Keresahan Seorang Bara
-Keresahan Seorang Bara.
"Jadi dia adalah peyeumpuan yang selalu lo sebut-sebut dalam do'a?" celetuk Faisal.
"Bakso Mang Ujang jadinya seporsi aja nih, ya?" ancam Bara.
"Hush, nggak boleh pelit gitu sama anak kos," Faisal terkekeh.
Kalau bukan karena Bakso Mang Ujang, Faisal pasti ogah menemani Bara mengintai. Dua lelaki yang saat itu sama-sama memakai kacamata hitam sebagai penyamaran, saat ini sedang bersembunyi di belakang pot besar dengan rangkaian bunga cantik yang menutupi sebagian tubuh mereka. Sementara Bara sibuk memandangi Hana yang tengah berjalan bersisian dengan 'Kakak', Faisal berpura-pura mencari pot kecil untuk pajangan di rumah ketika si pemilik toko mulai mencurigai mereka.
Itu adalah tugas Faisal seharian ini.
Menjadi orang yang dimanfaatkan Bara demi tiga mangkuk bakso.
"Mahal banget Mbak, biasanya saya beli di pasar cuma lima rebu." Bibir Faisal mengerucut, persis seperti emak-emak yang kesulitan saat adegan tawar-menawar.
"Aduh, pasar sama mall kan beda, Mas. Kualitasnya juga pasti beda jauh," ketus penjual.
Percakapan selanjutnya adalah tentang bagaimana Faisal membujuk pot berisi kaktus mini. Tentang bagaimana si penjual kesal karena Faisal tidak mau menaikkan patokan harganya. Namun, tawar menawar itu terputus dengan satu kalimat dari Bara.
"Sal, ayo buruan. Mereka udah pergi tuh."
Bara menarik paksa Faisal tepat setelah terjadi kesepakatan. Faisal ingin marah, tapi perutnya lebih butuh makan daripada kaktus. Makanya, dia melambaikan tangan pada si penjual dengan mimik sedih. Bertolak belakang dengan wajah penjual yang ingin mencakar wajah Faisal.
"Jahat banget emang Abang Bara," keluh Faisal.
"Capek gue denger modusan lo sama dia," Bara tahu niatan Faisal yang jomblo dari lahir ini.
"Itu namanya usaha," Faisal mencibir. Maniknya mengikuti arah pandang Bara yang tak terputus sedetikpun itu. Seakan-akan tergetnya bisa hilang seperti kepulan asap. "Itu Hanasya bukan, sih? Yang sering ngobrol sama lo di sekolah."
"Iya," Bara hanya mengangguk singkat ketika Hana dan Kakak masuk ke dalam toko perhiasan.
"Wah, kenapa dia jalan sama cowok lain deh? Bukannya kalian lagi pedekate, ya?"
"Sejak kapan sih gue pedekate sama dia?" sanggah Bara.
"Kalo nggak salah sih, sejak tahun ajaran baru."
Bara menghela napas panjang, mengabaikan celotehan Faisal dan memilih untuk kembali memerhatikan Hana. Cowok itu menghampiri stand kecil minuman yang berada tepat di depan toko perhiasan. Bara memang memesan minuman, tapi matanya tak lepas dari Hana. Ketika gadis itu menunjuk sesuatu di dalam etalase, hati Bara berdebar. Super penasaran dengan benda mengkilap apa yang akan dibeli oleh mereka.
^
"Cincin emas, loh, Sal," Bara menggoyangkan tangannya berulang kali. "Bayangkan."
Faisal yang tengah memasukkan sambal ke dalam kuah bakso mendongak. "Bentar, gue bayangin dulu," Faisal menutup mata, berusaha membayangkan sebuah cincin emas. "Gue malah ngebayangin cincin punya Mamak di rumah."
