Aneh.
Maaf lama nggak update, idenya tiba-tiba nge stuck, tapi mulai hari ini aku akan berusaha untuk kembali menarik ide yang hilang, dan maaf cuman sedikit. aku usahain akan sering-sering update deh. kali ini aku gak mau janji, tapi aku kan buktiin.
selamat pagi kawan. selamat beraktifikas.
typos?? sory.
>>>>>>>>>>>>>
Tak sengaja mataku melirik kearah jendela, tawaku berhenti dalam sekejap melihat siapa orang yang sedang menatap kami dengan pandangan yang nggak bisa aku artikan, kedua tangannya di masukkan kedalam saku celana, matanya focus terarah kearahku dan dokter Verdhi secara bergantian. Papa.
"Ish. Aku kan tadi baru bilang jangan panggil dokter, kalau kamu masih manggil dokter berarti bener,"
Kepalaku menoleh kearah dokter Verdhi bingung. Bener? Apanya? Emangnya tadi ulangan? Bener?.
"Bener kalau kamu pasienku."sambungnya santai.
Bukannya marah aku malah tersenyum manis mendengar perkataanya, dia mengerenyitkan kening menatapku bingung. "Udah kubilang tadi, kalau aku itu emang gila, tergila-gila sama kamu"
Dia mendengus dan menonyor kepalaku kebelakangku, aku kembali terkekeh melihat ekspresi wajahnya yang sangat lucu.
"Oh ya dok-"
"Kakak"potongnya gemes.
Aku tersenyum geli mendengarnya "Pengen banget aku panggil kakak. Ciee. Ada yang ngarep di panggil kakak nih yee. Cieee."
Dia mendengus memutar kedua bola matanya malas mendengar perkataanku. "Mau ngomong apa tadi?"
Kutepuk jidadku yang menimbulkan ringisan. Aahh begok, udah tau benjol masih aja kebiasaan nepuk jidad nggak ilang-ilang.
Kurasakan seseorang mengelus jidadku lembut, sangat lembut tapi rasa nyerinya malah bertambah.
"Mangkannya jangan di biasain nepuk jidad sendiri Za, udah tau benjolnya kayak gini."katanya terdengar khawatir.
Seketika hatiku berbunga-bunga mendengar perkatanya. Bolehkan aku berharap lebih akan hal ini?? Ah... ya ampun. Dia kok bisa benget sih bikin hatiku dag dig dug kayak gini??.
.
"Makasih kak."kataku dengan senyuman manis dan melepaskan seatbelt di tubuhku.
Dokter- ah salah, maksudku kak Verdhi hanya mengangguk tanpa membuka seatbelt, kudorong pintu mobil dan keluar dari mobil bersiap untuk menutupnya.
"Besok berangkat dan pulang sekolah aku jemput, jangan bawa mobil."
Keningku berkerutan mendengar perkataan dok- kak Verdhi maksudku. "Tumben? Kenapa?"tanyaku heran.
Dia mendengus dan menarik pintu mobilnya untuk tertutup, membiarkan aku terbengong akan ulahnya.
"Inget jangan bawa mobi, mulai besok aku antar jemput."katanya sebelum mobilnya melaju meninggalkan aku yang kayak orang oon kesasar.
Tanganku terangkat menggaruk kepala yang gak gatal. Dia kenapa sih? Kok aneh, apa tadi waktu di rumah tante Velin dia salah makan? Jadi salah satu saraf di otaknya agak bengkong? Ahtaghfirullah. Ih. Aku apa-apaan sih? Kok mikir gini, seharusnya kan aku seneng kalau kak Verdhi berubah jadi perhtian. Tapi... ah sudahlah. Bodo'amat, yang penting kak Verdhi udah perhatian sama aku.
Dengan riang aku melangkah masuk kerumah, bibirku tak henti-hentinya menyunggingkan senyum, kalau boleh bilang, kak Verdhi itu kyut, imut, gemesin, pengen narik pipinya. Uugghhh. Gak sabar buat ketemu dia besok.
"Kenapa loe dek?"
Langkahku berhenti mendengar suara gak asing di telingaku, mataku melirik kekiri kearah sofa depan TV dan berlarian kearah kak Varlos, memeluknya erat tanpa menjawab pertanyaanya tadi.
"Loe kenapa sih dek? Kesambet setan di mana loe?."
Kulepaskan pelukanku dari tubuh kak Varlos dan mencubit lengannya keras, dia menjerit kesakitan.
"Enak aja kesambet. Kakak fikir aku lagi kerasukan? Ih dasar ya laki, nyebelin"kataku berdiri berjalan menjauh.
Kudengar kak Varlos berdecak kesal dan mengumpat, aku hanya diam saja. Bodo'amat sama situ. Aku nggak perduli.
.
Pagi yang kutunggu-kutunggu telah tiba, mataku melirik kearah jam dinding di kamarku, menarik tali di Rancel mencangklongkan di pundak kanan dan melangkah keluar.
"Pagi By"sapaku riang.
