Prolog
"Setiap hari bagiku adalah tentang emansipasi suami, tidak kalahlah dengan ibu kartini, kalau wanita bisa menjalani pekerjaan pria, mengapa aku tidak boleh jadi bapak rumah tangga, ada-ada aja emak-emak sebelah masih saja gosip pagi-pagi." Ujar Pandu meracau berjalan masuk kedapur sambil menenteng sayur yang baru saja ia ambil
Bagi banyak sekali mata nyinyir diluar sana mungkin akan terlihat aneh melihat pilihan yang Pandu ambil. Menjadi stay home husband, begitulah nama keren dari Bapak Rumah Tangga. Tentu saja ini bukan pilihan keterpaksaan. Bahkan pandu dengan bangga akan pilihannya sebagai bentuk dari emansipasi suami.
Bagi nya kalau wanita berhak memilih untuk mendapatkan tempat sejajar dengan kaum pria, menjalankan kebebasan berkarir dan berkarya sama dengan kaum pria, maka lelaki juga berhak mendapatkan hal yang sama memilih untuk mengerjakan apa yang bisa di lakukan seorang istri dirumah.
Keputusannya bukan sebuah kesalahan. Dalam kondisinya memang harus ada yang harus mengambil peran untuk selalu berada dirumah, mengingat mereka memiliki seorang anak perempuan yang masih berusia lima tahun bernama Naya. Ini bukan tentang siapa yang harus berkorban atau mengalah namun lebih dari itu. Ini merupakan bentuk tanggung jawab sebagai orang tua yang harus menyertai perkembangan anak di era saat ini.
Pagi itu seperti biasanya pandu menyiapkan segala keperluan bekerja istrinya Chintya dan sekolah taman kanak-kanak anak perempuan paling cantik sedunia bernama Naya. Sudah jadi kebiasaan seorang pandu berkutat dengan bunyi-bunyian khas dedapuran di setiap pagi.
Bunyi air mendidih yang nantinya akan ia gunakan untuk menyeduh teh hangat, bunyi roti tawar yang keluar dari toaster, bunyi spatula yang menghantam wajan ketika membuat masakan sederhana untuk sarapan, hingga detak jam yang menandakan sejauh mana ia dapat mempersiapkan sajian pagi untuk dua tuan putri yang tinggal serumah dengannya. Ia sampai hafal setiap tatanan waktu rutinitas pagi hari di rumahnya. Ia harus menyelesaikan segala sarapan sebelum membangunkan Chintya dan anaknya Naya.
Setelah sarapan pagi tampil apik di atas meja makan, baru seorang Pandu bergerak ke tugas berikutnya, menggendong putri kecilnya guna membangunkannya perlahan.
"Ayo Naya, waktunya sekolah sayang," Ujar Pandu mengelus kepala anaknya, lalu kemudian mencoba menggendong Naya perlahan, Naya yang masih belum memulihkan kesadarannya seratus persen lebih memilih memasrahkan dagu kecilnya pada Pundak ayahnya.
"Sekarang kita bangunin mama yuk," ajak Pandu ke putri kecilnya. Naya tidak banyak berkata apa, hanya mengangguk kecil tanda setuju.
Pandu lalu berjalan menuju kamar Chintya. Dia duduk di samping istrinya dan perlahan mengoyangkan bahu istrinya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih menahan Naya yang masih ada di gendongannya.
"Sayang, sudah pagi, kamu ada jadwal meeting pagi ini bukan?" Pandu membangunkan istrinya Chintya.
"Mama, bangun, ayo bangun," Naya mengikuti apa yang dilakukan Ayahnya.
Tubuh Chintya mengulet perlahan, tak perlu waktu lama dan usaha lebih keras Chintya sudah langsung membuka kedua bola matanya.
"Selamat pagi putri mama yang lucu," Chintya langsung menyapa putri kecilnya yang dari wajahnya masih tersisa kantuk semalam. "Selamat pagi suami terhebatku," Ujar Chintya lagi, kali ini untuk suami yang paling ia cintai. Selalu sama setiap pagi. Bukan sebuah pujian basa basi, ini pujian tulus dari hati seorang istri. Chintya sadar tanpa Pandu mungkin kehidupannya tidak akan seindah seperti saat ini, punya suami yang pengertian, punya anak yang lucu, dan tentunya rumah yang benar-benar layaknya istana bagi siapa pun yang tinggal di dalamnya.
Walaupun begitu selalu ada tanya di hati seorang Chintya, apakah keadaan ini ideal bagi suaminya, mengingat bukan sekali ia mendapat picingan sinis dari lingkungan sekitar rumah. Seperti yang selalu terjadi setiap pagi. Para tetangga sadar bahwa Chintya lebih sibuk dari Pandu. Mereka selalu punya cara ikut campur urusan orang bukan?
Di parkiran Mobil depan Rumah kami.....
