Bagian 2 - Hanya angin lalu


Saat kau tak tahu apa, namun ingin
Sebuah rasa tak terkendali pada diri
Sebuah penopang, saat kau sulit berdiri
Suatu penggerak yang berlain

Sebuah jiwa yang terhempas
Menarik sebuah rasa yang mengelupas
Ingin tenggelam dalam kelam
Memupuk rasa yang cukup dalam

Saat jiwamu ingin
Dan dia pun sama
Kau tak bisa mengelak
Saat tak ada lagi jarak

Maka ikutilah aliran lembut yang mengalun itu
Membawa dalam damaimu sendiri
Alirkanlah nada-nada indah itu
Yang mendekap dan tak akan lari

Kau tak perlu harus tahu segalanya

Ikutilah dan jangan mengelak!






***




Merah berjalan dengan lambat, sembari memperhatikan sekitar. Berjalan-jalan di pagi yang cerah dengan udara segar yang berlimpah. Suatu anugerah yang tak boleh dilewatkan.

Saat pagi menjelang, sangat menyenangkan bila kita bisa menikmati matahari yang masih malu-malu nampak.

Merilekskan seluruh tubuh, melepas pikiran-pikiran yang memberatkan.

Menyenangkan bukan?

Merah, gadis pucat bertubuh mungil dengan rambut panjang sebahu. Tak lupa tatapan tajamnya yang membuat sebagian orang menggigil ketakutan. Atau pun menjauhi Merah. Karena tahu, Merah bukan orang biasa.

Lebih dari itu.

Sayangnya Merah begitu tertutup.

Hanya dia lah yang cukup tahu apa yang dipikirkan dirinya.

Suatu hal yang merupakan kebiasaannya.

Mengawasi sekitar. Itu hal yang perlu dilakukan. Karena kita tidak tahu bagaimana, siapa dan apa yang akan dilakukan orang-orang di sekitar kita. Tidak ada salahnya menjaga-jaga bukan?

Merah menarik napas. Mengambil sebanyak-banyaknya udara segar dingin yang begitu menyegarkan. Seakan Merah sedang mengumpulkan segala beban-beban yang ada. Kemudian menghembuskannya perlahan. Seperti mengeluarkan berbagai macam beban yang menimpanya. Begitulah seterusnya.

Memanfaatkan pagi dengan sangat baik.

GUK

GUK

GUK

Seekor anjing hitam tiba-tiba datang. Dia menggonggong terus pada Merah. Mengisyaratkan ada orang asing yang sedang berjalan di depan rumah tuannya, daerah sekitar panti asuhan tempat tinggal Merah.

Tuannya bernama pak Rudi. Seorang kakek tua judes yang suka marah-marah. Merah cukup tahu tentang kakek tersebut.

Merah ingin menghindari anjing hitam itu.

Tapi anjing itu terus menggonggong, walau Merah mulai berjalan cepat.

Anjing tersebut terus saja mengikuti Merah.

Merah menghembuskan napas berat. Anjing itu merusak mood Merah. Di pagi cerah menyenangkan ini.

Sungguh menjengkelkan.

Anjing kesayangan jelek yang sering dipuja pemiliknya.

Barang pengganggu saja.



***


Merah berjalan di koridor sekolah, melihat bagaimana reaksi teman sekolahnya yang lain setelah kemarin mereka mendepaknya.

Mereka para penghuni sekolah berbisik-bisik sambil menatap Merah.

Menatapnya dengan tatapan enggan dan jijik.

Sesuci apakah mereka sampai bisa dengan beraninya mengadili apa yang dilakukan orang lain. Pikir Merah.

Senyuman manis namun dingin dia sunggingan. Merah menatap satu persatu orang-orang yang menolak keberadaannya kemarin.

"Bukan hari ini. Akan ada waktunya aku bisa membalas mereka," gumam Merah dari bibir merahnya. Kemudian Merah pergi tanpa melakukan apa-apa pada mereka.

Tidak sekarang.





***


Bel pulang sekolah berbunyi, menyadarkan Merah dari lamunannya. Dia membereskan tas sekolah lalu keluar. Kemudian dia berjalan kaki dari sekolah menuju panti.

Peluh mengucur di dahi. Udara panas menyengat tubuh Merah. Ketika sampai di sebelah rumah di samping panti, Merah kembali melihat anjing itu. Anjing itu menggonggong melihatnya, menyalak dengan suara nyaring seolah dia tidak rela jika Merah harus di depannya.

Anjing tetangga yang merusak moodnya pagi tadi.

Anjing jelek itu, Merah tidak menyukainya.

Merah menendang tubuh anjing itu keras. Lalu dia menyeringai. Sorot mata tajamnya dilayangkan pada anjing itu. Dalam sekejap anjing itu langsung diam.

Merah menghela napas. Lalu dia melanjutkan lagi langkahnya.

Merah terlihat sangat kelelahan. Ingin sekali cepat sampai di kamarnya.

Suara para penghuni panti yang berisik tidak Merah hiraukan. Dia berlalu begitu saja seolah dia tak melihat siapapun.

Sesampainya di kamar yang selama ini ia tempati, Merah dengan segera mengganti pakaiannya. Dia melihat ke jendela. Jendela yang menampilkan bayangan sepi sebuah bangunan, tepat berada di sebelahnya.

Seketika angin berhembus dengan kencang menerpa wajahnya. Sebuah suara halus tak kasat mata berbisik di telinga Merah.

Merah merasakannya.

Kemudian Merah menutup matanya, merasakan sensasi dingin dan lembab yang dibawa oleh angin itu, matanya yang terpejam seketika terbuka memperlihatkan manik mata hitam gelap.

Begitu kelam.

Misterius dan tak dapat diduga.

Jauh dalam dirinya.





***




Silakan masukannya.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top