I love you too

Author pov

Naza berjalan santai menuruni undakan tangga satu persatu. matanya menatap lembaran kertas yang berada di genggamannya. Rencananya hari ini dia akan menyerahkan hasil kerja kelompok nya ke dosen dan pulang, karena memang jadwalnya sedang kosong.

Suara tawa renyah dari arah dapur menghentikan langkah Naza yang baru menuruni undakan tangga. keningnya berkerutan heran. Mamanya sedang tertawa sama siapa? Gak mungkin sama Devan kan? Secara mana mungkin sepupunya itu bisa bangun pagi?.

Gak mau berfikir lebih jauh, Naza mendekati asal suara. tubuhnya menegang melihat pria yang sedang tersenyum lebar duduk di salah satu kursi ruwang makan. Pria yang sudah ia usir, tapi kenapa pria itu masih ada di rumahnya? Menyebalkan!.

"Ngapain loe di sini?" pertanyaan sinis menghentikan suasana ceria di ruang makan yang beberapa menit lalu baru di mulai.

Verdhi menoleh kebelakang dan tersenyum lebar, membuat matanya yang sipit semakin sipit.

"Hai, aku nunggu kamu sejak tadi,"

Naza mendengus. Itu bukanlah jawaban yang ingin dia dengar. "Ngapain loe di sini?" tanyanya ulang.

Marisaha tersenyum tipis, membalikkan badannya yang tadi memunggungi Naza. memotong apapun yang ingin Verdhi katakan. "Gak boleh gitu sayang, dia kan tamu, kamu harus menghormati tamu."

Naza mendesis jengkel. "Tapi ma, mama kan tau apa tujuan kita ke sini. Mama itu---"

"Aku tau aku salah, Za. Aku minta maaf, kalau kamu gak bisa nerima aku sebagai kekasihmu, aku harap kamu mau jadi temanku."

Naza mendengus. "Gua ke sini itu buat ngejauhin loe sama semua orang, kenapa loe malah ke sini? Gua gak mau tau. loe pergi dari sini sekarang," kata Naza menatap Verdhi berang.

Verdhi tersenyum tipis sedangkan Marisha mengelus dadanya.

"Aku kan udah bilang, Za. Aku gak akan pergi dari sisi kamu kalau aku belum meninggal."

Naza menggeram jengkel. "Emangnya loe mau mati muda? Udah sana pergi, gak usah ke sini lagi. loe tuh ganggu banget sih jadi orang!"

"Naza!" panggil Marisha tegas namun lembut.

Naza mendengus, meletakkan kertas yang tadi di pegang di atas meja makan, berjalan mendekati Verdhi, menyeret pria itu untuk keluar dari rumahnya.

"Naza, jangan begitu. Di luar lagi hujan, sayang. mama gak pernah ngajarin kamu buat kasar seperti ini!" teriak Marisha berjalan mendekati Naza, mencoba mencegah hal apa yang yang ingin Naza lakukan.

"Mama Diem! Ini juga salah mama, siapa suruh masukin orang sembarangan?! Padahal udah jelas-jelas Naza bilang jangan bukain dia pintu!" teriak Naza geram, terus menarik lengan Verdhi, mendorong tubuh pria itu agar keluar dari rumahnya dan mengunci pintunya rapat.

Marisha menggigit bibirnya gak percaya sama apa yang di lakukan anaknya. "Dia lagi sakit, sayang." katanya lembut, mencoba meredamkan emosi yang sekarang memburu di hati anaknya.

Naza melengos gak perduli. "Gak ada yang nyuruh dia sakit," Jawab Naza ketus, berjalan kearah dapur, mengambil air mineral dan meneguknya.

Marisha mengelus dadanya, beristighfar. "Dia sakit karena nyari kamu, Za. Asal kamu tau, dia selalu nyari kamu. dia gak pernah ngejalani harinya dengan baik setelah kamu pergi, itulah kenapa Delvo ngasih tau di mana kamu berada."

