kok kak Chealse ada di sini?"tanyaku heran.
Dia tersenyum manis mendengar perkataanku. "Gua bosen di rumah sakit. Loe sibuk nggak hari ini?"tanyanya dengan wajah sendu.
Keningku mengkerut melihat perubahan wajah kak Chealse dan menggeleng. "Nggak, hari ini libur semestinya, cuman karena gua kerajinan jadi masuk. Hahahaha"jawabku dengan tawa berderai.
Kak Chealse tersenyum tipis. "Kita ke Café depan ya?"tawarnya menjuding Café di depan sekolahku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum mengangguk. "Ok. Yuk. Gua kangen gila sama loe."kataku menggandeng tangannya yang kurus.
Dia tak menggubris perkataanku, wajahnya menoleh kearah pria brengsek yang ternyata sudah keluar dari mobil, oh dia toh yang bikin orang di halte ini terpekik tertahan. Walah, walah.
"Kamu kekantor aja dulu, aku ada urusan sama dia."kata kak Chealse menjudingku.
Dia terdiam, matanya melirikku datar, aku balas menatapnya tak kalah datar, menunjukan kalau aku sangat, sangat, sangat amat malas bertemu wajah tampannya.
"Yaudah, nanti kalo mau pulang telfone aku!"printahnya otoriter, sama sekali terdengar gak mau di bantah.
Kak Chealse mengangguk patuh. "Iya kak, nanti aku telfone kakak kalau mau pulang."
Setelah mendengar perkataan kak Chealse lelaki bejat itu kembali masuk kedalam mobil dan memutar arah, tak memperdulikan rambu lalulintas yang melarang berputar arah di sini. Dasar songong.
"Yuk, Za, gua mau cerita banyak."
Aku mengangguk dan berjalan kedepan, kami berjalan di zebra cross tak memperdulikan mobil atau motor yang masih berlalulalang.
Tanganku mendorong pintu café gorden depan sekolahku dan duduk di tempat paling pojok, tempat paling setrategis untuk pacaran kalau mau berbuat aneh-aneh.
Seorang waiters mendekati meja kami, menyerahkan menu di café ini, aku hanya memesan milk shike dan kue Vanila sedangkan kak Chealse memesan lemon tea dan kue sus.
"Mau cerita apa kak?"tanyaku mencodongkan tubuh kearahnya, kedua tanganku terlipat di meja menatap kak Chealse serius.
Kak Chealse menghela nafas panjang, matanya tertutup rapat seolah menyakinkan dirinya sendiri, entah menyakinkan apa.
"Gua tau kok kalo loe kepo sama kehidupan gua, loe ingin cari tau apa yang menimpa gua, iya kan?"Tanyanya membuatku diam. Yah jujur saja. Apa yang dia bilang emang benar, aku sudah berniat menyuruh detektif papa -kak Roni- untuk menyelidiki siapa pria brengsek itu dan apa yang terjadi sama dia. "nggak usah repot-repot Za, karena hari ini gua mau bilang yang sesungguhnya sama eloe, tentang apa yang menimpa gua"sambungnya lirih, bibir bawahnya di gigit gelisah, air matanya jatuh begitu saja.
Aku masih terdiam di tempat, karena aku tau, kak Chealse sekarang gak butuh kata-kata mutiara, dia butuh tempat curhat, tempat sampah untuk menuangkan semua keluh kesahnya yang gak akan pernah di mengerti oleh orang di sekitarnya.
"Gua di ju..."
"Permisi."kata waiters dengan sekonyong-konyongnya memotong perkataan kak Chealse, aku mendesah berat melihat mbak-mbak waiters meletakkan pesanan kami dan berlalu setelah mengatakan 'selamat makan', ingin sekali aku menjawab pertanyaan mbak-mbak tadi 'yaiyalah di makan, masak di buang, mahal nih' tentu saja nggak aku lakukan karena apa? Karena aku masih punya otak untuk di gunakan.
"Gua di ju apa kak?"tanyaku terkesan memaksa untuk kak Chealse melanjutkan perkataanya.
Dia mendesah dan meraup wajahnya kasar. "Gua di jual sama mama dan om gua,"katanya yang menimbulkan kenyritan di keningku. "mereka ngejual gua karena gua tau kalau mereka main belakang sama papa dan tante Eline"sambungnya memberi jeda. Mataku membelo mendengar pertanyaanya, mulutku sudah tebuka untuk mengeluarkan pertanyaanku yang langsung di tahan oleh kak Chealse, kelima jarinya berdiri tegak menyuruhku kembali diam.
"Gua akan cerita kalau loe nggak bakal nanya-nanya dulu tentang apa yang terjadi? Loe boleh tanya kalau gua udah selesai bicara."Aku mengangguk mendengar titahnya. Dia kembali mendesah berat seolah beban yang di pundaknya terasa sangat berat. "waktu itu, waktu pulang dari proom night gua ngeliat om Ridwan dan Sheila sedang bercumbu di sofa ruang TV, kebetulan papa sama tante Eline gak ada di rumah, entah mereka kemana, gua gak tau, om Ridwan shok banget liat aku teriak gak jelas di pembatas ruang TV, sedangkan Sheila marah-marah karena gua masuk kerumah gak pake salam, dan sejak saat itu mereka bersengkongkol ngejual gua, tapi gua selalu bisa ngelak dan kabur, namun saat ketemu sama dia gua gak bisa kabur, sebenernya gua udah pernah kabur waktu tinggal di apartement yang di beliin sama dia, tapi gak tau gimana caranya dia berhasil nemuin gua dan naroh gua di rumah sakit jiwa, gua nggak tau mesti gimana lagi Za, gua udah capek, gua nggak mau di buat alat penyalur nafsu dia yang gede, dan gua... gua..."
