Benarkah?

Bel sekolah telah berbunyi. Naza dan yang lainnya dengan cepat memasukkan buku-buku kedalam tas. Pak Ridof –guru Fisika- mendesah melihat anak didiknya yang riuh sendiri, padahal materi yang ia terangkan belum selesai. Dasar anak muda zaman sekarang, gak bisa di atur.

"Sampai jumpa besok pagi, dan bapak harap, kalian tidak lupa kalau besok ulangan mingguan."kata Pak Ridof yang di sambut desahan lelah dari anak didiknya.

Naza nggak perduli, dia terus memasukkan bukunya kedalam tas, menatanya dengan benar biar semua buku yang ia bawa muat di tas rancelnya, apalagi tadi habis olahraga, tambah sempit ruang untuk meletakkan buku-buku pelajaran.

Begitu juga Niken. Gadis itu sama seperti Naza, menggrutu karena tasnya gak muat. salahnya sendiri sih memakai tas slempang, sudah tau ada pelajaran olahraga.

Naza mendesah lega melihat buku-bukunya bisa masuk dengan sempurna, meski tas rancel yang ia bawa harus keliatan seperti Jaka Kendil, apalagi kalo dia menaruhnya di depan, sudah kayak ibu-ibu hamil.

Naza berdiri dari duduknya, mencangklongkan di pundak kanan dan kiri, dia gak mau ngambil resiko kalau pundak kanannya akan pegal-pegal, lebih baik kedua pundaknya yang sakit dari pada salah satunya. Kepalanya menoleh kearah Niken yang menggerutu belum bisa memasukkan buju seragamnya kedalam tas.

"Taroh loker aja dulu, besok baru loe bawa pulang."kata Naza memberi solusi.

"Kalo taroh di loker nanti baunya busuk. Nggak ah."

Naza menghendikkan bahunya nggak perduli sama perkataan Niken. "Yaudah, loe tenteng aja, minta plastic sama bu Kantin, pasti di kasih."

"Gitu?"

Naza mengangguk membenarkan. "Gua duluan yah. Bye."

"Bye."

Naza melangkah keluar dari kelas dengan santai, tubuhnya yang nggak bisa di bilang tinggi dan nggak bisa di bilang mungil terlihat menggemaskan dari belakang, dia kayak kura-kura yang berjalan membawa rumahnya, beberapa anak yang melihat Naza terkekeh, meski begitu Naza gak perduli, karena dia gak tau siapa yang di buat bahan tawaan oleh temen-temennya maupun adik kelasnya.

"Hey kura-kura."

Naza tersentak mendengar suara di ikuti rangkulan di pundak kanannya. Kepalanya menoleh keasal suara dan menatap tajam sang empu tangan.

"Loe tadi manggil gua apa?"tanya Naza sinis.

Rico tersenyum manis dan mencubit dagu Naza gemes, mantannya ini sama sekali gak berubah. "Kura-kura."jawabnya santai.

Dengan kasar Naza melepaskan rangkulan Rico. "Kalau gua kura-kura loe apa?"

"Gua cowok tertampan sejagat raya ini,"

Huek. Naza pura-pura mual mendengar kenarsisan mantannya yang di sahuti kekehan dari Rico. Mana ada orang yang baru saja di remehkan malah tertawa? Nggak ada memang, hanya Rico yang bisa kayak gitu.

Naza melirik Rico horror, pemuda satu ini memang mempunya kehumoran di bawah normal.

"Loe gemesin banget sih Naz."kata Rico mencubit pipi Naza.

"Emang."jawabnya PD, Rico makin terbahak mendengar jawaban Naza.

Naza makin menatap Rico horror, dasar aneh. Di bagian mananya sih yang lucu? Perasaan nggak ada.

"Za, Za, loe itu bener-bener gemesin tau gak?"

Naza mengangguk malas mendengar perkataan Playboy cap kudanil macam mantannya.

Melihat Naza yang hanya mengangguk malas, Rico berdehem, menghentikan kekehan gelinya. "Loe masih marah ya sama masalalu kita?"

