Chapter 8
Yuhuuu update ^^
Just infooooo. Darling dan Sekar bisa kalian baca dulu di Shitty Sometimes ehehe
#Playlist: Shane Fillan - Make You Feel My Love
•
•
Fokus Top terpecah setelah Gilbert masuk ke dalam ruangan. Top menghentikan pekerjaannya, menutup laptop sejenak. Top segera paham maksud kedatangan Gilbert--yang mana merupakan permintaannya beberapa menit yang lalu.
"Gimana, Gil? Udah deal?" Top bertanya tanpa basa-basi.
"Udah, Pak. Beliau setuju. Beliau senang dengan tawaran Bapak."
"Good. Berarti saya tinggal bayar, kan?"
"Iya, Pak. Saya udah mengirimkan nomor rekeningnya."
Top mempertanyakan soal lahan yang diinginkan istrinya. Dia meminta Gilbert untuk menanyakan detail lebih lanjut kepada sang empunya lahan. Top berusaha agar yang punya lahan setuju dan ternyata usaha Gilbert tidak sia-sia.
"Omong-omong, Pak," Gilbert ragu-ragu untuk bicara lebih lanjut. Berdeham berulang kali, gugup setengah mati.
"Kenapa?"
"Pak Noah sempat ngomongin saingan kita."
"Ngomongin apa? Jangan bertele-tele. Intinya aja."
Gilbert meneguk ludahnya ngeri. Kalau Top sudah tegas, bos galak bisa kalah. Top kelihatan lembut dan baik dari luar, tapi kalau tahu aslinya, apalagi sudah menyangkut pekerjaan, Top sangat perfeksionis dan membenci satu kesalahan. Bagai harimau yang mengaung sekeras-kerasnya-begitulah Top kalau sudah mengamuk.
"Pak Noah sempat cerita direktur Element Telecom mau lahan yang Bapak beli. Tapi Pak Noah nggak mau karena penawaran harganya nggak sesuai dengan yang dia inginkan. Pak Noah juga nggak suka sama sikapnya yang nyebelin," cerita Gilbert.
"Maksud direkturnya, tuh, Romi?" tebak Top.
"Iya, Pak," Gilbert berdeham pelan. "Pak Noah juga sempat menyinggung nama perempuan. Beliau mau ketemu lagi sama sekretarisnya Pak Romi. Katanya sekretaris Pak Romi lebih sopan, beda sama Pak Romi. Setelah saya tanya lebih jauh, sekretarisnya yang sempat bertemu Pak Noah adalah istri Bapak. Saya pikir sekretaris yang baru, tapi bukan."
Top mengerti sekarang mengapa Kasih menginginkan lahan di tempat yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Rupanya mantan tunangan Kasih menginginkan lahan itu. Top tidak masalah. Selagi membantu Kasih merasa lebih baik dan melupakan mantannya, Top akan melakukan apa pun.
"Oke, saya mengerti. Ada lagi info lain?"
"Ada, Pak. Ini di luar masalah lahan. Pagi ini saya terima email berisi informasi Element Telecom. Nggak ada dokumen kontrak atau rahasia. Isi emailnya cuma memberi tahu beberapa hal mengenai Element Telecom, salah satunya cara taktik marketing mereka. Pengirim emailnya nggak jelas soalnya nama emailnya justsecret, Pak."
Top tidak mau menebak. Namun, mengingat cara Romi memberikan hadiah tidak terduga hingga membuat istrinya menangis terisak-isak, Kasih pasti kesal dan ingin membalas dengan cara berbeda. Top yakin Gilbert sudah bisa menebak siapa yang mengirim cuma tidak berani bicara. Ada batasan yang tidak perlu disampaikan secara gamblang.
"Kirimkan saya filenya biar saya baca," titah Top.
"Baik, Pak. Saya akan kirimkan segera."
"Makasih, Gil."
"Iya, Pak. Kalau gitu saya permisi, Pak."
Beberapa menit setelah Gilbert keluar ruangan, Top mengambil ponselnya. Dia ingin mengirim pesan rindu pada sang istri. Belum sempat melakukan, ada email masuk dari Gilbert.
