thankful
songfiction
Aqua Timez - chiisana tenohira
(telapak tangan kecil)
•
LANGIT Tokyo semendung tampangku. Jikalau mendongak, matamu bakal mendapati awannya bergumul, bertaruh siapa yang terkelabu untuk menurunkan rintik.
Kusarankan jangan. Menunduk saja, karena kasihmu sudah datang.
Selayaknya rutinitasku belakangan: petang menjelang malam ini sepatuku masih menolak beranjak. Posisiku di seberang kafe itu, lengkap dengan gagang payung dalam genggam. Beberapa pelanggannya dapat kupandangi melalui jendela. Beberapa yang melewatiku terkikik mengerikan. Aku sekonyol ini untuk memohonmu kembali.
Langit menangis. Berangsur dari gerimis, kemudian menderas.
Menyebalkan menyadarinya.
Kubiarkan kardigan jelagaku basah, sementara mengingatmu menjadi semakin menyakitkan. Kafe itu dipanggil Miwashi. Ditulis alfabet. Kekehanku muncul sewaktu mulutmu berupaya mengejanya. Tetapi segera, ditunjuknya foto Miwashi dalam majalah yang kusorongkan terhadapmu, dan terkumandanglah sebuah tekad. Saat itu kita mencangklong ransel; rokmu masih berempel; dan gakuran masih kupakai. Katamu, Miwashi ini salah satu impianmu. Pikiranmu mulai membayangkan bagaimana menunya, lalu, setampan apa pelayannya. Kemudian, setelah tahu letaknya di ibukota, nyalimu menyusut.
"Jauh, ya," keluhmu. Semacam meyakinkanku, kamu mengamati padang rumput pedesaan di hadapan kita.
Aku tidak merespons.
Kubuka payung, mengeratkan genggaman padanya. Namaku Nakajima Futoshi. Tugasku mencintaimu, sampai kehendak-Nya.
•
Aku sadar. Tubuhku lebih mengerti daripada diriku. Bagai berkehendak tanpa komando, ingin bebas. Rasa gugup; rasa berdebar, semua rasa saat ingin kunyatakan perasaanku padamu, membuat telapak tanganku berkeringat hebat.
Selalu begini, ya? Aku ingin tahu. Tentang, apa semua tangan berkeringat hebat saat dirinya merasakan gugup, atau justru hanya sebatas rasa yang kualami kini? Aku bersyukur, sekaligus menyesal. Kamu mengajariku mengenai apa itu kesedihan dan penyesalan yang mendalam.
Kali pertama memijak ibukota, aku merasa ada yang hilang. Sesuatu yang kerap menepuk pundakku kala bersedih, uluran tangan yang berkeringat. Meski itu jauh kulupakan saat mengemasi barang-barang, bersiap untuk pergi, yakin tak ada ketertinggalan, rasamu mungkin menjadi nyata suatu saat.
Setiap kali kutelusuri pikiran, sesuatu menghentikanku. Banyak tas harapan seseorang yang belum sempat kubawa dan menyimpannya, mengikutsertakan mereka dalam tanah kelahiranku ini.
Benar. Aku ingat.
Kamu, gadis yang selalu mengulurkan dan menepuk pundakku dengan tangan berkeringatmu. Tangan kecil yang membawakanku kehangatan tiada arti, hangat yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata, meski itu dirangkai indah sekalipun.
Aku tertegun, kembali pada pikiranku dan mengisinya dengan kepentingan-kepentingan sepele. Hari ini seminggu tepat terakhir kutinggalkan rumah. Pindah tanpa memberitahumu yang kuyakin, barangkali tengah sibuk mencari-cari. Tetap saja, aku tidak boleh terlalu berharap.
"Nakajima-san. Ingat, jangan menangis, ya!"
Kalimatmu di tepi sungai petang itu. Di mana aku berjongkok menyesal karena problematika keluarga, dan kamu hadir, menepuk punggungku dengan pelan.
Aku tak mengerti. Semuanya berjalan lancar saat kamu ada. Momen-momen bahagia mendadak mudah diraih. Kemudian kita beranjak pergi, hanya berdua. Meski tahu keberadaan seseorang yang telanjur membekas itu akan penting dan tak bisa dilupakan.
Ingat? Dulu, kita sering berbaring di rerumputan seraya menatap awan yang bagai gelembung-gelembung sabun. Perasaanku kembali tenang saat di sampingmu. Merasa lebih baik dari hari-hari sebelumnya, tenteram menghirup udara bebas, terlahir kembali.
Manusia itu tidak sempurna. Mereka tak bisa hidup hanya dengan berpikir lurus. Terkadang juga mereka menipu, mencemari janji-janji kosong. Selayaknya aku yang kini coba mengikrar janji. Aku berjanji takkan melepas mimpiku, meski itu berakhir hancur.
Sengaja aku melihat ke belakang, pada hari-hari di mana aku terpuruk dan jatuh. Maka, hariku esoknya menjadi sedih dan mencekam. Surya tak menyambut karena kepalaku sendiri sibuk membayangi bulan. Lucu bagaimana aku terus melihatnya hingga tersandung.
Aku mudah terluka, kamu tahu? Hari-hariku selalu sibuk hingga tak ada semenit pun kuhabiskan bersamamu. Bukannya apa, aku ingin terus berjalan, sekalipun itu pahit dan harus melepasmu. Demi orang yang terikat benang merah di hadapan kita.
Namun, luka kembali datang, menghantam-hantam dengan lembut. Saat itulah dirimu kembali datang. Bagai pesuruh tanpa disuruh, rela membuang waktunya hanya untuk orang bodoh dan tak berperasaan sepertiku. Tangan berkeringatmu kembali di punggungku. Kamu melakukannya karena gugup, bukan? Semburat merahmu mengatakannya. Pasti lebih berarti dari tepuk tangan sepenjuru Bumi.
Ini berbelit-belit, maaf. Aku mungkin tak sempat lagi.
Kalimat-kalimatku terlampau murah, mustahil mengganti sepenjuru kebaikanmu. Kamu semestaku, namun kini malah pergi, menyisakan suatu yang dingin. Menggigil diterpa derasnya hujan seperti kini. Di dekat kafe yang diidamkanmu, aku berdiri. Kuharap, Tuhan menyampaikannya pada langit.
Terima kasih.
Terima kasih telah mencintaiku.
Selamat beristirahat. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top