That Day

Happy Reading ^^

"Yak, Hyerin-ah... Katchika..." Aku berteriak keras ketika Hyerin berlari meninggalkanku menuju kesebuah pelataran hotel yang saat itu memang sedang ramai. Banyak sekali orang-orang yang memadati pelataran tersebut. Terutama para yeoja muda berusia belasan tahun, sama seperti kami.

Hyerin menghentikan langkahnya, lalu melihat dengan tatapan tajam kearahku yang saat itu masih berlari untuk menyusulnya, "Palli, Seohyun-ah. Aku tidak ingin mengantri paling belakang. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan malaikat tampanku." Hyerin mengenyahkan tatapan mengerikannya, ketika ia membicarakan soal malaikat tampannya itu.

Well, aku sampai lupa untuk mengenalkan diriku. Namaku Yoon Seohyun. Aku tinggal di sebuah mansion mewah disebuah kawasan elit didaerah Gangnam-gu. Ah, tidak. Aku bukan termasuk dalam deretan orang kaya di Korea. Mansion mewah itu milik sahabatku, Kim Hyerin. Aku sudah bersahabat dengannya sekitar 12 tahun. Saat kami masih sama-sama berada ditaman kanak-kanak. Dan sekarang, kami sudah menginjak usia 16 tahun. Waktu berjalan begitu cepat rupanya.

Sudah 5 tahun lamanya aku tinggal di mansion mewah itu bersama Hyerin dan kedua orangtuanya. Semua terjadi karena kecelakaan sial itu yang telah merenggut nyawa kedua orangtuaku. Hah, sudahlah. Aku tidak ingin membahas kejadian memuakkan itu lagi.

Ya, disinilah kami sekarang. Berada dilantai satu sebuah Ballroom dihotel terkenal didaerah Gangnam-gu. Hotel ini sangat mewah. Design arsitekturnya begitu elegan. Seperti berada di era Romawi kuno. Oh, jangan lupakan soal pahatan-pahatan dewa-dewi Yunani yang menghiasi beberapa sudut dihotel ini. Hotel ini hanya memiliki dua lantai. Well, lagipula tidak banyak orang yang mau menginap dikamar hotel ini, yang bahkan harga sewa satu malamnya saja aku bisa membeli sebuah kamar kost sederhana. Konyol, bukan?

"Palli, Seohyun-ah. Kita harus segera mengantri disini." Hyerin langsung menarik lenganku untuk mengantri. Antriannya cukup panjang. Tidak, kami tidak sedang ingin menginap dihotel ini. Kami berdua hanyalah dua orang fangirls yang sedang ikut mengantri untuk meminta tanda tangan para malaikat tampan yang sudah duduk didepan sana sambil tersenyum dan melambaikan tangannya untuk menyapa kami.

Hyerin sibuk mengambil sebuah photobook yang berada didalam tas kanvas hitam dengan tulisan nama 'Lee Sungyeol' dengan huruf hangul didepannya. Kalian pasti sudah bisa menebak, siapakah kami. Yups, kami adalah INSPIRITS, sebutan untuk fans INFINITE. Salah satu main idol yang ada di Korea.

Hari ini, ketujuh malaikat tampan itu tengah mengadakan sebuah fansign yang tentunya tidak akan pernah kami lewatkan. Entah kapan lagi, aku bisa melihat secara langsung malaikat tampanku yang duduk dideretan bangku nomer tiga. Tepat berada diantara Sunggyu Oppa dan L Oppa. Hari ini ia terlihat semakin tampan.  Hair Coma -nya sangat menawan. Ditambah dengan sebuah kemeja putih yang dua kancing diatasnya sengaja dibuka. Ditambah dengan sebuah coat berwarna hitam, serta celana jeans hitamnya. Ah, ia sungguh sangat menawan. Siapa lagi kalau bukan sang pemilik Aegyo, Nam Woohyun.

"Ini photobook milikmu. Kau bawa--" Hyerin memberikan sebuah photobook lainnya dari dalam tas untukku. Mematahkan keseriusanku saat aku memandangi malaikat tampanku.