Naza melirik Rico malas. Buat apa ngungkit-ngungkit masalalu? Kita tuh hidupnya di masa sekarang dan masa depan, bukan masalalu, masalalu hanya untuk di kenang.

Rico menghela nafas melihat mantannya yang hanya diam. nggak ada kata bantahan atau kata mengiyakan yang keluar dari bibir Naza.

"Gua minta maaf soal dulu, gua tau kok loe males ngeliat wajah gua,"Kata Rico memberi jeda.

"Emang."jawab Naza dalam hati.

"Mungkin gua emang gak bisa berharep lebih sama loe Za, padahal gua dulu berharap, kita bisa balikan, tapi sepertinya yang cinta di sini cuman gua, loe udah nggak,"Naza masih terdiam mendengarkan perkataan Rico seksama. "gua terlalu bodoh karena nyelingkuhin loe dulu,"Naza masih saja diam, kakinya terus melangkah kedepan begitu juga Rico. "Gua ingin kita temenan Za, meski hanya sebatas teman nggak papa, asalkan gua bisa deket lagi sama loe,"

Langkah Naza berhenti mendengar perkataan Rico, wajahnya menoleh kearah Rico. menatap Rico heran.

"Mungkin ini yang di namakan Karma, gua cinta sama mantan gua yang udah gua sakitin."kata Rico dengan tawa tanpa rasa humor sama sekali.

Rico menghela nafas sebelum kembali berbicara. "Gua hanya ingin berada di sisi loe Za, mau itu sedih maupun senang. gua ingin menebus kesalahan gua di masalalu."

"Ric..."

"Gua belum selesai bicara Za,"Kata Rico memotong perkataan Naza yang ingin bilang kalau dia nggak permasalahin itu lagi. "please Za, jadiin gua sabat loe, gua hanya ingin ngebantuin dan ngejaga loe, udah itu aja."

Naza terdiam. dia menggigit bibir bawah bagian dalamnya menatap mata Rico yang memancarkan kesungguhan. Dia menghela nafas lelah dan menepuk pundak Rico dua kali. "Pertama yang harus loe tau Co, gua nggak pernah permasalahin masalalu kita. bagi gua, itu hanya sebatas masalalu, masalalu tugasnya itu untuk di kenang dan buat pembelajaran di masa sekarang. Kedua. Gua udah lupa sama rasa sakit hati gua di masalalu Rico, dan untuk rasa sayang loe ke gua, gua terimakasih banget, karena loe masih nyimpen rasa sayang loe ke gua, tapi gua minta maaf, gua udah sayang sama orang lain. Ketiga. Gua mau kok jadi sahabat loe, dan sekali lagi gua ngucapin makasih sama niat baik loe untuk ngejagain gua, cuman, kalo boleh ngasih saran, gua gak mau loe ngasih perhatian loe pyur ke gua, kalo loe punya cewek kasian ceweknya, perhatiannya loe duain, gua bisa ngejaga diri gua sendiri kok Co, tapi... makasih ya udah mau jujur sama gua, dan udah mau ngejagain gua."katanya dengan senyuman manis.

Rico terdiam namun akhirnya ikut tersenyum.

"Ehm. Ehm. Ehm."Deheman dari samping mereka membuat kedua orang yang di buat tontonan gratis menoleh keasal suara. "sweet."

Naza memutar matanya malas mendengar sifat ajaib sahabatnya. "Kalo obat loe habis mbok yo bilang-bilang, gua kan bisa beliin loe, Ken"selorohan tak berkesahabatan keluar dari bibir Naza yang langsung di balas pletakan maut.

"Sakit begok."maki Naza gak terima, tangan kanannya mengelus-ngelus kepala yang habis di jitak.

"Suruh siapa ngomong sembarangan, loe kira gua gila?!"

"Syukur deh kalo sadar."

Niken menggeram mendengar perkataan sahabatnya, dia ingin kembali mejitak kepala Naza yang langsung ngeles, menghindari jitakan maut untuk kedua kalinya.

