Bertemu Lagi

Sory. part kemaren aku private. tapi mulai part besok kayaknya aku gak private lagi. soalnya Miror Web-nya udah berhenti, Bhak. #sotoy. tapi moga aja berhenti. jadinya aku gak perlu private-private ceritaku segala. ok readers. gak perlu banyak cincong. langsung aja happy reading. :D

>>>>>>>>>>

Author pov

Hampir 7 bulan Naza pergi tanpa kabar, selama itu Pula Verdhi mengabaikan kewajibannya di RSJ, yang di lakukannya hanya pontang-panting kerumah Naza dan rumah om serta tantenya Naza, demi mencari tau keberadaan sang kekasih hati. Tubuhnya makin lama semakin terlihat kurus, napsu makan lelaki itu sirna entah di mana. Dalam pikiran lelaki itu hanya ada satu nama dan mungkin akan selalu ada satu nama. Naza. Bahkan anak Tasha pun sudah lahir kedunia, tapi dia belum juga menemukan sang kekasih.

Riuh canda tawa di rumah kediamannya sama sekali gak membuat Verdhi tertarik. Lelaki itu bangkit dari duduknya, berjalan keluar rumah, menulikan telinganya dari panggilan keluarganya yang sedang berkumpul.

Kepalanya mendongak, menatap langit yang mulai menghitam akibat mendung, gak lama, rintik-rintik air turun perlahan, membasahi bumi. Tanpa memperdulikan air yang turun, Verdhi berjalan kearah mobilnya, melajukannya ke rumah om dan tante Naza, rumah yang selalu dia kunjungi beberapa bulan ini, meski hasilnya sama. Sia-sia.

Tapi bagi Verdhi, gak akan ada kata sia-sia, meski sampai mati dia gak bakal ketemu Naza, baginya yang terpenting berusaha, dari pada merenungi nasib yang gak akan berpihak pada siapapun yang lemah dan menyerah. Gak! Cukup sekali dia menjadi orang bodoh, gak ada yang kedua atau ketiga.

.

Calvin mendengus melihat mobil orang yang sudah dia dan keluarganya hapal terparkir sempurna di depan pagar rumahnya. Velin yang melihat mobil Verdhi terparkir di depan rumahnya di ikuti orangnya yang keluar meringis kasian.

"Apa gak sebaiknya kita kasih tau Naza, Calv? Kasian Verdhinya---"

"Sssttt, mama gak usah komentar, Calvin tau apa yang harus Calvin lakuin, dan jangan coba-coba bicarain apapun ke Naza sebelum Calvin bertindak,"

Delvo mendengus mendengar perkataan di sertai nada gak terbantahkan keluar dari mulut abangnya, yang sudah pasti gak akan ada yang berani mengganggu gugat.

Calvin berjalan menjauh dari jendela rumahnya, membuka pintu dan berdiri menantang di depan Verdhi yang sedang terguyur hujan, tapi lelaki itu sama sekali gak perduli.

"Loe mau apa lagi sih, he? Bukannya kemaren gua udah jelas-jelas ngomong kalau gua gak bakal ngasih tau di mana Naza? Lagian gua gak tau di mana bocah tengik itu sekarang, percuma loe nyiksa diri kayak gini, gak akan ada hasilnya!"

"Gua gak akan ganggu dia, gua hanya ingin liat dari jauh kalo loe takut gua deketin dia lagi, Calv. Gua hanya ingin liat dia, karena dia dunia gua, gua kosong tanpa dia,"

Calvin mendengus, "Setelah dia pergi, loe baru kayak gini, di mana loe dulu-dulu? Dan loe itu budek apa begok sih? Gua udah ngomong ber ratus-ratus kali kalo gua gak tau di mana Naza sekrang,"

"Gua yakin loe dan keluarga loe tau, kalopun kalian emang gak tau, gua gak akan berhenti, sampai gua mati gua gak akan berhenti buat nyari tau di mana dia sekarang,"

Calvin mendesis jengkel. Kenapa pria di hadapannya ini susah sekali di usirnya?

"Terserah!" serunya gak perduli, masuk kedalam rumah, membiarkan Verdhi terus menerus di guyur hujan, sama sekali gak ada tawaran untuk Verdhi berteduh.