"Ah, mworago?" aku mengalihkan pandanganku dari Woohyun Oppa dan langsung menatap kedua manik hazzel milik Hyerin yang saat ini terlihat begitu mengerikan.

"Yak! Kau mengabaikanku dari tadi? Aish, jinjja..." Hyerin menggumam kesal. Sambil terus memandangku dengan tatapannya yang mengerikan, "Kau bawa spidolmu, kan?" Hyerin kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini lebih pelan dan sabar. Aku sampai tertawa mendengarnya, lalu menganggukkan kepalaku mantap sambil mengambil sebuah spidol hitam dari balik saku coat-ku.

Hyerin tersenyum, lalu segera membalikkan tubuhnya. Ia berjalan mengikuti barisan. Begitupun aku. Aku merasa sangat bahagia sekali hari ini. Berkat Hyerin, aku akhirnya bisa bertemu dengan malaikat tampanku. Ah, sungguh, jika kalian jadi aku, kalian pasti mengerti betapa bahagianya aku, hingga sulit rasanya untuk aku deskripsikan dengan kata-kata.

Seketika ada perasaan asing yang menelusup masuk kedalam dadaku. Rasanya sangat sesak dan membuatku tidak merasa enak. Senyum cerahku luntur seketika. Membuatku terpaku sesaat sambil memegang dada sebelah kiriku.

Hingga akhirnya, sebuah sentuhan mendarat dibahuku. Membuyarkan lamunanku akan perasaan asing ini, "Jogiyo, ini giliranmu." Aku lantas membalikkan tubuhku menatapnya. Yeoja berambut kecoklatan itu tersenyum menatapku. Senyumnya manis sekali. Aku lantas membalas senyumannya dan langsung membalikkan tubuhku kembali.

Malaikat pertama yang aku temui adalah Sungyeol Oppa. Ah, karena melamun tadi, aku tidak sempat melihat kehebohan yang Hyerin ciptakan saat bertemu dengan malaikat favoritnya itu. Sial.

"Annyeong." Sapa Sungyeol Oppa ramah. Ah, senyumnya memang mengagumkan. Pantas saja Hyerin samapai tergila-gila dengan namja satu ini. Meski untukku, senyum Woohyun Oppa tetap yang terbaik.

"Ireumi mwoyeyo?"

"Seohyun imnida, Yoon Seohyun."

Sungyeol Oppa hanya tersenyum sambil menuliskan sesuatu diatas fotonya, "Ada apa denganmu? Apa terjadi sesuatu?" Tanyanya. Ia menghentikan aktivitas menulisnya, lalu menatap tepat dikedua manik hitamku.

Aku tersenyum, lalu menggeleng ragu, "Aniyeyo, oppa. Nan gwaencanhayo."

"Arasseo. Jangan lupa makan dan jaga kesehatanmu, arachi?" Sungyeol Oppa kembali tersenyum. Merentangkan kelima jarinya untuk ber-high five denganku. Dengan senang hati, aku menyambut tangannya dan tersenyum, "Umh, arasseoyo, oppa. Gomawoyo." Lalu aku bergeser untuk menemui malaikat tampan selanjutnya, Sunggyu Oppa.

Sungguh, aku tidak berbohong. Dilihat dari dekatpun, matanya memang hanya segaris. Apalagi saat ia tersenyum. Ahh, dia sangat lucu.

"Annyeong!" Sapanya dengan senyuman khas miliknya. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya, aku kehabisan kata. Dan detik itu pula, aku merasa tidak enak. Tubuhku seakan berguncang. Kepalaku serasa berputar.

Ah tunggu. Bukan hanya aku yang merasakannya. Yang lainpun ikut merasakannya. Satu detik kemudian, semua mulai panik. Mereka berteriak keras, "Gempa, gempa..." Sambil terus berlari menyelamatkan diri. Sementara aku, aku merasa kakiku tidak bisa diajak bekerja sama. Aku diam terpaku disini. Berjongkok ditempat yang sama sambil melindungi kepalaku dari reruntuhan atap yang mulai berjatuhan. Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Menegakkan pandangankupun, aku tak bisa. Aku sungguh ketakutan.

