Bagian 7
"Tukelnya mau dikerjain di rumah siapa?" tanya Pia.
Tukel adalah Tugas Kelompok.
"Danu aja."
"Kenapa di rumah Danu?"
"Banyak makanan."
Gading langsung meringis setelahnya karena Danu yang menendang tulang keringnya. Salah ia sendiri, sih, ngomong sembarangan. Tapi, itu kan fakta kalau di rumah Danu selalu banyak makanan.
Mereka--Aras, Rafif, Gading, Danu, Pia dan Wika--berencana untuk mengerjakan tugas kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia sepulang sekolah ini. Namun, alih-alih mengerjakan di dalam kelas saja--karena sudah nanggung, Pia dan Wika menolak keras. Suntuk jika di dalam kelas saja, harus keluar dari ruangan itu.
Keempat lelaki itu hanya bisa menurut. Pasalnya, Pia adalah bendahara di dalam kelas. Di mana gadis itu adalah sosok yang dianggap 'pacar' oleh Rafif. Juga, galaknya bukan main.
"Gak usah ribut bisa, kan? Terserah mau di mana aja, asal jangan di area sekolah. Suntuk."
"Di KUA mau gak, Yang?" goda Rafif.
Pia menoleh dan mencubit perut lelaki itu. "Ngomong apa tadi, Fif?" geramnya.
"Adah! Dah! Lepas! Ampun!"
Gading tertawa lepas. Danu mendengus. Aras terkekeh melihat wajah Rafif yang kesakitan. Sementara Wika hanya menatap teman kelasnya itu.
"Udah, ayo, ke rumah Danu!" putus Gading sekali lagi tidak mau dibantah. Ia merangkul bahu Danu dan Aras agar keluar kelas. Melirik Wika sekilas. "Wik, ayo!"
Pia melepas cubitannya pada Rafif. Ia kemudian berjalan mengikuti langkah temannya yang lain. Rafif mengusap-usap perutnya yang panas karena cubitan Pia memang tidak ada duanya. Mantap pol!
"Gak papa, Nu, ke rumah lo?" tanya Aras saat mereka menyusuri koridor. Gading sudah melepas rangkulannya.
Danu mengangguk. "Gak papa. Lagipula hari ini gue gak ada janji apa-apa juga sama mereka," balasnya.
Gading mencibir, "Yang punya pacar banyak, bebasss!"
Aras terdiam beberapa saat. Apa kata Danu tadi? Janji?
Tunggu sebentar.
Janji, ya?
Ada yang janggal dalam hatinya.
Janji.
Jan ....
Fira?
Bertepatan dengan itu, ponsel di saku celananya bergetar tidak hanya sekali. Itu artinya ada telepon masuk. Aras mengambil ponselnya. Nama 'Sapi🐄' terpampang di layar. Ia menekan ikon hijau untuk menerima telepon itu.
"Ha-"
"AKU NUNGGUIN KAMU DI PARKIRAN, ARAS! LAMA BANGET, SIH?!"
Aras menjauhkan ponselnya saat suara Fira memekakkan di telinga. Suara gadis itu sungguh cempreng. Telinganya nyaris berdengung. Ia menoleh pada Gading dan Danu.
"Gue duluan ke parkiran!"
Setelahnya, Aras langsung berlari ke parkiran, tanpa memutuskan telepon itu. Membiarkan Fira mengoceh tanpa harus repot-repot ia dengar.
Di parkiran, Fira terus mengoceh, mendumel, mengomel, semuanya deh. Ia bahkan tidak peduli jika para murid lain menatapnya. Toh, ia memakai baju, jadi untuk apa dirinya malu?
Fira pada akhirnya memutuskan sambungan telepon saat Aras tidak bersuara sama sekali. Ia berjongkok di samping motor Aras. Guna untuk menghalau sinar matahari yang menerpa kulitnya.
Siang ini panas, Fira mendengus untuk yang kesekian kalinya karena Aras tidak kunjung datang.