"Mas Bara, nih pesanannya. Bakso tanpa mie, tanpa seledri, tanpa bawang goreng, tanpa tahu, dan tanpa sayur mayur," ucap Mang Ujang sambil meletakkan pesanan di hadapan Bara. Awalnya Bara malas makan, tapi Faisal yang manja itu merengek minta ditemani makan.
"Nggak sekalian tanpa kuah?" ejek Faisal.
Mang Ujang terkikik mendengarnya. "Tau nih, biasanya Mas Bara pesannya lengkap."
"Hati saya lagi hambar, Mang," sahut Bara sambil mengaduk kuah baksonya.
"Orang mah Mas, kalo lagi hambar malah makannya segunung. Kayak sodara saya tuh, makannya bisa nambah sampe empat kali. Nasinya penuh satu piring," cerocos Mang Ujang lalu pergi karena ada pelanggan yang datang.
"Berarti lo udah mati rasa ya, Sal," ucapan Bara membuat Faisal mendongak. "Lo normal aja makan sampe tiga mangkok." Anehnya, cowok itu tidak gemuk.
"Cacing-cacing gue butuh tenaga untuk menghadapi kenyataan hidup gue yang pahit."
Bara langsung melahap satu bakso ukuran sedang dengan wajah datar. "Halah jangan curcol."
Lawan bicara Bara terkikik lagi. "Nggak asik ah lo tiba-tiba jadi galauers gini."
"Bodo amat," sahut Bara cuek lalu melahap habis makanannya.
^
Bara mengangkat tiga karung pakaian yang baru tiba. Toko Ibunya memang tidak besar, tetapi cukup ramai pelanggan hingga persediaan pakaian selalu habis dalam kurun waktu sebulan. Bara berkontribusi besar dalam memilih model pakaian yang akan dipesan oleh Ibunya.
"Duh, habis ini mau turun salju kali ya, di Jakarta?" sahut Ibunya saat Bara membuka satu karung celana jins berbagai ukuran dan model untuk dicek Ibunya. Tumben.
"Jangan dong, Ma," jeda Bara. "Susah laku karena baju-baju kita kan untuk summer."
Ibunya yang tengah mengecek kelengkapan barang pesanannya mengernyitkan kening. "Apa? Untuk Sumiyem?"
"Summer, Ma. Sum-mer. Musim panas."
"Oh, maksud kamu musim kemarau?" tanggap Ibunya.
"Kita anggap saja musim panas itu kata lain dari musim kemarau."
Ibunya mengembalikan daftar barang ke pengirim barang setelah setuju dengan kelengkapan dan kualitasnya. Biasanya kalau weekend begini, Bara memang sering menemani Ibunya di pasar. Tapi, Bara enggan memindahkan karung-karung tersebut. Biasanya dia selalu meminta pengirimnya langsung memasukkan ke dalam gudang. Jadi mungkin, Bara sedang ada sesuatu.
"Bar, kamu di sekolah baik-baik aja, kan?"
Bara menoleh sambil berkipas dengan lembaran koran bekas. "Uang tabunganku berkurang Ma, tadi abis dirampok Faisal. Jajanin dia bakso tiga mangkok."
"Itu sih salah kamu kenapa kamu nggak mesen lebih banyak, empat mangkok."
"Mama mau perutku buncit?"
Ibunya tertawa. "Kenapa? Kan, lucu kalo buncit. Kayak ayahmu."
"Ih.. Mama. Bara kan belum nikah, pacar aja nggak ada. Nanti cewek-cewek udah ilfeel duluan kalo liat Bara."
"Nah, itu tugasmu untuk menemukan yang menerima apa adanya."
Tiba-tiba bulu kuduk Bara berdiri. "Ih, geli, Ma!"
"Sama, Mama tiba-tiba gatel nih."
Ibunya bangkit sambil tertawa dan berpura-pura menggaruk lengannya yang tidak gatal. Bara ikut tersenyum. Selalu menyenangkan bercengkrama dengan Ibunya. Hidup berdua menjadikan ikatan mereka menjadi kuat. Bara pasti akan sedih luar biasa kalau Ibunya meninggalkan dia. Makanya, Bara heran ketika melihat Hana berwajah datar saat membicarakan orangtuanya yang telah tiada.