Hingga akhirnya ada seseorang yang menarik pergelangan tanganku. Ia--entah itu siapa--terus menarikku untuk berlari menyelamatkan diri. Hingga ahkirnya, hanya gelap yang aku rasakan setelah sesuatu menghantam keras kepalaku.

***

Kepalaku terasa begitu sakit dan berat. Aku kesulitan untuk bernapas. Tubuhku terasa begitu kaku. Aku berusaha untuk membuka kedua mataku. Membiasakan retinaku menerima sorotan sebuah cahaya. Ah, apakah aku masih hidup?

Aku melihat puing-puing bangunan disekitarku. Begitupun diatas kepalaku. Aku dimana?

"Oh, gwaencanha?" Sebuah suara menghamburkan lamunanku. Aku kesulitan untuk melihat wajahnya karena banyak debu yang berterbangan, ditambah cairan merah kental yang menghalangi pandangan sebelah kiriku.

"Gwaencanhayo. Nan eodiseoyo?"

"Kita terjebak didalam reruntuhan ini. Kita harus mencari jalan keluar." Namja itu berucap dengan nada khawatir. Sedetik kemudian, aku kembali teringan akan kejadian itu.

Gempa bumi dahsyat itu telah menghancurkan hotel ini dan mengurungku didalam reruntuhan ini bersama dengan seorang namja yang sepertinya aku mengenali suaranya. Aku mencoba untuk memfokuskan pandanganku dan menghapus darah yang menghalangi pandanganku dengan ujung sweater-ku.

Ah, wajah itu. Itu Sungyeol Oppa. Rupanya namja yang tadi menarikku adalah dia. Lalu apa yang harus kami lakukan sekarang. Sungguh, kepalaku terasa sangat sakit sekarang.

"Jogiyo... Amugeotdo eobseoyo?" Sungyeol Oppa terus berteriak, namun tidak ada respon dari luar sana. Nampaknya bangunan ini rusak parah. Lantai satu hancur seperti ini, lalu bagaimana dengan lantai duanya? Sepertinya buruk.

Aku mencoba untuk bangkit sambil memegang erat kepalaku yang sakit. Aku membalikkan badanku , "Aarghhhhh!!!" Aku berteriak keras saat melihat sesuatu, tidak, itu seseorang yang tengah terjepit diantara reruntuhan. Darah mengucur dari tubuhnya yang terhimpit reruntuhan. Wajahnyapun tidak luput dari luka-luka. Dan aku mengenali wajah cantik itu. Itu si yeoja dengan senyum manis yang sebelumnya berdiri dibelakangku untuk mengantri. Ah, malangnya nasib yeoja itu. Aku segera membuka coat hitamku untuk menutupi wajahnya. Aku tidak peduli dengan udara dingin yang menusuk ini.

Aku melirik ke pergelangan tangan kiriku. Jam sudah menunjukkan pukul 16.25. Sial, hari sudah mulai gelap. Ini adalah musim dingin tersial yang pernah aku alami. Mengapa harus seperti ini, Tuhan?

Tuk tuk tuk

Aku mendengar sesuatu. Seperti suara ketukan. Entah ini nyata atau hanya ilusi. Karena rupanya daya kerja otakku sudah mulai menurun karena rasa sakit ini. Oh, jangan lupakan fakta bahwa banyak sekali debu yang berterbangan. Membuat aku sedikit kesulitan bernapas.

"Yak!, kau dengar itu?" Sungyeol Oppa menginterupsi lamunanku. Rupanya ia juga mendengar suara asing itu. Ia lalu bangkit dari duduknya dan mulai berteriak, "Jogiyo..."

"Dowajuseyo..." Aku bisa mendengar suara itu. Sebuah rintihan yang tertahan dan itu tepat berada dibelakang kami. "Dowajuseyo..." Aku mendengarnya lagi.

