Bagian 1 - Yang terlihat


Kau tak bisa melihat, jika kau masih menutup mata
Tak bisa mendengar, bila kau terus saja menutup telinga
Tak akan pernah merasa, jika dirimu tak ingin meraba atau diraba
Tak akan pernah tahu, karena kau tak mau, menganggap dia tak ada

Atau kah memang tak ingin?

Coba tanya pada diri sendiri

Sebelum kau menghakimi diri orang lain



***


"Kau hanya sampah yang beruntung bisa menginjakkan kaki di tempat ini, jalang!" teriak seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan penuh emosi. Di koridor sekolah yang ramai, tempat berlalu para penghuni sekolah.

Bisikan orang-orang yang berseragam sama dengan mereka terdengar berdengung. Umpatan-umpatan pun tidak lepas dari pendengaran Merah.

Merah yang tadinya berjalan seketika berhenti. Lalu dia menyunggingkan senyum.

Merah sedikit terkekeh geli mengingat akan makian yang dilontarkan gadis berbaju putih abu-abu dan makian penghuni sekolah yang lainnya.

Semua cemoohan dan hinaan itu tidak lantas membuat Merah merasa marah. Bahkan tidak ada sedikit pun emosi yang terlukis di wajah Merah.

Justru hal itu membuat merah tertarik untuk menyunggingkan seringai geli di bibirnya.

Menyenangkan bukan.

Merah berbalik, menatap gadis yang tadi berteriak kepadanya. Kemudian Merah mengulas senyuman manisnya.

"Kamu terlihat cantik saat marah, Jen," kata Merah dengan suara lembut.

Gadis yang dipanggi Jen semakin emosi. Baginya pujian yang dilontarkan Merah adalah sebuah penghinaan.

Jen benci Merah, sangat benci.

Apapun yang dilakukan Merah, termasuk kejailan yang sering dilakukan Merah adalah hal-hal yang membuat Jen tidak menyukai Merah. Semua perbuatan yang Merah lakukan terlihat menjijikkan di mata Jen.

Seperti yang dilakukan Merah saat istirahat tadi. Merah tiba-tiba datang dan menyantap makanannya. Memberikan komentar-komentar terhadap masakan yang seharusnya mengisi perut Jen, tapi dilahap Merah.

Tidak semua makanannya memang. Merah malah menyendok makanan dan mau menyuapi Jen. Hal tersebut merupakan sebuah penghinaan telak bagi Jen.

Dia tidak suka Merah. Termasuk semua hal yang dilakukan Merah. Terlihat murahan di mata Jen.

"Kau benar-benar sialan, Merah!" teriak Jen meluapkan emosinya.

Ucapan lain para penghuni sekolah di sana makin terdengar lantang. Perkataan miring yang menceritakan kejailan-kejailan Merah. Juga semua pendapat buruk mengenai Merah beserta hinaan-hinaan lain.

Merah tidak membalas apa yang dikatakan mereka. Merah hanya tersenyum, kemudian berlalu pergi. Meninggalkan Jen yang masih dilanda emosi.

Ternyata dia cukup berarti bagi mereka, sehingga semua perbuatannya mampu dikenang dengan baik. Pikir Merah sambil berlalu menjauhi tempat itu.



***


Di panti asuhan yang ditinggali Merah sejak kecil, yang juga masih menjadi tempat tinggalnya sampai sekarang. Tempat yang ramai dengan anak-anak dengan beragam watak dan sifat.

Dari yang masih kecil sampai yang sudah besar terkumpul di tempat ini.
di sinilah tempat mereka yang tidak memiliki orang tua, dibuang atau mungkin yang tidak ingin merawat mereka.

Merah tak tahu dia ada digolongan mana. Merah menganggap dia tidak punya keluarga kandung. Toh, tidak ada yang datang mengunjungi Merah, tidak ada yang mengaku Merah adalah keluarga. Juga tidak ada informasi dari pengurus panti asuhan mengenai siapa keluarga Merah.

Mereka bungkam. Tak bersuara.

Entah mereka tak tahu atau memang tak ingin memberi tahu.