Tapi ya, ekspresi normal Hana memang datar. Seperti saat ini.
"Hai, Kak." Hana ikut duduk di sebelah Bara setelah mengobrol dengan Ibu Bara beberapa saat.
"Kok pulangnya cepet?" Bara memalingkan wajah.
Hana melirik jam tangan di lengan kirinya. "Udah jam empat sore, Kak."
"Gue pikir bakal lupa waktu karena jalan sama Kakak."
Ekspresi Hana sumringah selama beberapa detik sebelum kembali tenang. "Kakak punya acara habis ini. Acara yang sangat penting," Hana menekan kalimat terakhirnya.
"Padahal sekarang kan malem minggu," cibir Bara.
"Justru karena ini malam minggu, Kak." Hana membuka bungkus coklat dan menyerahkan satu potek pada Bara. Ketika Bara menolak, Hana memiringkan wajah. "Kak, aku ngasih Kakak coklat bukan berarti aku berharap Kakak jadi pacarku. Jadi Kakak nggak usah ragu. "
Andai Bara sedang minum, mungkin sudah tersedak. "Heh, direm dong kata-katanya! Nggak liat Emak gue cuma berjarak beberapa jengkal dari kita?!" Rasanya Bara ingin menyumpal bibir Hana.
"Suaraku terlalu besar, Kak?" Hana menoleh ke arah Ibu Bara sebelum kembali ke cowok itu.
Tampaknya, sang Ibu tidak begitu memerhatikan. Terlalu sibuk menghitung uang. Bara kembali menatap Hana yang tengah asyik menyantap cokelatnya. "Nggak usah nawarin kalo sesuka itu sama cokelat" gumam Bara tanpa sadar. Bara masih menatap Hana ketika gadis itu menoleh.
"Jadi Kakak mau?" Hana kembali menawari, tangannya terjulur.
Bara menggeleng. "Abisin aja biar gemuk."
"Untung Kakak ngomongnya sama aku."
"Apanya?" Cowok itu tidak mengerti.
"Gemuk," Hana berjeda, "Kalo cewek lain denger kata itu pasti bakal sebel sama Kakak."
"Kenapa lo nggak marah?" Mungkin karena gue cowok yang dia suka, Bara diam-diam mesam-mesem sendiri.
"Karena Kak Kiano bilang kalau kita nggak perlu peduliin kata orang selama itu bukan hal buruk."
Jadi Kakak itu namanya Kiano? Bara tiba-tiba sebal.
"Oh, jadi maksud lo yang gue ucapin itu nggak penting?" cibir Bara.
Hana diam beberapa saat. "Bukan, Kak. Maksudnya kita harus bisa memilah mana omongan orang yang harus dipertimbangkan dan enggak."
"Itu kata Kak Kiano juga?" Bara menopang dagunya.
Tanggapan Hana hanya mengangguk. Gadis itu mengambil sesuatu sebelum memberikannya pada Bara. Permen kopi.
"Gue nggak mau kalo itu dari Kak Kiano," cetus Bara.
"Kak, nggak semua hal dalam hidupku berkaitan dengan Kak Kiano."
^
Bara berguling menghadap tembok. Dia menarik sarung untuk menutupi wajahnya dari Hana yang tengah menonton TV. Saat ini dia tidak ingin bertemu dengan Hana, rasanya sangat malu setelah pembicaraan mereka tadi sore. Kalau diingat kembali, Bara seperti orang yang cemburu karena selalu mengaitkan ucapan Hana dengan Kiano. Tapi sekarang dari ekor mata Bara, dia lihat kalau ekspresi Hana biasa saja. Kalau berada di posisi Hana, mungkin Bara akan terus menggoda karena merasa senang melihat adanya kilat kecemburuan di mata orang yang dia sukai.