"Oppa, suara itu berasal dari sini. Kemarilah!" Seruku panik sambil menarik lengan coat kecoklatan yang Sungyeol Oppa kenakan.

Ia mencoba untuk menggeser beberapa puing-puing yang menutupi celah itu, dan kami bisa melihat siapa orang itu. Itu Sunggyu Oppa. Bersama satu namja lain yang terbaring diatas pangkuannya. Entah itu siapa.

"Eo, hyung! Gwaencanhayo?" Sungyeol Oppa berusaha untuk berkomunikasi dengan Sunggyu Oppa yang saat itu terlihat mengkhawatirkan. Pelipisnya berdarah dan tubuhnya dipenuhi debu. Sama seperti namja yang berada dipangkuannya.

"Sungyeol-ah, nan gwaencanha. Keundae, Woohyun masih belum sadar."

Deg

Apa dia bilang tadi? Jadi namja yang tengah tak sadarkan diri itu adalah Woohyun Oppa?

Maldo andwae.

Tak terasa, cairan bening itu kembali menetes. Perasaanku kini terasa begitu sakit. Andai aku bisa memilih. Aku tidak ingin bertemu dengan idolaku dengan kondisi yang seperti ini. Lebih baik aku memuja mereka dari jauh. Asalkan tidak seperti ini. Cobaan apalagi ini, Tuhan?

Aku berjongkok. Menenggelamkan wajahku diantara lipatan tanganku. Sungguh aku bingung harus bagaimana.

"Yak!!, uljima. Bantu aku menyingkirkan puing-puing ini. Kita harus melihat kondisi mereka. Eoh?" Sungyeol Oppa mengelus puncak kepalaku. Berusaha untuk menenangkanku. Ya, dia benar. Menangis memang tidak akan menyelesaikan masalah. Aku segera bangkit dan membantunya mengangkat bebatuan berat itu. Berharap bangunan ini tidak runtuh kembali.

Sebuah lubang cukup besar sudah tercipta. Namun kami harus sedikit merangkak untuk melewatinya. Oh, jangan lupakan kawat-kawat dari bangunan yang mencuat itu. Terlihat sangat tajam.

Udara disini sudah semakin dingin. Rupanya sudah satu jam lebih kami terjebak disini. Langitpun sudah mulai gelap dan membuat ruangan ini menjadi meremang karena sinar mentari yang mulai meredup. Aku bergegas merangkak melewati celah tersebut. Tidak peduli dengan kawat-kawat itu yang melukai lengan dan tubuhku karena faktanya aku hanya memakai sebuah sweater tipis.

Aku akhirnya mencapai ujung, tidak aku pedulikan akan luka-luka itu. Aku segera mendekat kearah Sunggyu Oppa dan Woohyun Oppa. Dan sialnya, ruangan ini tidak cukup luas untuk kami berempat. Rasanya semakin sulit untuk bernapas. Namun ini lebih baik daripada aku harus berdekatan dengan mayat yeoja yang memiliki senyum manis itu.

Sungyeol Oppa mencoba unyuk memindahkan tubuh Woohyun Oppa kepangkuanku karena nampaknya kondisi Sunggyu Oppa sudah sangat mengkhawatirkan. Bukan hanya pelipisnya saja yang terluka, tetapi lengan kanannya juga sempat tertimpa reruntuhan.

Aku mengeluarkan sapu tangan putih dari dalam saku celana bagian belakang. Aku mencoba untuk mengikatkannya dilengan Sunggyu Oppa yang terluka, berharap bisa menahan aliran darahnya agar tidak terus keluar.

Sungyeol Oppa kembali berteriak meminta bantuan, "Jogiyo... Amugeotdo eobseoyo??" Ia terus berteriak sambil mengetuk-ngetukan sebuah batu. Namun masih belum ada jawaban.

***

Keadaan didalam sini kini semakin parah. Gelap gulita, dingin dan sesak. Apa yang harus kami lakukan?