Dan dia tidak lagi mencari tahu. Bukannya tak ingin tahu, tapi mungkin saja suatu hari nanti ada waktunya hingga semua asal usulnya terkuak. dia tahu semua akan ada waktunya.

Tapi,

Entah kapan.

Merah berjalan menuju gerombolan perempuan yang sedang asik bercengkrama.

Mereka tertawa senang entah apa yang dibicarakan oleh mereka. Merah mau mencoba bergabung, menjalani hari seperti remaja seumurnya yang lain.

"Hai, kalian boleh aku bergabung, sepertinya perbincangan kalian sangat menarik," ujar Merah kemudian mengambil tempat di kursi yang kosong di dekat mereka.

Perempuan-perempuan yang tadinya ramai bercerita seketika diam. Tepat saat Merah datang dan membuka suaranya.

Tampaknya mereka tak suka dengan kehadiran Merah. Merah berusaha melenyapkan kalimat tersebut dari benaknya, meskipun itulah yang sebenarnya sedang terjadi.

Merah hanya mau mencoba saran yang diusulkan Rama. Meskipun Merah merasa itu tidak mungkin berhasil.

Tapi tak ada salahnya mencoba bukan.

"Kamu mau apa di sini, Merah?" tanya salah satu gadis dengan nada tidak suka yang terlihat jelas.

"Aku mau bercerita dan melakukan yang seperti kalian lakukan," ucap Merah. "Bersama kalian tentunya," lanjutnya lagi.

"Kamu tidak akan suka berkumpul bersama kami, aku rasa," ucap salah satu gadis di depan Merah dengan pandangan tajam yang dilayangkan nyata.

"Aku ingin mencoba," jawab Merah lembut dengan senyuman manis yang menghiasi bibirnya.

Perempuan-perempuan di dekat Merah menghembuskan napas berat. Merah memang keras kepala dan memuakkan. Mereka tidak seharusnya melupakan fakta itu.

"Ini bukan tempatmu, Merah. Sebaiknya kau pergi. Tidakkah kau lihat, kami muak melihatmu berbasa-basi dengan kami.

Ucapan itu telak menghantamnya.

Merah mengerti.

Merah paham.

Benar, di sini bukan tempatnya.

Harusnya merah sadar dari awal.

"Baiklah, aku pergi," kata Merah sambil menatap satu per satu mereka.
Mengingat dengan jelas satu persatu wajah mereka dan menyimpan dalam memorinya.

"Sampai jumpa," sambung Merah kemudian berlalu meninggalkan mereka.



***


Sebuah gedung tak berpenghuni di dekat panti menjadi tempat Merah mengistirahatkan diri. Menenangkan pikiran. Gedung yang cukup luas, di tingkat 7 menjadi salah satu tempat yang biasanya Merah gunakan bersantai.

Gedung yang masih dalam tahap pembangunan, yang entah kenapa tak dilanjutkan lagi.

Tapi itu menguntungkan untuk Merah.

Setidaknya dia bisa mendapatkan ketenangan di sana.

Gedung yang luas, berdebu, dan gelap.

Deru angin samar yang membawa bau pengap memberikan kenyamanan bagi merah.

Kegelapan malam disertai suara jangkrik dan terpaan angin malam yang dingin memberi sebuah kelegaan.

Tanpa manusia.

Tempat yang kata orang-orang menakutkan, dengan dongeng-dongeng hantu yang membuat Merah tertawa tak terkendali.

Cukup menghibur.

Hanya pikiran orang picik yang mempercayainya.

Bukankan rasa takut berasal dari respon sensor tubuh kita sendiri.

Merah kembali terkekeh mengingat semua yang dialaminya.

Sejenak saja ia ingin menciptakan dunia indah yang hanya dihuni olehnya. Merah merebahkan tubuhnya di atas tumpukan kardus bekas.

Senandung lirih terlantun dari bibirnya. Mengalun perlahan semakin perlahan kemudian berhenti bersama tertutupnya mata Merah dibuai mimpi.



***


Silakan masukannya, semua.

Semoga betah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top