Naza terdiam, mencoba acuh sama apa yang di katakan mamanya, padahal hatinya menjerit gak percaya. Berjalan melewati mamanya begitu saja dan duduk di sofa, matanya melirik halaman depan rumahnya di mana Verdhi masih berdiri di tengah air yang mengguyur tubuh lelaki itu. Naza mendesah pasrah. Mencoba menguatkan hatinya untuk gak merasa kasian.

"AKU TAU KAMU MARAH ZA, AKU MINTA MAAF. DAN AKU GAK AKAN PERNAH PERGI DARI SINI SEBELUM KAMU MAAFIN AKU," teriak Verdhi lantang. Naza menutup matanya dan menggeleng, mencoba acuh. Sedangkan Marisha menghela nafas heran. Kenapa anaknya bisa sekeras itu jadi orang?.

"SATU HAL YANG HARUS KAMU TAU, ZA. AKU CINTA SAMA KAMU, AKU GAK TAU SEJAK KAPAN AKU MULAI CINTA SAMA KAMU, NAMUN DI HARI SEBELUM KAMU PERGI, AKU UDAH TAU KALAU AKU CINTA SAMA KAMU!" teriak Verdhi lagi. Pria itu yakin kalau Naza akan mendengar omongannya, meski Naza acuh tak acuh. Dan meskipun Naza gak mendengarkan, biarlah, yang terpenting dia sudah mengutarakan apa yang ingin dia ungkapkan.

"DAN MALAM WAKTU ITU, AKU MUTUSIN HUBUNGAN AKU SAMA DIA ZA, AKU INGIN SETELAH HUBUNGANKU SAMA DIA SELESAI, AKU INGIN NGELAMAR KAMU. TAPI TERNYATA MALAH SEPERTI INI." Verdhi kembali berteriak di tengah derasnya hujan. "RENCANAKU KEMAREN, SETELAH AKU BERTEMU PAPAMU, AKU AKAN MAKAN MALAM SAMA KAMU, TAPI KAMU MALAH BATALIN ITU SAAT AKU SEDANG PERJALANAN KE RUMAH KAMU."

Mata Naza terbelalak mendengar teriakan Verdhi. Hatinya goyah. Dia bimbang, Mana yang harus dia percaya? Opininya selama ini atau perkataan Verdhi tadi? Entahlah. Dia bingung harus percaya yang mana.

"AKU MINTA MAAF SOAL PERBUATANKU SELAMA INI KE KAMU. AKU TAU AKU TERLALU BRENGSEK DAN GAK TAU MALU. TAPI AKU GAK BISA NGEJALANI KEHIDUPANKU SEPERTI DULU TANPA KAMU, NAZA. AKU SUNGGUH MINTA MAAF."

Naza bertaruh kalau telinganya mendengar suara Verdhi yang serak. Tapi gadis itu masih duduk di sofa dengan gelisah.

Suara seseorang batuk samar-samar terdengar di telinga Naza. Naza melirik pria depan rumahnya yang sedang membungkuk. Seketika dia berdiri, rasa cemas menggrogoti hatinya. Namun sebelum kakinya melangkah, setan di otaknya kembali terdengar, untuk membiarkan seberapa kuat Verdhi akan mengejarnya. Meski hatinya menolak ide itu mentah-mentah.

BRUGH.

Naza terpekik kaget mendengar dan melihat Verdhi terjatuh. Gadis itu dengan cepat berlari ke arah pintu, mengabaikan setan di pikirannya yang menyuruhnya berhenti. Naza berlari mendekati Verdhi. Mulutnya terbuka gak percaya melihat darah segar di telapak tangan Verdhi, bahkan di bibir pria itu juga ada.

"MAMA!" teriak Naza nyaring, menghampiri Verdhi lebih dekat, memangku kepala pria yang masih di cintai. mencoba membangunkan Verdhi yang sedang pinsan. Air matanya entah sejak kapan sudah meluruh.