Aku hanya bisa mendengar Sunggyu Oppa dan Sungyeol Oppa sedang berbincang untuk memikirkan jalan keluar. Sementara aku hanya bisa menggenggam erat jemari Woohyun Oppa yang masih terbaring dipangkuanku. Bukannya aku ingin mengambil kesempatan disaat-saat seperti ini. Sungguh. Aku hanya takut. Dan juga cemas. Tapi ketika aku berpikir kembali, mungkin lebih baik Woohyun Oppa jangan sadar sekarang. Aku tidak ingin melihat bagaimana kesulitannya dia saat melawan claustrophobia-nya itu. Tidak, itu bahkan lebih menyakitkan untuk dilihat.

"Yak!, ireumi mwoya?" Itu suara Sunggyu Oppa. Meskipun gelap, namun aku tahu pertanyaan itu ditujukan untuk siapa.

"Seohyun imnida. Yoon Seohyun." Aku menjawabnya pelan. Sangat pelan. Karena aku mulai merasa lelah untuk tetap terjaga.

Aku merogoh saku celana depanku. Mencoba untuk mencari benda persegi yang biasanya aku letakkan disana. Namun ternyata tidak ada, "Oppa, apa kau ada handphone? Bisakah kita menghubungi seseorang untuk meminta bantuan?" Tanyaku lemas.

"Seandainya benda itu ada ditanganku saat ini, aku sudah menggunakannya dari tadi. Ponsel kami dibawa manager hyung, karena selama kami bekerja, ponsel memang selalu dititipkan kepadanya." Jelas Sungyeol Oppa dengan nada sedikit tinggi. Ah, begitu rupanya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aku kembali bertanya.

"Bertahanlah sebentar lagi. Arasseo!" Kali ini Sunggyu Oppa yang berbicara. Aku hanya bisa diam dan menunggu. Entah samapai kapan. Aku sungguh sudah lelah, sakit dan kedinginan.

Aku mulai membeku ditempatku. Aku sampai tidak bisa merasakan jemari kakiku lagi. Rasanya sakit sampai ketulang. Suara obrolan Sungyeol Oppa dan Sunggyu Oppa -pun mulai samar ditelingaku. Aku tak lagi dapat berpikir dengan jernih.

Hingga sepasang tangan mencengkram kedua bahuku. Mengguncangnya sedikit keras untuk mengembalikan kesadaranku, "Ireona." Hanya teriakan itu yang aku dengar. Aku sudah tidak lagi bisa mendengar. Telingaku sungguh serasa berdengung, lalu aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

***

Sebuah sinar terpampang nyata dihadapanku. Dimana aku? Apa aku sudah mati? Apa itu surga? Hanya rangkaian pertanyaan bodoh itu yang mampu aku pikirkan. Aku berusaha untuk berlari dan menghampiri cahaya tersebut. Namun semakin aku mendekat, cahaya itu malah semakin menjauhiku. Aku sungguh lelah berlari. Aku lalu jatuh terduduk sambil terus menangis. Tidak, aku tidak ingin seperti ini. Appa, Eomma, aku harus bagaimana.

"Eomma..." Aku berteriak keras, lalu akhirnya kedua mataku bisa terbuka. Aku mengerjapkan kedua mataku agar membiasakan retinaku menerima biasan cahaya. Penglihatanku semakin jelas dan yang pertama kali aku lihat adalah wajah Sungyeol Oppa.

"Seohyun-ah, gwaencanha?" Tanyanya panik.

Aku berusaha untuk mendudukkan diriku. Ada sebuah coat kecoklatan yang menutupi tubuhku. Ah, rupanya ini milik Sungyeol Oppa. Keadaan didalam ruangan ini sudah mulai terang, aku lirik jam digital yang melingkar dilenganku. Pukul 06.21. Bagus. Semalaman aku tidak sadarkan diri. Ah, kapan kami bisa keluar dari tempat ini? Woohyun Oppa ternyata masih terbaring dipangkuanku.

Aku mengangguk, "Nan gwaencanhayo, oppa." lalu tersenyum pahit.

Sungyeol Oppa dan Sunggyu Oppa kembali mengetuk-ngetukan batu yang ada disana, "Jogiyo... Amugeotdo eobseoyo!!"