Lebih dulu membuka email, Top membaca satu file penuh berisi beberapa informasi mengenai trik Element Telecom. Membaca tulisan yang diketik tersebut, Top ingin tahu. Apa ini siasat Kasih memberi tahu Gilbert agar Gilbert memberi tahunya tanpa menunjukkan diri?
Semakin dipikirkan, jawaban mengabur. Top butuh jawaban langsung dari istrinya, tapi tidak mau memaksa. Sambil menunggu jawaban, Top akan membedah seluruh trik dan beberapa informasi Element Telecom yang bisa dia gunakan sebagai pembanding untuk membuat perusahaannya semakin unggul.
❤️🔥❤️🔥❤️🔥
Mata terasa sakit memperhatikan layar secara terus-menerus. Kasih bangun dari tempat duduknya, meregangkan otot-otot agar lebih rileks setelah lelah duduk berjam-jam. Dulu waktu bekerja dengan Romi, dia lebih banyak kerja di luar ketimbang duduk di depan layar komputer.
"Kas, lo mau ke ruang gemes, ya? Gue mau nitip, dong," ucap Tiara.
Bagi sebagian orang ruang istirahat disebut ruang gemas. Hal ini dikarenakan tempatnya yang cozy dan menenangkan. Kalau Kasih menyebut ruang istirahat saja, takut menyebut gemas nanti dikira tempat aneh-aneh.
"Mau titip apa, Ti? Tahu aja gue mau ke sana," sahut Kasih. Iya, dia mau ke sana untuk mengambil es krim.
"Es krim cokelat, Kas. Makasih, ya!" pinta Tiara.
"Gue juga, Kas! Es krim vanilla!" celetuk Belinda dengan mengacungkan tangannya ke udara.
"Gue juga, gue juga. Es krim stroberi," sambung Sandra ikutan.
"Oke, oke, gue bawain. Tapi agak lama nggak apa-apa? Gue mau nge-teh dulu."
"Santai, Kas. Selama bukan lo balik ke rumah, kita tungguin. Udah sana, ngeteh dulu. Makasih, Kasihku," kata Sandra dengan senyum manisnya.
Kasih mengangguk, beranjak keluar dari ruangan. Dia pergi menuju ruang istirahat yang berada di ujung koridor. Dalam perjalanan menuju ke sana, Kasih berharap bisa bertemu suaminya. Ya, meskipun tidak memungkinkan karena suaminya sibuk dan pergi menuju ruang istirahat kalau benar-benar butuh udara segar saja. Namun, sepertinya dia tidak akan bertemu suaminya. Kasih menghela napas.
Ketika tangan meraih daun pintu dan membuka pintu sedikit, ada celah hingga bisa melihat ke dalam. Kasih pun bisa mendengar suara berisik di dalam. Tubuhnya tidak melangkah saat mendengar sebuah percakapan.
"Lo tahu Kasih dari divisi legal nggak?"
"Iya, tahu. Dia bisa gabung lewat jalur orang dalam, ya?"
"Kelihatannya gitu, sih. Pak Top, kan, selektif banget sama pegawai sini. Nggak ada satu pun pegawai sini yang dulunya kerja di perusahaan saingan. Eh, ini malah diterima. Bisa aja rahasia perusahaan kita dibocorin ke perusahaan saingan."
"Iya, lho. Nggak malu apa, ya, dulu kerja di perusahaan saingan malah pindah sini?"
Kalimat yang didengarkan telinga membuat Kasih mengurungkan niatnya untuk masuk. Dia memilih pergi dari sana ketimbang merusak suasana dan melihat tatapan sinis orang-orang padanya.
Kasih terus melangkah hingga kaki berhenti di depan vending machine. Ada dua vending machine, yang satunya berisi camilan seperti cokelat dan kripik, satunya minuman beraneka rasa dan isotonik. Kasih ingin membeli minuman untuk menyegarkan dahaga. Dia memasukkan selembar uang sesuai instruksi mesin, menunggu botol minuman isotonik jatuh ke bawah. Sambil menunggu, Kasih menyandarkan kening pada vending machine, tapi yang terjadi, dia seakan membenturkan keningnya karena terlalu keras. Akibatnya Kasih mengaduh sakit.