Verdhi menundukkan kepalanya, tersenyum miris sama apa yang terjadi. Dulu, Naza yang selalu mengejarnya, gak perduli cacian yang terlontar dari mulutnya, gak perduli hujan yang mengguyur tubuh gadis itu, gak perduli perlakuan kasar dan semena-mena darinya. Kini... semuanya berbalik. Kini dia yang mengejar Naza, kini dia yang mengemis informasi tentang gadis itu, kini dia merasakan penolakan dari berbagai pihak. Mungkin, dia belum merasakan rasa sakit yang di tanggung gadis itu sepenuhnya, dia hanya merasakan rasa sakit dari setengah yang di rasakan Naza.

Rasanya menyesakkan, sangat amat menyesakkan. Dan dia sangat menyesal dulu begitu kejam, begitu tega sama Naza, dia menyesal telah menganggap Naza benalu dalam hidupnya yang harus di basmi, namun saat benalu itu pergi, dia malah merasakan hampa, kehilangan dan sengsara.

Kenapa Naza harus pergi sebelum dia mengatakan apa yang dia rasakan? Kenapa Naza harus pergi setelah gadis itu mencapai hal yang di ingini? Kenapa gadis itu harus pergi secepat ini? Dan kenapa dia terlalu mengulur hal sepenting ini? Kenapa?!.

Tangannya merogoh saku celana yang di kenakan, mengeluarkan beludru yang dia beli beberapa bulan lalu, membukanya, menatap kedua cincin di dalam beludru itu.

Tanpa di sadari, darah segar keluar dari hidung pria itu, jatuh ke punggung tangannya, mata Verdhi melirik cairan kental dan merah di punggung tangannya. Matanya mengubur, keningnya berkrenyit, mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera kepalanya. Berusaha menghilangkan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.

Tubuhnya luruh ke lantai aspal, beludru yang tadi di pegang jatuh terlebih dahulu, tangannya memegangi kepala yang rasanya berdenyut nyeri, denyutan dari berbagai arah. Gak lama, tubuhnya tergeletak begitu saja dengan darah segar yang terus keluar dari hidungnya.

Evelyn yang melihat itu terpekik, terburu-buru keluar rumah, memanggil Delvo dan Calvin. Kedua pemuda itu berlari kearah Verdhi dan sang mama yang sedang memangku kepala Verdhi.

Delvo membuka mobil Verdhi yang masih menyala, dengan cepat Calvin meletakkan Verdhi di kursi penumpang, memutari mobil dan duduk di depan kemudi, melajukan mobil Verdhi di atas rata-rata, jalanan yang lenggang memudahkannya untuk berkemudi sesuka hati.

Delvo menoleh kebelakang, menatap Verdhi kasian, beralih menatap abangnya yang terlihat fokus menyetir dengan kecepatan full.

"Bang, loe gak kasian liat mr. gay kayak gini? Kasih taulah bang, lagian nanti kalo Naza nerima nggaknya dia lagi itu udah urusan Naza, lagian Naza udah gede bang, dia bisa milih jalan hidupnya sendiri, abang gak perlu nyiksa dia kayak gini. Ok. Naza yang minta kita buat tutup mulut, tapi liat dong bang, kalo seandainya abang jadi dia gimana?" kata Delvo membuat bibir Calvin bungkam, tertutup rapat.

Matanya melirik kearah Verdhi yang terlihat berantakan, bulu-bulu halus sudah tumbuh di rahang lelaki itu yang dulunya tercukur rapi, wajah kumal melihatkan seberapa desprete-nya Verdhi selama ini.

"Nanti, gua yang akan ngomong sama dia kalo dia udah siuman."

Delvo tersenyum tipis mendengar perkataan abangnya, kepalanya kembali menoleh kebelakang, menatap mamanya yang juga tersenyum manis.

'Demi kebaikan loe, Za, maaf.' Kata Calvin dalam hati.

.

Udara yang sangat dingin menusuk kulit yang sudah terlapisi mantel berbulu, di eratkannya mantel yang di pakai gadis itu, dalam hati terus bergumam 'kapan nyampe rumah? Kapan nyampe rumah?' seolah mantra yang sedang di hapal buat kelangsungan hidupnya kelak.

"Konbawa, Higashiyama," –selamat malam, Higashiyama.

Gadis itu menoleh dan tersenyum manis. "Konbawa, Ariwara," katanya sedikit membubungkukkan badan dan kembali melanjutkan jalannya yang sempat terhenti.