"hati-hati yah kamu, nanti malam mau aku masakin apa?" tanya Pandu sebelum melepas istrinya berjuang dengan mimpinya sambal menggendong Naya
"Apa aja, kamu jangan capek-capek, nanti selesai nganter Naya, kamu istirahat aja, kamu sudah memberikan yang terbaik bagiku dan Naya," ujar Chintya "Kalau kamu mau istirahat, ga usah masak malam ini, nanti aku telpon sepulangku dari kantor, aku belikan makanan untuk kita bertiga,"
"Enggak lah, santai aja, kita sama-sama berjuang memberi yang terbaik kok, untuk putri yang satu ini, iyakan Naya?" ucap Pandu sambil kemudian memegang hidung putri kecilnya, Naya.
"Iyah, aku pengen jadi putri Elsa, nanti kita main putri Frozen lagi ya ayah," Naya berceloteh "Tapi jangan ajak Arisa ya ayah, Nakal Arisa, Nakal kan Yah? Iya bunda Arisa nakal,"
Chintya bingung dengan celoteh Naya, apalagi Naya menyebutkan nama yang baru pertama chintya dengar, ia lalu menoleh ke Pandu. Ia berbisik lirih.
"Siapa Arisa?" Chintya bingung "Kamu belum cerita ya tentang Arisa?" tanya chintya penasaran siapa sosok Arisa yang dimaksud putrinya.
"Oiya aku lupa cerita," Ujar Pandu sambil garuk-garuk kepalanya dan menyunggingkan senyum tipis merasa bersalah.
Memang sudah jadi tugas Pandu menceritakan kembali seputaran aktivitas harian Naya baik itu dirumah maupun di sekolah. Bagi Chintya ini jadi satu-satunya cara ia tidak pernah melewatkan sedikitpun perkembangan Putri kecilnya Naya. Pandu pun tidak pernah melewatkan satu hari pun untuk menceritakan keseharian Naya kepada Chintya. Biasanya runitas ini dilakukan selepas Chintya pulang bekerja, tepat sebelum mereka berdua tertidur. Ini seakan jadi ritual harian keluarga. Tadi malam memang tidak banyak yang pandu ceritakan, ia sadar Chintya pulang agak larut dan Pandu mengira Chintya akan bertambah lelah di ditambahkan cerita tentang harian Naya yang terkadang tidak terlalu penting bagi seorang Pandu. Walaupun arti pentingnya bisa jadi berbeda bagi seorang ibu bekerja seperti Chintya. Cerita tentang buah hati bisa menjadi penetral stress paling ampuh selepas penat seharian bekerja. Jadi wajar saja jika Chintya agak kesal bahwa kisah arisa, sosok yang disebutkan naya tidak sampai ketelinganya. Telinga seorang ibu yang memilih merelakan waktu yang ia miliki yang seharusnya untuk kebersamaan dengan putrinya, namun malah untuk mengejar mimpi membesarkan perusahaan yang sudah ia rintis sejak lama.
"Maaf yah, jangan marah yah," ujar Pandu menyesal tidak melewatkan cerita tentang naya ke ibu yang telah melahirkan putrinya tersebut. "Arisa, teman sekolah Naya yang baru, kayanya pindahan luar kota, memang agak aktif sih anaknya, Naya jadi agak terintimidasi gitu disekolah," jelas Pandu lalu sedikit tersenyum kearah Chintya
Pandu memang lebih tahu segala hal mengenai Naya di bandingkan seorang Chintya. Nomal adanya, jika di hitung seratus persen hampir delapan puluh persen pandu lebih banyak memiliki waktu bersama Naya dibandingkan seorang Chintya. Iri kah Chintya dengan keadaan ini? Tentu saja ibu mana yang tidak iri bahwa ia memiliki sedikit waktu bersama buah hatinya. Namun keadaan sekarang yang membuat jadi seperti ini. Keadaan yang sudah disepakati oleh Chintya dan Pandu, bahwa harus ada yang focus dengan kegiatan mencari rezeki sementara yang lain fokus mendidik dan menjaga tumbuh kembang buah hati. Walaupun pertukaran ini tidak lazim bagi sebagian orang. Seperti yang terjadi pagi ini, tetangga sebelah rumah samar-sama bergosip dengan tetangga lainnya.
"eh Jeng liat deh tetangga kita itu, kok bisa ya ngijinin istrinya yang kerja, suami macam apa itu malah lebih banyak di rumah, dunia sudah kebalik yah jeng," tentangga sebelah rumah asik menggosipkan Pandu dan Chintya.
"Iya, kalau say amah malu, punya suami kok ga berguna, malah istrinya yang kerja cari uang, suaminya malah dirumah kerjaannya Cuma nganter anak," tetangga lainnya menyauti
Memang apa yang di bicarakan tetangga sebelah tidak terlalu jelas dari posisi dimana Pandu dan Chintya berdiri, namun pandu dan chintya tahu benar mereka lah objek nyinyiran tetangga setiap pagi. Apakah ekpresi wajah tengil tetangganya itu tampak jelas bagi Pandu dan Chintya. Pandu dan Chintya memilih menghindari konfrontasi tidak berguna di pagi hari. Jika wajah saling bertemu tatap dengan para tetangganya itu biasanya hanya dibalas dengan senyuman oleh Pandu dan Chintya.