Apa pernyataan suka Hana kala itu hanya main-main?
Tapi Hana bukan tipe yang seperti itu. Dia termasuk orang yang jujur apa adanya kalau Bara perhatikan selama ini. Dia juga tipe yang serius dalam segala hal. Kalau bukan main-main, mungkin dia sudah move on dari Bara. Yah, lagipula, siapa juga yang akan naksir dengan cowok macam Bara? Kalau dibandingkan dengan Kiano sih, Bara kalah jauh. Cowok itu terlihat sangat dewasa dan baik hati. Tidak seperti Bara yang seperti anak TK begini.
"Kakak kenapa? Dari tadi menghela napas terus," tegur Hana akhirnya.
"Banyak nyamuk di mulut gue," jawab Bara asal.
Hana bangkit, mengambil sekaleng Baygin yang disimpan di laci. "Mau aku semprotin Baygin?"
"Wah, lo dendam sama gue, ya? Pengin nyemprot mulut gue pake itu biar cepet-cepet mati?"
Hana terkejut, dia menggeleng. "Kak, aku cuma mau nyemprotin Baygin ke ruangan ini karena Kakak bilang banyak nyamuk."
Bara mengerang. Kenapa hari ini dia sensi banget, ya? Kata-kata dia sepertinya agak keterlaluan.
"Kak Bara kayaknya bener-bener nggak suka ya aku di sini," ucap Hana sembari menunduk.
"Hah? Kenapa?" Kali ini Bara bingung.
"Karena aku pake kamar Kak Bara, Kak Bara jadi tidur di ruang TV."
"Ya ampun Bara, kamu nih. Mama nggak pernah ngajarin kamu jadi manusia pelit kayak gini. Apalagi ke perempuan," sewot ibunya yang baru keluar dari kamar mandi membawa bak cucian berisi pakaian yang sudah diperas. "Bawain nih ke depan, Mama mau jemur baju."
Bara melongo. Kenapa salah pahamnya jadi sejauh ini?
Setelah ibunya kembali ke kamar mandi untuk merapikan sisa-sisa cucian, Bara menghampiri Hana. "Maaf, gue nggak maksud bilang itu, ya. Gue nggak masalah dengan keberadaan lo di sini. Anggap aja gue lagi sinting jadi omongannya ngelantur."
"Beneran, Kak?" Hana bertanya dengan volume rendah.
Bara mengangguk. "Iyaaa, Hanasya yang baik hatiiii."
"Tapi Kakak kalau liat aku mukanya nggak enak kayak yang kesel."
Gue kesel karena lo ngomongin Kiano mulu! Rasanya Bara ingin sekali teriak seperti itu.
"Muka gue emang ngeselin dari lahir," ucap Bara.
"Iya, soalnya pas hamil Bara dulu, Tante sebel banget sama tokoh antagonis di sinetron Naga Terbang. Makanya Bara jadi ngeselin dan drama banget, Hana. Maklumin aja, ya," sambung ibunya yang baru muncul dari dalam kamar mandi.
"Ya Allah, terima kasih sudah memberikan Mama yang baik hati dan pengertian seperti ini," ungkap Bara sambil membawa bak besar berisi cucian basah. Cowok itu berlalu meninggalkan mereka.
"Maafin Bara ya, Hana. Dia kalau ngomong memang suka nggak disaring, tapi Bara bukan anak jahat kok," sambung wanita berusia 40 tahun tersebut. Dia tersenyum lembut, kemudian mengikuti Bara ke luar rumah setelah mendapat respons dari Hana. Dalam hitungan detik, Hana tersenyum lalu melebarkan langkahnya untuk membantu keluarga kecil itu menjemur pakaian.
^^^
A/N: Udah lama nggak nulis jadi rasanya plain banget ehehe. Semoga nggak mengecewakan, deh. Happy weekend, everyone! Sampai ketemu dengan Bara & Hana dua minggu lagi ^^,
Sabtu, 23 November 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top