Rico terkekeh melihat ulah kedua gadis di hadapannya, yang satu santai yang satu geram bukan main.

"Udah-udah. Ngapain sih berantem? Pulang aja yuk."kata Rico menengahi, merangkul pundak kedua gadis di sampingnya, membimbingnya berjalan. Niken masih saja emosi sedangkan Naza malah terkekeh.

Mereka berjalan beriringan keluar sekolah, semua mata menatap mereka heran dan penuh keingin tauan, bisa di pastikan kalau gossip tentang mereka akan merebak bak bendera perang.

Mereka terus saja berjalan sambil bersunda gurau, seakan dunia milik bertiga, yang lain ngontrak.

"Naza!"panggilan dengan nada datar dan dingin menghentikan pergerakan kaki mereka. Naza menoleh kesumber suara, dengan cepat melepaskan rangkulan Rico dan berjalan kearah Verdhi.

Rico mengrenyitkan keningnya melihat sikap Naza. Fikirannya mulai menabak-nebak apa itu cowok yang di sukai Naza? Sedangkan Niken tersenyum kagum, melihat wajah tampan di siang bolong merupakan vitamin tersendiri untuknya.

"Kak."panggil Naza dengan senyuman tipis. Verdhi hanya diam saja dan masuk kedalam mobil. Nasa mendesah, tubuhnya berbalik menatap kedua temennya dengan wajah cemberut dan kembali berbalik menatap Verdhi saat bunyi klakson terdengar, dengan malas Naza berjalan kearah mobil, membuka pintu dan duduk malas di sebelah jok kemudi.

Tanpa aba-aba Verdhi mendekatkan diri kearah Naza, spontan Naza memundurkan tubuhnya, fikirannya berkelana yang tidak-tidak. namun tak lama Verdhi kembali dalam duduknya, memasang seatbelt ketubuhnya sendiri, kepala Naza menunduk melihat seatbelt sudah terpasang rapi. 'Jadi tadi kak Verdhi masangin seatbelt buat aku? Bukan mau nyium?' Gerutunya dalam hati, merasa gak percaya atas apa yang baru saja dia fikirkan.

Mobil yang mereka tumpangi berjalan menjauh dari area sekolah, meninggalkan Rico yang terdiam, mencoba menatlisir perasaannya yang sedang patah. melihat orang yang di cintai habis –keliatan- berciuman. Sedangkan Niken, dia malah berdecak iri, kedua tangannya di tangkup di depan dada, melihat mobil Verdhi yang kian lama kian menjauh.

.

.

Naza Pov

Sudah tuju hari kak Chealse berada di rumah Tante Velin, dan sudah 5 hari Kak Verdhi kembali seperti dulu. Kembali seperti dulu dalam artian datar dan dingin, entah apa yang terjadi, padahal sebelumnya aku fikir kalau hubunganku sama dia akan berjalan lebih lancar dari siasatku. tapi nggak taunya malah menjadi serumit ini. Andai aku di karuniai bisa membaca fikiran manusia, ini semua pasti akan mudah terselesaikan, dan misiku akan gampang tercapai.

"Loe kenapa dek?"tanya Kak Chealse meletakkan toples berisi kurma di hadapanku dan segelas es jeruk.

Kepalaku mendongak tanpa melepaskan topangan tanganku untuk kepala yang terasa berat. Kuangkat bahuku acuh, malas untuk bercerita.

Kak Chealse ikut duduk di hadapanku yang sedang duduk lesehan, tangan kananku menulis rumus-rumus Biologi tanpa minat, ingin sekali aku berteriak 'Woy, salah gua apa? Kenapa loe nyuekin gua gitu aja? Loe kira loe siapapa, hah?!' tapi sayangnya mulutku malas untuk berbicara seperti itu, mereka malah bungkam.

"Ada masalah?"tanyanya lagi. Kepalaku menggeleng sebagai jawaban.

"Gua nggak kenal Masalah, temen-temen sekelas gua nggak ada yang namanya Masalah, jadi gua nggak tau Masalah ada di mana."