Chintya melangkah satu langkah lebih dekat, cukup dekat untuk menyampaikan sesuatu. Chintya memegang Pundak Pandu
"Kamu ga apa-apa?" tanya Chintya.
Pandu paham apa yang di maksud Chintya, ya tentunya tentang gunjingan tetangga sekitar yang selalu menghiasi pagi mereka.
"Udah ga usah di pikirin yah, toh mereka enggak tahu apa yang kita rasakan?" Pandu mencoba menenangkan istrinya. "Yang penting kita Bahagia jalaninnya, kamu Bahagia kan?"
Bukan hal yang aneh jika pandu bertanya demikian, Pandu hanya ingin melihat istrinya Bahagia dengan keputusannya merintis usaha yang sudah jadi impiannya sejak lama. Sebuah usaha bernama LadiesDream.co sebuah brand fashion ternama yang sedang jadi bahan pembicaraan seantero Indonesia. Sebuah usaha yang awalnya kecil, makin lama makin besar karena kegigihan seorang Chintya. Satu hal yang membuat usaha Chintya ini sukses, chintya tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan apa yang ia impikan sejak lama. Ia turun langsung kelapangan, memastikan semua berjalan dengan sempurna di kantornya. Ia memastikan pelanggan tidak pernah kecewa dengan pelayanan, ia memastikan karyawan nyaman bekerja untuknya, dia juga tidak segan menghadapi marahnya pelanggan sebagai bentuk tanggung jawab atas manajemen konflik perusahaan yang telah ia besarkan. Begitulah chintya dengan usaha yang paling dicintainya itu. Oleh karena itu mengingat perusahaan ini penting bagi chintya, pandu merasa harusnya keputusan akan keadaan saat ini membahagiakan bagi seorang Chintya. Wajar jika ia meminta penekanan sekali lagi apakah Chintya Bahagia menjalankan semuanya yang ia jalankan saat ini.
"loh malah nanya balik, ya bahagialah, aku justru yang menkhawatirkan mu? Apa kamu Bahagia dengan keadaan kita yang sekarang ini?" tanya Chintya balik, ia tidak ingin kebahagian hanya berada di salah satu pihak. Sementara disisi lain ada ketidakbahagiaan menjalankan kondisi saat ini. Chintya mungkin Bahagia dengan apa yang ia jalani, bagaimana tidak bisa diberikan kebebasan melakukan apa yang paling di inginkan oleh suami adalah sebuah anugerah besar baginya. Namun apakah disisi lain sama bahagianya, sama persis seperti kebahagian yang ia rasakan saat ini.
Sementara tangan kirinya menahan anaknya Naya di gendongan. Tangan kanan pandu bergerak mengelus rambut Chintya. "Sudahlah, buang semua hal yang membuatmu risau, aku tidak kenapa-napa, satu hal lagi kalau aku tidak Bahagia maka dahulu bukan aku yang meminta pertama kali untuk berada pada keadaan sekarang." Pandu menjelaskan. "Setiap perjalanan kita di Bumi ini, ada satuan waktunya sendiri, begitu juga keadaan ini, mungkin saat ini waktumu yang lebih sibuk, aku yang diberikan Tuhan waktu lebih luang memiliki tugas yang lain, yaitu menjaga dan menemani Naya, apapun yang terjadi Naya tidak boleh kehilangan kasih sayang orang tuanya sedikit pun." Tambah pandu agak panjang
Apa yang di maksud pandu dalam penjelasannya tersampaikan utuh kepada Chintya. "Mungkin benar apa yang kau katakan, aku janji kalau semuanya selesai, kamu ga akan nemenin Naya sendirian, aku juga mau menghabiskan waktu dengan putriku ini," Chintya setuju dengan apa yang disampaikan Pandu.
"Ya sudah, nanti kamu telat ke kantor, jangan kecewakan para karyawanmu, tunjukan kalau bosnya yang cantik ini punya semangat luar biasa memajukan perusahaan, biar bagaimana pun usaha mu ini merupakan impianmu sejak lama bukan?" Pandu menyudahi pembicaraan pagi bersama istrinya "Putri Naya juga mau sekolah bunda, biar nanti kamu pinter kaya bunda yah," pandu melanjutkan
"Ya sudah, aku berangkat dulu yah, inget kamu kalau ada apa-apa bilang yah, aku enggak mau kamu memendam apa-apanya sendiri," Chintya berpamitan yang lalu memasuki mobilnya dan berangkat menuju kantor tempat usaha impiannya. Sementara Pandu dengan mobil yang lain mengantarkan Naya berangkat kesekolah pagi ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top