"Ada orang disana?" Sebuah suara yang asing menjawab teriakan Sungyeol Oppa. Orang itu pasti akan menolong kami.

Sungyeol Oppa tersenyum menatap Sunggyu Oppa, lalu melihat kearahku. Aku membalas senyumannya sambil mengangguk. Bala bantuan sudah datang rupanya. Sungyeol Oppa dan Sunggyu Oppa segera mengetuk-ngetukkan batu lagi dan terus berteriak, "Dowajuseyo... Kami ada dibawah sini." Teriak Sunggyu Oppa semangat. Tak peduli dengan luka-luka yang menghiasi wajah dan tubuhnya.

"Jogiyo... Dowajuseyo..." Akupun tidak mau kalah dan ikut berteriak. Tak lama kami melihat sebuah kabel memasuki sebuah celah. Kabel itu mengarak kepada kami.

"Eo, itu kamera. Yak! Dowajuseyo. Kami ada disini," Teriak Sungyeol Oppa heboh didepan kamera tersebut. Kamera kecil itu lalu ditarik keluar. Sedetik kemudian, kami bisa mendengar deru mobil besar mendekat.

"Kami akan membongkar reruntuhan ini. Lindungi kepala kalian." Teriak seseorang dari luar sana. Meski suaranya terdengar samar, tapi kami masih dapat mendengarnya.

Sunggyu Oppa dan sungyeol Oppa saling memeluk satu sama lain. Sementara aku lantas membungkukkan tubuhku untuk melindungi kepalaku dengan tangan dan juga melindungi Woohyun Oppa dengan tubuhku. Semoga dia tidak apa-apa.

Aku hanya bisa merapal doa. Berharap semua kesulitan ini cepat teratasi. Karena sungguh, aku sudah tak sanggup lagi.

Namun rupanya Tuhan masih ingin menguji kesabaranku. Tanah yang aku duduki saat ini kembali bergetar. Sial. Sepertinya gempa mulai terjadi lagi. Aku memejamkan kedua mataku pasrah. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Tuhan, selamatkan kami."

Puing-puing disekeliling dan di atas kami mulai berjatuhan. Dan hal itu sukses membuat tubuh bagian belakangku sakit karena tertimpa puing-puing itu. Aku menahan sakit dan tangis sambil mengigit bibir bawahku. Karena rasanya memang sungguh sakit. "Tuhan, tolong hentikan ini."

Beberapa saat kemudian, gempa mereda. Namun karena banyak puing yang runtuh, itu membuat  ruang disekelilingku menjadi lebih sempit. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Bahkan menegakkan tubuhku saja aku tak bisa. Ah, ini lebih menyakitkan.

"Seohyun-ah, gwaencanha?" Itu suara Sungyeol Oppa. Sial, aku tidak bisa melihat keberadaan mereka berdua. Puing-puing sialan itu membuat jarak diantara kami dan puing-puing itu juga sukses menindih kaki kanan Woohyun Oppa. Aku cemas. Sangat.

"Gwaencanhayo oppa. Woohyun Oppa juga baik-baik saja. Tapi kaki kanannya terjepit bebatuan." Aku berteriak semampuku untuk menjawab. Karena debu yang bertebaran semakin banyak dan membuatku semakin sesak. Belum lagi reruntuhan itu sukses menghalangi jalur masuknya cahaya matahari. Membuat sekelilingku meremang, dan aku takut.

Suara kendaraan berat kembali terdengar. Dan aku lega. Rupanya mereka masih ada disana untuk menolong. Aku masih terus merapal doa sambil melindungi kepalaku. Airmataku tetes demi tetes jatuh membasahi wajah Woohyun Oppa.