"Astaga! Baik-baik aja, Mbak?"
Kasih mengusap keningnya berulang kali sambil menoleh ke samping. Dia melihat laki-laki bertubuh tinggi dan tegap menatapnya khawatir. Pikiran Kasih terfokus pada perbincangan orang-orang sehingga dia tidak sadar kalau laki-laki itu sudah berdiri sejak tadi di depan vending machine khusus camilan.
"Saya baik-baik aja, kok." Kasih berbohong. Keningnya sakit membentur kaca vending machine. Untung tidak sampai pecah.
"Syukurlah." Laki-laki itu tersenyum lega. "Oh, ya, minumannya udah jatuh, Mbak."
"Oh, iya!" Kasih segera membungkuk dan mengambil minuman kesukaannya. Sambil tersenyum, dia melanjutkan, "Makasih, ya."
"Morison," ucap laki-laki itu.
"Apa?"
"Nama saya Morison."
"Oh, oke. Makasih, Morison," ralat Kasih.
"Sama-sama, Mbak Kasih."
Kasih cukup kaget mendengar laki-laki itu tahu namanya. Belum juga dia mengenalkan diri.
"Mbak Kasih terkenal di divisi marketing. Jadi saya tahu Mbak Kasih. Mereka mengagumi Mbak, katanya Mbak sebaik bidadari."
"Saya belum pernah beliin rumah buat mereka, kok, udah dipuji?"
Morison terkekeh. "Nggak perlu dibelikan rumah, kalau baik akan hal kecil pasti diingat, Mbak."
Kasih tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Hal baik apa yang telah dia lakukan? Sepertinya--ah, dia ingat. Dia pernah mengobati luka Ardi, salah satu pegawai divisi marketing. Kemudian, ada pula Erwin yang-katanya-Sandra titip salam. Dua insan itu dari divisi marketing. Kasih cuma memasang senyum sampai gigi kering dan tidak mau menanggapi berlebihan.
"Berhubung saya ketemu sama Mbak, saya kasih ini buat Mbak." Morison menyerahkan enam cokelat bar dan dua bungkus keripik kentang.
Kasih hendak menolak, tapi Morison meraih tangannya dan meletakkan semua di atas telapak tangannya. Mau tidak mau Kasih mengambil dan mendekap makanan dengan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Bukannya kamu beli untuk kamu?"
"Nggak juga. Buat Mbak aja. Mbak kelihatan capek." Morison melempar senyum dan melambaikan tangan segera setelah mundur selangkah. "See you again, Mbak Kasih."
"Eh, tunggu dul..." Kasih menunda kalimatnya ketika Morison semakin menjauh. "Ya udah, makasih, ya," lanjutnya terpaksa menerima.
"Ehem! Ehem!"
Kasih terlonjak kaget. Dia spontan menoleh ke belakang, menemukan suaminya berdiri di belakangnya.
"Siang, Pak," sapa Kasih berpura-pura tenang, berharap suaminya tidak melihat kejadian tadi. Takut suaminya cemburu.
"Kamu populer banget, ya," ceplos Top cemburu.
Kasih pura-pura tidak mengerti, menggeleng polos. Kasih menggeser posisinya dari vending machine alih-alih menanggapi. "Bapak mau beli minum, ya? Silakan, Pak."
"Nggak. Saya nggak punya uang receh."
"Saya beliin, deh." Kasih hendak mengeluarkan uang dari saku celana, sayangnya, tangan terlalu penuh dengan makanan dan minuman. "Uangnya di saku celana saya, Pak. Bapak pegangin dulu makanan--eh, nggak usah. Biar saya ambil."
Pandangan Kasih tertuju pada Gilbert yang berada di belakang Top. Tampaknya mereka berdua baru kembali dari luar. Gilbert cuma diam sambil memantau sekitar supaya tidak menimbulkan kecurigaan saat Kasih dan Top berinteraksi. Meskipun vending machine berada ujung lorong dan merupakan bagian yang paling jarang dikunjungi, tetap saja harus waspada.