"ASTAGA, VERDHI!" teriak Marisha terkejut melihat Verdhi pinsan dengan darah segar di sekitar bibir pria itu.

"Mama bantuin,"

Tanpa berfikir ulang Marisha mendekati anaknya dan Verdhi. memapah tubuh Verdhi masuk kedalam rumah, membaringkan Verdhi di ranjangnya yang kebetulan berada di lantai satu, sedangkan kamar Naza berada di lantai dua.

Dengan cekatan Naza membuka baju Verdhi yang sudah basah kuyub, sedangkan mamanya keluar rumah meminjam baju Devan yang memang rumah mereka bertetangga.

"Celananya juga, Za."

Naza terbelalak mendengar perkataan mamanya. Celana dalam Verdhi?.

"Mama aja, aku gak mau. Malu ma,"

"Hush kamu ini, memangnya mama ini siapanya Verdhi? Ya kamulah. Udah sana ganti baju sama celana Verdhi, mama nelfon dokter dulu, dan kamu juga ganti baju, nanti masuk angin.

Naza mendesah pasrah. Mau bagaimana lagi? gak ada pilihan lain selaian melakukan apa yang di katakan mamanya, kalau tidak, bisa-bisa Verdhi malah tamabah semakin sakit. Oh tentu itu hal yang paling nggak di ingini Naza.

.

Naza menuruni undakan tangga terakhir, matanya memincing melihat mamanya sedang berbicara seorang pria yang sudah berusia memakai jas putih kebanggaan semua orang yang mengenakan.

Naza berjalan mendekat, ingin bertanya soal kenapa Verdhi bisa sampai batuk berdarah seperti itu, namun sayang, dokter itu langsung pergi sebelum Naza sampai ke arah mereka.

"Kak Verdhi sakit apa?" tanya Naza menatap mamanya penuh ke ingin tauan.

Mamanya tersenyum tipis. "Tipes yang udah akut dan bronkitis, sebenernya mama mau bawa Verdhi ke rumah sakit tadi, tapi dia gak mau." Kata mamanya lirih. Merasa prihatin.

"Loh, kak Verdhi udah sadar?" tanya Naza terkejut. Mamanya hanya tersenyum tipis mengiyakan perkataan anaknya.

Dengan cepat Naza masuk ke dalam kamar mamanya yang di sambut senyum tipis dari Verdhi, seketika rasa bersalah memenuhi hatinya. Menggigit bibir bawah dan melangkah mendekat, duduk di tepi ranjang, menatap wajah Verdhi sendu.

Dia ingin meminta maaf, tapi dia gak tau mulai dari mana dia mengatakannya. Sekali lagi Naza melirik Verdhi yang menatapnya masih dengan senyuman tipis.

Seharusnya dia tau kalau Verdhi sedang sakit, seharusnya dia tau kalau Verdhi sedang tidak dengan keadaan baik-baik saja. Seharusnya dia tau. Tapi ego dan rasa sakit hati yang di terimanya membutakan semuanya.

Bahkan gadis itu sempat berfikir kalau Verdhi datang ke Jepang hanya untuk menyakitinya lebih dalam. Ya dia tau dia picik, tapi kalian akan tau rasanya gimana menjadi Naza saat kalian ada di posisi gadis itu.

Naza menghela nafas berat, menautkan jari-jarinya gelisah. Dia ingin bertanya kenapa Verdhi bisa sampai terkena tipes dan Bronkitis seperti ini? Tapi dia bingung harus berbicara seperti apa.

Naza tersentak merasakan rasa hangat di tangannya yang di salurkan Verdhi, gadis itu menoleh ke arah verdhi dengan dahi berkerut.

"Aku minta maaf, aku tau kelakuan dulu gak bisa di maafin gitu aja. Tapi aku sungguh-sungguh minta maaf, Za. Apapun yang kamu mau bakal aku turuti asal kamu mau maafin aku dan berdiri di sebelah aku lagi." kata Verdhi lembut, menggenggam tangan Naza yang saling bertautan lembut, seolah takut menyakiti.