Aku terdiam mencerna setiap kata kak Chealse dengan baik, air matanya masih terus berjatuhan yang membuatku ikut mengeluarkan air mata, apalagi isakan kepediahan yang dia keluarkan, di jamin, siapa aja yang mendengarnya pasti ikut menangis.
Kuulurkan tanganku kearah kak Chealse, meremasnya lembut, mencoba memberi kekuatan kalau di sini masih ada aku, sahabatnya. Tangisnya makin pecah, bahunya bergetar hebat, aku nggak perduli kalau kini sebagian pengunjung menoleh kearah kami, menatap kami bingung.
"Se... Sekarang... sekarang gua...hamil."
Seakan melihat halilintar di siang bolong aku menganga nggak percaya dan bingung, semua persendian tubuhku seakan kaku nggak bisa di gerakin.
"Gua bingung Za harus gimana, gua takut dia nyuruh gua buat gugurin janin gua kalo tau gua lagi hamil."
Aku kembali tersentak mendengar pertanyaanya. Kuremas jari-jarinya, semoga ini keputusan yang bijak.
"Kakak tinggal aja sama gua, di rumah gua aman kak, gak ada yang berani macam-macam, papa sama mama pasti setuju sama ide gua ini."kataku menatapnya menunggu, aku takut dia menolak, aku tau banget gimana sifat dia, dia nggak akan pernah mau nyusahin orang, apapun permasalahannya dia pasti gak bakal mau nyusahin siapapun, termasuk aku.
Kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban ideku. Apa aku bilang?.
"Gua nggak mau nyusahin loe Naz, gua nggak mau utang budi sama orang yang belum tentu gua bisa bales."
Aku medesah bersiap untuk membalas perkataanya tapi perkataanya berhasil menghentikan niatanku.
"Lagian dia punya banyak mata-mata, dia pasti gampang ngelacak gua Za, apalagi dia tau siapa loe, dia pasti nyuruh mata-mata buat buntutin eloe, kalo gua di rumah loe dia bakal mudah nyeret gua balik, rumah loe kan sering sepinya Za, loe aja males di rumah kalo sendirian."
Iya juga yah? Kenapa nggak kepikiran?.
"Rumah tante Velin."seruku girang.
Dia menatapku melas yang aku balas gelengan tegas. "Please kak jangan nolak, ini itu gak ada sangkut pautnya sama utangnya budi, ini tuh tentang kehidupan kakak biar lebih baik, kakak mau di buat maaf-maaf saja pelacur sama dia? Nggak kan? jalan satu-satunya itu di rumah tente Velin kak, rumah tante Velin gak pernah sepi, dan satpam di rumah tante Velin itu pada jago-jago karate, kakak bakal aman di sana"
Kepalanya kembali menggeleng, entah apa arti gelengan kepalanya kali ini. "Za, gua malu sam tante loe, gua belum nikah tapi udah hamil, apa yang bakal gua jawab kalo dia tanya macem-macem sama gua?"
"Tante Velin orangnya gak kayak gitu kak, biar gua yang ngurus soal itu, kakak tenang aja, yang penting kakak bisa lepas dari pria brengsek itu."
"Tapi Za..."
"Tapi apa lagi sih kak? Udah deh, gak usah kebanyakan tapi, nanti komanya cemburu."
Dia mendengus mendengar selorohanku. "Apa loe nggak ngerasa kalau kita lagi di mata-matain hah?!"tanyanya geram.
Aku mengerutkan kening, sebenernya ia sih, aku ngerasa lagi jadi Gayus sejak beberapa menit yang lalu, kayak ada yang mata-matain gitu.
"Sejak tadi mata-mata Jason ada di sini."
"Jason?"tanya bingung. Siapapula tuh orang?.
"Cowok yang loe sebut brengseklah, bajinganlah apalah-apalah. Pertanyaanya kita gak bisa pergi kabur dari mata-mata Jason, kita aja gak tau di mana tuh mata-mata."
Aku terdiam mendengar pertanyaan kak Chealse, aku tau. "Gini aja dulu deh kak, kakak mau gak tinggal di rumah tante Velin?"
"Emang ada pilihan lain?"tanyanya mencibir. Aku terkekeh mendengarnya.
"Yuk cabut."Kataku berdiri setelah meneropot milk shikku sampai habis dalam sekali seruputan, meletakkan beberapa lembar uang merah di meja dan mengambil tas rancel, mencangklongkan di pundak kanan.
"Gimana caranya?"
"tenang aja kak, kalau sama Naza pasti bisa kabur."kataku menggerlingkan mata genit. Dia mendengus dan menatapku malas, namun dia berdiri juga dari duduknya, kungamit lengannya keluar dari café, aku rasa ini bukan hanya satu mata yang mengawasi, tapi beberapa pasang mata, karena aku merasakan di sudut-sudut yang berbeda. Dasar gila.
Aku masuk kedalam taxi begitu juga kak Chealse, menyuruh pak supir jalan tanpa membertitahu kemana, nanti aku sendiri yang bakal nentuin kejalan mana aku akan membawa pak supir pergi, karena akulah jagonya jalan tikus di Jakarta, aku bisa jamin mata-mata itu gak bakal bisa ngejar, kalau sampe kekejar berarti pengemudinya keren.
>>>>>>
tuh aku kasih rahasia Chealse, bagi yang penasaran badai sama Cerita Chealse, aku udah buat point di sini. dan maaf nunggu lama. bukan salahku, salahkanlah kesenanganku yang seibuk melalang buana di Wety sampai melantarkan cerita sendiri. hahahahaha. ampun yak. jangan di buly. salam damai.
oh ya. picture di atas sebagai Chealse yah. name artist. Kim Ah Young
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top