"Nggak usah, saya minta Morison aja." Suara Top menyiratkan kecemburuannya.
"Bapak cemburu?"
"Jelas."
Kasih menahan tawa. "Ini buat Pak Gilbert aja." Dia menyerahkan semua cokelat dan keripik kentang kepada Gilbert, yang tampak kaget saat diberikan makanan. "Saya nggak makan makanan dari laki-laki lain kecuali suami saya."
"Makasih, Bu," kata Gilbert.
Kasih merogoh uang pecahan sepuluh ribu dan kemudian memilih minuman isotonik untuk suaminya. Setelah minuman turun, Kasih mengambil dan memberikan kepada Top.
"Ini hadiah udah menerima saya di kantor ini. Bukan rayuan untuk menggoda Bapak. Suami saya cemburuan jadi saya nggak mau dikira genit," ledek Kasih dengan menjulurkan lidahnya di akhir kalimat.
Top kepalang cemburu, tapi melihat Kasih meledeknya seperti ini, dia jadi ingin memeluk istrinya. Dia mengambil minuman miliknya serta Kasih dan menitipkan pada Gilbert.
"Gil, tutupin," suruh Top.
Kening Gilbert berkerut. Bingung. "Hah? Tutupin apa, Pak?"
Tanpa peringatan Top menarik Kasih dan memeluknya dengan erat. Kasih membelalak kaget. Kasih berusaha melepas, Top semakin mengeratkan pelukan.
Gilbert baru sadar saat pelukan dilakukan. Buru-buru dia berbalik badan dan memantau. Gilbert panik sendiri, pasalnya tubuhnya tidak setinggi dan sebesar Top. Astaga, begini sekali punya bos macam Top. Mana disuruh tutupin. Tutupin pakai apa? Dinding khayalan? Gaya-gayaan mau menutupi hubungan malah melibatkan dia juga.
"Sebel juga istriku disapa-sapa yang lain," bisik Top.
"Ma-Mas. Nanti ada yang lihat, lho. Bahaya. Ini tempatnya terlalu terbuka," balas Kasih panik.
"Terbuka, ya? Hm."
Top melepas pelukan, menarik Kasih hingga tersembunyi di balik dinding. Kebetulan di seberang vending machine ada celah pembatas dinding kosong yang entah mengapa dibuat demikian. Celah itu dihiasi pot bunga besar dan tidak akan terlihat kalau ada yang bersembunyi.
"Ini udah tertutup dinding, kan?" Top memainkan kedua alisnya jahil seraya mengusap bibir bawah Kasih.
Kasih meneguk air liurnya. Dari jarak sedekat ini, dia berdebar-debar. Aroma parfum musk khas suaminya menguar sempurna menusuk indera penciuman. Senyum khas suaminya menjadi obat pelepas kepenatan kerja.
"Jangan aneh-aneh, Mas. Nanti kelihatan orang." Kasih mengingatkan, masih panik.
"Aneh-aneh? Memangnya kamu pikir aku mau ngapain, hm?" Top mencubit hidung Kasih, menahan kekehan.
Kasih mati kutu. Kenapa pula dia berpikir suaminya mau aneh-aneh? Apa, sih, yang dia pikirkan?
"Mungkin mau cium bibir aku," ceplos Kasih tanpa sadar. Saat sadar bibir mengucapkan kalimat yang tidak perlu, dia buru-buru meralat, "Bu-bu-bukan. Ma-maksudnya mungkin mau cium pi...."
Kata-kata Kasih tertahan lantaran Top membungkamnya dengan bibir. Kasih membelalak. Meskipun hanya sebatas kecupan kilat, jantung Kasih nyaris meledak.
Gilbert kaget setengah mati waktu bosnya senekat itu. "Astaga, bos gue. Ampun ... bikin panik aja," gerutunya pelan.
Top menarik diri dan tersenyum kecil. Lalu, dia mengusap kepala Kasih. "See you at home, Sayang."