Naza menundukkan kepalanya. Dia gak tau harus gimana sekarang. Sebagian hatinya berucap maafin saja, sebagian lagi jangan. Entah mana yang harus dia turuti? Dia bingung dan takut. Takut kalau Verdhi hanya main-main dengan ucapannya.

"Aku gak sedang bercanda atau sedang nipu kamu, Za. Aku sungguh-sungguh. Aku tau kamu takut kalau aku bakal nyakitin kamu lagi seperti dulu. Aku tau kamu bimbang sama apa yang aku ucapin, sedangkan papa kamu seperti itu. Tapi aku janji, aku bersumpah dengan nama tuhan. Kalau aku akan berubah, aku gak akan nyakitin kamu lagi, aku gak akan kayak dulu lagi. aku janji,"

Naza masih terdiam, menggigit bibir bawahnya gusar. Dia ingin berucap 'ya' tapi sekalilagi dia takut akan tersakiti. Sementara dia tau, kalau seorang Gay gak akan bisa menjadi normal. Dia tau kalau seorang gay gak akan menjadi straight seperti roman picisan kebanyakan, mereka hanya bisa menahan nafsu yang berbeda.

Tapi... apakah dia masih meragukan keseriusan Verdhi setelah apa yang di alami pria itu? Apakah dia akan menolak Verdhi? Membiarkan pria yang sangat amat dia cintai menjadi lebih hancur.

Gak! Ya, dia gak akan biarin Verdhi lebih hancur, dia ingin menjaga Verdhi dari para gay di luar sana. Meski itu baka sulit dan mungkin dia akan kembali merasakan rasa sakit hati sekaligus cemburu, tapi kalau Verdhi sendiri yang memintanya bertahan di sebelah lelaki itu untuk melawan rasa abnormal di tubuh Verdhi, apa yang akan dia lakukan? Menolaknya? Jangan bercanda. Yang harus kalian tau, Naza masih mencintai Verdhi.

"Aku tau ini berat buat kamu, aku bakal nunggu kamu sampai kamu mantab sama keputusan kamu, meski itu kamu nolak sekalipun. Aku akan berusaha menghargai keputusan kamu." Kata Verdhi memecahkan semua kemelut di benak Naza. Naza menatap verdhi dengan sendu.

Verdhi mencoba bangkit dari tidurnya, duduk bersender di kepala Ranjang, menggenggam tangan Naza lembut dan mengecupnya sayang. matanya menatap Naza teduh lengkap dengan senyuman manis.

"I love you,"

Naza terdiam, menatap Verdhi lamat-lamat, mencari sesuatu di retina mata hitam pria itu, mencari ke sungguhan yang akan memantabkan hatinya untuk menjawab perkataan Verdhi.

Kepalanya menunduk, menghela nafas berat dan panjang. Semoga apa yang dia ambil ini menjadi keputusan yang tepat. Apapun resikonya bakal ia ambil. Bukannya setiap pilihan itu selalu resiko yang harus di terima?.

"I love you too," jawab Naza dengan senyuman manis.

Verdhi terbengong, dia gak nyangka kalau Naza bakal ngucapin itu. Dia pikir, Naza akan bilang 'maaf' dan pergi begitu saja, padahal dia sudah yakin kalau apa yang ada di pikirannya itu bakal terjadi.

"Apa?" tanya Verdhi meminta Naza untuk mengulangi apa yang di katakan gadis itu.

Naza tersenyum manis, pipinya bersemu merah, kepalanya menunduk "I love you too," jawabnya lirih.

Naza terpekik kaget merasakan tubuhnya di tarik Verdhi, membut tubuhnya menabrak dada bidang Verdhi yang keras, di tambah pelukan erat Verdhi, membuatnya semakin membatu di tempat.

>>>>>>>>>>>>>>

NB. Bronkitis. Batuk berdarah yang disebabkan oleh kondisi ini jarang berkembang menjadi serius atau mengancam nyawa penderitanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #gay