Hal terakhir yang aku lihat adalah cahaya matahari yang begitu menyilaukan kedua retinaku. Lalu aku menegakkan tubuhku dan melihat beberapa orang berseragam oranye berlarian menuju kearahku. Dua orang dari mereka membawa sebuah tandu ditangannya masing-masing. Dua orang dari mereka mengangkat tubuh Woohyun Oppa dari pangkuanku. Meletakkan tubuhnya diatas tandu dan membawanya menjauh dariku. Sementara seorang yang lain menggendong tubuhku ala bridal dan memindahkanku keatas tandu. Airmataku semakin mengalir deras saat melihat Woohyun Oppa sudah dimasukkan kedalam ambulance dan akupun melihat Sunggyu Oppa  dan Sungyeol Oppa berjalan masuk kedalam ambulance yang lain, semua yang aku lihat bagai gerak lambat. Syukurlah, kesakitan dan kesedihan ini sudah berakhir rupanya. Lalu yang kulihat kemudian hanya gelap.

***

Aku kembali mencoba untuk menyadarkan pikiranku. Netraku mendapati sebuah langit-langit putih. Ada suara mesin aneh yang tertangkap indra pendengarku. Bau obat-obatan memenuhi indra penciumanku. Aku tahu tempat ini, rumah sakit. Aku mengangkat lengan kananku, ada selang infus tertancap dipunggung tanganku. Ah, aku masih hidup.

"Seohyun-ah, gwaencanha?" Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku kenal suara itu. Aku mencoba untuk menegakkan tubuhku. Iapun membantuku.

"Umh, gwaencanhayo eomoni. Hyerin eodiseoyo?"

"Hyerin masih belum sadarkan diri. Ia masih didalam ruang ICU." Eomoni, eomma-nya Hyerin, memelukku dengan erat. Aku tahu bagaimana perasaannya. Eomoni sangat menyayangi Hyerin. Begitupun aku. Aku sungguh sedih mendengar hal itu.

Eomoni melepaskan pelukannya dari tubuhku, "Kau mau melihatnya?" Tanyanya tersenyum sambil terus menatap netraku. Aku mengangguk, talu tersenyum, "Tentu, eomoni. Aku merindukannya."

Kami berdua berjalan menuju ruang ICU dimana Hyerin terbaring tak sadarkan diri. Untung saja kakiku masih bisa berjalan. Aku tidak perlu merepotkan eomoni untuk mendorongkan kursi roda untukku.

Aku bisa melihat jelas bagaimana keadaan Hyerin dari balik kaca transparan bertuliskan ICU ini. Kepalanya dibalut perban putih. Sama seperti kepalaku sekarang. Namun banyak sekali alat-alat asing yang berada disekelilingnya untuk menyokong kehidupan Hyerin saat ini. Sungguh miris melihatnya. Hyerin yang biasanya ceria dan cerewet itu, kini harus terbaring tak sadarkan diri disana.

"Eomoni akan carikan makanan dulu untukmu. Tidak apa-apakan kalau sendiri?" Tanya eomoni sambil memberikanku tiang penyangga cairan infus. Aku hanya mengangguk lalu tersenyum pahit. Eomoni-pun segera berlalu meninggalkanku dilorong sepi ini sendiri.

***

Aku memutuskan untuk kembali kekamarku, namun saat aku melintasi sebuah lorong, aku melihat ada dua orang pria berseragam hitam yang tengah berjaga disebuah pintu. Tertera tulisan 'Ruang VVIP' yang tertempel didinding ruangan tersebut. Aku berjalan mendekat, lalu mengintip dari balik jendela yang sedikit transparan. Ada banyak ranjang disana. Tidak seperti ruang VVIP yang biasanya hanya ada satu ranjang. Lalu seseorang memegang bahuku.

"Seohyun-ah?" Suara tersebut mengejutkanku. Aku langsung membalikkan tubuhku. Untuk melihat siapa sipemilik suara tersebut.

"Eo, Sungyeol Oppa?" Aku terkejut.

"Mwohae? Kau mau masuk? Ayo ikut aku." Serunya yang langsung menarik lenganku tanpa menunggu jawaban dariku.

Aku memasuki ruangan tersebut. Ada empat buah ranjang didalamnya. Namun hanya satu yang terisi. Dan itu Dongwoo Oppa. Tidak ada luka serius ditubuhnya. Hanya ada beberapa plester kecil menghiasi wajahnya. Dongwoo Oppa rupanya sedang tertidur. Aku mendudukkan diriku disamping ranjangnya.