"Hah?"tanyanya cengo menatapku bingung.

Aku hanya diam saja tak menggubris wajahnya yang kebingungan, namun tak lama desahan nafas sebal terdengar di ikuti jitakan di jidadku yang baru aja sembuh semalem.

"Gua nanya serius Onyom. Loe lagi ada masalah?"

"Kak... gua aja nggak kenal Masalah, lah loe nambahin, Lagi itu siapa sih? Dia cowok apa cewek?"tanyaku malas.

Hembusan nafas berat terdengar. "Terserahlah."

"Siapa lagi itu Terserah?"

"Sak karepmu."

"Siapa lagi itu sak karepmu?"

"Up to you."

"Oh."

"Halah."

Aku hanya diam saja mendengar perkataanya yang jengkel. Aku malas menguarkan masalahku sama siapapun, meskipun itu kak Chealse, Mama, Tante Velin atau siapapun. tapi kalo di pendem sendiri makin lama makin nyesek.

"Kak Cheals."panggilku lirih, meliriknya dari ekor mataku.

"Hmm."jawabnya acuh dan kembali memasukkan buah kurma kedalm mulutnya.

"Kak Chealse kangen gak sama dia?"tanyaku membuatnya berhenti mengunyah untuk sesaat. Gak ada jawaban yang keluar dari bibirnya, dia malah asik memisahkan daging, kulit dan biji kurma. Kurang kerjaan banget sih.

Aku tau kalau Kak Chealse kangen sama si biadab yang entah siapa namanya, aku nggak perduli dan nggak mau perduli. Dia memilih menyimpan rasa rindunya untuknya sendiri, dan aku? Aku juga bakal begitu, akan menyimpan masalah yang 'ku hadapi, aku gak mau mendapat ceramah dari orang. Ini hidup 'ku bukan dia, dan ini masalah 'ku bukan dia ataupun mereka.

Huh! Rindu itu menyesakkan dada, tapi yang lebih menyesakkan dada adalah di cuekkin tanpa alasan yang jelas, membuat kita harus berfikir apa yang salah? Karena nyatanya kaum adam nggak akan mau mengeluarkan uneg-unegnya kepada kita –kaum hawa-, mereka lebih cendrung bercerita ke sesama kaum adam, mungkin itu yang membuat kaum mereka ada yang saling menyukai, karena mereka mengerti keinginan kita. Apa aku harus jadi cowok dulu biar tau apa dan kenapa sama Kak Verdhi?.

"Za, Za, handphone loe bunyi tuh."

Aku tersentak mendengar perkataan kak Chealse dan guncangan di tubuhku. Kuangkat kepalaku dan duduk dengan tegap, menggapai benda silver di samping buku Biologi menatap id call. Kak Verdhi? Tumben nelfon. Ada apa?.

Kugeser layar Lcd menempelkan benda mungil itu ke telinga.

"Hallo kak Ver."

Nggak ada jawaban dari sana, yang ada malah keributan nggak jelas.

"Kak Verdhi?"

Masih nggak ada jawaban, hampir saja aku kembali menyeruakan panggilanku.

"Hallo Za."

"Ada apa sih kak? Kok ribut banget di sana?"

"Kamu bisa nggak datang ke RSJ sekarang? Ada yang pengen aku omongin sama kamu."

Kenyritan di keningku timbul mendengar perkataan kak Verdhi. Kenapa harus RSJ?. "Café Tulip aja ya kak, aku nggak lagi di rumah soalnya, jarak antara rumah Tante Velin sama RSJ-kan jauh kak, apalagi kalo mancet."

Dia mendesah dan sepertinya sedang berbicara sama orang lain. Hatiku kok jadi nggak enak gini ya? Ada apa? Apa yang di rencanain Kak Verdhi sebenernya?.

"Ok. Café Tulip. Bye."katanya mematikan sambungan sepihak.

Kutatap layar handphoneku nanar. Bye? Hanya bye? Just bye? Astaga! Dia ini kenapa sih?.

"Verdhi kenapa Za?"