Hembusan nafas lelah keluar dari bibirnya yang serentak dengan embun keluar dair bibirnya. Kepalanya mendongak menatap langit malam yang terang, sepertinya salju hari ini enggan untuk kembali terjun.

"Apa kabar kamu di sana? Bahagia gak kamu? Pasti bahagia yah?! Pasti hanya aku yang tersiksa di sini, iya kan?! Kamu pasti sekarang lagi berduaan sama 'dia' sekarang. Gimana kamu sekarang? Tambah ganteng pasti kan?" gumam gadis itu lirih. Air matanya kembali jatuh. Hanya mengingatnya, hanya mengingatnya saja mampu membuatnya lemah seperti ini.

Gadis itu tersenyum miris. "Aku kangen sama kamu kak, kangen banget sama kamu, tapi aku tau, di sini yang kangen pasti hanya aku. Cuman aku dan akan selalu aku kali ya?!" racau gadis itu kembali. Matanya terfokus sama bintang yang bersinar terang, seolah dia berbicara sama orang yang di tuju.

"Kamu tau? Aku rapuh di sini, aku merindukan kamu, aku tau aku-tau kalau rinduku ini menjijikan bagi kamu. Aku tau. Kamu gak perlu bicara aku sudah tau." Gadis itu menghela nafas lelah. Membiarkan air matanya kembali jatuh.

"Aku udah janjikan sama kamu, kalau kita ketemu lagi, aku akan nganggep kamu gak ada, dan aku bersungguh-sungguh, sesungguh aku ingin ngelupain rasa sialan ini, hanya tinggal tunggu waktu lebih lama lagi aku akan bener-bener ngelupain kamu, ngelupain semua tentang kamu... Verdhi," senyuman miris tersungging dari bibir pucatnya.

Tanpa di sadari gadis itu, seseorang sejak tadi mengikutinya dari belakang tersenyum kecil. "Udah gila loe? Bicara sendiri, sambil jalan lagi,"

Naza tersentak mendengar suara seseorang di ikuti rangkulan yang melingkar di pundak kanannya.

Naza melirik sinis Bishounen di sampingnya yang selalu mengaget kannya tanpa tendeng aling. Orang yang di lirik sinis terkekeh, sama sekali gak merasa takut atau apapun mendapat tatapan paling bengis dari gadis manis dan imut di sampingnya.

"Kalo gua jantungan gimana coba? Loe mau donorin jantung loe ke gua?"

"Lebay amat loe neng, masak kayak gitu doang bisa bikin loe jantungan. Wel, kalo loe jantungan lebih bagus dong, populasi orang galau di dunia ini menurun."

"Devaaannn!!" teriak Naza sebal sama ucapan lelaki itu.

Dengan cepat, orang yang di panggil Devan menjauh sebelum jari jemari Naza yang lentik berhasil menyentuh tubuhnya untuk di cubit sekuat tenaga, dan kembali tertawa saat berhasil menjauh dari jangkauan sepupunya.

Naza berdesis jengkel. Kalau bukan sepupu, mungkin Naza sudah mencakar wajah tampan sepupunya dengan kuku-kuku tanganya yang panjang dan terawat.

"Gak usah beropini ingin nyakarin tubuh gua,"

Naza memutar malas, 'mulai lagi sifat cenayangnya ya,' batin Naza malas.

"Wel Za," Naza melirik sepupunya dengan tatapan tanpa minat. Membiarkan tangan Devan kembali melingkar di pundaknya

"Gua habis ngelamar Shasha, dan di terima!" teriak Devan tepat di telinga Naza, teriakan kegembiraan. Naza mendumel jengkel, dan mulai memukuli tubuh Devan dengan tangannya. Bukannya dia benci atau iri Devan berhasil melamar sang pujaan hati, cuman Naza sebal, kenapa cowok dableng itu teriak di telinganya? Di kira gak sakit apa di teriakin kayak gitu tepat di depan telinga? Sakit tau.

"Aw, Za, Ampun, ampun," ucap Devan terus bergerak, berusaha menjauh dari jangkauan pukulan Naza yang sakitnya gak main-main.

"Loe ngeselin Devan, ngeselin!" teriak Naza sebal, tangannya masih terus memukuli badan pria itu yang terus-terusan mengucapkan kata 'ampun'.