Panggilan itu berhasil membuat wajah Kasih merah merona. Ini pertama kali Top memanggilnya seperti itu. Sensasinya benar-benar mengejutkan jantung.
Gilbert ikut-ikutan malu padahal bukan dia yang dipanggil begitu. Mungkin karena ini pertama kalinya dia mendengar Top memanggil 'Sayang' istrinya dengan nada menggoda. Dulu waktu dia menjadi saksi Top bersama Asmara, panggilan itu terdengar datar.
"Yuk, kita kembali, Gil," ajak Top.
Ketika Top akan menghampiri Gilbert, dia mendengar suara lain sehingga terpaksa kembali mendekatkan diri pada sang istri, menahan kedua tangannya dengan ditempelkan pada dinding. Kasih pun kaget dengan tindakan tiba-tiba suaminya.
"Pak Gil! Lihat Kasih nggak?" teriak Tiara.
"Ka-Kasih?" Gilbert mendadak panik.
"Iya. Lihat nggak, Pak?"
"Ng-nggak, tuh." Gilbert menjawab gelagapan. Dia berusaha tidak menoleh supaya Tiara tidak curiga. Keringat sudah mengucur membasahi dahi dan pipi. Panik melanda semakin tinggi.
Kasih memejamkan mata, berdoa supaya Tiara tidak mendekat. Berbeda dengan istrinya, Top justru menikmati wajah panik Kasih. Ya, meskipun Top juga panik, hanya saja dia mempertaruhkan segalanya dengan mengandalkan Gilbert.
"Kasih ke mana, ya? Apa jajan di bawah?" Tiara bertanya entah pada siapa. Sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, dia memicingkan mata. "Pak Gil kenapa keringetan gitu? Habis dari mana sampai mukanya basah? Eh, itu makanan siapa? Saya mau, dong, Pak."
"Jangan! Jangan dekat-dekat!" Suara Gilbert setengah berteriak, berhasil menghentikan langkah Tiara.
"Lho? Kenapa nggak boleh ke situ, Pak?"
"Jangan. Pokoknya jangan!"
"Ada apa, sih?" Tiara penasaran.
"Jangan! Nanti saya jatuh cinta!" teriak Gilbert. Sudah tidak tahu lagi alasan macam apa yang bisa dipakai untuk menghalau Tiara.
Tiara bengong. Kasih kaget, sedangkan Top menahan tawa.
"Bapak lagi pusing mikirin kerjaan dari Pak Top, ya?" Tiara menangkap gelagat aneh Gilbert. Melihat Gilbert memasang wajah sok serius, dia pun mundur beberapa langkah. "Oke, oke, saya jauh-jauh, deh. Saya mau cari Kasih dulu. Duluan, Pak. Awas pingsan."
Setelah Tiara pergi, lutut Gilbert lemas. Kaki Gilbert gemetar hebat gara-gara menutupi bosnya berduaan dengan sang istri. Aduh, drama banget hidupnya Gilbert sekarang. Tiara pasti akan mencapnya sebagai si paling drama.
Top mengusap kepala Kasih sekali lagi dan segera meninggalkan Kasih setelah tidak ada suara lain. Top mengambil minuman milik Kasih dan memberikan lebih dahulu kepada istrinya. Barulah kemudian Top menenteng minuman pemberian istrinya dan berlalu seusai menepuk pundak Gilbert.
Gilbert mengangguk kecil, berpamitan pada Kasih dan buru-buru menyusul Top dari belakang dengan tangan penuh.
Kasih menatap kepergian suaminya dari belakang. Menahan tawa saat mendengar percakapan yang terdengar saat keduanya belum terlalu jauh.
"Jatuh cinta? Alasan macam apa itu, Gil?" ledek Top dengan tertawa geli.
"Aduh, Pak. Saya nggak punya alasan waras lagi. Panik tahu," balas Gilbert.
Bicara soal jatuh cinta, Kasih menyentuh wajahnya. Dia menepuk kedua pipinya pelan, masih berdebar-debar. Kenapa suaminya membuat panik hatinya terus, sih?
❤️🔥❤️🔥❤️🔥
Jangan lupa vote yaaa😘🤗
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top