Kepalaku menoleh menatap Kak Chealse yang sedang menatapku heran. Sepertinya aku tau siapa orang yang tadi bicara sama kak Verdhi, aku yakin itu pasti dia. tapi mau apa?.

"Kak Cheals, mendingan kak Cheals di kamar aja, kunci kamarnya, jangan keluar sebelum gua ngetuk pintu kakak 10 kali berturut-turut."

"Hah?"

"Udah nggak usah kebanyakan huh-heh, kakak turuti aja perkataan gua tadi. Gua pergi dulu ya. Inget sama perkataan gue. 10 kali."kataku dan melenggang pergi, tanpa perlu membawa tas rancel berisi buku-buku sekolah, cukup uang beberapa lembar ratus ribu dan ponsel masih menyala itu sudah lebih dari cukup.

Kubuka pintu mobilku, menyalakan mesin dan bergerak menjauh, berjalan kearah café Tulip, café yang di kelola abangku. tak butuh waktu lama untuk sampai di café tulip aku langsung masuk kedalam, berjalan ke tempat setrategis yang biasanya aku duduki kalau di café ini.

"Mbak Mila, biasa ya."seruku menatap salah satu waiters yang ku kenal dengan senyuman manis.

Mbak Mila menolehkan kepalanya kearahku dan mengangguk anggun. kutopangkan daguku di tangan, mataku menatap jendela yang langsung mengarah ke jalan raya, menatap mobil-mobil yang berselewiran.

"Ehm,"kepalaku mendongak mendengar seseorang berdehem dan tersenyum manis, namun senyumanku lenyap begitu saja saat mataku melihat orang di sebelahnya, tanpa sadar aku mendengus.

"Loe sembunyiin di mana cewek gua?"tanya cowok biadab di sebelah Kak Verdhi menatapku berang.

Kutatap dia tak kalah sinis, apa-apaan sih dia? Sok banget jadi orang, "Siapa yang nyembunyiin cewek loe?"tanyaku menatapnya sok heran.

"Halah, nggak usah sok acting..."

"Jason!"

Mataku melirik kearah kak Verdhi yang sedang menatap si brengsek itu dengan pandangan mengerikan, sedangkan orang yang di panggil mendesah.

"Gua udah kasih syarat sama loe tadi sebelum gua ngajak loe ke sini."sambungnya memperingati si brengsek itu. Aku mengrenyitkan kening mendengar perkataan kak Verdhi, syarat? Syarat apa?.

Kak Verdhi duduk di hadapanku, menggenggam jari-jemariku yang kian membuatku bingung. "Kamu tau kan di mana Chealse?"tanyanya lembut.

Kutarik tanganku dari jangkauan kak Verdhi, melipatnya di depan dada. "Aku nggak tau di mana kak Chealse, terakhir kali ketemu dia satu minggu lalu, setelah itu aku gak tau dia di mana."

"Jangan bohong, loe umpetin di mana cewek gua, hah?!"teriak si Jason menarik lenganku sampai aku berdiri.

"Jason!"Seru Kak Verdhi melepaskan cengkraman Jason di lenganku, merangkul pundakku seolah ingin melindungiku, "kalo loe mau tau di mana Chealse jangan pernah sekali-kali loe nyakitin dia, atau loe nggak akan pernah ketemu lagi sama cewek loe."

Mataku mengerjap beberapa mendengar perkataan Kak Verdhi yang terdengar sangat sweet di telingaku.

"Ok, tapi seenggaknya loe ngertiin gua, cewek loe udah nyembunyiin cewek gua, kalo dia pergi apa loe yakin masih bisa kayak gini, hah?!"

Kak Verdhi terdiam mendengar perkataan cowok brengsek itu, tapi tangannya yang merangkul pundakku semakin mengerat, menarik menyuruhku untuk duduk kembali, dia ikut duduk di sebelahku tanpa melepaskan rangkulannya, mataku melirik Jason yang ikut duduk di hadapanku, jus manga dan air putih sudah di depan meja, entah sejak kapan di meja ini nggak kosong, mungkin saat aku melihat mobil-mobil berseliweran.