Sebuah mobil berhenti gak jauh dari tempat Naza menyiksa sang sepupu, membuat Naza menghentikan pukulan berutalnya, berubah menatap mobil hitam di sampingnya. mengrenyitkan kening, merasa bingung, kenapa mobil itu berhenti di sampingnya? Perlahan pintu mobil belakang terbuka, melihatkan lelaki yang turun dari mobil, menjulang tinggi di hadapannya.

Seketika Naza merasa udara di sekitarnya menghilang, entah ekspresi apa yang di tampilkan gadis itu, antara terkejut dan sedih yang lebih mendominasi. Kedua tangannya bergetar, bibirnya seakan kelu, matanya sama sekali gak mau berpindah dari retina orang di hadapannya yang terlihat pucat, tubuhnya jauh lebih kurus dari sebelum dia pergi, bulu-bulu halus di sekitar rahang lelaki itu jelas terlihat. Wajah lelaki itu terlihat sangat lelah dan gak terawat.

"Naza," panggilnya lirih, selirih hembusan angin yang menerpa tubuh mereka bertiga.

Devan mengrenyitkan kening, merasa familiar lelaki di depan Naza, seketika, foto orang yang di kirim Calvin kemaren melalui e-mail muncul di kepalanya. Matanya jelalatan mencari keberadaan sang sepupu yang dia yakini ikut serta. Dan benar saja, gak jauh dari tempat mereka berdiri, terparkir mobil yang selalu di bawa lelaki itu saat berkunjung menemui Naza. Terlihat, kaca sebelah kemudi sedikit menurun. Tanpa berucap apapun sama Naza, pria itu berjalan santai kearah sang sepupu.

Naza masih berdiri mematung di depan pria yang baru saja dia tangisi. Hembusan angin kencang menerpa tubuhnya seolah menjadi alarm apa yang harus di lakukannya. Dengan cepat Naza memutuskan kontak mata mereka, matanya mencari keberadaan Devan, namun sayang, keberadaan sang sepupu gak ada di tempatnya tadi.

"Devan?!" teriak Naza keras, memanggil nama sang sepupu yang entah sekarang ada di mana. Naza gak tau.

"Devan loe di mana? Gak lucu!" tanpa memperdulikan lelaki di samping entah depanya Naza terus memanggil nama sepupunya. Berharap orang itu menemuinya, membawnya pulang.

"Devan?!" teriaknya lagi. antara geram dan sebal mencampur jadi satu. Hampir saja kakinya melangkah, namun cekalan di tengannya membuatnya berhenti melangkah. Menatap orang itu dengan tatapan bertanya.

"Sorry?"

"Kenapa kamu pergi gak bilang-bilang, Za? Kenapa kamu tiba-tiba pergi gitu aja?"

Naza mendesisi jengkel, melepaskan cekalan tangan Verdhi kasar. "Bukannya gua udah bilang, kalo kita ketemu lagi anggep aja kita gak pernah kenal,"

Verdhi terdiam sesaat mendengar perkataan gadis di depannya. Senyuman miris terukir di bibirnya. Apa dia sudah terlambat?.

"Apa aku udah telat, Za?"

Naza menaikkan alisnya menatap Verdhi bingung.

"Apa aku telat ingin miliki kamu?"

Jantung Naza rasanya berhenti berdetak, namun segera di tepis. Dia tersenyum sinis, berbanding balik dengan Verdhi yang wajahnya sudah sangat keruh.

"Telat? Bisa di bilang gitu." Jawab Naza acuh tak acuh, gak membenarkan juga gak menyalahkan perkataan Verdhi.

Verdhi tersenyum masam. Matanya menatap wajah orang di hadapannya dengan prasaan berkecamuk. Apa dia akan menyerah begitu saja? Setelah apa yang dia alami selama ini, setelah apa yang di ambil gadis itu dalam hidupnya, bisakan dia menyerah? Dan hidup seperti dulu? Gak! Kalaupun dia bisa hidup seperti dulu, dia pasti sudah melakukkan di bulan-bulan yang lalu, gak saat gadis di hadapannya menolaknya.

Lalu? Apa yang harus dia lakukan? Mengejarnya seperti apa yang di lakukan Naza dulu? Yah! Dia akan melakukannya. Melakukan apapun, asal Naza kembali ke pelukannya, ah salah, bukan kembali, tapi datang ke pelukannya.