Dia mendengus dan bejalan begitu saja. Adik kurang ajar, udah di sapa bukannya nyapa balik malah melengos, di ajarin sama siapa sih kayak gitu? Dasar ya adik durhaka.
Kugelengkan kepalaku dramatisir dan berjalan menjauh kamar, menuruni undakan tangga satu persatu, lirik lagu abstrack keluar dari bibirku, kenapa aku sebut abstrack karena semua lagu aku campurin jadi satu, sehingga yang keluar lagu abstrack yang bener-bener abstrack.
Lantunan lagu dan langkah kakiku berhenti saat mataku melihat kak Verdhi sedang tertawa bahagia dengan papa. Rasa ngilu dan kesal bercampur jadi satu, tanpa fikir panjang aku langsung melangkah kearah kak Verdhi dan berdehem kencang.
Empat mata kini menoleh kearahku dengan pandangan yang berbeda, papa memandangku penuh rasa bersalah sedangkan kak Verdhi? Entahlah. Aku gak tau arti tatapannya.
"Maaf ya Pa, kak Verdhinya aku bawa dulu, takut mancet di jalan terus jadinya Aza telat dan akhirnya di hukum. Papa nggak mau kan Aza di hukum karena telat??,"kataku sama papa dan menoleh kearah kak Verdhi, mengamit lengan kak Verdhi menyuruhnya untuk berdiri penuh paksaan "Aku berangkat dulu ya Pa, assalamu'alaikum."sambungku mencium punggung tangan papa tanpa melepaskan ngamitanku di lengan kak Verdhi.
"Yaudah Dip..."
"Kita berangkat pa."seruku memotong perkataan kak Verdhi yang kemungkinan besar ingin berpamitan sama papa dan menariknya menjauh, berjalan sedikit cepat, bodo amat sama kak Verdhi yang nanti marah. Kenapa sih mereka nggak ngerti aku? Padahal baru kemaren aku berharap lebih kalau kak Verdhi ada rasa sama aku, tapi ternyata? Yaampun!!. Gini nih bentuk negativenya kalau jadi orang gampang PD dan ge-eran.
"Kamu apa-apan sih Za? Aku kan cuman pengen pamitan sama papa kamu, kok kamu nyebelin sih?."tanyanya melepaskan ngamitanku di lengannya kasar.
Aku mendengus dan berbalik menghadapnya "kok apa-apaan sih? Aku kan udah bilang tadi, takut mancet"kataku acuh tak acuh. Tanganku bersidakap di depan perut.
"Mancet? Ini masih pagi Za, masih terlampau pagi untuk mancet, lagian jarak antara rumah kamu sama sekolahan gak terlalu jauh Zaza, hanya beberapa puluh meter"
"Ya siapa tau aja mancet? Emang gak boleh kalau mancet paagi-pagi kayak gini? Lagian ini bentar lagi jam 6 , dan jam 6 udah mancet kak Verdhi yang terhormat"
Dia mendengus dan berdecak kesal. "jam 6? Masih setengah jam lagi Za jam 6, ini masih jam 6 lewat 25 menit, orang-orang masih di rumah untuk sarapan."katanya terdengar sangat amat geram.
Aku tak kalah geram mendengar perkataanya yang seolah-olah ia ingin berlama-lama di samping papa, ok aku tau mereka pacaran, tapi dia juga pacarku. Inget? Dia pacarku yang di ketahui banyak orang, meski dia lebih dulu pacaran sama papa tapi orang-orang taunya dia pacar aku.
"Oh gitu?? Jadi secara nggak langsung kamu ingin di dalem sama papa terus cekaka-cekiki kayak dunia milik berdua, dan aku orang peganggu yang merubuhkan dunia kamu? Ok fine, aku berangkat aja sendiri, gak perlu kamu anter, aku udah gede"sungutku dan berlalu dari hadapannya, berjalan cepat-cepat meninggalkanya yang berteriak sebal. Baru kali ini aku nyesel garasi rumah yang terlalu lebar, dan nyesel karena tinggal di perumahan elite, kenapa? Karena gak bakalan ada taxi yang lewat. Ngesellin. Pagi-pagi udah bikin emosi aja.
"Naza tunggu"teriaknya yang tak kuhiraukan. Aku terus berjalan menjauh, sebentar lagi aku nyampe pagar, sebentar lagi, tinggal beberapa langkah lagi.
"Naza, aku udah bilang tunggu tadi, kenapa kamu masih jalan terus hah?!!"kata kak Verdhi mencengkram pergelangan tanganku erat.
Aku mendesis jengkel merasakan rasa ngilu yang lagi-lagi menjalar di sana. "Gua tadi juga udah bilang kalau gua bisa berangkat sendiri. Nggak usah sok-sok an perhatian deh jadi orang, kalau akhirnya loe bikin gua jatuh, jatuh, jatuh dan jatuh terus. Loe fikir gua nggak capek? Loe fikir gua kayak mama? Sory boy, gua nggak bukan mama yang bisa di mainin seenak udel sama laki-laki, gua Naza, Na. Za. Gadis yang gak bisa di mainin seenak udel loe"makiku tak tertahankan, aku masih terus mencoba melepaskan tangannya dari pergelenganku yang makin ngilu. Busyet. Dia nggak punya rasa kasian apa gimana sih? Sakit nih tangan.