"Naza, jawab pertanyaanku jujur, apa kamu nyembunyiin Chealse?"

"Nggak kak, aku nggak nyembunyiin kak Chealse, kok kakak gak percaya sih sama aku?!"

"Sebelum Chealse hilang dia jalan sama loe, dan mata-mata gua nggak bisa ngikutin jejak taxi yang loe pake, loe sengaja kan nyembunyiin dia?"aku menggeram nggak suka mendengar perkataanya.

"Naz, kalau kamu jujur sekarang aku nggak akan marah,"

"Ih. Aku udah bilang kalau aku nggak nyembunyiin Kak Chealse, harus bilang berapa kali sih kalau aku nggak nyembunyiin kak Chealse? Kalo nggak percaya ikut aja kemana aku pergi."

"Kamu kira aku bego? Kamu pasti udah ngerencanain di mana kamu akan nyembunyiin Chealse biar aku gak bisa liat dia lagi kan?!"

"Kenapa banget sih loe pengen ketemu dia? Loe pengen nyalurin nafsu loe sama dia setelah selesai loe tinggal pergi, loe kira Kak Chealse itu binantang, hah?!"seru geram. Enak saja dia, sejak tadi dia selalu pake urat saat bicara sama aku, dia fikir dia siapa?.

Dia terdiam mendengar perkataanku. "Iya gua ngaku kalau gua yang nyembunyiin dia,"

Matanya menatapku makin tajam. "Dim..."

"Kalau gua ngasih tau loe dimana dia berada, apa yang mau loe lakuin hah?! Menyeretnya pulang dan mengurungnya di kamar? Menikmati tubuhnya? Heh, jangan harap!"Kataku semakin sinis. "asal loe tau aja kalau dia sedang hamil, dia kabur dari loe, karena dia tau loe bakal nyuruh dia gugurin anaknya, dan sampai kapanpun, gua nggak akan pernah ngasih tau di mana dia tinggal."sambungku mendorong kursi kebelakang, membiarkan dua orang ini shok dan berjalan menjauh.

"Tunggu,"Langkahku berhenti mendengar dan cekalan di pundakku, mataku melirik kearah orang di belakangku tanpa berniat membalikkan badan. "gua ingin ketemu dia,"

Tubuhku berbalik menatap orang itu sengit. "Buat apa loe ketemu dia? Loe mau nyuruh dia gugurin anaknya? Hah! Nggak usah mimpi!"

"Gua cinta sama dia, gua nggak mungkin minta dia gugurin anak gua, gua mohon, gua ingin ketemu dia, dan bilang semua apa yang gua rasain ke dia."

Ku tatap mata pria brengsek di hadapaku seksama, mencari kesungguhan atau kebohongan di dalam sana, "Siapa yang bisa jamin sama ucapan loe?"

"Aku."Kepalaku menoleh keasal suara dan menaikkan alis menatap kak Verdhi sengit, "aku yang bakal jadi jaminannya."

"Emangnya apa yang mau kamu lakuin sebagai bentuk jaminannya?"tanyaku sengak melipat tangan di depan perut.

Dia tersenyum manis dan berjelan kearahku, kepalanya mendekat kearah telingaku, "Aku bakal ngelakuin apapun yang kamu mau."

"Apapun?"tanyaku sinis menarik sudut bibirku menatapnya menantang. Apapun? Berarti kalau aku nyuruh dia menjadi straight dan ninggalin papa bakal dia lakuin?.

Kepalanya mengangguk mantab. "Ya, apapun."katanya dengan senyuman manis, senyuman yang baru pertama kali aku melihatnya, puluhan kupu-kupu di perutku bertebangan, mengepakkan sayapnya.

Wajahnya mendekat, aku menutup mata menanti apapun yang bakal dia lakuin, hangat di keningku membuatku membuka mata dan mencebikkan bibir. dia selalu begitu, selalu membuatku berfikiran yang nggak-nggak dan hasilnya dia malah melakukan hal lain. Huh! Dia nyebelin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #gay