"Gak akan ada kata telat, Za. Aku akan berusaha buat dapetin kamu sama seperti kamu dulu."

"Loe balas dendam? Gua kan udah jauh dari hidup loe, gua juga udah bilang kan kalau kita ketemu lagi, jangan nyapa gua, anggap aja kita gak saling kenal!"

"Tapi aku gak bisa, Za."

"Oh ya?" tanya gadis itu meremehkan. "Bukannya dulu loe juga begitu ya sama gua? Nganggep gua gak ada, terus sekarang kenapa loe bilang gak bisa?"

Verdhi terdiam, matanya menatap lurus manik mata Naza yang memancarkan sinar meremehkan.

"Itu dulu."

"Bedanya apa, woy?! Sama aja kali!" kata gadis itu dan mendengus meremehkan.

"Karena sekarang, aku cinta sama kamu."

Seketika Naza kembali menatap wajah Verdhi yang terlihat kuyu, dan lebih tirus dari bulan sebelumnya, menatap mata lelaki itu intens, mencari kebohongan di sana, tapi dia sama sekali gak melihatnya.

Matanya memincing dan tersenyum sinis. "Gitu? Setelah gua pergi?" tanya Naza gak percaya.

Gadis itu menggeleng geli. "Gila ya, gua pikir, cinta datang terlambat itu hanya lagu, tapi ada di dunia nyata ya?"

Verdhi tersenyum manis, untuk pertama kalinya di tuju bulan belakangan ini, dia tersenyum, melepaskan wajah frustasi yang jelas terlihat.

"Kamu salah, aku udah cinta sama kamu sebelum kamu pergi."

Jantung Naza kembali berdetak kencang. Menatap wajah orang di hadapannya dengan wajah shok, dia ingin percaya, tapi dia gak bisa, andai saja waktu Itu Verdhi datang menemuinya, bukan malah kencan sama papanya, mungkin dia sekrang akan percaya, atau bahkan, akan langsung memeluk lelaki itu berat. Tapi kenyataan menamparnya talak. Logikanya ber asumsi, kalau Verdhi hanya ingin menyakitinya lebih dalam lagi. dan dia gak akan kembali ke dalam jurang yang sama.

"Hahaha. Lucu." Kata Naza dengan tawaan sinis. "mending simpan rayuan loe buat bokap gua aja, gua udah gak butuh. Bye!"

Verdhi kembali mencengkram, tangan Naza, menggenggamnya erat. Tangan yang terasa dingin, berbeda dengannya yang terasa sangat hangat.

Naza sedikit tersentak merasakan hangat di pergelangan tangannya akibat tangan Verdhi, hangat yang hanya di keluarkan oleh orang sakit. Apa Verdhi sedang sakit? 'Gak Naza! Dia bukan urusan loe, loe gak usah peduli sama dia, dia aja gak peduli sama loe!' gumam hatinya mengingatkan.

Dengan kasar, gadis itu menyetakkan tangan Verdhi, menatap lelaki itu berang. "Gak usah nyentuh-nyentuh gua. Gua bukan cewek murahan seperti dulu yang selalu nyentuh loe,"

Verdhi terdiam. Dia merasa tertampar gak kasat mata oleh perkataan Naza, di mana perkataan Naza mengingatkannya akan perkataanya yang terlampau kasar. Kepalanya menunduk merasa bersalah.

"Za, apa kamu gak bisa liat mata aku? Aku sungguh-sungguh Za, aku gak sedang bercanda atau ngibulin kamu," kata Verdhi memegangi kedua pundak gadis di hadapannya, menatap manik mata Naza dengan keseriusan.

Naza mendengus, berusaha menjauhkan tatapannya dari mata Verdhi yang terus menghujaminya.

Dentuman pedih di hatinya terasa menyakitkan. Melihat Naza yang terus menghindari matanya sebagai petunjuk kalau gadis itu menolaknya. Perlahan cengkraman di kedua pundak Naza mengendur.

Naza mundur beberapa langkah, tangannya bersidakap di depan perut, tatapan matanya menatap sekitar yang sepi.

"Mending loe pergi deh, jujur, gua nggak nyaman sama keberadaan loe di sini," ucap gadis itu talak. Hati Verdhi semakin remuk redam, namun seberusaha mungkin di tahan, dia mencoba gak perduli sama perkataan Naza yang terlampau sadis untuk orang yang lama gak ketemu.