Sudah lewat dari lima belas menit Fira menunggu Aras di parkiran. Dari parkiran itu masih ramai, hingga sudah mulai sepi, Aras juga tidak kunjung muncul batang hidungnya. Membuat Fira jadi geram. Beruntung ia sempat meminta nomor Aras kemarin, jadi ia bisa menghubungi lelaki itu.
"Awas aja kalau dateng, aku jambak dia!"
Suara derap langkah seseorang tidak membuat Fira mendongak. Gadis itu membuat pola bundar di sepatunya dengan jari telunjuk. Menaruh dagu di atas lutut. Rambut sebahunya itu menutupi sebagian wajah.
"Safira," panggil seseorang.
Fira mendongak. Ia mendapati Aras yang sedang mengatur napasnya. Lelaki itu menumpukan tangan di tepian motor. Dengan dada yang naik turun dan keringat yang bermunculan, membuat Aras lebih tampan dari biasanya. Fira semakin takjub. Amarahnya tadi seakan menguar entah ke mana.
"Kamu kenapa ngos-ngos gitu?"
Aras menatap Fira yang masih jongkok di bawah. Ia lalu ikut berjongkok. Lengannya bertumpu pada kedua lutut dan mengulurkannya ke depan. Masih sibuk mengatur napas karena ia memang benar-benar berlari dari gedung lantai 3 hingga ke parkiran.
Dan itu, hanya karena telepon dari ... Fira.
Ck! Aras bisa gila karenanya.
"Aku udah nungguin kamu hampir dua puluh menit, tapi kamu nggak muncul juga. Aku kepanasan tahu nungguin di sini. Kamu ke mana aja, sih?!"
Aras menjawab, "Tadi ada keperluan di kelas."
Fira mengambil botol air minumnya. Ia memberikan itu pada Aras. "Minum dulu," ucapnya.
Aras menatap botol itu sebentar, lalu mengambilnya. Membuka tutup dan menegak isinya hingga habis karena memang tersisa setengah saja. Sial! Ia haus karena berlari demi Fira. Benar-benar gila!
Kenapa pula dengan dirinya itu?
Aras bisa gila betulan jika banyak berpikir tentang itu.
"Ayo, otw!" ajak Fira dengan semangat. Gadis itu bangkit dan merapikan rambutnya. Tersenyum pada Aras yang masih berjongkok.
Tiba-tiba saja Aras bingung harus memberi tahu Fira mulai dari mana. Kemarin ia sudah berjanji akan menemani gadis itu hari ini. Dan ternyata, hari ini malah ada tugas kelompok yang memang harus sekali dikerjakan sekarang.
Aras bangkit dan memberikan botol minum itu pada sang pemilik. "Ra," panggilnya dengan kaku.
"Apa?"
"Kalau ... ditunda besok, gak papa?"
"Maksudnya?" Fira menekuk kedua alis. Tidak paham dengan ucapan Aras. "Aku nggak paham," lanjutnya.
"Gue ada tugas kelompok dan dikerjain sekarang."
Fira terdiam sambil mengerjapkan matanya beberapa kali. Berusaha untuk mencerna. Oohh ... maksud Aras hari ini ke mal nya tidak jadi karena lelaki itu ada tugas kelompok? Fira boleh kesal tidak?
Fira sudah bersemangat untuk berjalan-jalan di mal dengan Aras, meski hanya memakan es krim saja. Atau, ia akan senang karena semakin dekat dengan Aras. Entah itu dekat sebagai teman atau lebih.
Tapi, khayalannya apa harus kandas saat ini juga?
Fira hanya ingin hari ini. Tidak mau besok atau besoknya lagi!
"Aku maunya hari ini," tegas Fira.
"Tapi, gue-"
"Kamu lebih dulu janji sama aku daripada mereka, Aras!" tukas gadis itu.
"Ini tugas sekolah, bukan main ke rumah temen biasa, Safira." Aras tidak habis pikir dengan tindakan Fira. Yang benar saja gadis itu melarangnya untuk mengerjakan tugas sekolah? Memangnya gadis itu siapa?
"Lo nggak berhak ngelarang gue, apalagi urusan sekolah. Karena lo ... bukan siapa-siapa gue, Safira."
Fira membisu. Apa yang Aras katakan memang benar. Jadi, Fira tidak akan marah tentang hal itu.
