Bagian 8 - Datang Menjemput



Mencoba bukan sesuatu yang buruk dan berkemungkinan

Bukan juga sesuatu yang baik dengan segala konsekuensi yang ada

Namun kau tak akan pernah bisa jika tak pernah mencoba

Jadi bagaimana, ingin mencoba atau hanya diam menunggu tanpa suatu kepastian?




***




Merah meyakinkan dirinya, bahwa inilah yang terbaik.

Merah harus mencoba.

Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seseorang yang selalu mendukungnya.

Merah akan mencoba sedikit demi sedikit menerima mereka, yang mengaku sebagai keluarga Merah.

Mencoba walau dirinya sendiri tak yakin.

Merah meneguhkan perasaan dan keraguannya.

Meskipun tetap saja, rasa itu menyeruak dalam diri Merah.

Merah akan tetap mencoba.

Walau banyak hal tak masuk akal yang sering terlintas dalam benak Merah.

Dan Merah agaknya percaya.

"Aku tidak akan membuat dia kecewa. Setidaknya sedikit membuatnya senang," gumam Merah. Kemudian sekelebat masa lalu Merah muncul. Masa lalu yang tidak menyenangkan. "Tidak akan lagi," tambah Merah meyakinkan diri.

Masa lalu yang membuat tubuh Merah dingin. Merah mengepalkan tangannya dan mengeraskan hati.

"Hal itu tak akan pernah terulang lagi," kata Merah sambil menggertakkan giginya.

Dia benci hal yang dulu terjadi, terlebih saat mengingat dia yang dulu.

Sangat bukan dia.




***




Masa lalu itu




"Kau tak tahu diri, bodoh!" teriak seorang perempuan paruh baya.

Merah hanya diam, berjongkok sambil menutup telinganya. Ini hal yang tak disukai Merah dari mereka manusia.

Mereka menghakimi Merah.

Dan Merah tak tahu harus apa.

Kemudian ditimpali hinaan-hinaan lainnya, beruntun pada Merah.

"Dasar biadab!"

"Sampah! Pergi sana kau!"

"Pendosa, tak tahu malu! Kau tak pantas hidup!"

"Heh! Jalang! Kau tak seharusnya masih hidup."

"Mati sana kau!"

"Ya, lebih baik dia mati saja!"

"Tidak tahu malu!"

Terus, terus dan terus. Sampai menimbulkan trauma terdalam bagi Merah.

Merah tak bisa apa-apa saat itu. Dia hanya bisa diam dan mendengar. Saat Merah tepat berada di tengah mereka dan menjadi bahan gunjingan.

Tubuh Merah bergetar. Badannya dingin.

Merah ingin menangis, meluapkan emosi yang semakin memuncak. Tapi Merah tak bisa.

Air mata itu tak pernah menetes sama sekali.

Tak seperti perempuan-perempuan lain yang menangis untuk mengeluarkan kesedihan mereka, Merah selalu memendam emosinya.

Karena Merah tak pernah sekalipun menangis.

Bukan tak ingin, tapi tak bisa.

Disaat-saat seperti itu berbagai tanya terus memenuhi pikiran Merah.

Siapakah mereka sampai dengan lapangnya menghakimi perbuatan seseorang. Tuhan, kah? Tapi, Tuhan tidak mengejek hambanya seperti itu.

Lalu siapa Mereka?

Juga celaan yang terus menjadi.

Hari itu adalah saat di mana Merah merasa benar-benar sendiri.

Tidak ada seorang pun di sisinya.

Mereka yang dulunya bersama Merah meninggalkannya.

Dan yang lain berbalik menyerangnya.





***




"Merah keluargamu sudah datang," kata salah satu pengurus panti.

Merah masih terdiam, meyakinkan diri. Dia mengepalkan tangannya, menahan suatu hasrat yang tiba-tiba saja muncul.

Pengurus panti dengan wajah yang berseri bahagia itu tersenyum manis pada Merah. "Bersiaplah Merah. Kau akan tinggal dengan Mereka. Nikmati waktu-waktu terakhirmu di sini," ucap pengurus panti itu kemudian berlalu pergi.

Meninggalkan Merah dan segudang kegundahan hatinya.

Dan berbagai tanya yang tak kunjung terjawab.




***



Mereka di sana.

Menyebar senyuman manis pada Merah.

Seorang wanita paruh baya dan pria yang diyakini Merah adalah suaminya.

Yang membuat Merah tak bisa mengalihkan pandangannya dari mereka karena mereka memiliki paras wajah yang memiliki kemiripan seperti Merah.

Merah tercengang dibuatnya, namun harusnya Merah biasa saja.

Merah masih ragu melangkah. Di depan panti yang cukup ramai dengan sorak-sorak penghuni pantai yang tak lepas dari pendengaran Merah.

Merah menggigit bibir, semakin merasa ragu.

"Kemarilah sayang," kata wanita paruh baya dengan ramah.

Lalu wanita itu makin mendekat, bersama dengan pria yang menyusul di belakangnya.

Derap langkah yang dilakukan wanita itu bersama pria dibelakangkanya begitu terdengar, begitu lambat dan pasti.

Mereka mendatangi Merah dengan raut bahagia yang terpancar dari wajah mereka.

Entah karena apa.

Apa mungkin mereka merindukan Merah?

Setelah wanita itu sampai tepat di depan Merah, dia menarik Merah dalam dekapannya.

"Kami sangat merindukanmu," gumam wanita itu yang semakin erat memeluk Merah.

Entah kenapa Merah merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya.

Merah merasa tak nyaman.





***



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top