Verdhi tersenyum manis. "AKu akan pergi tapi gak sekarang, ada saatnya aku akan pergi, gak cuman badan aku yang jauh dari kamu, tapi raga aku jaga. Dan saat itulah aku akan pergi,"

Naza masih terdiam, mencoba mengacuhkan perkataan Verdhi yang sedikit membuat hatinya menghangat, namun lagi-lagi segera di tampik. Dia hanya takut Kalau Verdhi mempermainkannya. Hanya itu saja. Gak lebih.

"Terserah," kata Gadis itu acuh. Kembali melangkah yang kali ini gak di tahan sama Verdhi, karena lelaki itu mengikutinya dari belakang. Menatap punggungnya dengan rindu yang gak bisa dan gak akan di tutupi lagi.

'Jadi gini ya rasanya di tolak sama orang yang di cintai?' gumam lelaki itu dalam hati, bibirnya tersenyum mirirs, merasa gak percaya kalau Naza bisa bertahan selama ini dengan rasa sakit yang gak bisa untuk di jelasin dan jabarin.

Naza membelokkan kakinya kehalaman rumah dan menutup pagar sebelum Verdhi berhasil menginjakan kakinya di halaman rumah Naza. Mendelik garang kearah Verdhi sebelum berbalik, berniat berjalan lebih masuk. Udara di luar semakin terasa dingin.

"Naza!" panggil suara di depan pintu rumah, wajah wanita itu jelas menampilkan raut cemas bukan main. Orang itu berjalan cepat dan memeluk tubuh anaknya erat, helaan anafas lega keluar dari bibirnya. Untung itu hanya mimpi.

"Ada apa Ma?" tanya Naza kebingungan melihat mamanya yang seolah sedang menghawatirkan sesuatu.

Marisha melepas pelukannya, meraup wajah anaknya, menatap wajah anaknya masih dengan raut wajah cemas. "Gak papa sayang, mama hanya mimpi buruk tadi," jawabnya di sertai senyuman manis.

Naza mengerutkan keningnya, merasa heran dengan tingkah mamanya. Kali ini apalagi mimpi buruk yang menimpa mamanya? Kemaren mamanya memimpikannya di tabrak mobil, minggu sebelumnya di tabrak busway. Kali ini apa? Jangan bilang di tabrak becak, sungguh nggak lucu.

"Ayo mas--- Verdhi?!"

Orang yang di panggil hanya tersenyum manis sebagai sopan santun.

"Kamu gak pake mantel? Tuhan! Apa gak kedinginan kamu? Sini ayo masuk, kasian dingin-dingin gak pake mantel,"

Dengan cepat Naza menahan tangan mamanya yang ingin membukakan pagar teras, menatap mamanya tegas. Verdhi tersenyum masam melihat tatapan Naza ke mamanya yang melarang mamanya untuk membukakan pagar.

"Kasian dia Za, dia gak pake mantel, kalau dia sakit gimana, nak? Dia kan---"

"Biarin aja mah, aku nggak ngundang dia buat ke sini, dia itu tamu yang gak di undang," kata Naza melirik Verdhi sinis, dan benar kata mamanya, kalau Verdhi gak memakai mantel, lelaki itu hanya memakai kemeja dan celana kain. Dasar bodoh! sudah tau lagi musim salju.

"Tapi Za, dia bisa sakit kalau---"

"Mama!" panggil Naza sebal, memotong perkataan mamanya begitu saja. "Biarin aja, Naza gak kenal sama dia, mending masuk, aku laper," sambungnya menarik lengan sang mama, menyeretnya untuk masuk kedalam rumah, membiarkan Verdhi yang tersenyum masam karena perkataan Naza.

Diam-diam Naza melirik Verdhi dan mendesah pasrah. Kenapa dia harus datang ke sini? Apa perlu lelaki itu ke negara ini? Dan kenapa Verdhi malah jauh terlihat gak terurus dari beberapa bulan yang lalu?.

Nb. Higashiyama bahasa indonesianya Islami, di ambil dari nama belakang Naza, Naza Islami, Namika Higashiyama' kalau gak salah loh ya-

Nb. Bishounen ; lelaki / pemuda





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #gay