Tapi, entah kenapa ... sudut hatinya berdenyut mendengar Aras mengatakan demikian.
...
"Kak, makan dulu! Dari tadi siang kakak belum makan, lho!" bujuk sang mama pada anaknya.
Sejak pulang sekolah pukul 3 sore, Fira belum keluar kamar sama sekali. Tidak makan atau apa. Hanya menyapa Mamanya yang ada di dapur sambil mencuci piring. Mengecup pipi wanita itu, lalu bergegas masuk ke kamar.
Ini semua gara-gara Aras! Fira memukul bantal dengan kesal. Membayangkan jika bantal itu adalah wajah Aras yang bisa ia pukul seenak dan sepuasnya.
Setelah tahu jika Aras memang tidak akan mau pergi menepati janji untuk menemaninya, Fira langsung mengambil helm yang ada di motor Aras karena tadi pagi mereka memang berangkat bersama. Lalu, Fira pulang. Menaiki ojol dan tanpa pamit pada Aras. Ia sudah kelewat dongkol sampai-sampai tidak mau pamit pada lelaki itu.
Memang, Aras siapa sampai-sampai ia harus pamit pulang padanya?
"Arasetan! Awas aja kamu, ya! Hih!" geram Fira. Lalu menyembunyikan wajah di bantal. Bujukan sang mama tadi tidak ia gubris sama sekali.
"FIRA! JAWAB MAMA!"
Fira menjauhkan wajah dari bantal dan menatap pintu kamar dengan sebal. "FIRA UDAH MAKAN, MA! MASIH NGANTUK, JANGAN GANGGU DULU!" Iya, Ma, udah makan. Makan hati! lanjutnya dalam gumaman.
Hingga setelah maghrib, Fira turun ke lantai bawah karena lapar. Gadis dengan setelan baju tidur lengan pendek itu melangkah menuju dapur. "Mama, udah pada makan belum?!" pekiknya saat tiba di meja makan. Ia tidak menemukan siapapun. Entah itu Papa, Mama dan si Ateng, mereka sama sekali tidak ada tanda-tanda munculnya.
Karena sudah lapar sekali, Fira langsung duduk di kursi. Membuka tudung saji yang sudah terdapat banyak makanan di sana. Astaga, masakan mamanya yang menggoda memang tiada tanding.
Gadis itu dengan segera mengambil piring dan sendok. Empat centong nasi ia muat dalam piring. Tersenyum cerah saat mamanya memasak ayam kecap, tempe goreng dan sambal.
"Surganya orang laper, ya?"
Tunggu dulu.
Fira menoleh ke belakang, menemukan sosok tinggi itu yang sedang memasukkan kedua tangannya di saku celana jeans hitam yang dipakainya. Ia nyaris menjatuhkan piring jika tidak dengan cepat menyadarkan dirinya.
Alih-alih menyaut atau merespon, Fira malah menyantap makanannya. Tidak peduli akan kehadiran Aras. Ia masih kesal pada lelaki itu.
Adik kelas, sialan!
Tapi ganteng!
Akh! Logika dan hati memang suka sekali membuat perasaan seseorang menjadi tidak keruan.
"Habis makan, keluar sama gue."
Fira berdecih di sela acara makannya. Mencoba untuk tidak terusik akan kehadiran Aras. Kalau dirinya sudah kesal pada orang itu, maka ia ingin melihat seberapa besar orang itu membujuknya. Dan hal itu berlaku juga untuk Aras.
Aras berjalan mendekat. Ia berdiri di samping Fira. "Ra ... mau, kan?"
Fira menelan makanannya lebih dulu sebelum membalas, "Kamu bukan siapa-siapa, jadi jangan maksa atau berlagak bujuk aku supaya nggak marah sama kamu."
Mereka itu sebenarnya kenapa, sih? Baik Aras atau Fira, sama sekali tidak ada yang membuka suaranya lagi setelah itu.
Aras dengan kebingungannya.
Dan Fira dengan rasa lapar yang mendominasi daripada rasa dongkolnya pada Aras.
...
Jumlah word : 1461
Indramayu, 11 sep 20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top