Beberapa detik kemudian, Sunggyu Oppa keluar dari kamar mandi, "Kapjagiya!!!" Serunya saat melihat kearahku, "Eo, Seohyun-ah!!!" Ia lalu berlari menghampiriku, memeluk erat tubuhku, "Gwaencanha?"

Aku mengangguk dalam pelukannya, "Umh. Gwaencanhayo Oppa." ia lalu menarik dirinya sedikit menjauh dari tubuhku lalu mendudukan dirinya disampingku.

Suara berisik mulai memenuhi ruangan ini ketika Hoya Oppa, Sungjong Oppa dan L Oppa datang memasuki ruangan ini. Aku tersenyum melihat mereka. Begitupun mereka.

Hoya Oppa dan Sungjong Oppa terlihat baik-baik saja, namun L Oppa berada diatas kursi roda yang tengah didorong oleh Sungjong Oppa sekarang. Kakinya terlihat di-gips. Namun dia masih terlihat begitu ceria.

"Nuguseyo?" Tanya Sungjong Oppa bingung.

"Ini Seohyun. Malaikat cantik yang semalam aku ceritakan." ujar Sungyeol Oppa yang sukses membuat pipiku merona. Ini memalukan.

Namun ada satu hal yang mengganjal pikiranku, "Woohyun Oppa eodiseoyo?"

"Haah..." Sunggyu Oppa menghela napasnya sejenak, "Ia masih belum sadarkan diri. Sekarang ada diruangan ICU. Kau mau melihatnya?" Sambungnya dengan nada sedih.

Aku menatapnya sebentar, lalu mengangguk.

Kami keluar dari riangan VVIP tersebut. Lalu berjalan menuju ruangan ICU yang ternyata terletak disebelah ruangan Hyerin. Kondisinya sama seperti Hyerin. Masih belum sadarkan diri. Kaki kanannya di-gips dan diletakkan diatas sebuah bantal. Aku sakit melihatnya. Sangat sakit.

Oppa, cepatlah sadar. Sekarang sudah tidak apa-apa. Batinku.

***

Lima bulan kemudian.

"Hyerin-ah. Kau yakin mau datang ke acara itu?" Tanyaku sedikit cemas. Hyerin memang sudah pulih dari komanya dua bulan yang lalu. Namun aku masih khawatir dengan kondisinya.

"Tentu saja. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan besar ini." Oh baiklah. Si nona cerewet dan keras kepala sudah kembali rupanya.

Park Ahjussi, supir pribadi Hyerin, menurunkan kami disebuah Hall yang besar. Banyak spanduk terpampang dimana-mana. Aku tersenyum melihat wajah-wajah tampan dispanduk itu.

Aku dan Hyerin segera masuk kedalam Hall tersebut yang rupanya sudah dipadati oleh beberapa yeoja remaja lainnya. Kami segera mencari kursi sesuai nama kami, karena kami akan duduk ditempat VIP.

Aku memasang bandana pink-ku yang sudah tertuliskan nama malaikat tampanku diatasnya. Lampu mulai padam seketika, lalu saat kembali menyala, tujuh malaikat tampan itu sudah berada diatas panggung.

Ini Comeback mereka yang tertunda. Kalau saja musibah itu tidak terjadi, mungkin Comeback mereka tidak akan tertunda seperti ini. Dan pastinya, Woohyun Oppa bisa menari bersama keenam member INFINITE yang lainnya. Tidak duduk dikursi seperti itu. Aku sedih melihatnya. Namun aku masih bisa bersyukur, karena akhirnya Woohyun Oppa bisa cepat sadar dari komanya. Aku bahagia melihat keceriaan mereka kembali. Senyum mereka kembali. Dan semangat mereka kembali.

Tuhan, semoga bencana itu tidak menimpa kami kembali. Semoga kami semua baik-baik saja. Dan semoga, semangat dan senyum itu tidak pernah pudar.

Semoga...

The End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top