"Aku udah bilang sama kamu, jangan pake bahasa itu lagi, kamu bandel banget sih jadi orang."
Aku tersenyum sinis mendengar perkataanya "loe siapa gua, ngatur-ngatur gua? Loe bukan siapa-siapa gua kan? iya kan? gak usah sok perduli deh, perduliin kekasih hati loe yang sedang..."
"Cukup. Kamu keterlaluan tau nggak?"
"Keterlaluan? Siapa? Gua? Loe nggak salah bicara hah? Gua ngerendahin harga diri gua untuk ngejar-ngejar loe, untuk dapetin cinta loe, dan sekarang loe bilang keterlaluan? Siapa yang keterlaluan? Loe. Loe nggak bisa ngehargai perasaan cewek, loe nggak pernah perduli gimana usaha gua selama ini, gua jatuh bangun hanya untuk loe, gua di marahi sama orang juga demi loe, gua selalu nangis itu karena loe. Tapi gua..."
Tanpa mau mendengarkan perkataanku lebih lanjut dia langsung membekap mulutku, menyuruhku untuk berjalan kearah mobilnya yang terparkir di garasi rumah, meski aku sudah berontak tapi tenaganya jauh lebih besar dari aku.
Dengan kasar dia mendorong tubuhku ke jok sebelah kemudi dan membanting pintu mobilnya kasar. aku mendengus dan tertawa sinis. Keterlaluan? Coba kita liat siapa yang keterlaluan di sini? Sudah jelas-jelas dia yang keterlaluan, dia memperlakukan aku nggak ada manis-manisnya, yang ada hanya kasar, kasar dan kasar. Memang benar cinta itu buta.
Mobil melaju dengan cepat, tanganku bersidakap di depan perut, wajahku menoleh kearah kaca tanpa memperduliin aku belum memakai seatbelt, biar, aku nggak mau memakai seatbelt, kalau nanti jidadku kembali dicium dashbordnya aku nggak perduli, bodo amat, dia nyebellin, ih dasar laki. Gak peka banget kalau aku cemburu, di baikin kek, di rayu kek, di apain kek gitu biar gak marah, nah ini?? Dia malah diem aja. Dasar cowok kurang ajar, meski gitu aku masih aja cinta sama dia, ish nyaampun. Begok banget dah aku.
Ciittt
Mobilnya kembali mengerem mendadak, tubuhku terhuyung kedepan, mataku tertutup, nggak sanggup ngabayangin gimana sakitnya di jadadku kali ini, benjolan satu belum sembuh masak udah mau nambah lagi?.
Perlahan mataku terbuka, pertama yang kulihat adalah jarak antara mataku dan dashboard, kepalaku menoleh kekiri dan melihat kak Verdhi yang sedang mencodongkan tubuhnya kearahku. dekat, sangat dekat, jantungku berlarian gak tentu arah.
Bibirku terbuka namun kembali tertutup, aku ingin mengatakan sesuatu tapi nggak tau apa, mataku makin intens menatap mata bening di hadapanku, mata yang penuh dengan teka-teki, banyak rahasia dan rasa di dalam sana yang terlihat terpendem, aku gak tau apa, aku sama sekali gak tau.
Tin tin tin.
Dengan cepat di melepaskan pelukaannya untuk menghalangiku yang tadi ingin kembali di cium dashboard, aku duduk dengan tegap mencoba menenangkan jantungku yang berlarian nggak tentu arah.
"Seatbeltnya Za."perintahnya dengan suara yang... serak? Aku gak tau.
Aku tak menjawab, namun melakukan apa yang dia minta, melilitkan seatbelt di tubuhku dengan canggung, kepalaku menunduk malu, gigiku menggigit bibir bagian bawah gemes.
Mobil yang kutampangi kembali melaju, kali ini melajunya nggak sekencang tadi, normal. gak ada yang membuka suara untuk memecahkan keheningan, dia sibuk dengan jalanan di hadapan kami yang lenggang bener lenggang mengingat masih jam 5.
"Kita sarapan dulu yuk, masih pagi, gerbang sekolahan kamu juga pasti masih di tutup."katanya lembut.
Jantungku kembali berlarian. Oh my god, dia ini jenis spesias apaan sih? Kok gini banget sifatnya?. Apa dia punya kepribadian ganda?.
Kepalaku mengangguk beberapa kali dan keluar dari mobil, dia menungguku di sebelah pintu yang kubuka dan berjalan, aku kira dia nungguin aku keluar dari mobil ingin di gandeng, nggak taunya malah di tinggal. Oh my god. Tuh laki satu bener-bener gak bisa di tebak keinginannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top